Menyoal Perlindungan Sosial kepada Pekerja
A
A
A
Subiyanto
Anggota DJSN RI unsur Pekerja dan Pengurus DPP KSPSI
INDONESIA pada 19 Oktober 2018 memperingati 14 tahun ditandatanganinya Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Lahirnya UU ini merupakan amanat dari sila kelima Pancasila dan konstitusi negara UUD 1945 Pasal 28H ayat (2), yaitu negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Secara filosofi itu sudah mengamanatkan agar negara hadir untuk memberikan perlindungan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya pekerja yang notabene sebagai kelompok masyarakat rentan. Bahwa tujuan yang paling mendasar dari SJSN adalah sebagai jaring pengaman (safety net) untuk menghadapi risiko sosial dalam kehidupan pekerja.
Karena dengan SJSN, pekerja seharusnya dimungkinkan mampu mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya dan yang lebih penting tidak menjadikannya sebagai masyarakat yang tidak mampu, bahkan menjadi miskin yang akan menjadi beban negara dengan memberikan subsidi. Maka hakikat kehadiran SJSN adalah untuk mempertahankan kemampuan masyarakat dalam hal ini pekerja jika terjadi risiko sosial, agar tidak menjadi masyarakat yang tidak mampu atau miskin.
Hak konstitusional warga negara diatur pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan dasar falsafah negara tersebut lahirlah UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan slogan tidak ada keadilan sosial tanpa jaminan sosial.
Implementasi 5 (lima) program jaminan sosial di Indonesia yang dilaksanakan oleh 2 (dua) BPJS ,yaitu program JKN-KIS oleh BPJS Kesehatan dan program JKK, JKM, JHT dan JP bagi pekerja swasta oleh BPJS Ketenagakerjaan sedangkan untuk ASN, TNI dan Polri dilaksanakan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) yang diperintahkan bertransformasi paling lambat pada 2029.
Dalam pelaksanaan jaminan sosial Indonesia terjadi beberapa permasalahan yang menggelitik pemikiran kita tentang program negara ini yang dalam operasionalnya dilaksanakan oleh BPJS, yaitu benarkah negara sudah hadir untuk terwujudnya kepastian hukum seperti: pertama, terjadinya polemik tentang kesehatan keuangan BPJS Kesehatan yang dalam operasionalnya belum sesuai perintah Pasal 48 UU Nomor 40 Tahun 2004’, yaitu “Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”. Hal ini dapat berdampak sistemik dan struktural dalam pelaksanaan program JKN-KIS, yang kita ilustrasikan bahwa BPJS Kesehatan terjangkit penyakit anemia karena manfaat yang tidak setara dengan iuran yang ada.
Kedua, salah satu kasus yang kita jadikan contoh yaitu kasus meledak dan terbakarnya perusahaan produksi kembang api di daerah Kosambi Tangerang yang menewaskan 53 orang pekerja. Ada 50 orang yang tidak mendapatkan perlindungan jaminan kematian (JKM) dan jaminan kecelakaan kerja (JKK) dari BPJS Ketenagakerjaan yang disebabkan pengusahanya tidak mendaftarkan pekerja tersebut ke BPJS.
Ketiga, kasus puluhan ribu peserta BPJS tidak ada kepastian perlindungan sosial karena pengusaha menunggak iuran jaminan sosialnya. Keempat, kasus ribuan peserta BPJS Kesehatan tidak ada kepastian perlindungan sosial yang disebabkan pengusaha memberhentikan setoran iuran jaminan sosialnya karena dalam perselisihan PHK (contoh kasus ribuan pekerja perusahaan tambang terbesar di Indonesia dan perusahaan privatisasinya yang dalam proses perselisihan PHK tidak mendapatkan pelayanan JKN).
Ambigu dan Ambivalen
Dari contoh kasus tersebut di atas tecermin kondisi yang menunjukkan telah terjadi kondisi ambigu dan ambivalen dalam pelaksanaan Jaminan Sosial Indonesia terhadap amanat konstitusi negara sebagaimana yang terdapat dalam peraturan turunan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Dinyatakan bahwa "jika pengusaha tidak mendaftarkan pekerjanya dan menunggak iuran jaminan sosialnya maka jika terjadi risiko sosial bagi pekerjanya pengusaha wajib membayar santunan jaminan sosial sesuai dengan UU BPJS".
Ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan karena hukum jaminan sosial di Indonesia tidak mandatori mutlak (absolute mandatory). Hal ini menimbulkan permasalahan ketidakpatuhan karena secara tersirat adanya opsi bagi badan hukum atau pengusaha yang seakan-akan diperbolehkan tidak mengikuti UU BPJS atau menunggak karena badan hukum dapat membayarkan manfaat sesuai UU BPJS. Hal tersebut menjadikan badan hukum atau pengusaha menjadi penyelenggara jaminan sosial secara mandiri.
Dalam pelaksanaannya tidak diatur secara jelas lembaga apa yang bertanggung jawab untuk memastikan dilaksanakannya pemberian manfaat jaminan sosial jika terjadi risiko sosial terhadap pekerja yang tidak diikutkan dalam 5 (lima) program SJSN tersebut. Hal yang sangat ironis karena pelanggaran hukum atas hak jaminan sosial pekerja justru terjadi di kantor-kantor pemerintah baik pusat maupun daerah.
Contoh permasalahan pegawai pemerintah-nonpegawai negeri (PPNPN) yang umumnya dikenal dengan istilah pegawai HONDA (honor daerah), YAMAHA (yang masih harian), TKS (tenaga kerja sukarela), SUKWAN (sukarelawan) mulai dari profesi guru, bidan, dan pekerja lain. Secara hukum hubungan kerja mereka menurut UU tentang ASN tidak jelas lembaga apa yang mengawasi pelaksanaan hubungan kerjanya.
Karena dengan situasi kondisi seperti itu mereka yang berstatus PPNPN mendapatkan perlakuan yang buruk tentang upah yang tidak sesuai standar upah minimum, tidak ada jaminan sosial dan status hubungan kerja yang tidak jelas. Hal tersebut membuat pekerja PPNPN bekerja di bawah bayang-bayang rasa ketakutan yang akhirnya bersikap nrimo. Perlakuan ini lebih buruk dari yang dialami oleh pekerja outsourching di perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN/BUMD.
Disinyalir kondisi ambigu dan ambivalen dari peraturan pelaksanaan jaminan sosial inilah yang berdampak pada belum tercapainya perluasan kepesertaan jaminan sosial di Indonesia secara maksimal. Khususnya jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan sangat sulit untuk mencapai predikat universal coverage.
Jatuh Tertimpa Tangga dan Fenomena Gunung Es
Kita dapat mengambil contoh kasus permasalahan tunggakan iuran jaminan sosial yang terjadi di beberapa perusahaan seperti di PT FNG-Jakarta dan di PT Natatex Prima-Subang. Pekerja yang sudah menjadi peserta seharusnya mendapatkan haknya dalam perlindungan sosial karena upahnya sudah dipotong pengusaha, tetapi tidak disetorkan oleh pengusaha ke BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Pekerja sebagai korban harus melaporkan pengusahanya. Dampaknya pekerja yang melaporkan di-PHK oleh pengusaha, sementara proses hukum yang berjalan sangat panjang, tetapi kepastian hukum atas hak perlindungan sosialnya tidak didapatkan. Seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga.
Problematika pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia seperti di atas merupakan fenomena gunung es. Maka patut kita pertanyakan, benarkah negara sudah hadir untuk memberikan perlindungan sosial kepada pekerja?
Harapan dan Solusi
Supaya ada kepastian hukum dan negara hadir dalam pelaksanaan SJSN. BPJS sebagai badan pelaksana SJSN harus mewujudkan asas Kemanusiaan, asas Keadilan dan asas Kemanfaatan sebagaimana yang terdapat dalam III (tiga) asas pelaksanaan SJSN, hal tersebut sejalan dengan Nawacita pemerintahan Jokowi-JK. Maka sudah sepatutnya pemerintah melakukan revisi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang substansinya memberikan mandat penuh (absolute mandatory) kepada BPJS sebagai badan penyelenggara.
BPJS yang mewakili negara dalam pelaksanaan program Jaminan Sosial Indonesia untuk membayarkan semua risiko sosial yang terjadi kepada pekerja. Dan selanjutnya BPJS menagih semua biaya dan tunggakkan iuran serta dendanya yang menjadi kewajiban pengusaha karena pengusaha tidak mendaftarkan dan menunggak iuran jaminan sosial. Jika pengusaha tersebut tidak memenuhi kewajibannya, Kejaksaan Agung RI yang bertindak mewakili negara melakukan tuntutan pidana dan perdata kepada pengusaha tersebut.
Semoga opini ini dapat menggugah semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan pemerhati jaminan sosial dalam rangka mewujudkan jaminan sosial Indonesia yang kuat untuk kesejahteraan pekerja dan rakyat Indonesia serta kemandirian bangsa. Insyaallah.
