Aspek Hukum Pidana Kebohongan RS di Hadapan Publik
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (em) Hukum Pidana Unpad dan Unpas
DOKTRIN hukum pidana sejak lama dan sampai saat ini, termasuk dalam sistem hukum pidana Indonesia, menganut prinsip daadstrafrecht, yaitu hukum pidana bertolak atas perbuatan pelakunya. Merujuk pada John Searle mengenai filosofi tentang pikiran manusia (Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind, 1983) dijelaskan hubungan interaksionis perbuatan (deeds ) dan niat (intention ) secara linear dan terdapat relasi antara tiga unsur dalam hubungan sebab akibat.
Dalam konteks hukum pidana, komponen prior intention identik dengan motif dan kehendak sukarela yang merupakan wujud nyata dari motif yang mendorong perbuatan yang dilakukan secara sukarela (tanpa paksaan eksternal). Menurut ahli hukum pidana Belanda, Simon, bahwa bagi pembentuk undang-undang pidana seseorang yang dipandang bersalah, jika orang tersebut menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan undang-undang dan dengan begitu ia memiliki kehendak untuk berbuat.
Dalam konteks kasus pernyataan Ratna Sarumpaet (RS) di hadapan publik secara meluas tentang penganiayaan atas dirinya sehingga tampak muka lebam dan telah membuat rasa kemanusiaan siapa pun pasti terusik, dan RS mengakui bahwa peristiwa yang ia nyatakan secara terbuka luas ke hadapan publik adalah rekayasa semata alias kebohongan, maka pendapat Searle, ahli psikologi, dan Simon, ahli hukum pidana, memperkuat bukti bahwa kebohongan RS dilakukan bukan tanpa motif. Tidak cukup hanya tampak dari perbuatannya saja.
Ada relasi interaksionis antara motif dan perbuatan RS yang harus digali penyidik dan bagi penyidik alasan ada "bisikan setan’’ dan untuk kepentingan anaknya bukan keterangan yang bersifat pro justitia . Akibat perbuatan kebohongan RS, selain telah menimbulkan rasa simpati publik dan mengusik naluri kemanusiaan, juga terbukti kemudian telah menimbulkan kecurigaan dan dugaan masyarakat luas bahwa ada intervensi aparat pemerintah notabene kepolisian terlibat dalam peristiwa yang "mengenaskan" tersebut.
Dan, untuk sementara pihak pemerintah tersudutkan dan dirugikan dengan pemberitaan seluruh media nasional juga beberapa media asing. Pernyataan RS telah memasuki ranah publik, yaitu kepentingan hukum umum bukan ranah personal RS semata-mata sehingga telah menyentuh ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku.
Jika suatu perbuatan diduga memiliki bukti petunjuk merupakan tindak pidana, maka wajib penyidik memeriksa semua saksi yang mengetahui, mendengar, dan mengalami. Termasuk siapa pun yang terlibat dalam peristiwa tersebut (putusan MKRI memperluas pengertian tentang saksi), juga keterangan saksi-saksi pimpinan rumah sakit atau klinik tempat RS dirawat dan keterangan petugas Bandara Husein Sastranegara di Bandung.
Pengakuan RS bahwa ia melakukan kebohongan dan permintaan maaf kepada publik tidak menghapuskan tanggung jawab pidananya, kecuali perbuatan RS memenuhi ketentuan Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana. Secara normatif perbuatan RS diduga telah melanggar ketentuan pidana baik UU Nomor 1/1946 tentang KUHP maupun UU Nomor 11/2008 tentang Transaksi dan Informasi Elektronik. Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1/1946 menyatakan bahwa barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
Undang-undang yang sama Pasal 14 ayat (2) menyatakan, barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Lalu, pada Pasal 15: Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.
Selain undang-undang pidana yang merupakan lege generali, larangan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui transaksi elektronik merupakan lex specialis. Dalam Pasal 27 UU ITE menyatakan antara lain, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diancam dengan sanksi hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.
