Pembiayaan Saksi Pemilu oleh Negara
A
A
A
Jamaludin Ghafur
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII Yogyakarta, Kandidat Doktor FH UI Jakarta
DALAM sebuah kehidupan politik yang demokratis, pemilu memiliki makna yang sangat penting dan esensial yaitu sebagai sebuah mekanisme dalam memperebutkan kekuasaan (pengaruh) sehingga sirkulasi elite politik (pergantian kekuasaan) dapat dilakukan secara damai dan beradab.
Penyelesaian seluruh permasalahan bernegara termasuk urusan peralihan kekuasaan secara damai merupakan salah satu ciri penting dan sekaligus kelebihan dari ajaran demokrasi. Demokrasi adalah sistem yang memberi tempat yang memadai bagi usaha menyalurkan dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan secara damai, beradab, dan santun demi mencegah lahirnya berbagai ketegangan sosial dan tindakan kekerasan massal.
Karena itu, menurut J Kristiadi (2004) sekalipun sistem politik demokrasi bukan merupakan sistem yang sempurna tanpa cacat, ia tetap menjadi pilihan terbaik jika dibandingkan dengan sistem-sistem kekuasan yang lain, seperti sistem otoritarian, militer, oligarki dan lain-lain karena berbagai sistem yang disebut terakhir ini tidak dilengkapi dengan seperangkat (infrastruktur) yang dapat menjamin ditekannya kekerasan serendah mungkin.
Pemilu yang Berkualitas
Menyelenggarakan pemilu adalah perkara mudah, namun memastikan agar pelaksanaannya berkualitas dan berjalan sesuai dengan asas-asas pemilu yang luber dan jurdil adalah hal yang sulit. Salah satu hal yang dapat merusak kredibilitas pelaksanaan pemilu adalah terjadinya kecurangan. Oleh karena itu, tidak heran bila dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa hasil pemilihan umum menyatakan, kecurangan dalam pemilu yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif dapat menjadi alasan pembatalan hasil pemilu baik dengan memerintahkan dilakukannya penghitungan surat suara ulang dan bahkan pemilu ulang.
Dibentuknya beberapa lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang keberadaannya bersifat mandiri (independen) serta bebas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan manapun sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan bahwa seluruh proses dan tahapan pemilu berlangsung secara adil dan berkualitas tanpa cacat.
Namun, keberadaan lembaga dimaksud nampaknya belum bisa menggaransi tercapainya harapan tersebut. Bahkan sebagian dari anggota KPU dan Bawaslu/Panwaslu justru menjadi oknum pelaku kecurangan itu sendiri. Putusan DKPP yang memberikan sanksi baik administratif maupun pemberhentian kepada mereka merupakan bukti konkritnya. Karena itu, masing-masing partai politik (parpol) masih merasa perlu untuk menempatkan saksi saat pelaksanaan pemungutan suara untuk memastikan tidak ada kerugian dari adanya kecurangan.
Saksi Pemilu
Melihat sentralnya posisi saksi dalam mencegah pelanggaran pemilu mengindikasikan bahwa mayoritas masyarakat dan juga aparatur pemerintah kita baru berhukum secara artifisial belum secara substantif.
Secara konseptual, Soetandyo Wignjosoebroto (2007) membagi dua tahap kepatuhan masyarakat terhadap hukum yaitu: Pertama, formalisme dan positivistik di mana kepatuhan terhadap hukum disebabkan oleh “ketakutan” masyarakat terhadap ancaman sanksi pada aturan tersebut. Pada tingkat ini, kehadiran pengawas menjadi mutlak karena jika aparatur tidak ada, ketaatan pun tidak terjadi.
Kedua, ketaatan hukum yang bukan lagi semata-mata takut pada sanksi tetapi sudah pada tahap kesadaran bahwa aturan itu mengandung kebenaran, kebaikan bersama serta untuk kehidupan semesta yang lebih tertib dan aman. Ada dan tidaknya pengawas tidak akan berpengaruh besar pada kesadarannya untuk tetap setia pada pemihakannya akan sesuatu yang diyakini kebenaran dan kebaikannya tersebut.
Nampaknya, budaya berhukum kita masih pada level pertama sehingga penegakan aturan pendekatannya selalu dengan memperbanyak pengawas. Padahal menghadirkan saksi (pengawas) pemilu bukan perkara yang mudah karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bagi parpol besar yang secara finansial kuat tentu hal ini tidak jadi soal. Namun bagi parpol kecil yang tidak memiliki dukungan dana yang memadai hal ini tentu mustahil dilakukan.
Oleh karena itu, saya pribadi setuju dengan wacana agar negara membiayai saksi pemilu. Pertama, untuk mencipatakan keadilan. Bila salah satu upaya mencegah pemilu dari kecurangan adalah adanya saksi, maka jangan sampai negara membiarkan terjadinya suatu kondisi di mana parpol yang memiliki dana besar memperoleh kemenangan karena mampu membayar saksi sementara partai lainnya menjadi korban kecurangan sehingga mengalami kekalahan.
