Mau Dibawa ke Mana UMKM Kita?

Selasa, 23 Oktober 2018 - 07:32 WIB
Mau Dibawa ke Mana UMKM...
Mau Dibawa ke Mana UMKM Kita?
A A A
Fajar B Hirawan
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Jakarta dan
Pengajar School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia

TIDAK terasa sudah empat tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)–Jusuf Kalla (JK) berjalan sejak 2014. Masyarakat Indonesia pun akan memperoleh kesempatan untuk kembali mengevaluasi kinerja pemerintahan di segala bidang, khususnya bidang ekonomi yang selalu menjadi topik paling hangat diperdebatkan dan diperbincangkan di berbagai media.

Capaian ekonomi pemerintahan Jokowi-JK memang seringkali menjadi bahan narasi yang paling sering disampaikan oleh pihak petahana dan direspons oleh pihak oposisi dari dua sudut pandang yang berbeda. Adanya dua perspektif yang berbeda terkait kinerja ekonomi pemerintah saat ini pada akhirnya dapat berdampak secara langsung terhadap persepsi pemilih potensial, khususnya bagi yang masih belum dapat menentukan pilihan politiknya pada April 2019.

Meskipun pemerintahan saat ini sudah berupaya keras untuk menjaga stabilitas dan mendorong tren positif perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global, namun persepsi negatif dan ketidakpuasan masih gencar dikemukakan oleh beberapa pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Hal tersebut sangatlah wajar dan memang tidak dapat dihindari dalam iklim demokrasi di Indonesia, apalagi yang saat ini sudah memasuki tahun politik. Sebagai peneliti dan akademisi, objektivitas dalam menilai capaian ekonomi pemerintahan Jokowi-JK selama empat tahun terakhir sangat penting agar dapat memberikan catatan dan rekomendasi yang mampu mendorong perbaikan ekonomi ke depan.

Industri usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan salah satu isu ekonomi yang kemungkinan besar akan selalu diperdebatkan oleh dua belah pihak, baik dari pihak petahana maupun oposisi. Pada pertengahan 2018 Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh dari wajib pajak yang memiliki peredaran bruto atau omzet sampai Rp4,8 miliar dalam satu tahun.

Pokok kebijakan ini terkait penurunan PPh final UMKM dari 1% menjadi 0,5%. Keberadaan kebijakan ini diharapkan dapat mendorong sektor UMKM untuk berperan secara aktif dalam mewujudkan kegiatan ekonomi formal. Formalisasi kegiatan UMKM ini dapat dimulai dengan pembayaran pajak yang lebih berkeadilan sehingga sektor ini dapat menjadi salah satu pilar ketahanan ekonomi nasional.

Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) menunjukkan peningkatan rata-rata pelaku UMKM baru di Indonesia selama 2013-2016 mencapai 1 juta per tahun dari sebanyak 56,5 juta pada 2013 menjadi 59,7 juta UMKM pada 2016. Pada 2018 Kementerian Koperasi dan UKM menargetkan jumlah UMKM mencapai 4% dari jumlah penduduk dan 5% pada akhir 2019.

Dari sisi ketenagakerjaan, sektor UMKM menyerap lebih dari 107 juta tenaga kerja pada 2013 dan meningkat menjadi 132,33 juta tenaga kerja pada 2016. Jumlah tenaga kerja di sektor UMKM terus meningkat dengan rata-rata peningkatan sebanyak 7-8 juta tenaga kerja baru tiap tahunnya dan diharapkan akan terus berlanjut hingga 2019. Sementara dari sisi pendapatan nasional atau produk domestik bruto (PDB), sektor UMKM berkontribusi di kisaran 57-60% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sejak 2008. Angka ini melebihi kontribusi usaha besar yang hanya berkisar 38-40%. Dari tiga indikator tersebut, pemerintah tampaknya cukup jeli melihat peluang dan prospek sektor UMKM di Indonesia yang memang cukup menjanjikan.

Namun, ada beberapa catatan yang perlu dibenahi di balik fakta positif industri UMKM. Masih minimnya alokasi dan akses kredit perbankan untuk sektor UMKM merupakan salah satu hal utama yang perlu dibenahi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI), industri usaha besar masih menjadi prioritas penyaluran kredit oleh perbankan yang mencapai rata-rata 78-80% dari total kredit yang telah disalurkan. Sedangkan industri UMKM hanya memperoleh sekitar 18-20%.

Dominasi sektor pertanian (49%) dalam industri UMKM, yang cenderung berisiko tinggi, tampaknya menjadi salah satu alasan utama mengapa sektor perbankan enggan menyalurkan kreditnya. Sementara itu, kontribusi industri UMKM terhadap total ekspor Indonesia yang masih di kisaran 15-17% atau di bawah rata-rata negara ASEAN lainnya merupakan hal lain yang perlu segera dibenahi ke depannya. Dua catatan di atas merupakan permasalahan yang perlu segera ditangani oleh pemerintah di tengah keterbatasan kapasitas UMKM Indonesia saat ini, baik dari segi manajemen, produksi, maupun inovasi.

Dalam rangka pengembangan usaha dan peningkatan produktivitas UMKM, beberapa pelaku UMKM mulai menggunakan platform digital dalam menjalankan usahanya dan jumlahnya terus meningkat. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM memperlihatkan bahwa UMKM yang telah menggunakan platform digital meningkat cukup signifikan dari hanya 2,37 juta orang pada 2013 menjadi 3,79 juta orang pada 2015 atau meningkat sebesar 60%. Semakin membaiknya infrastruktur komunikasi dan telekomunikasi di Indonesia disertai penurunan PPh final UMKM diharapkan mampu meningkatkan pelaku UMKM digital serta mendorong mereka untuk terus berinovasi di era Revolusi Industri 4.0.

Jadi, jika dapat disimpulkan secara lebih merinci, capaian, catatan, dan peluang terkait industri UMKM di Indonesia perlu disikapi secara cermat dan tepat sehingga ada kejelasan mengenai arah pengembangan sektor UMKM ke depan. Penurunan PPh final UMKM misalnya yang bertujuan mengurangi beban pajak bagi para pelaku UMKM dapat mendorong lahirnya UMKM baru, baik tradisional maupun digital.

Kemudian, dengan lahirnya UMKM baru, secara otomatis hal ini dapat mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja di industri UMKM serta peningkatan kontribusi UMKM terhadap PDB di Indonesia. Terkait kontribusi UMKM terhadap PDB, angkanya diharapkan dapat mencapai minimal 65-70% tiap tahunnya terhadap PDB Indonesia.

Mengenai alokasi kredit yang hanya berkisar 17-20% untuk industri UMKM dirasakan masih cukup rendah dan pemerintah perlu terus meningkatkan persentase tersebut sehingga para pelaku UMKM memiliki ruang yang lebih besar untuk mengembangkan usahanya dan lebih berorientasi ekspor. Komposisi industri UMKM yang cukup besar di Indonesia (di atas 95%) berdasarkan World Bank Enterprises Survey cenderung menjadikan industri UMKM rentan mengalami fenomena “missing middle,” yang berarti sulit untuk naik kelas ke industri yang lebih besar.

Pada akhirnya, keseriusan pemerintah dalam memberikan arah yang lebih jelas bagi pengembangan industri UMKM sangat krusial, khususnya terkait dengan pengintegrasian UMKM dengan ekonomi digital serta lebih mendorong industri UMKM berorientasi ekspor agar industri UMKM dapat menjadi salah satu pilar utama ketahanan ekonomi nasional.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0788 seconds (0.1#10.140)