Membebaskan Hukum yang Telah Lama 'Terpenjara'

Rabu, 10 Oktober 2018 - 09:46 WIB
Membebaskan Hukum yang...
Membebaskan Hukum yang Telah Lama 'Terpenjara'
A A A
Prof Dr Esmi Warassih SH MS
Guru Besar Hukum dan Masyarakat di Universitas Diponegoro, Semarang

GEGAP-gempitanya upaya penegakan hukum di negeri kita saat ini tampaknya belum mampu menghapus kesan bahwa sementara hukum memenjarakan pelanggar hukum, ternyata hukum itu sendiri pun masih terpenjara dalam belenggu interpretasi tekstual-normatif yang mengabaikan aspek keseimbangan keadilan.

Berbicara mengenai hukum, kita sebetulnya berbicara tentang norma hukum yang seharusnya tidak sekadar menyentuh aspek pemenuhan unsur kepastian hukum secara tekstual-normatif tetapi interaksinya dengan berbagai norma lainnya demi menciptakan keseimbangan keadilan.

Norma hukum mestinya bisa diseimbangkan dengan norma-norma lain dalam masyarakat yang berinteraksi dengannya, dimana hukum harus mampu mewujudkan rasa keadilan dan keseimbangan dengan norma-norma budaya, etika, moral, dan norma-norma agama seperti tercermin dalam cita hukum negara kita yaitu Pancasila.

Sejatinya, kita berhukum itu bukan untuk mencari-cari kesalahan, tetapi untuk memunculkan dan membudayakan kebenaran yang dapat menghasilkan rasa keadilan dan keseimbangan keadilan itu. Sebab tujuan hakiki daripada hukum adalah untuk menciptakan kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, dan kemanfaatan bagi manusia, bukan untuk melanggengkan kesengsaraan.
Ketika amar putusan Pengadilan dimulai dengan frasa Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka putusan Pengadilan tak boleh memperkosa rasa keadilan dan martabat manusia sebagaimana makna yang tersurat dan tersirat dalam cita hukum itu.

Maka ketika penegak hukum hanya menggunakan keyakinan subyektif serta logika sempitnya bahwa suatu putusan dianggap memenuhi syarat secara tekstual-yuridis karena unsur-unsur penjeratan dan pemberatannya telah terpenuhi, maka penegak hukum hanya akan memunculkan diri sebagai “tukang hukum” tetapi bukan pencipta keadilan.

“Tukang hukum” akan cenderung menemui jalan buntu dalam mencari keadilan, karena barometer yang digunakan hanyalah satu bagian kecil dari norma-norma yang mengatur eksistensi manusia secara holistik.

Selama kita terjerembab dan terpenjara dalam paradigma legal-formal yang sempit itu, maka selama itu pula rasa keadilan akan sulit dicapai, apalagi keseimbangan keadilan dalam masyarakat yang demokratis dan pluralis ini!

Sudah tiba saatnya untuk kita berhijrah, melakukan suatu pergeseran: perubahan mindset, pergeseran paradigma, bahwa kita tidak lagi bicara hukum hanya sekadar normatif, tidak hanya sekadar hukum yang tertulis. Karena hukum yang tertulis, yang umumnya cacad sejak lahir itu, sering dinodai pula oleh tarik-menarik kepentingan.

Pergeseran yang saya maksudkan adalah membebaskan diri dari penjara paradigma tekstual-normatif lalu berhijrah ke paradigma berhukum secara holistik, secara legal-pluralistis sebab tuntutan masyarakat yang demokratis ini memang mengharuskan adanya pergeseran paradigma seperti itu.

Dalam berhukum secara holistik, kita tak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai atau sistem nilai. Dan sistem nilai tertinggi di negara kita mencakup nilai-nilai spiritual, kemanusiaan, dan keadilan sosial.

Karena itu maka hukum harus mampu melihat ke segala arah, sebab ketidakmampuan untuk menyeimbangkan norma hukum dengan berbagai norma lain dalam masyarakat akan melahirkan disonansi, bahkan distorsi atau kerancuan dan keracunan pola pikir dalam menginterpretasikan hukum.

Akibat selanjutnya adalah hukum dijalankan secara subyektif-legalistis, tanpa pertimbangan rasa, tanpa pertimbangan kemanusiaan, tanpa hati nurani, dan tanpa mempedulikan akibat-akibat dari putusan-putusan hukum.

Hal seperti ini sering kita saksikan di negeri ini dimana hukum terkesan seperti algojo pembalas dendam yang mendatangi obyeknya tidak sebagai manusia melainkan sebagai target buruan yang mesti dihabisi.

Sebagai bahan studi di bidang Sosiologi Hukum, salah satu kasus yang kontroversial tapi menarik dan menjadi sorotan publik adalah kasus mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman. Secara tekstual-yuridis, ia dianggap telah bersalah oleh Pengadilan Tipikor dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun enam bulan ditambah pencabutan hak politiknya selama tiga tahun.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk membela Irman Gusman —sebab sudah terlambat, karena putusan Pengadilan sudah dijatuhkan dan diterima, baik oleh penuntut umum maupun oleh terpidana. Tulisan ini hanya berniat meluruskan paradigma berhukum agar proses pencarian keadilan selalu dapat menghadirkan rasa keadilan dan keseimbangan keadilan.

Dari kacamata Sosiologi Hukum, sulit untuk menghadirkan keadilan ketika tolok ukur yang digunakan adalah neraca hukum tekstual semata. Tidak mungkin hanya dari satu sudut pandang yang sempit itu kita bisa menilai rekam jejak, manfaat dari hasil kerja, dan jasa-jasa seorang mantan pejabat tinggi negara dalam totalitas kehidupan dan darma baktinya.

