Prospek Cerah Pariwisata Indonesia
A
A
A
Sintong Arfiyansyah
Pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan
SAAT ini dunia menghadapi era perang dagang. Adu strategi, gempuran frontal, serta intrik-intrik berbagai kebijakan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekonomi yang menjangkiti semua negara di dunia. Indonesia adalah salah satu negara yang terkena imbasnya. Buktinya adalah sakit rupiah tak kunjung reda hingga nilai tukar melewati Rp15.000 per dolar AS. Neraca perdagangan pun masih tertatih meskipun defisitnya mulai mengecil.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia dituntut bermain cerdik dalam menemukan senjata istimewa untuk mengarungi perang dagang dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Pasti terdapat sektor yang dapat diandalkan untuk bertahan menghadapi gelombang. Pelemahan rupiah, meskipun di satu sisi sangat merugikan sektor investasi dan keuangan, pada sudut pandang lain memberikan angin segar.
Apabila melihat tren dan menganalisis berbagai sektor, senjata tersebut terefleksi dalam sektor pariwisata. Sektor ini muncul lebih perkasa dibandingkan sektor lain. Melemahnya rupiah tidak menurunkan performa sektor ini, bahkan menghadirkan prospek lain hingga berdampak positif terhadap aktivitas ekonomi. Penurunan rupiah menyebabkan harga-harga produk, paket wisata, transportasi, hotel, tujuan wisata, dan oleh-oleh dalam negeri terasa murah bagi para wisatawan asing.
Hal ini tentu memberikan peluang bagi Indonesia untuk memperbesar potensi ekspor, memperbaiki neraca dagang, dan meraup devisa negara. Majalah Internasional The Telegraph menyatakan bahwa Indonesia masuk sebagai 20 negara dengan perkembangan traveling destination terbesar di dunia pada 2017. Perkembangan Indonesia mencapai tiga kali lipat lebih besar dibandingkan pertumbuhan pariwisata dunia. Bahkan, apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mencapai 5,3%, pertumbuhan pariwisata Indonesia mencapai empat kali lipat lebih besar hingga menggapai angka 22%.
Fakta ini dapat menjadi tolok ukur penerapan berbagai strategi masif untuk perkembangan sektor unggulan dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Tidak terhitung dengan jari jemari destinasi wisata yang mulai diakui dunia. Keindahan Taman Laut Derawan, Bunaken, Wakatobi, hingga Raja Ampat adalah beberapa dari ratusan objek wisata berkelas dunia milik Indonesia.
Setiap tahun performa pariwisata Indonesia terus menanjak. Seolah tak terpengaruhi perang dagang, sektor ini terus tumbuh dan bergerak lincah dalam peningkatan ekonomi Indonesia. Hal ini kontras manakala disandingkan dengan komoditas lain seperti minyak, gas, batu bara, dan kelapa sawit yang merosot secara perlahan. Produk-produk primer tersebut terlihat letih untuk menjadi andalan utama ekspor Indonesia.
Sektor pariwisata diproyeksikan mampu menyumbang Produk Domestik Bruto 15% dan menghasilkan sekitar Rp280 triliun devisa negara pada 2019. Jumlah kunjungan wisatawan asing pun naik cukup signifikan dengan proyeksi sekitar 20 juta wisatawan asing. Sektor pariwisata menjelma menjadi peraih devisa negara terbesar kedua bagi Indonesia saat ini dan siap menyalip CPO (Crude Palm Oil) pada 2019.
Pariwisata di Era Revolusi Industri 4.0
Di samping menghadapi perang dagang, dunia juga memasuki Revolusi Industri 4.0. Teknologi mulai berpikir sistematis mengidentifikasi lokasi, kesempatan, dan informasi hingga merevolusi kehidupan manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Dengan momentum ini, tentu teknologi dapat dijadikan alat untuk meningkatkan kontribusi pariwisata.
