Bertahan dengan Inflasi Rendah
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SATU di antara ciri perekonomian era Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah torehan inflasi yang relatif stabil pada kisaran yang rendah. Pada September kemarin bahkan ekonomi kita tercatat mengalami deflasi sebesar 0,18% (mtm). Dari 82 kabupaten/kota yang menjadi daerah pengamatan, 66 daerah di antaranya secara simultan mengalami deflasi.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan deflasi tertinggi terjadi di Kota Pare-pare yang mengalami perubahan harga -1,59%. Inflasi tertinggi berada di Kota Bengkulu yang mentok di angka 0,59%. Jika dibandingkan dengan IHK September 2017, posisi inflasi kita kemarin tercatat meningkat 2,88% (yoy). Adapun inflasi tahunan selama Januari—September 2018 secara agregat mencapai 1,94%.
Kejadian deflasi kemarin didorong oleh penurunan harga kelompok bahan makanan yang tercatat berkurang 0,35%. Kelompok pengeluaran lain mengalami inflasi tipis berkisar 0,02-0,05%, kecuali kelompok transportasi yang menemani kelompok bahan makanan dengan deflasi sebesar 0,01%.
Persoalan inflasi tentu tidak bisa kita simplifikasi sebatas sebagai sebuah angka karena inflasi terkoneksi dengan berbagai urusan lainnya. Pertama, inflasi menjadi indikator stabilitas harga pasar. Di dalamnya ada determinan tingkat daya beli, permintaan (konsumsi), dan penawaran (produksi/distribusi).
Kedua, inflasi juga memengaruhi psikologis pasar, baik apakah itu sebagai produsen maupun konsumen. Ketika inflasi menjadi kurang terkendali, risikonya adalah lemahnya pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Sebab, pada saat inflasi tinggi, konsumen biasanya akan menahan belanjanya, terutama pada barang sekunder dan tersier.
Kalau sudah demikian, produsen yang akan segera terdampak dengan menahan sebagian produksinya. Nanti persoalan ini akan menggelinding pada tingkat pendapatan tenaga kerja dan jumlah lapangan kerja yang dikelola produsen.
Beda lagi kasusnya jika inflasi menyasar kepada kelompok barang primer. Isunya makin runyam karena berkaitan langsung dengan standar hidup dan kesejahteraan. Ketika barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat sudah sulit dijangkau, maka risikonya adalah semakin banyaknya penduduk miskin dan menjurus pada potensi konflik.
Ketiga, inflasi juga menjadi sumbu daya saing investasi. Inflasi yang tinggi akan membuat tingkat suku bunga kita menjadi kurang kompetitif. Hal demikian akan segera berlanjut pada tekanan kurs rupiah.
Dalam kacamata penulis, torehan inflasi sepertinya menjadi satu-satunya indikator makroekonomi yang kinerjanya terbilang positif (dalam arti on target) pada 2018. Pertumbuhan ekonomi kemungkinan tidak akan sesuai target asumsi APBN 2018 yakni sebesar 5,4%.
Outlook pertumbuhan yang paling realistis menurut beberapa lembaga berada di kisaran 5,2%. Untuk kurs rupiah, kita masih menghadapi episode yang berat karena berbagai tekanan eksternal. The Fed (Bank Sentral AS) membuat banyak negara mengoreksi kebijakan moneternya. Akibat kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang dilakukan beberapa kali oleh The Fed, rupiah mengalami depresiasi secara gradual.
Sejak awal 2018 hingga pekan kedua Oktober 2018 tercatat rupiah mengalami depresiasi sekitar 13,24%. Jika dikomparasikan dengan negara-negara lain di ASEAN, depresiasi kita menjadi yang tertinggi kedua di bawah Myanmar (14,37%).
Adapun kompetitor utama kita di lingkup ASEAN seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia sukses menahan laju depresiasi hingga di bawah 4%. Surplus ekspor yang kita raih pada September 2018 ternyata tidak cukup banyak membantu penguatan rupiah.
Malahan sejak Oktober kemarin nilai tukar kita sudah menembus batas psikologis Rp15.000/USD. Per 19 Oktober 2018 kurs rupiah kita berdasarkan referensi JISDOR tengah berada pada posisi Rp15.221 per USD.
Kita memerlukan strategi yang lebih mendalam lagi agar nilai tukar rupiah tidak terus-terusan jeblok. Apalagi, situasi ketergantungan impor yang menjangkit pada beberapa komoditas strategis akan membuat harga barang tersebut menjadi relatif lebih mahal. Kita perlu berhati-hati dengan inflasi “kiriman” atas peningkatan biaya impor.