Kedua, yang sangat berkepentingan dengan berlangsungnya pemilu yang berkualitas adalah negara itu sendiri dalam rangka membangun demokrasi yang bermartabat. Oleh karena, sudah semestinya negara ikut terlibat dalam setiap tahap apapun guna memastikan pemilu berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ada.
Ketiga, mencegah potensi korupsi. Sudah jamak diketahui bahwa ongkos politik kita sangat besar. Biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap parpol dan caleg bukan hanya soal biaya saksi tetapi pembiayaan lainnya yang juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Padahal, besaran gaji yang akan diterima tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan selama pemilu. Akibatnya, jalan pintas korupsi menjadi tidak terhindarkan.
Perspektif Lain
Fakta bahwa sebagian besar masyarakat kita baru berhukum secara formalistik yang patuh aturan karena takut akan ancaman sanksi, harus direspon dengan pengetatan pengawasan dan pemberatan hukuman bagi siapapun yang melanggar. Bentuk hukuman yang ringan hanya akan menyebabkan para calon-calon pelanggar pemilu merasa tidak takut sedikitpun bila perbuatannya diketahui.
Pada sisi saksi, jika menempatkan satu saksi untuk satu TPS dirasa cukup membebani anggaran parpol maupun APBN, kenapa tidak memamfaatkan teknologi sebagai pengganti manusia untuk menjalankan pengawasan. KPU dapat mengambil kebijakan bahwa seluruh tahapan pemilu yang sangat penting terutama pada saat pemungutan dan penghitungan suara diwajibkan untuk direkam sehingga semua berjalan transparan. Tidak boleh ada satupun kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu pada hari pecoblosan sampai penetapan pemenang pemilu yang luput dari sorotan kamera sehingga hal ini diharapkan dapat mengurangi atau bahkan mencegah seseorang untuk berbuat curang.
Dengan demikian, guna memastikan apakah telah terjadi kecurangan atau tidak, tidak perlu lagi menghadirkan saksi di TPS karena masing-masing parpol dapat memeriksanya melalui rekaman video dimaksud. Secara yuridis, hasil rekaman baik suara maupun visual asalkan dilakukan dengan cara-cara yang legal dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak kejahatan atau pelanggaran. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII Yogyakarta, Kandidat Doktor FH UI Jakarta
DALAM sebuah kehidupan politik yang demokratis, pemilu memiliki makna yang sangat penting dan esensial yaitu sebagai sebuah mekanisme dalam memperebutkan kekuasaan (pengaruh) sehingga sirkulasi elite politik (pergantian kekuasaan) dapat dilakukan secara damai dan beradab.
Penyelesaian seluruh permasalahan bernegara termasuk urusan peralihan kekuasaan secara damai merupakan salah satu ciri penting dan sekaligus kelebihan dari ajaran demokrasi. Demokrasi adalah sistem yang memberi tempat yang memadai bagi usaha menyalurkan dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan secara damai, beradab, dan santun demi mencegah lahirnya berbagai ketegangan sosial dan tindakan kekerasan massal.
Karena itu, menurut J Kristiadi (2004) sekalipun sistem politik demokrasi bukan merupakan sistem yang sempurna tanpa cacat, ia tetap menjadi pilihan terbaik jika dibandingkan dengan sistem-sistem kekuasan yang lain, seperti sistem otoritarian, militer, oligarki dan lain-lain karena berbagai sistem yang disebut terakhir ini tidak dilengkapi dengan seperangkat (infrastruktur) yang dapat menjamin ditekannya kekerasan serendah mungkin.
Pemilu yang Berkualitas
Menyelenggarakan pemilu adalah perkara mudah, namun memastikan agar pelaksanaannya berkualitas dan berjalan sesuai dengan asas-asas pemilu yang luber dan jurdil adalah hal yang sulit. Salah satu hal yang dapat merusak kredibilitas pelaksanaan pemilu adalah terjadinya kecurangan. Oleh karena itu, tidak heran bila dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa hasil pemilihan umum menyatakan, kecurangan dalam pemilu yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif dapat menjadi alasan pembatalan hasil pemilu baik dengan memerintahkan dilakukannya penghitungan surat suara ulang dan bahkan pemilu ulang.
Dibentuknya beberapa lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang keberadaannya bersifat mandiri (independen) serta bebas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan manapun sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan bahwa seluruh proses dan tahapan pemilu berlangsung secara adil dan berkualitas tanpa cacat.
