Sabuk Hijau Pesisir
A
A
A
Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/Dosen Bioindustri Universitas Trilogi Jakarta
GEMPA bumi yang disertai tsunami yang melanda Palu dan Donggala pada September 2018 ini telah meluluhlantakkan kedua kota pesisir tersebut hingga memakan korban ribuan jiwa dan harta benda. Meskipun pusat gempa berlokasi di darat, imbasnya melanda hingga wilayah pesisirnya. Kota Palu dan Donggala yang berlokasi di pesisir Teluk Palu merupakan daerah yang amat terbuka dan langsung berhubungan dengan laut. Nyaris tak ada lagi kehidupan ekosistem khas pesisir di wilayah itu yang berperan sebagai sabuk hijau, seperti jenis bakau.
Wilayah ini telah berubah menjadi kawasan permukiman, bisnis, perkantoran, dan kepelabuhanan yang menjadi karakteristik khas kota-kota pantai di Indonesia. Jika hutan bakau dan vegetasi pesisir masih hidup subur di pesisir Palu dan Donggala, otomatis akan mengurangi dampak tsunami. Ia memang tidak mencegah tsunami, tetapi mengurangi tekanan dan energi yang ditimbulkan gelombang tsunami sehingga sudah berkurang ketika mencapai kawasan permukiman di pesisir. Inilah pentingnya kota-kota pantai memiliki sabuk hijau yang jaraknya minimal 200 meter dari garis pantai.
Keadilan Ekologi
Perilaku manusia yang mendiami wilayah pesisir yang cenderung eksploitatif mengakibatkan ekosistem khas pesisir dibabat habis. Manusia lebih mengedepankan kepentingan ekonomi semata yang mengubah lahan pesisir menjadi kawasan bisnis, pertambakan, permukiman, dan perkantoran tanpa menyisakan sejengkal pun buat sabuk hijau. Perilaku manusia yang mengabaikan kesadaran ekologis berimbas kepada dirinya sendiri tatkala bencana alam semacam gempa diserta tsunami melanda suatu wilayah. Inilah model tata kelola alamiah yang berlangsung dalam ranah planet bumi dan ekosistem. Model tata kelola ini juga berlangsung di ekosistem pesisir. Mekanisme keseimbangan alam berupa daya dukung (carring capasity), proses asimilasi dan metabolismenya berlangsung secara siklikal dalam sistem yang dinamis.
Sayangnya, manusia mengabaikan proses itu hingga ia tetap saja mengeksploitasinya. Akibatnya, keseimbangan dan metabolismenya terganggu. Persis sama dengan manusia. Jika keseimbangan dan metabolisme dalam tubuh manusia terganggu, otomatis penyakit kronis akan menyerangnya. Maka itu, manusia perlu membatasi asupan makanan berlebihan dalam tubuhnya agar keseimbangan dan proses metabolismenya normal dan lancar. Landasan filosofis diandaikan berlangsung dalam tubuh manusia secara mikrokosmos. Proses ini berlangsung sama dengan di alam semesta ini secara makrokosmos.
Pendek kata, alam juga butuh keadilan. Alam pun tak mau diperlakukan semena-mena tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan proses metabolismenya. Manusialah yang mesti menyadarinya sehingga alam tidak menghukumnya. Kalangan intelektual ekologisme menyebutnya sebagai keadilan ekologi (ecological justice). Ironisnya, yang merajalela di hampir seluruh kepulauan Indonesia ini justru ketidakadilan ekologi yang berlangsung selama enam dekade silam. Berbagai lokasi di seluruh kepulauan Indonesia ini nyaris telah terjadi tragedi kepemilikan bersama (tragedy of commons). Tragedi ini terjadi tatkala setiap manusia berusaha menguras kekayaan alam yang menjadi milik bersama buat kepentingan pribadinya sehingga merugikan makhluk hidup lain.
Tragedi ini kerap berlangsung pada sumber daya alam milik bersama seperti pertambangan, hutan tropis, bakau, dan terumbu karang di pesisir yang memicu perebutan kepentingan pemanfaatan ruang di wilayah itu. Cara pandang yang memicu tragedi ini yaitu keserakahan manusia yang hendak meraih keuntungan sebesar-besarnya buat kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain. Dampaknya, lanjutannya berupa perampasan ruang dan sumber daya pesisir dan laut (ocean and coastal grabbing) yang berimbas pada ketidakadilan ekologi.
