Maunya Cepat Malah Semrawut
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SUATU hari pada 1981 saya menjadi pemandu wisata amatiran untuk seorang teman dari Amerika Serikat, Richard Hunt, yang ingin melihat-lihat suasana Kota Jakarta. Saya ajak dia naik bus kota dari Terminal Blok M menuju Cililitan, terus ganti naik bus antarkota ke Sukabumi.
Ketika menunggu giliran naik bus kota dari Blok M ke Cililitan, dia berdiri terpaku melihat para penumpang berebut naik bus. Lalu dia bertanya kepada saya, apakah adegan berebut bus itu terjadi setiap hari? Langsung saya jawab "iya".
Lalu Hunt meneruskan pertanyaannya: “Saya melihat ada petugas keamanan di terminal atau stasiun, mengapa mereka diam saja melihat orang berebut? Lagian, yang naik bus itu orang dewasa, mengapa tidak memilih antre agar aman dan tertib?” Saya hanya senyum kecut saja menjawab pertanyaannya sambil ikut berebut naik bus.
Dalam masyarakat industri maju, rakyatnya terkondisikan untuk mencari dan memuji berbagai pelayanan yang serbacepat-kilat. Bahkan mereka mau membayar mahal terhadap berbagai produk layanan kilat, misalnya jasa transportasi kilat, restoran cepat saji, foto kilat, kiriman kilat, teknologi komputer dengan RAM besar, dan sekian teknologi dan hal lain yang serbacepat.
Secara psikologis, kondisi ini membuat seseorang semakin tidak terbiasa untuk berpikir dan bergerak dengan pelan dan tenang, melainkan serba-buru-buru. Ungkapan lama "waktu adalah uang" rupanya memperoleh pembenaran sekalipun bertindak serbacepat dan buru-buru tidak menjamin sukses, bahkan bisa terpeleset.
Yang terjadi dalam masyarakat kita dan ini menjadi penyakit sosial yang serius adalah campur aduk antara sikap serba-ingin cepat, efektif, dan kesemrawutan tidak taat hukum serta aturan. Semuanya ingin cepat, bersikap buru-buru, berebut dan adu cepat karena tidak taat aturan dan tidak menghargai hak orang lain yang mau antre.
Ini terjadi di semua lini kehidupan, termasuk dalam jalur politik dan birokrasi. Yang paling mudah dilihat tentu saja dalam kehidupan lalu lintas di jalan atau perilaku di ruang publik. Selalu saja orang ingin berebut melangkahi orang lain. Bahkan dalam acara terima sumbangan sembako atau tunjangan hari raya (THR), mereka tidak mau antre, mereka tega berebut dan menginjak temannya.
Mengapa orang tidak mau antre? Pertama, karena belum terbangun budaya antre. Kedua, muncul anggapan kalau tidak cepat tidak akan kebagian sehingga jika antre akan ketinggalan dan merugi.
Ketiga, pejabat negara yang mestinya menjaga tertib sosial tidak melakukan tugasnya dengan baik. Keempat, tidak ada sanksi sosial atau mekanisme hukuman bagi yang tidak antre. Kelima, kelemahan infrastruktur yang tidak mendukung masyarakat berperilaku tertib dan antre.
Secara psikologis, kegamangan menatap masa depan juga membuat seseorang tidak tenang dan tekun berada di jalur profesi yang digeluti selama ini. Orang selalu ingin mencari tambahan atau peluang lain yang menambah penghasilan untuk tabungan masa depan. Orang terlihat sibuk dalam kegelisahan dan kesemrawutan, kadang saling jegal, bukannya bergerak cepat dalam koridor akselerasi, efisiensi, dan efektivitas kerja.
Jadi, mesti kita bedakan antara budaya kerja yang serbacepat yang didukung fasilitas teknologi dan infrastruktur yang mapan dengan sikap egois yang ingin mendahului serta mengambil hak-hak orang lain yang menimbulkan kesemrawutan dalam ruang publik.