Cara Bertahan
Kendati rupiah terus mengalami tekanan, kita perlu berupaya ekstra menjaga agar tingkat inflasi kita tetap di kisaran yang rendah. Paling tidak dengan inflasi yang rendah bisa membuat harga tetap terjangkau dan tidak banyak mengganggu daya beli masyarakat.
Kejadian deflasi kemarin juga perlu dipertimbangkan apakah itu sebuah fenomena yang baik atau malah sebaliknya. Karena, deflasi bisa saja menjadi sebuah alarm jika faktor penyebabnya adalah kondisi pasar yang lesu akibat penurunan daya beli masyarakat. Kita perlu mencari cara bertahan yang paling tepat agar stabilitas perekonomian kita senantiasa terjaga.
Pertama, kita perlu menggenjot lebih keras lagi surplus perdagangan ke luar negeri (ekspor) secara gradual. Tujuan utamanya untuk meningkatkan cadangan devisa, memperkuat nilai tukar rupiah, serta memperbaiki kondisi psikologis pelaku usaha domestik.
Nilai tukar dan inflasi bisa berkaitan erat karena sebagian stok barang kita dihasilkan dari impor, terutama bahan baku/penolong serta barang modal. Belum sinkronnya antara surplus perdagangan dan penguatan rupiah pada September kemarin masih bisa kita maklumi karena bisa saja sistem pembayarannya ada lag.
Jadi dampak dari surplus tersebut belum bisa dinikmati serta-merta. Apalagi, secara agregat kita juga masih mengalami defisit perdagangan sekitar USD3,78 miliar.
Untuk mendukung penguatan ekspor, pemerintah dapat menyiapkan beberapa jenis insentif. Pemerintah sudah melemparkan wacana diterapkannya tax holiday (pengurangan pajak penghasilan badan) pada produsen beberapa komoditas, dan fasilitas bea cukai berupa kemudahan prosedur keluar-masuk barang pada kawasan berikat.
Selain itu, pemerintah juga berencana menerbitkan letter of credit (L/C) menarik para eksportir untuk menaruh dana hasil ekspor (DHE) ke dalam negeri. Di luar itu pemerintah juga perlu mempertimbangkan kebijakan sejenis untuk eksportir-eksportir yang memiliki usaha progresif untuk ekspor dan menyerap banyak tenaga kerja.
Kedua, tingkat suku bunga perlu ditata lebih atraktif lagi untuk mendorong daya investasi dan konsumsi masyarakat. Dalam pandangan penulis, kita ini sejatinya berada dalam kategori negara yang perekonomiannya progresif jika tingkat suku bunganya rendah. Sebabnya, tingkat suku bunga yang tinggi itu sama saja dengan mengebiri semangat investasi dan konsumsi.
Karena itu, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter perlu berhati-hati dalam menetapkan tingkat suku bunga. Suku bunga yang terus meningkat dan perekonomian yang cenderung masih uncertainty membuat masyarakat kini lebih memilih menyimpan dananya di bank.
Awal bulan ini Ketua Dewan Komisioner OJK sudah mengatakan ada likuiditas industri keuangan sebesar Rp500 triliun. BI dan OJK perlu berhati-hati dengan kondisi loan to deposit ratio (LDR). Berdasarkan survei perbankan yang dilakukan BI pada triwulan III-2018, saldo bersih tertimbang (SBT) dana pihak ketiga (DPK) kemungkinan akan kembali meningkat pada triwulan IV-2018. Angka SBT DPK pada periode tersebut 91,7% lebih tinggi daripada triwulan III yang hanya sebesar 88,3%.
Angka ini dapat diterjemahkan sebagai optimisme masyarakat untuk menyimpan uangnya di perbankan. Realisasi DPK tahun ini juga diprediksi BI akan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang tercapai 9,4%.
Sementara itu, pertumbuhan triwulanan (qtq) kredit baru pada triwulan III-2018 tercatat melambat dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini tercermin dari SBT permintaan kredit baru sebesar 21,2%, yang lebih rendah dari 90,3% pada triwulan sebelumnya.