Namun, keberadaan lembaga dimaksud nampaknya belum bisa menggaransi tercapainya harapan tersebut. Bahkan sebagian dari anggota KPU dan Bawaslu/Panwaslu justru menjadi oknum pelaku kecurangan itu sendiri. Putusan DKPP yang memberikan sanksi baik administratif maupun pemberhentian kepada mereka merupakan bukti konkritnya. Karena itu, masing-masing partai politik (parpol) masih merasa perlu untuk menempatkan saksi saat pelaksanaan pemungutan suara untuk memastikan tidak ada kerugian dari adanya kecurangan.
Saksi Pemilu
Melihat sentralnya posisi saksi dalam mencegah pelanggaran pemilu mengindikasikan bahwa mayoritas masyarakat dan juga aparatur pemerintah kita baru berhukum secara artifisial belum secara substantif.
Secara konseptual, Soetandyo Wignjosoebroto (2007) membagi dua tahap kepatuhan masyarakat terhadap hukum yaitu: Pertama, formalisme dan positivistik di mana kepatuhan terhadap hukum disebabkan oleh “ketakutan” masyarakat terhadap ancaman sanksi pada aturan tersebut. Pada tingkat ini, kehadiran pengawas menjadi mutlak karena jika aparatur tidak ada, ketaatan pun tidak terjadi.
Kedua, ketaatan hukum yang bukan lagi semata-mata takut pada sanksi tetapi sudah pada tahap kesadaran bahwa aturan itu mengandung kebenaran, kebaikan bersama serta untuk kehidupan semesta yang lebih tertib dan aman. Ada dan tidaknya pengawas tidak akan berpengaruh besar pada kesadarannya untuk tetap setia pada pemihakannya akan sesuatu yang diyakini kebenaran dan kebaikannya tersebut.
Nampaknya, budaya berhukum kita masih pada level pertama sehingga penegakan aturan pendekatannya selalu dengan memperbanyak pengawas. Padahal menghadirkan saksi (pengawas) pemilu bukan perkara yang mudah karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bagi parpol besar yang secara finansial kuat tentu hal ini tidak jadi soal. Namun bagi parpol kecil yang tidak memiliki dukungan dana yang memadai hal ini tentu mustahil dilakukan.
Oleh karena itu, saya pribadi setuju dengan wacana agar negara membiayai saksi pemilu. Pertama, untuk mencipatakan keadilan. Bila salah satu upaya mencegah pemilu dari kecurangan adalah adanya saksi, maka jangan sampai negara membiarkan terjadinya suatu kondisi di mana parpol yang memiliki dana besar memperoleh kemenangan karena mampu membayar saksi sementara partai lainnya menjadi korban kecurangan sehingga mengalami kekalahan.
Kedua, yang sangat berkepentingan dengan berlangsungnya pemilu yang berkualitas adalah negara itu sendiri dalam rangka membangun demokrasi yang bermartabat. Oleh karena, sudah semestinya negara ikut terlibat dalam setiap tahap apapun guna memastikan pemilu berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ada.
Ketiga, mencegah potensi korupsi. Sudah jamak diketahui bahwa ongkos politik kita sangat besar. Biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap parpol dan caleg bukan hanya soal biaya saksi tetapi pembiayaan lainnya yang juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Padahal, besaran gaji yang akan diterima tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan selama pemilu. Akibatnya, jalan pintas korupsi menjadi tidak terhindarkan.
Perspektif Lain
Fakta bahwa sebagian besar masyarakat kita baru berhukum secara formalistik yang patuh aturan karena takut akan ancaman sanksi, harus direspon dengan pengetatan pengawasan dan pemberatan hukuman bagi siapapun yang melanggar. Bentuk hukuman yang ringan hanya akan menyebabkan para calon-calon pelanggar pemilu merasa tidak takut sedikitpun bila perbuatannya diketahui.
Pada sisi saksi, jika menempatkan satu saksi untuk satu TPS dirasa cukup membebani anggaran parpol maupun APBN, kenapa tidak memamfaatkan teknologi sebagai pengganti manusia untuk menjalankan pengawasan. KPU dapat mengambil kebijakan bahwa seluruh tahapan pemilu yang sangat penting terutama pada saat pemungutan dan penghitungan suara diwajibkan untuk direkam sehingga semua berjalan transparan. Tidak boleh ada satupun kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu pada hari pecoblosan sampai penetapan pemenang pemilu yang luput dari sorotan kamera sehingga hal ini diharapkan dapat mengurangi atau bahkan mencegah seseorang untuk berbuat curang.
Dengan demikian, guna memastikan apakah telah terjadi kecurangan atau tidak, tidak perlu lagi menghadirkan saksi di TPS karena masing-masing parpol dapat memeriksanya melalui rekaman video dimaksud. Secara yuridis, hasil rekaman baik suara maupun visual asalkan dilakukan dengan cara-cara yang legal dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak kejahatan atau pelanggaran. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(pur)