Apakah membiarkan kondisi ini bakal membuat sabuk hijau di wilayah pesisir terjaga dan lestari sebagai “benteng alam” bagi manusia yang bermukim di wilayah tersebut? Amat mustahil. Mengapa demikian? Penyebabnya ialah secara paradigmatik cara pandang untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya dalam pembangunan ekonomi telah menghegemoni dan jadi pakem ideologi pembangunan yang seolah-olah mirip agama baru. Paradigma ini telah dianut kalangan intelektual, birokrasi, politisi hingga korporat. Terbukti dalam praktiknya bahwa mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keadilan sosial dan keadilan ekologi utamanya di negara-negara berkembang tetap berlangsung.
Paradigma ini telah dikritik para ilmuwan. Pemikir pembangunan yang mengkritik ideologi pertumbuhan; pertama, Jean Pierre Baudrillard yang menyebut ideologi pertumbuhan hanya menghasilkan dua hal yaitu kemakmuran dan kemiskinan. Makmur bagi yang diuntungkan dan miskin bagi yang dipinggirkan. Ia menyebut “pertumbuhan” sebagai fungsi kemiskinan. Ideologi pertumbuhan menyebabkan manusia menderita kemiskinan psikologis dan kefakiran sistemik akibat “kebutuhan” yang dikonsumsinya melampaui batas produksi.
Kedua, Richard Heinberg (2011) yang menulis kritiknya dalam sebuah buku berjudul The End of Growth, Adapting to Our New Economic Reality. Ia melukiskan bahwa tiga faktor utama yang jadi problem bila menggunakan cara pertumbuhan ekonomi yaitu: (i) deplesi sumber daya alam yang bernilai ekonomi penting yang bersumber dari bahan bakar fosil dan mineral; (ii) penyebaran (proliferasi) dampak lingkungan yang bersumber dari kegiatan ekstraksi maupun pemanfaatan sumber daya alam khususnya pembakaran bahan bakar fosil––yang dampaknya makin membesar bak bola salju sehingga membutuhkan biaya relatif besar untuk menanganinya; (iii) disrupsi finansial yang akibat ketidakmampuan sistem moneter dan perbankan mengelola kelangkaan sumber daya maupun biaya lingkungan yang makin tinggi serta mengatasi tumpukan utang pemerintah maupun swasta di masa lalu. Kedua pemikir ini menolak cara pandang “pertumbuhan” dalam pembangunan ekonomi karena mengorbankan sumber daya alam dan ekologi.
Sayangnya, cara pandang ini masih dianut tanpa kesadaran kritisme dari kaum intelektual, birokrat pemerintah, politisi dan korporat di negeri ini. Becermin dari kasus tsunami yang melanda Palu dan Donggala serta daerah sebelumnya memberi pelajaran bahwa keserakahan manusia telah menghancurkan benteng pertahanan alam di seluruh pesisir Indonesia. Padahal, benteng ini telah menjaga dan melindungi ruang mukim manusia dari beragam ancaman bencana (tsunami, angin topan, rob hingga abrasi) selama ini. Kini semuanya telah roboh akibat perilaku manusia sendiri yang mengejar kepentingan materialisme dengan mengabaikan keadilan ekologi.
Bioinfrastruktur
Kebijakan pemerintah Indonesia yang kini menggenjot pembangunan infrastruktur patut diapresiasi sebagai upaya mengejar kemajuan. Di satu sisi, pembangunan infrastruktur bakal mempermudah distribusi barang dan jasa serta daya saing Indonesia, sebab nyaris tiga dekade terakhir infrastruktur di negeri ini tak mengalami perkembangan memadai. Padahal, salah satu indikator kemajuan dalam pembangunan ekonomi mesti ditunjang infrastruktur memadai dan efisien. Penulis berpendapat bahwa tidak cukup hanya infrastruktur fisik. Pemerintah juga mesti membangun “bioinfrastruktur” yang bertujuan merevitalisasi dan memulihkan kondisi serta fungsi ekosistem sehingga mewujudkan keadilan ekologi.
Di wilayah pesisir Indonesia, bioinfrastruktur diperuntukkan bagi rehabilitasi ekosistem dan vegetasi pesisir khas dan vital sehingga dapat mengembalikan fungsi dan perannya bagi metabolisme alam. Rehabilitasi ekosistem dan vegetasi yang dimaksudkan yaitu terumbu karang, hutan bakau, padang lamun, hingga vegetasi lainnya. Keberadaan bioinfrastruktur tersebut di masa kini juga berfungsi mengatasi dampak perubahan iklim global di pesisir, yaitu kenaikan permukaan laut, suhu dan keasaman air laut (asidifikasi). Pasalnya, keberadaannya menurut hasil riset ilmuwan mampu menyerap karbon yang memicu pemanasan global. Oleh karena itu, membangun bioinfrastruktur di wilayah pesisir Indonesia melalui revitalisasi sabuk hijau di wilayah pesisir yang memiliki fungsi strategis bagi umat manusia dan ekologi menjadi keniscayaan.