Perlambatan pertumbuhan permintaan kredit baru terjadi pada semua jenis penggunaan kredit, terindikasi dari penurunan SBT permintaan kredit modal kerja dari 90,2% menjadi 69,8%, kredit investasi dari 73,8% menjadi 68,9%, dan kredit konsumsi dari 36,6% menjadi 26,8%. Otoritas moneter perlu berhati-hati dengan kenaikan tingkat suku bunga kredit pada triwulan IV-2018 sebagai dampak penyesuaian terhadap kenaikan tingkat suku bunga acuan.
Berdasarkan survei BI tersebut, rata-rata suku bunga kredit investasi diperkirakan naik 4 bps menjadi 11,66% dan suku bunga kredit konsumsi naik 8 bps menjadi 13,36%. Sedangkan suku bunga kredit modal kerja akan stabil pada level 11,44%.
Ketiga, jika investasi dengan nilai besar masih cenderung wait and see, sementara “negosiasi” terhadap kredit produktif dari perbankan masih alot dan ketat, maka yang dapat kita lakukan adalah dengan meningkatkan investasi mandiri.
Skema ini dapat diterapkan melalui usaha mikro dan kecil yang selama ini tidak banyak bersinggungan dengan kalangan perbankan. Namun, peran mereka tidak bisa disepelekan terhadap stabilitas inflasi, khususnya terhadap produsen bahan dan makanan-minuman jadi.
Peluang terbesarnya berada di tangan pengelola dana desa karena sebagian besar usaha mikro dan kecil tersebut hidupnya di daerah perdesaan. Dana desa dapat dimanfaatkan untuk pengembangan infrastruktur, pembiayaan produktif, serta kepentingan jangka panjang lainnya.
Dan keempat, mengajak para pengusaha dan produsen untuk share the pain (berempati). Dengan kondisi yang sekarang terjadi, kita sangat berharap para pengusaha dapat menahan egonya sedikit agar tidak “merepotkan” masyarakat. Mereka dapat membantu perekonomian misalnya dengan mengurangi sedikit ekspektasi profitnya.
Alasannya karena situasi perekonomian yang sekarang belum bisa dikatakan dalam kondisi yang sehat lahir dan batin. Selain itu, agar harga jual produknya masih terjangkau oleh masyarakat. Jadi perlu ada win-win solutions agar kinerja produksinya tetap berjalan (menerima profit) di tengah daya beli masyarakat yang masih tertahan dan menunggu seperti saat ini.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SATU di antara ciri perekonomian era Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah torehan inflasi yang relatif stabil pada kisaran yang rendah. Pada September kemarin bahkan ekonomi kita tercatat mengalami deflasi sebesar 0,18% (mtm). Dari 82 kabupaten/kota yang menjadi daerah pengamatan, 66 daerah di antaranya secara simultan mengalami deflasi.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan deflasi tertinggi terjadi di Kota Pare-pare yang mengalami perubahan harga -1,59%. Inflasi tertinggi berada di Kota Bengkulu yang mentok di angka 0,59%. Jika dibandingkan dengan IHK September 2017, posisi inflasi kita kemarin tercatat meningkat 2,88% (yoy). Adapun inflasi tahunan selama Januari—September 2018 secara agregat mencapai 1,94%.
Kejadian deflasi kemarin didorong oleh penurunan harga kelompok bahan makanan yang tercatat berkurang 0,35%. Kelompok pengeluaran lain mengalami inflasi tipis berkisar 0,02-0,05%, kecuali kelompok transportasi yang menemani kelompok bahan makanan dengan deflasi sebesar 0,01%.
Persoalan inflasi tentu tidak bisa kita simplifikasi sebatas sebagai sebuah angka karena inflasi terkoneksi dengan berbagai urusan lainnya. Pertama, inflasi menjadi indikator stabilitas harga pasar. Di dalamnya ada determinan tingkat daya beli, permintaan (konsumsi), dan penawaran (produksi/distribusi).
Kedua, inflasi juga memengaruhi psikologis pasar, baik apakah itu sebagai produsen maupun konsumen. Ketika inflasi menjadi kurang terkendali, risikonya adalah lemahnya pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Sebab, pada saat inflasi tinggi, konsumen biasanya akan menahan belanjanya, terutama pada barang sekunder dan tersier.
Kalau sudah demikian, produsen yang akan segera terdampak dengan menahan sebagian produksinya. Nanti persoalan ini akan menggelinding pada tingkat pendapatan tenaga kerja dan jumlah lapangan kerja yang dikelola produsen.