Mengenalkan pariwisata dengan teknologi dapat menjadi strategi cantik untuk bersaing dalam pariwisata dunia. Promosi melalui Branding Indonesia dengan tagar Wonderful Indonesia secara online juga harus terus digenjot. Di samping itu, industri wisata digital (tourism digital) dan konvensional juga harus digandeng dan dimaksimalkan.
Penggunaan transaksi dengan teknologi finansial (fintech) juga bisa dimanfaatkan untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan para wisatawan asing yang telah terbiasa dengan teknologi tersebut. Selain itu, para penyedia jasa wisata konvensional dapat diajak berkolaborasi dengan jasa wisata digital untuk lebih mengenalkan berbagai objek wisata.
Ketika promosi dan akomodasi transportasi berjalan seirama, tentu diperlukan perhatian yang cukup intensif terhadap kualitas objek wisata dan keramahan tuan rumah itu sendiri. Inovasi paket wisata dan berbagai kreativitas lainnya juga harus digerakkan berkesinambungan. Apabila mampu dikelola dengan baik dan diorganisasi dengan manajemen yang sehat, para wisatawan luar negeri akan terus membanjiri bangsa ini dan tanpa sadar telah menghabiskan uang mereka karena harga yang ditawarkan menggiurkan. Investor asing juga tidak akan ragu untuk meletakkan investasinya.
Bilamana ini mampu dimanfaatkan dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negeri dengan perekonomian terbesar. Terlalu riskan untuk mengandalkan ekspor sektor primer yang mulai letih akibat berbagai kebijakan perang dagang. Perlu keunikan yang harus dimaksimalkan dalam menghadapi era perang dagang dan Revolusi Industri 4.0.
Dibutuhkan kepedulian, baik itu pemerintah, swasta, dan masyarakat pengguna teknologi untuk memaksimalkan sektor pariwisata ini. Kombinasi apik antara perkembangan teknologi, pariwisata, serta keramahan budaya akan menciptakan hujan devisa dalam jangka panjang serta memperkuat nilai tukar rupiah. Kemurahan dan pesona keindahan alam akan memberikan keuntungan fantastis. Muaranya tentu adalah perbaikan struktur dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan
SAAT ini dunia menghadapi era perang dagang. Adu strategi, gempuran frontal, serta intrik-intrik berbagai kebijakan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekonomi yang menjangkiti semua negara di dunia. Indonesia adalah salah satu negara yang terkena imbasnya. Buktinya adalah sakit rupiah tak kunjung reda hingga nilai tukar melewati Rp15.000 per dolar AS. Neraca perdagangan pun masih tertatih meskipun defisitnya mulai mengecil.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia dituntut bermain cerdik dalam menemukan senjata istimewa untuk mengarungi perang dagang dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Pasti terdapat sektor yang dapat diandalkan untuk bertahan menghadapi gelombang. Pelemahan rupiah, meskipun di satu sisi sangat merugikan sektor investasi dan keuangan, pada sudut pandang lain memberikan angin segar.
Apabila melihat tren dan menganalisis berbagai sektor, senjata tersebut terefleksi dalam sektor pariwisata. Sektor ini muncul lebih perkasa dibandingkan sektor lain. Melemahnya rupiah tidak menurunkan performa sektor ini, bahkan menghadirkan prospek lain hingga berdampak positif terhadap aktivitas ekonomi. Penurunan rupiah menyebabkan harga-harga produk, paket wisata, transportasi, hotel, tujuan wisata, dan oleh-oleh dalam negeri terasa murah bagi para wisatawan asing.
Hal ini tentu memberikan peluang bagi Indonesia untuk memperbesar potensi ekspor, memperbaiki neraca dagang, dan meraup devisa negara. Majalah Internasional The Telegraph menyatakan bahwa Indonesia masuk sebagai 20 negara dengan perkembangan traveling destination terbesar di dunia pada 2017. Perkembangan Indonesia mencapai tiga kali lipat lebih besar dibandingkan pertumbuhan pariwisata dunia. Bahkan, apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mencapai 5,3%, pertumbuhan pariwisata Indonesia mencapai empat kali lipat lebih besar hingga menggapai angka 22%.