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/Dosen Bioindustri Universitas Trilogi Jakarta
GEMPA bumi yang disertai tsunami yang melanda Palu dan Donggala pada September 2018 ini telah meluluhlantakkan kedua kota pesisir tersebut hingga memakan korban ribuan jiwa dan harta benda. Meskipun pusat gempa berlokasi di darat, imbasnya melanda hingga wilayah pesisirnya. Kota Palu dan Donggala yang berlokasi di pesisir Teluk Palu merupakan daerah yang amat terbuka dan langsung berhubungan dengan laut. Nyaris tak ada lagi kehidupan ekosistem khas pesisir di wilayah itu yang berperan sebagai sabuk hijau, seperti jenis bakau.
Wilayah ini telah berubah menjadi kawasan permukiman, bisnis, perkantoran, dan kepelabuhanan yang menjadi karakteristik khas kota-kota pantai di Indonesia. Jika hutan bakau dan vegetasi pesisir masih hidup subur di pesisir Palu dan Donggala, otomatis akan mengurangi dampak tsunami. Ia memang tidak mencegah tsunami, tetapi mengurangi tekanan dan energi yang ditimbulkan gelombang tsunami sehingga sudah berkurang ketika mencapai kawasan permukiman di pesisir. Inilah pentingnya kota-kota pantai memiliki sabuk hijau yang jaraknya minimal 200 meter dari garis pantai.
Keadilan Ekologi
Perilaku manusia yang mendiami wilayah pesisir yang cenderung eksploitatif mengakibatkan ekosistem khas pesisir dibabat habis. Manusia lebih mengedepankan kepentingan ekonomi semata yang mengubah lahan pesisir menjadi kawasan bisnis, pertambakan, permukiman, dan perkantoran tanpa menyisakan sejengkal pun buat sabuk hijau. Perilaku manusia yang mengabaikan kesadaran ekologis berimbas kepada dirinya sendiri tatkala bencana alam semacam gempa diserta tsunami melanda suatu wilayah. Inilah model tata kelola alamiah yang berlangsung dalam ranah planet bumi dan ekosistem. Model tata kelola ini juga berlangsung di ekosistem pesisir. Mekanisme keseimbangan alam berupa daya dukung (carring capasity), proses asimilasi dan metabolismenya berlangsung secara siklikal dalam sistem yang dinamis.
Sayangnya, manusia mengabaikan proses itu hingga ia tetap saja mengeksploitasinya. Akibatnya, keseimbangan dan metabolismenya terganggu. Persis sama dengan manusia. Jika keseimbangan dan metabolisme dalam tubuh manusia terganggu, otomatis penyakit kronis akan menyerangnya. Maka itu, manusia perlu membatasi asupan makanan berlebihan dalam tubuhnya agar keseimbangan dan proses metabolismenya normal dan lancar. Landasan filosofis diandaikan berlangsung dalam tubuh manusia secara mikrokosmos. Proses ini berlangsung sama dengan di alam semesta ini secara makrokosmos.
Pendek kata, alam juga butuh keadilan. Alam pun tak mau diperlakukan semena-mena tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan proses metabolismenya. Manusialah yang mesti menyadarinya sehingga alam tidak menghukumnya. Kalangan intelektual ekologisme menyebutnya sebagai keadilan ekologi (ecological justice). Ironisnya, yang merajalela di hampir seluruh kepulauan Indonesia ini justru ketidakadilan ekologi yang berlangsung selama enam dekade silam. Berbagai lokasi di seluruh kepulauan Indonesia ini nyaris telah terjadi tragedi kepemilikan bersama (tragedy of commons). Tragedi ini terjadi tatkala setiap manusia berusaha menguras kekayaan alam yang menjadi milik bersama buat kepentingan pribadinya sehingga merugikan makhluk hidup lain.
Tragedi ini kerap berlangsung pada sumber daya alam milik bersama seperti pertambangan, hutan tropis, bakau, dan terumbu karang di pesisir yang memicu perebutan kepentingan pemanfaatan ruang di wilayah itu. Cara pandang yang memicu tragedi ini yaitu keserakahan manusia yang hendak meraih keuntungan sebesar-besarnya buat kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain. Dampaknya, lanjutannya berupa perampasan ruang dan sumber daya pesisir dan laut (ocean and coastal grabbing) yang berimbas pada ketidakadilan ekologi.