Beda lagi kasusnya jika inflasi menyasar kepada kelompok barang primer. Isunya makin runyam karena berkaitan langsung dengan standar hidup dan kesejahteraan. Ketika barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat sudah sulit dijangkau, maka risikonya adalah semakin banyaknya penduduk miskin dan menjurus pada potensi konflik.
Ketiga, inflasi juga menjadi sumbu daya saing investasi. Inflasi yang tinggi akan membuat tingkat suku bunga kita menjadi kurang kompetitif. Hal demikian akan segera berlanjut pada tekanan kurs rupiah.
Dalam kacamata penulis, torehan inflasi sepertinya menjadi satu-satunya indikator makroekonomi yang kinerjanya terbilang positif (dalam arti on target) pada 2018. Pertumbuhan ekonomi kemungkinan tidak akan sesuai target asumsi APBN 2018 yakni sebesar 5,4%.
Outlook pertumbuhan yang paling realistis menurut beberapa lembaga berada di kisaran 5,2%. Untuk kurs rupiah, kita masih menghadapi episode yang berat karena berbagai tekanan eksternal. The Fed (Bank Sentral AS) membuat banyak negara mengoreksi kebijakan moneternya. Akibat kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang dilakukan beberapa kali oleh The Fed, rupiah mengalami depresiasi secara gradual.
Sejak awal 2018 hingga pekan kedua Oktober 2018 tercatat rupiah mengalami depresiasi sekitar 13,24%. Jika dikomparasikan dengan negara-negara lain di ASEAN, depresiasi kita menjadi yang tertinggi kedua di bawah Myanmar (14,37%).
Adapun kompetitor utama kita di lingkup ASEAN seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia sukses menahan laju depresiasi hingga di bawah 4%. Surplus ekspor yang kita raih pada September 2018 ternyata tidak cukup banyak membantu penguatan rupiah.
Malahan sejak Oktober kemarin nilai tukar kita sudah menembus batas psikologis Rp15.000/USD. Per 19 Oktober 2018 kurs rupiah kita berdasarkan referensi JISDOR tengah berada pada posisi Rp15.221 per USD.
Kita memerlukan strategi yang lebih mendalam lagi agar nilai tukar rupiah tidak terus-terusan jeblok. Apalagi, situasi ketergantungan impor yang menjangkit pada beberapa komoditas strategis akan membuat harga barang tersebut menjadi relatif lebih mahal. Kita perlu berhati-hati dengan inflasi “kiriman” atas peningkatan biaya impor.
Cara Bertahan
Kendati rupiah terus mengalami tekanan, kita perlu berupaya ekstra menjaga agar tingkat inflasi kita tetap di kisaran yang rendah. Paling tidak dengan inflasi yang rendah bisa membuat harga tetap terjangkau dan tidak banyak mengganggu daya beli masyarakat.
Kejadian deflasi kemarin juga perlu dipertimbangkan apakah itu sebuah fenomena yang baik atau malah sebaliknya. Karena, deflasi bisa saja menjadi sebuah alarm jika faktor penyebabnya adalah kondisi pasar yang lesu akibat penurunan daya beli masyarakat. Kita perlu mencari cara bertahan yang paling tepat agar stabilitas perekonomian kita senantiasa terjaga.
Pertama, kita perlu menggenjot lebih keras lagi surplus perdagangan ke luar negeri (ekspor) secara gradual. Tujuan utamanya untuk meningkatkan cadangan devisa, memperkuat nilai tukar rupiah, serta memperbaiki kondisi psikologis pelaku usaha domestik.
Nilai tukar dan inflasi bisa berkaitan erat karena sebagian stok barang kita dihasilkan dari impor, terutama bahan baku/penolong serta barang modal. Belum sinkronnya antara surplus perdagangan dan penguatan rupiah pada September kemarin masih bisa kita maklumi karena bisa saja sistem pembayarannya ada lag.
Jadi dampak dari surplus tersebut belum bisa dinikmati serta-merta. Apalagi, secara agregat kita juga masih mengalami defisit perdagangan sekitar USD3,78 miliar.
Untuk mendukung penguatan ekspor, pemerintah dapat menyiapkan beberapa jenis insentif. Pemerintah sudah melemparkan wacana diterapkannya tax holiday (pengurangan pajak penghasilan badan) pada produsen beberapa komoditas, dan fasilitas bea cukai berupa kemudahan prosedur keluar-masuk barang pada kawasan berikat.