Fakta ini dapat menjadi tolok ukur penerapan berbagai strategi masif untuk perkembangan sektor unggulan dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Tidak terhitung dengan jari jemari destinasi wisata yang mulai diakui dunia. Keindahan Taman Laut Derawan, Bunaken, Wakatobi, hingga Raja Ampat adalah beberapa dari ratusan objek wisata berkelas dunia milik Indonesia.
Setiap tahun performa pariwisata Indonesia terus menanjak. Seolah tak terpengaruhi perang dagang, sektor ini terus tumbuh dan bergerak lincah dalam peningkatan ekonomi Indonesia. Hal ini kontras manakala disandingkan dengan komoditas lain seperti minyak, gas, batu bara, dan kelapa sawit yang merosot secara perlahan. Produk-produk primer tersebut terlihat letih untuk menjadi andalan utama ekspor Indonesia.
Sektor pariwisata diproyeksikan mampu menyumbang Produk Domestik Bruto 15% dan menghasilkan sekitar Rp280 triliun devisa negara pada 2019. Jumlah kunjungan wisatawan asing pun naik cukup signifikan dengan proyeksi sekitar 20 juta wisatawan asing. Sektor pariwisata menjelma menjadi peraih devisa negara terbesar kedua bagi Indonesia saat ini dan siap menyalip CPO (Crude Palm Oil) pada 2019.
Pariwisata di Era Revolusi Industri 4.0
Di samping menghadapi perang dagang, dunia juga memasuki Revolusi Industri 4.0. Teknologi mulai berpikir sistematis mengidentifikasi lokasi, kesempatan, dan informasi hingga merevolusi kehidupan manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Dengan momentum ini, tentu teknologi dapat dijadikan alat untuk meningkatkan kontribusi pariwisata.
Mengenalkan pariwisata dengan teknologi dapat menjadi strategi cantik untuk bersaing dalam pariwisata dunia. Promosi melalui Branding Indonesia dengan tagar Wonderful Indonesia secara online juga harus terus digenjot. Di samping itu, industri wisata digital (tourism digital) dan konvensional juga harus digandeng dan dimaksimalkan.
Penggunaan transaksi dengan teknologi finansial (fintech) juga bisa dimanfaatkan untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan para wisatawan asing yang telah terbiasa dengan teknologi tersebut. Selain itu, para penyedia jasa wisata konvensional dapat diajak berkolaborasi dengan jasa wisata digital untuk lebih mengenalkan berbagai objek wisata.
Ketika promosi dan akomodasi transportasi berjalan seirama, tentu diperlukan perhatian yang cukup intensif terhadap kualitas objek wisata dan keramahan tuan rumah itu sendiri. Inovasi paket wisata dan berbagai kreativitas lainnya juga harus digerakkan berkesinambungan. Apabila mampu dikelola dengan baik dan diorganisasi dengan manajemen yang sehat, para wisatawan luar negeri akan terus membanjiri bangsa ini dan tanpa sadar telah menghabiskan uang mereka karena harga yang ditawarkan menggiurkan. Investor asing juga tidak akan ragu untuk meletakkan investasinya.
Bilamana ini mampu dimanfaatkan dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negeri dengan perekonomian terbesar. Terlalu riskan untuk mengandalkan ekspor sektor primer yang mulai letih akibat berbagai kebijakan perang dagang. Perlu keunikan yang harus dimaksimalkan dalam menghadapi era perang dagang dan Revolusi Industri 4.0.
Dibutuhkan kepedulian, baik itu pemerintah, swasta, dan masyarakat pengguna teknologi untuk memaksimalkan sektor pariwisata ini. Kombinasi apik antara perkembangan teknologi, pariwisata, serta keramahan budaya akan menciptakan hujan devisa dalam jangka panjang serta memperkuat nilai tukar rupiah. Kemurahan dan pesona keindahan alam akan memberikan keuntungan fantastis. Muaranya tentu adalah perbaikan struktur dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
(thm)