Anggota DJSN RI unsur Pekerja dan Pengurus DPP KSPSI
INDONESIA pada 19 Oktober 2018 memperingati 14 tahun ditandatanganinya Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Lahirnya UU ini merupakan amanat dari sila kelima Pancasila dan konstitusi negara UUD 1945 Pasal 28H ayat (2), yaitu negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Secara filosofi itu sudah mengamanatkan agar negara hadir untuk memberikan perlindungan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya pekerja yang notabene sebagai kelompok masyarakat rentan. Bahwa tujuan yang paling mendasar dari SJSN adalah sebagai jaring pengaman (safety net) untuk menghadapi risiko sosial dalam kehidupan pekerja.
Karena dengan SJSN, pekerja seharusnya dimungkinkan mampu mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya dan yang lebih penting tidak menjadikannya sebagai masyarakat yang tidak mampu, bahkan menjadi miskin yang akan menjadi beban negara dengan memberikan subsidi. Maka hakikat kehadiran SJSN adalah untuk mempertahankan kemampuan masyarakat dalam hal ini pekerja jika terjadi risiko sosial, agar tidak menjadi masyarakat yang tidak mampu atau miskin.
Hak konstitusional warga negara diatur pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan dasar falsafah negara tersebut lahirlah UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan slogan tidak ada keadilan sosial tanpa jaminan sosial.
Implementasi 5 (lima) program jaminan sosial di Indonesia yang dilaksanakan oleh 2 (dua) BPJS ,yaitu program JKN-KIS oleh BPJS Kesehatan dan program JKK, JKM, JHT dan JP bagi pekerja swasta oleh BPJS Ketenagakerjaan sedangkan untuk ASN, TNI dan Polri dilaksanakan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) yang diperintahkan bertransformasi paling lambat pada 2029.
Dalam pelaksanaan jaminan sosial Indonesia terjadi beberapa permasalahan yang menggelitik pemikiran kita tentang program negara ini yang dalam operasionalnya dilaksanakan oleh BPJS, yaitu benarkah negara sudah hadir untuk terwujudnya kepastian hukum seperti: pertama, terjadinya polemik tentang kesehatan keuangan BPJS Kesehatan yang dalam operasionalnya belum sesuai perintah Pasal 48 UU Nomor 40 Tahun 2004’, yaitu “Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”. Hal ini dapat berdampak sistemik dan struktural dalam pelaksanaan program JKN-KIS, yang kita ilustrasikan bahwa BPJS Kesehatan terjangkit penyakit anemia karena manfaat yang tidak setara dengan iuran yang ada.
Kedua, salah satu kasus yang kita jadikan contoh yaitu kasus meledak dan terbakarnya perusahaan produksi kembang api di daerah Kosambi Tangerang yang menewaskan 53 orang pekerja. Ada 50 orang yang tidak mendapatkan perlindungan jaminan kematian (JKM) dan jaminan kecelakaan kerja (JKK) dari BPJS Ketenagakerjaan yang disebabkan pengusahanya tidak mendaftarkan pekerja tersebut ke BPJS.
Ketiga, kasus puluhan ribu peserta BPJS tidak ada kepastian perlindungan sosial karena pengusaha menunggak iuran jaminan sosialnya. Keempat, kasus ribuan peserta BPJS Kesehatan tidak ada kepastian perlindungan sosial yang disebabkan pengusaha memberhentikan setoran iuran jaminan sosialnya karena dalam perselisihan PHK (contoh kasus ribuan pekerja perusahaan tambang terbesar di Indonesia dan perusahaan privatisasinya yang dalam proses perselisihan PHK tidak mendapatkan pelayanan JKN).
Ambigu dan Ambivalen
Dari contoh kasus tersebut di atas tecermin kondisi yang menunjukkan telah terjadi kondisi ambigu dan ambivalen dalam pelaksanaan Jaminan Sosial Indonesia terhadap amanat konstitusi negara sebagaimana yang terdapat dalam peraturan turunan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Dinyatakan bahwa "jika pengusaha tidak mendaftarkan pekerjanya dan menunggak iuran jaminan sosialnya maka jika terjadi risiko sosial bagi pekerjanya pengusaha wajib membayar santunan jaminan sosial sesuai dengan UU BPJS".
Ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan karena hukum jaminan sosial di Indonesia tidak mandatori mutlak (absolute mandatory). Hal ini menimbulkan permasalahan ketidakpatuhan karena secara tersirat adanya opsi bagi badan hukum atau pengusaha yang seakan-akan diperbolehkan tidak mengikuti UU BPJS atau menunggak karena badan hukum dapat membayarkan manfaat sesuai UU BPJS. Hal tersebut menjadikan badan hukum atau pengusaha menjadi penyelenggara jaminan sosial secara mandiri.
Dalam pelaksanaannya tidak diatur secara jelas lembaga apa yang bertanggung jawab untuk memastikan dilaksanakannya pemberian manfaat jaminan sosial jika terjadi risiko sosial terhadap pekerja yang tidak diikutkan dalam 5 (lima) program SJSN tersebut. Hal yang sangat ironis karena pelanggaran hukum atas hak jaminan sosial pekerja justru terjadi di kantor-kantor pemerintah baik pusat maupun daerah.
Contoh permasalahan pegawai pemerintah-nonpegawai negeri (PPNPN) yang umumnya dikenal dengan istilah pegawai HONDA (honor daerah), YAMAHA (yang masih harian), TKS (tenaga kerja sukarela), SUKWAN (sukarelawan) mulai dari profesi guru, bidan, dan pekerja lain. Secara hukum hubungan kerja mereka menurut UU tentang ASN tidak jelas lembaga apa yang mengawasi pelaksanaan hubungan kerjanya.
Karena dengan situasi kondisi seperti itu mereka yang berstatus PPNPN mendapatkan perlakuan yang buruk tentang upah yang tidak sesuai standar upah minimum, tidak ada jaminan sosial dan status hubungan kerja yang tidak jelas. Hal tersebut membuat pekerja PPNPN bekerja di bawah bayang-bayang rasa ketakutan yang akhirnya bersikap nrimo. Perlakuan ini lebih buruk dari yang dialami oleh pekerja outsourching di perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN/BUMD.
Disinyalir kondisi ambigu dan ambivalen dari peraturan pelaksanaan jaminan sosial inilah yang berdampak pada belum tercapainya perluasan kepesertaan jaminan sosial di Indonesia secara maksimal. Khususnya jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan sangat sulit untuk mencapai predikat universal coverage.
Jatuh Tertimpa Tangga dan Fenomena Gunung Es
Kita dapat mengambil contoh kasus permasalahan tunggakan iuran jaminan sosial yang terjadi di beberapa perusahaan seperti di PT FNG-Jakarta dan di PT Natatex Prima-Subang. Pekerja yang sudah menjadi peserta seharusnya mendapatkan haknya dalam perlindungan sosial karena upahnya sudah dipotong pengusaha, tetapi tidak disetorkan oleh pengusaha ke BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Pekerja sebagai korban harus melaporkan pengusahanya. Dampaknya pekerja yang melaporkan di-PHK oleh pengusaha, sementara proses hukum yang berjalan sangat panjang, tetapi kepastian hukum atas hak perlindungan sosialnya tidak didapatkan. Seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga.
Problematika pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia seperti di atas merupakan fenomena gunung es. Maka patut kita pertanyakan, benarkah negara sudah hadir untuk memberikan perlindungan sosial kepada pekerja?
Harapan dan Solusi
Supaya ada kepastian hukum dan negara hadir dalam pelaksanaan SJSN. BPJS sebagai badan pelaksana SJSN harus mewujudkan asas Kemanusiaan, asas Keadilan dan asas Kemanfaatan sebagaimana yang terdapat dalam III (tiga) asas pelaksanaan SJSN, hal tersebut sejalan dengan Nawacita pemerintahan Jokowi-JK. Maka sudah sepatutnya pemerintah melakukan revisi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang substansinya memberikan mandat penuh (absolute mandatory) kepada BPJS sebagai badan penyelenggara.
BPJS yang mewakili negara dalam pelaksanaan program Jaminan Sosial Indonesia untuk membayarkan semua risiko sosial yang terjadi kepada pekerja. Dan selanjutnya BPJS menagih semua biaya dan tunggakkan iuran serta dendanya yang menjadi kewajiban pengusaha karena pengusaha tidak mendaftarkan dan menunggak iuran jaminan sosial. Jika pengusaha tersebut tidak memenuhi kewajibannya, Kejaksaan Agung RI yang bertindak mewakili negara melakukan tuntutan pidana dan perdata kepada pengusaha tersebut.
Semoga opini ini dapat menggugah semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan pemerhati jaminan sosial dalam rangka mewujudkan jaminan sosial Indonesia yang kuat untuk kesejahteraan pekerja dan rakyat Indonesia serta kemandirian bangsa. Insyaallah.
(whb)