Dari sudut pandang penerima manfaat, Irman Gusman bisa saja dianggap sebagai pahlawan yang telah terkorbankan gara-gara membela kepentingan masyarakat di daerahnya, yaitu upayanya untuk menurunkan harga gula. Selain itu, Irman Gusman juga sama sekali tidak terbukti merugikan keuangan negara.

Maka sedikit sumir bila seorang wakil rakyat dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya harus pula dijerat oleh hukum, dengan alasan yang tekstual belaka, padahal terbukti bahwa masyarakat di daerahnya menerima manfaat yang besar dari hasil kerjanya itu. Dia mendatangkan manfaat, tapi dia dikorbankan!

Kita tak mungkin bisa menyalahkan sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa tindakan KPK dan Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor dalam menghukum Irman Gusman itu secara tidak langsung mendukung terus berlangsungnya kelangkaan pasokan gula di Sumatera Barat. Tapi ada keberatan apabila ditimbulkan kesan seolah-olah hukum hendak ditegakkan secara demonstratif di atas penderitaan masyarakat.

Karena kalau harga gula itu tidak segera diatasi oleh Bulog waktu itu, maka harga yang sudah mencapai Rp16.000 per kilogram itu pasti akan melambung lebih tinggi lagi. Korban yang akan berjatuhan pun akan jauh lebih banyak lagi, termasuk ratusan ribu rumahtangga yang akan menjerit, pedagang kecil (UMKM) yang membutuhkan gula sebagai bahan baku dagangannya akan semakin menderita, dan sektor industri pun akan terkena dampak negatifnya.

Maka sulit dielakkan ketika kesan yang muncul kemudian di publik adalah bahwa dalam kasus ini baik KPK atau Hakim telah mengisolir hukum jauh dari nilai keadilan sosial dalam konteks keadilan berhukum sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila, alinea ke-empat UUD 1945, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Namun demikian, dari kacamata para “tukang hukum” yang menggunakan pendekatan tekstual-normatif, lain lagi ceritanya, karena manfaat yang diberikan Irman Gusman kepada masyarakat di daerahnya itu tidaklah dianggap penting; karena itu maka tidak ikut dipertimbangkan dalam putusan Pengadilan.

Secara filosofis, persoalan keadilan dan keseimbangan memang tak bisa dipisahkan. Tapi persoalan filosofi ini juga tak bisa lepas dari persoalan kemanusiaannya; artinya, masyarakat membutuhkan kesejahteraan — dan hal ini tak boleh dihalangi.
Di sinilah letak persoalan yang tidak diperhatikan oleh penegak hukum. Aspek manfaat dalam pemenuhan hajat hidup orang banyak yang diprakarsai oleh Senator asal Sumatera Barat itu sama sekali tidak diindahkan oleh para “tukang hukum” yang semangatnya agak overdosis itu, hanya karena dia terjerat dan terpeleset.

Ketidakseimbangan keadilan semacam ini bisa ditemukan dalam berbagai kasus lainnya dimana Pengadilan menceraikan rasa keadilan karena dijalankan oleh “tukang-tukang hukum” yang tidak memiliki keberanian untuk mencari dan menggali kebenaran dan keadilan dengan pendekatan hukum secara inklusif dan holistik.

Di manakah rasa keadilan dan keseimbangan keadilan dalam sistem peradilan kita? Pertanyaan ini harus dijawab, jika kita hendak menghadirkan keadilan yang berperikemanusiaan secara holistik sesuai dengan cita hukum negara ini.

Persoalan utama dalam kasus seperti ini adalah, nilai keadilan berada di ranah filosofis, sementara kepastian hukum berada di ranah yuridis normatif, sedangkan aspek kemanfaatan berada di ranah sosiologis. Tiga ranah ini tidak bersentuhan dalam sistem hukum kita. Padahal kita tahu bahwa aspek yuridis normatif itu merupakan reduksi dari totalitas kehidupan. Karena itu maka penting bagi penegak hukum, terlebih para Hakim sebagai “kaum Brahmana”, untuk mengasah kecerdasan spiritualnya, agar mampu membaca dengan hati nuraninya; bukan sekadar menggunakan otak lalu memutus dengan otot.

Hati nurani dapat melihat dari segala sisi, bahkan yang tak tampak pun bisa tampak dengan hati nurani, sebab hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum; dan hukum itu tujuannya untuk membahagiakan manusia.

Nilai Ketuhanan dalam Pancasila menghendaki terciptanya keseimbangan antara aspek materiil dan spiritual. Hakim seharusnya mengikutkan nilai spiritual dan materiil dalam memutus perkara, sehingga jelas bahwa keadilan hukum yang dimaksud tidak hanya melihat pada spektrum normatif namun juga pada spektrum lex aeterna, lex divina, serta lex naturalis dalam bingkai nilai kearifan lokal khas Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan perikemanusiaan serta perikeadilan.
Teori validasi hukum ala Hans Kelsen dalam Pure Theory of Law dengan tegas mengatakan bahwa hukum yang oleh Hans Nawiasky disebut sebagai formell gesetz haruslah berlandaskan pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang merupakan penjabaran dari aline ke-empat Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila yang merupakan staats fundamental norm.

Singkatnya, semua putusan Hakim haruslah mengedepankan upaya menggali kebenaran untuk memunculkan rasa keadilan dan keseimbangan keadilan dengan menggunakan hati nurani untuk mempertimbangkan aspek normatif, sosiologis, kultural, serta moralitas dan spiritual secara holistik.

Kasus Irman Gusman ini kiranya dapat dijadikan titik tolak untuk kita melakukan kontemplasi mendalam agar dapat melakukan penegakan hukum yang benar-benar adil dan seimbang yang bertujuan untuk membahagiakan, bukan menyengsarakan manusia.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0725 seconds (0.1#10.140)