Apakah membiarkan kondisi ini bakal membuat sabuk hijau di wilayah pesisir terjaga dan lestari sebagai “benteng alam” bagi manusia yang bermukim di wilayah tersebut? Amat mustahil. Mengapa demikian? Penyebabnya ialah secara paradigmatik cara pandang untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya dalam pembangunan ekonomi telah menghegemoni dan jadi pakem ideologi pembangunan yang seolah-olah mirip agama baru. Paradigma ini telah dianut kalangan intelektual, birokrasi, politisi hingga korporat. Terbukti dalam praktiknya bahwa mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keadilan sosial dan keadilan ekologi utamanya di negara-negara berkembang tetap berlangsung.
Paradigma ini telah dikritik para ilmuwan. Pemikir pembangunan yang mengkritik ideologi pertumbuhan; pertama, Jean Pierre Baudrillard yang menyebut ideologi pertumbuhan hanya menghasilkan dua hal yaitu kemakmuran dan kemiskinan. Makmur bagi yang diuntungkan dan miskin bagi yang dipinggirkan. Ia menyebut “pertumbuhan” sebagai fungsi kemiskinan. Ideologi pertumbuhan menyebabkan manusia menderita kemiskinan psikologis dan kefakiran sistemik akibat “kebutuhan” yang dikonsumsinya melampaui batas produksi.
Kedua, Richard Heinberg (2011) yang menulis kritiknya dalam sebuah buku berjudul The End of Growth, Adapting to Our New Economic Reality. Ia melukiskan bahwa tiga faktor utama yang jadi problem bila menggunakan cara pertumbuhan ekonomi yaitu: (i) deplesi sumber daya alam yang bernilai ekonomi penting yang bersumber dari bahan bakar fosil dan mineral; (ii) penyebaran (proliferasi) dampak lingkungan yang bersumber dari kegiatan ekstraksi maupun pemanfaatan sumber daya alam khususnya pembakaran bahan bakar fosil––yang dampaknya makin membesar bak bola salju sehingga membutuhkan biaya relatif besar untuk menanganinya; (iii) disrupsi finansial yang akibat ketidakmampuan sistem moneter dan perbankan mengelola kelangkaan sumber daya maupun biaya lingkungan yang makin tinggi serta mengatasi tumpukan utang pemerintah maupun swasta di masa lalu. Kedua pemikir ini menolak cara pandang “pertumbuhan” dalam pembangunan ekonomi karena mengorbankan sumber daya alam dan ekologi.
Sayangnya, cara pandang ini masih dianut tanpa kesadaran kritisme dari kaum intelektual, birokrat pemerintah, politisi dan korporat di negeri ini. Becermin dari kasus tsunami yang melanda Palu dan Donggala serta daerah sebelumnya memberi pelajaran bahwa keserakahan manusia telah menghancurkan benteng pertahanan alam di seluruh pesisir Indonesia. Padahal, benteng ini telah menjaga dan melindungi ruang mukim manusia dari beragam ancaman bencana (tsunami, angin topan, rob hingga abrasi) selama ini. Kini semuanya telah roboh akibat perilaku manusia sendiri yang mengejar kepentingan materialisme dengan mengabaikan keadilan ekologi.
Bioinfrastruktur
Kebijakan pemerintah Indonesia yang kini menggenjot pembangunan infrastruktur patut diapresiasi sebagai upaya mengejar kemajuan. Di satu sisi, pembangunan infrastruktur bakal mempermudah distribusi barang dan jasa serta daya saing Indonesia, sebab nyaris tiga dekade terakhir infrastruktur di negeri ini tak mengalami perkembangan memadai. Padahal, salah satu indikator kemajuan dalam pembangunan ekonomi mesti ditunjang infrastruktur memadai dan efisien. Penulis berpendapat bahwa tidak cukup hanya infrastruktur fisik. Pemerintah juga mesti membangun “bioinfrastruktur” yang bertujuan merevitalisasi dan memulihkan kondisi serta fungsi ekosistem sehingga mewujudkan keadilan ekologi.
Di wilayah pesisir Indonesia, bioinfrastruktur diperuntukkan bagi rehabilitasi ekosistem dan vegetasi pesisir khas dan vital sehingga dapat mengembalikan fungsi dan perannya bagi metabolisme alam. Rehabilitasi ekosistem dan vegetasi yang dimaksudkan yaitu terumbu karang, hutan bakau, padang lamun, hingga vegetasi lainnya. Keberadaan bioinfrastruktur tersebut di masa kini juga berfungsi mengatasi dampak perubahan iklim global di pesisir, yaitu kenaikan permukaan laut, suhu dan keasaman air laut (asidifikasi). Pasalnya, keberadaannya menurut hasil riset ilmuwan mampu menyerap karbon yang memicu pemanasan global. Oleh karena itu, membangun bioinfrastruktur di wilayah pesisir Indonesia melalui revitalisasi sabuk hijau di wilayah pesisir yang memiliki fungsi strategis bagi umat manusia dan ekologi menjadi keniscayaan.
(wib)