Selain itu, pemerintah juga berencana menerbitkan letter of credit (L/C) menarik para eksportir untuk menaruh dana hasil ekspor (DHE) ke dalam negeri. Di luar itu pemerintah juga perlu mempertimbangkan kebijakan sejenis untuk eksportir-eksportir yang memiliki usaha progresif untuk ekspor dan menyerap banyak tenaga kerja.
Kedua, tingkat suku bunga perlu ditata lebih atraktif lagi untuk mendorong daya investasi dan konsumsi masyarakat. Dalam pandangan penulis, kita ini sejatinya berada dalam kategori negara yang perekonomiannya progresif jika tingkat suku bunganya rendah. Sebabnya, tingkat suku bunga yang tinggi itu sama saja dengan mengebiri semangat investasi dan konsumsi.
Karena itu, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter perlu berhati-hati dalam menetapkan tingkat suku bunga. Suku bunga yang terus meningkat dan perekonomian yang cenderung masih uncertainty membuat masyarakat kini lebih memilih menyimpan dananya di bank.
Awal bulan ini Ketua Dewan Komisioner OJK sudah mengatakan ada likuiditas industri keuangan sebesar Rp500 triliun. BI dan OJK perlu berhati-hati dengan kondisi loan to deposit ratio (LDR). Berdasarkan survei perbankan yang dilakukan BI pada triwulan III-2018, saldo bersih tertimbang (SBT) dana pihak ketiga (DPK) kemungkinan akan kembali meningkat pada triwulan IV-2018. Angka SBT DPK pada periode tersebut 91,7% lebih tinggi daripada triwulan III yang hanya sebesar 88,3%.
Angka ini dapat diterjemahkan sebagai optimisme masyarakat untuk menyimpan uangnya di perbankan. Realisasi DPK tahun ini juga diprediksi BI akan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang tercapai 9,4%.
Sementara itu, pertumbuhan triwulanan (qtq) kredit baru pada triwulan III-2018 tercatat melambat dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini tercermin dari SBT permintaan kredit baru sebesar 21,2%, yang lebih rendah dari 90,3% pada triwulan sebelumnya.
Perlambatan pertumbuhan permintaan kredit baru terjadi pada semua jenis penggunaan kredit, terindikasi dari penurunan SBT permintaan kredit modal kerja dari 90,2% menjadi 69,8%, kredit investasi dari 73,8% menjadi 68,9%, dan kredit konsumsi dari 36,6% menjadi 26,8%. Otoritas moneter perlu berhati-hati dengan kenaikan tingkat suku bunga kredit pada triwulan IV-2018 sebagai dampak penyesuaian terhadap kenaikan tingkat suku bunga acuan.
Berdasarkan survei BI tersebut, rata-rata suku bunga kredit investasi diperkirakan naik 4 bps menjadi 11,66% dan suku bunga kredit konsumsi naik 8 bps menjadi 13,36%. Sedangkan suku bunga kredit modal kerja akan stabil pada level 11,44%.
Ketiga, jika investasi dengan nilai besar masih cenderung wait and see, sementara “negosiasi” terhadap kredit produktif dari perbankan masih alot dan ketat, maka yang dapat kita lakukan adalah dengan meningkatkan investasi mandiri.
Skema ini dapat diterapkan melalui usaha mikro dan kecil yang selama ini tidak banyak bersinggungan dengan kalangan perbankan. Namun, peran mereka tidak bisa disepelekan terhadap stabilitas inflasi, khususnya terhadap produsen bahan dan makanan-minuman jadi.
Peluang terbesarnya berada di tangan pengelola dana desa karena sebagian besar usaha mikro dan kecil tersebut hidupnya di daerah perdesaan. Dana desa dapat dimanfaatkan untuk pengembangan infrastruktur, pembiayaan produktif, serta kepentingan jangka panjang lainnya.
Dan keempat, mengajak para pengusaha dan produsen untuk share the pain (berempati). Dengan kondisi yang sekarang terjadi, kita sangat berharap para pengusaha dapat menahan egonya sedikit agar tidak “merepotkan” masyarakat. Mereka dapat membantu perekonomian misalnya dengan mengurangi sedikit ekspektasi profitnya.
Alasannya karena situasi perekonomian yang sekarang belum bisa dikatakan dalam kondisi yang sehat lahir dan batin. Selain itu, agar harga jual produknya masih terjangkau oleh masyarakat. Jadi perlu ada win-win solutions agar kinerja produksinya tetap berjalan (menerima profit) di tengah daya beli masyarakat yang masih tertahan dan menunggu seperti saat ini.
(poe)