Dalam masyarakat Islam, budaya antre dan teratur itu dicerminkan dalam etika salat jamaah di masjid. Tapi ironisnya begitu keluar masjid, seakan ajaran salat berjamaah tadi tidak berbekas.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SUATU hari pada 1981 saya menjadi pemandu wisata amatiran untuk seorang teman dari Amerika Serikat, Richard Hunt, yang ingin melihat-lihat suasana Kota Jakarta. Saya ajak dia naik bus kota dari Terminal Blok M menuju Cililitan, terus ganti naik bus antarkota ke Sukabumi.
Ketika menunggu giliran naik bus kota dari Blok M ke Cililitan, dia berdiri terpaku melihat para penumpang berebut naik bus. Lalu dia bertanya kepada saya, apakah adegan berebut bus itu terjadi setiap hari? Langsung saya jawab "iya".
Lalu Hunt meneruskan pertanyaannya: “Saya melihat ada petugas keamanan di terminal atau stasiun, mengapa mereka diam saja melihat orang berebut? Lagian, yang naik bus itu orang dewasa, mengapa tidak memilih antre agar aman dan tertib?” Saya hanya senyum kecut saja menjawab pertanyaannya sambil ikut berebut naik bus.
Dalam masyarakat industri maju, rakyatnya terkondisikan untuk mencari dan memuji berbagai pelayanan yang serbacepat-kilat. Bahkan mereka mau membayar mahal terhadap berbagai produk layanan kilat, misalnya jasa transportasi kilat, restoran cepat saji, foto kilat, kiriman kilat, teknologi komputer dengan RAM besar, dan sekian teknologi dan hal lain yang serbacepat.
Secara psikologis, kondisi ini membuat seseorang semakin tidak terbiasa untuk berpikir dan bergerak dengan pelan dan tenang, melainkan serba-buru-buru. Ungkapan lama "waktu adalah uang" rupanya memperoleh pembenaran sekalipun bertindak serbacepat dan buru-buru tidak menjamin sukses, bahkan bisa terpeleset.
Yang terjadi dalam masyarakat kita dan ini menjadi penyakit sosial yang serius adalah campur aduk antara sikap serba-ingin cepat, efektif, dan kesemrawutan tidak taat hukum serta aturan. Semuanya ingin cepat, bersikap buru-buru, berebut dan adu cepat karena tidak taat aturan dan tidak menghargai hak orang lain yang mau antre.
Ini terjadi di semua lini kehidupan, termasuk dalam jalur politik dan birokrasi. Yang paling mudah dilihat tentu saja dalam kehidupan lalu lintas di jalan atau perilaku di ruang publik. Selalu saja orang ingin berebut melangkahi orang lain. Bahkan dalam acara terima sumbangan sembako atau tunjangan hari raya (THR), mereka tidak mau antre, mereka tega berebut dan menginjak temannya.
Mengapa orang tidak mau antre? Pertama, karena belum terbangun budaya antre. Kedua, muncul anggapan kalau tidak cepat tidak akan kebagian sehingga jika antre akan ketinggalan dan merugi.
Ketiga, pejabat negara yang mestinya menjaga tertib sosial tidak melakukan tugasnya dengan baik. Keempat, tidak ada sanksi sosial atau mekanisme hukuman bagi yang tidak antre. Kelima, kelemahan infrastruktur yang tidak mendukung masyarakat berperilaku tertib dan antre.
Secara psikologis, kegamangan menatap masa depan juga membuat seseorang tidak tenang dan tekun berada di jalur profesi yang digeluti selama ini. Orang selalu ingin mencari tambahan atau peluang lain yang menambah penghasilan untuk tabungan masa depan. Orang terlihat sibuk dalam kegelisahan dan kesemrawutan, kadang saling jegal, bukannya bergerak cepat dalam koridor akselerasi, efisiensi, dan efektivitas kerja.
Jadi, mesti kita bedakan antara budaya kerja yang serbacepat yang didukung fasilitas teknologi dan infrastruktur yang mapan dengan sikap egois yang ingin mendahului serta mengambil hak-hak orang lain yang menimbulkan kesemrawutan dalam ruang publik.
Dalam masyarakat Islam, budaya antre dan teratur itu dicerminkan dalam etika salat jamaah di masjid. Tapi ironisnya begitu keluar masjid, seakan ajaran salat berjamaah tadi tidak berbekas.
(poe)