Penyanderaan Masyarakat Sipil di Papua
A
A
A
Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi FISIP Unair, Pernah 2 tahun melakukan penelitian dampak industrialisasi di Papua
ULAH Kelompok Kriminal bersenjata (KKB) di Papua belakangan ini semakin meresahkan. Mereka tak sekadar menebar teror dan berani melawan aparat penegak hukum, tetapi mereka juga mengembangkan taktik baru, yaitu melakukan tindakan penyanderaan masyarakat sipil.
Di Kabupaten Nduga, Papua, dilaporkan 16 orang guru dan tenaga medis disandera KKB. Selama penyanderaan, korban diancam tindak kekerasan dan asusila oleh kelompok KKB pimpinan Egianus Kogeya yang mengaku sebagai adik Kelly Kwalik. Meski tindakan penyanderaan di Kabupaten Nduga ini telah berhasil ditangani, bukan tidak mungkin kasus yang sama akan terulang jika tidak dilakukan tindakan antisipatif yang serius.
Apa yang terjadi di Kabupaten Nduga adalah kasus penyanderaan kesekian kali yang terjadi di Papua. Sebelumnya, sekitar 1.300 warga Papua pernah menjadi sandera KKB. Masyarakat di Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, tepatnya di Desa Kimbely dan Desa Banti. Korban yang disandera semuanya dilarang bepergian ke luar wilayah desanya. Bahkan, tidak sekadar melarang warga ke luar desa, sesekali KKB ini dilaporkan tak segan merampas harta benda warga desa setempat, melakukan pemalakan dan tindak kekerasan, termasuk pemerkosaan.
Sebagai bagian dari wilayah Indonesia, teror dan penyanderaan yang tengah dialami warga Papua di Kabupaten Nduga dan Mimika ini tentu merupakan tamparan terhadap kredibilitas aparat penegak hukum. Di wilayah yang termasuk bagian dari negara Republik Indonesia yang berdaulat, ulah KKB melakukan penyanderaan terhadap seribu lebih warga sipil bukan saja melecehkan hukum, tetapi juga memprihatinkan karena telah merampas kemerdekaan warga masyarakat.
Fear of Crime
Berbeda dengan tindakan penyanderaan yang biasa terjadi di dunia kriminal, di mana orang-orang diculik untuk meminta sejumlah uang tebusan, melakukan penyanderaan untuk menghentikan serangan polisi atau melakukan penyanderaan sebagai bagian dari aksi terorisme. Yang terjadi di Kabupaten Nduga dan Mimika, Papua, ini penyanderaan tampaknya dilakukan lebih untuk kepentingan menakut-nakuti masyarakat sekaligus untuk mengukuhkan dominasi KKB di masyarakat.
Kalau melihat rekam jejak dan catatan kepolisian, jumlah KKB di Papua sebetulnya tidaklah banyak. Diperkirakan jumlah mereka hanya berkisar puluhan orang saja, namun karena memegang senjata api dan terbiasa menebar teror, warga masyarakat yang jumlahnya jauh lebih banyak pun tidak bisa berbuat apa-apa. Anggota KKB yang terbiasa melakukan berbagai aksi kekerasan, memalak, menculik, dan bahkan memerkosa warga, tentu secara psikologis akan menimbulkan ketakutan di benak masyarakat setempat.
Fear of crime atau ketakutan masyarakat di sini tampaknya sengaja diciptakan KKB dengan tujuan untuk menegaskan posisi superior mereka atas warga. Lokasi desa yang relatif terisolasi dan jauh dari amatan aparat penegak hukum membuat KKB leluasa untuk terus menakut-nakuti warga. Sementara itu, sikap apatis dan posisi subordinat warga yang bertahun-tahun berdiam diri meski mengalami berbagai perlakuan kasar dari KKB, sedikit-banyak membuat anggota KKB semakin percaya diri untuk terus melakukan berbagai aksi yang merugikan penduduk setempat.
Menyikapi KKB
Sebagai negara hukum, tindakan penyanderaan dengan alasan apa pun tentu tidak bisa dibenarkan dan karena itu harus segera diakhiri. Pemerintah, khususnya aparat keamanan gabungan TNI-Polri, perlu segera turun tangan untuk menyelamatkan dan membebaskan warga yang menjadi sandera KKB—di mana pun tempatnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian sendiri telah menyatakan bahwa pihak kepolisian akan bertindak persuasif dengan melibatkan tokoh masyarakat dan agama untuk mencari solusi atas tindakan penyanderaan yang terjadi.