UU ITE Pasal 28 menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) diancam dengan sanksi hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.
Ketentuan pidana dalam dua undang-undang tersebut lazimnya dalam praktik dilengkapi dengan Pasal 55, mulai ayat (1) yakni juga dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Pengertian turut serta menurut Remmelink adalah setiap orang yang memiliki weten (mengetahui) dan willen (menghendaki) akibat dari perbuatan pelaku yang sesungguhnya.
Dalam bahasa normatif dinyatakan antara lain bahwa dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan, dan dipidana sebagai pembantu kejahatan, mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Mengenai jenis pidana, baik terhadap pelaku dan pelaku peserta, pembentuk UU Nomor 1/1946 menyatakan, selain pidana penjara juga dapat dituntut dan dijatuhi pidana pencabutan hak (Pasal 10) . Pidana tambahan pencabutan hak politik terdakwa telah merupakan yurisprudensi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Kebohongan RS yang diakuinya dan mereka yang menyebar kebencian dengan kebohongan RS berdampak luas terhadap pandangan sinis dan kerugian masyarakat luas terhadap pemerintah khususnya kinerja Polri.
Drama yang memiliki aspek pidana ini hanya akan berakhir mulus sampai ke hadapan sidang pengadilan jika sepanjang proses hukum berjalan tidak ada intrik politik dari kedua kubu capres dalam bentuk apa pun. Dengan begitu, Kapolri Tito Karnavion selaku penanggung jawab tertinggi bidang penyidikan dan jajarannya tidak lagi ragu melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penulis mengharapkan proses peradilan dalam perkara RS dapat berlangsung fair and impartial berdasarkan bukti yang cukup, bukan berdasarkan asumsi dan kecurigaan sepihak semata-mata—apalagi untuk kepentingan politik menjelang Pemilu 2019. Kini saatnya membuktikan kepada dunia internasional bahwa NKRI adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Guru Besar (em) Hukum Pidana Unpad dan Unpas
DOKTRIN hukum pidana sejak lama dan sampai saat ini, termasuk dalam sistem hukum pidana Indonesia, menganut prinsip daadstrafrecht, yaitu hukum pidana bertolak atas perbuatan pelakunya. Merujuk pada John Searle mengenai filosofi tentang pikiran manusia (Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind, 1983) dijelaskan hubungan interaksionis perbuatan (deeds ) dan niat (intention ) secara linear dan terdapat relasi antara tiga unsur dalam hubungan sebab akibat.
Dalam konteks hukum pidana, komponen prior intention identik dengan motif dan kehendak sukarela yang merupakan wujud nyata dari motif yang mendorong perbuatan yang dilakukan secara sukarela (tanpa paksaan eksternal). Menurut ahli hukum pidana Belanda, Simon, bahwa bagi pembentuk undang-undang pidana seseorang yang dipandang bersalah, jika orang tersebut menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan undang-undang dan dengan begitu ia memiliki kehendak untuk berbuat.
Dalam konteks kasus pernyataan Ratna Sarumpaet (RS) di hadapan publik secara meluas tentang penganiayaan atas dirinya sehingga tampak muka lebam dan telah membuat rasa kemanusiaan siapa pun pasti terusik, dan RS mengakui bahwa peristiwa yang ia nyatakan secara terbuka luas ke hadapan publik adalah rekayasa semata alias kebohongan, maka pendapat Searle, ahli psikologi, dan Simon, ahli hukum pidana, memperkuat bukti bahwa kebohongan RS dilakukan bukan tanpa motif. Tidak cukup hanya tampak dari perbuatannya saja.