Cuma, yang menjadi masalah, ketika upaya perundingan yang melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat tidak berjalan seperti yang diharapkan, lantas apa yang harus dilakukan TNI-Polri untuk menyelamatkan warga desa yang disandera? Pada titik ini, tidak banyak pilihan yang bisa dilakukan aparat—kecuali melakukan tindakan yang sifatnya represif. Ada sejumlah alasan kenapa tindakan tegas aparat TNI-Polri perlu dilakukan.
Pertama , karena aksi yang dilakukan KKB di Papua sudah pada tahap sangat meresahkan masyarakat dan berpotensi menjadi gangguan keamanan yang serius bagi masyarakat Papua dan Indonesia pada umumnya. Membiarkan KKB merajalela tanpa dikenai sanksi hukum yang setimpal bukan saja akan membuat mereka semakin besar kepala, tetapi di sisi lain juga akan membuat masyarakat setempat semakin menderita menjadi korban pemalakan maupun tindak kejahatan lainnya.
Kedua , karena aksi yang dilakukan KKB secara langsung maupun tidak langsung akan mencoreng dan menurunkan kredibilitas aparat penegak hukum. Kinerja aparat penegak hukum yang dikenal reputatif dalam berbagai aksi pembebasan sandera di berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri, kini kredibilitas mereka dipertaruhkan ketika harus menghadapi ulah KKB yang semakin meresahkan. Di negara hukum, ulah kelompok apa pun yang mengganggu hak warga, apalagi melakukan tindakan kejahatan, tentu tidak patut dibiarkan agar tidak terjadi krisis kepercayaan terhadap wibawa aparat.
Ketiga, karena aparat penegak hukum di Tanah Air perlu mengirim pesan kepada KKB yang lain agar tidak berbuat hal yang sama di mana pun di Indonesia. Bersikap kompromistis dan membiarkan ulah KKB lepas kendali dan menebar ketakutan di kalangan masyarakat akan membuat kelompok serupa semakin berani unjuk gigi. Dengan bersikap tegas dan memberantas ulah KKB yang meresahkan masyarakat, diharapkan nyali KKB yang lain akan surut dan berpikir seribu kali sebelum melakukan aksi yang sama.
ULAH Kelompok Kriminal bersenjata (KKB) di Papua belakangan ini semakin meresahkan. Mereka tak sekadar menebar teror dan berani melawan aparat penegak hukum, tetapi mereka juga mengembangkan taktik baru, yaitu melakukan tindakan penyanderaan masyarakat sipil.
Di Kabupaten Nduga, Papua, dilaporkan 16 orang guru dan tenaga medis disandera KKB. Selama penyanderaan, korban diancam tindak kekerasan dan asusila oleh kelompok KKB pimpinan Egianus Kogeya yang mengaku sebagai adik Kelly Kwalik. Meski tindakan penyanderaan di Kabupaten Nduga ini telah berhasil ditangani, bukan tidak mungkin kasus yang sama akan terulang jika tidak dilakukan tindakan antisipatif yang serius.
Apa yang terjadi di Kabupaten Nduga adalah kasus penyanderaan kesekian kali yang terjadi di Papua. Sebelumnya, sekitar 1.300 warga Papua pernah menjadi sandera KKB. Masyarakat di Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, tepatnya di Desa Kimbely dan Desa Banti. Korban yang disandera semuanya dilarang bepergian ke luar wilayah desanya. Bahkan, tidak sekadar melarang warga ke luar desa, sesekali KKB ini dilaporkan tak segan merampas harta benda warga desa setempat, melakukan pemalakan dan tindak kekerasan, termasuk pemerkosaan.
Sebagai bagian dari wilayah Indonesia, teror dan penyanderaan yang tengah dialami warga Papua di Kabupaten Nduga dan Mimika ini tentu merupakan tamparan terhadap kredibilitas aparat penegak hukum. Di wilayah yang termasuk bagian dari negara Republik Indonesia yang berdaulat, ulah KKB melakukan penyanderaan terhadap seribu lebih warga sipil bukan saja melecehkan hukum, tetapi juga memprihatinkan karena telah merampas kemerdekaan warga masyarakat.
Fear of Crime
Berbeda dengan tindakan penyanderaan yang biasa terjadi di dunia kriminal, di mana orang-orang diculik untuk meminta sejumlah uang tebusan, melakukan penyanderaan untuk menghentikan serangan polisi atau melakukan penyanderaan sebagai bagian dari aksi terorisme. Yang terjadi di Kabupaten Nduga dan Mimika, Papua, ini penyanderaan tampaknya dilakukan lebih untuk kepentingan menakut-nakuti masyarakat sekaligus untuk mengukuhkan dominasi KKB di masyarakat.
Kalau melihat rekam jejak dan catatan kepolisian, jumlah KKB di Papua sebetulnya tidaklah banyak. Diperkirakan jumlah mereka hanya berkisar puluhan orang saja, namun karena memegang senjata api dan terbiasa menebar teror, warga masyarakat yang jumlahnya jauh lebih banyak pun tidak bisa berbuat apa-apa. Anggota KKB yang terbiasa melakukan berbagai aksi kekerasan, memalak, menculik, dan bahkan memerkosa warga, tentu secara psikologis akan menimbulkan ketakutan di benak masyarakat setempat.
Fear of crime atau ketakutan masyarakat di sini tampaknya sengaja diciptakan KKB dengan tujuan untuk menegaskan posisi superior mereka atas warga. Lokasi desa yang relatif terisolasi dan jauh dari amatan aparat penegak hukum membuat KKB leluasa untuk terus menakut-nakuti warga. Sementara itu, sikap apatis dan posisi subordinat warga yang bertahun-tahun berdiam diri meski mengalami berbagai perlakuan kasar dari KKB, sedikit-banyak membuat anggota KKB semakin percaya diri untuk terus melakukan berbagai aksi yang merugikan penduduk setempat.
Menyikapi KKB
Sebagai negara hukum, tindakan penyanderaan dengan alasan apa pun tentu tidak bisa dibenarkan dan karena itu harus segera diakhiri. Pemerintah, khususnya aparat keamanan gabungan TNI-Polri, perlu segera turun tangan untuk menyelamatkan dan membebaskan warga yang menjadi sandera KKB—di mana pun tempatnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian sendiri telah menyatakan bahwa pihak kepolisian akan bertindak persuasif dengan melibatkan tokoh masyarakat dan agama untuk mencari solusi atas tindakan penyanderaan yang terjadi.
Cuma, yang menjadi masalah, ketika upaya perundingan yang melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat tidak berjalan seperti yang diharapkan, lantas apa yang harus dilakukan TNI-Polri untuk menyelamatkan warga desa yang disandera? Pada titik ini, tidak banyak pilihan yang bisa dilakukan aparat—kecuali melakukan tindakan yang sifatnya represif. Ada sejumlah alasan kenapa tindakan tegas aparat TNI-Polri perlu dilakukan.
Pertama , karena aksi yang dilakukan KKB di Papua sudah pada tahap sangat meresahkan masyarakat dan berpotensi menjadi gangguan keamanan yang serius bagi masyarakat Papua dan Indonesia pada umumnya. Membiarkan KKB merajalela tanpa dikenai sanksi hukum yang setimpal bukan saja akan membuat mereka semakin besar kepala, tetapi di sisi lain juga akan membuat masyarakat setempat semakin menderita menjadi korban pemalakan maupun tindak kejahatan lainnya.
Kedua , karena aksi yang dilakukan KKB secara langsung maupun tidak langsung akan mencoreng dan menurunkan kredibilitas aparat penegak hukum. Kinerja aparat penegak hukum yang dikenal reputatif dalam berbagai aksi pembebasan sandera di berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri, kini kredibilitas mereka dipertaruhkan ketika harus menghadapi ulah KKB yang semakin meresahkan. Di negara hukum, ulah kelompok apa pun yang mengganggu hak warga, apalagi melakukan tindakan kejahatan, tentu tidak patut dibiarkan agar tidak terjadi krisis kepercayaan terhadap wibawa aparat.
Ketiga, karena aparat penegak hukum di Tanah Air perlu mengirim pesan kepada KKB yang lain agar tidak berbuat hal yang sama di mana pun di Indonesia. Bersikap kompromistis dan membiarkan ulah KKB lepas kendali dan menebar ketakutan di kalangan masyarakat akan membuat kelompok serupa semakin berani unjuk gigi. Dengan bersikap tegas dan memberantas ulah KKB yang meresahkan masyarakat, diharapkan nyali KKB yang lain akan surut dan berpikir seribu kali sebelum melakukan aksi yang sama.
(mhd)