Ada relasi interaksionis antara motif dan perbuatan RS yang harus digali penyidik dan bagi penyidik alasan ada "bisikan setan’’ dan untuk kepentingan anaknya bukan keterangan yang bersifat pro justitia . Akibat perbuatan kebohongan RS, selain telah menimbulkan rasa simpati publik dan mengusik naluri kemanusiaan, juga terbukti kemudian telah menimbulkan kecurigaan dan dugaan masyarakat luas bahwa ada intervensi aparat pemerintah notabene kepolisian terlibat dalam peristiwa yang "mengenaskan" tersebut.
Dan, untuk sementara pihak pemerintah tersudutkan dan dirugikan dengan pemberitaan seluruh media nasional juga beberapa media asing. Pernyataan RS telah memasuki ranah publik, yaitu kepentingan hukum umum bukan ranah personal RS semata-mata sehingga telah menyentuh ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku.
Jika suatu perbuatan diduga memiliki bukti petunjuk merupakan tindak pidana, maka wajib penyidik memeriksa semua saksi yang mengetahui, mendengar, dan mengalami. Termasuk siapa pun yang terlibat dalam peristiwa tersebut (putusan MKRI memperluas pengertian tentang saksi), juga keterangan saksi-saksi pimpinan rumah sakit atau klinik tempat RS dirawat dan keterangan petugas Bandara Husein Sastranegara di Bandung.
Pengakuan RS bahwa ia melakukan kebohongan dan permintaan maaf kepada publik tidak menghapuskan tanggung jawab pidananya, kecuali perbuatan RS memenuhi ketentuan Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana. Secara normatif perbuatan RS diduga telah melanggar ketentuan pidana baik UU Nomor 1/1946 tentang KUHP maupun UU Nomor 11/2008 tentang Transaksi dan Informasi Elektronik. Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1/1946 menyatakan bahwa barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
Undang-undang yang sama Pasal 14 ayat (2) menyatakan, barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Lalu, pada Pasal 15: Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.
Selain undang-undang pidana yang merupakan lege generali, larangan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui transaksi elektronik merupakan lex specialis. Dalam Pasal 27 UU ITE menyatakan antara lain, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diancam dengan sanksi hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.
UU ITE Pasal 28 menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) diancam dengan sanksi hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.
Ketentuan pidana dalam dua undang-undang tersebut lazimnya dalam praktik dilengkapi dengan Pasal 55, mulai ayat (1) yakni juga dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Pengertian turut serta menurut Remmelink adalah setiap orang yang memiliki weten (mengetahui) dan willen (menghendaki) akibat dari perbuatan pelaku yang sesungguhnya.
Dalam bahasa normatif dinyatakan antara lain bahwa dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan, dan dipidana sebagai pembantu kejahatan, mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Mengenai jenis pidana, baik terhadap pelaku dan pelaku peserta, pembentuk UU Nomor 1/1946 menyatakan, selain pidana penjara juga dapat dituntut dan dijatuhi pidana pencabutan hak (Pasal 10) . Pidana tambahan pencabutan hak politik terdakwa telah merupakan yurisprudensi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Kebohongan RS yang diakuinya dan mereka yang menyebar kebencian dengan kebohongan RS berdampak luas terhadap pandangan sinis dan kerugian masyarakat luas terhadap pemerintah khususnya kinerja Polri.
Drama yang memiliki aspek pidana ini hanya akan berakhir mulus sampai ke hadapan sidang pengadilan jika sepanjang proses hukum berjalan tidak ada intrik politik dari kedua kubu capres dalam bentuk apa pun. Dengan begitu, Kapolri Tito Karnavion selaku penanggung jawab tertinggi bidang penyidikan dan jajarannya tidak lagi ragu melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penulis mengharapkan proses peradilan dalam perkara RS dapat berlangsung fair and impartial berdasarkan bukti yang cukup, bukan berdasarkan asumsi dan kecurigaan sepihak semata-mata—apalagi untuk kepentingan politik menjelang Pemilu 2019. Kini saatnya membuktikan kepada dunia internasional bahwa NKRI adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan.
(thm)