Ulama Perekat Umat dan Bangsa

Kamis, 04 Oktober 2018 - 08:01 WIB
Ulama Perekat Umat dan Bangsa
Ulama Perekat Umat dan Bangsa
A A A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam tahun politik ini, ulama kian “seksi” karena menjadi rebutan banyak partai politik untuk mendulang suara umat. Ulama dinilai memiliki magnet kuat di mata pengikutnya. Bahkan ulama pun “dipinang” menjadi calon wakil presiden untuk merekatkan sinergi umara dan ulama.

Namun, para ulama harus siaga satu dan penuh waspada. Jika tidak waspada, ulama bisa diprovokasi, “dikotak-kotakkan”, dan diadu domba satu sama lain. Akibatnya, tidak hanya memanaskan suhu politik nasional, tetapi juga berpotensi “adu ayat”, baku serang, dan saling fitnah dalam berkontestasi dan berdemokrasi.

Karena itu, ulama, umara, dan umat diharapkan dapat bersinergi, bergandeng tangan, bersaudara, dan berbagi dalam membangun masa depan bangsa dengan rukun dan damai. Pilihan calon capres dan cawapres boleh beda, tetapi semua harus tetap bersaudara dan menjadi perekat umat dan bangsa.

Bagaimana ulama berperan sebagai perekat umat dan bangsa dengan memosisikan dirinya sebagai pewaris Nabi (al-ulama’ waratsatul anbiya’)? Sejatinya, figur ulama itu bervisi dan berjiwa profetik, penyeru kebenaran, pencerah kehidupan, dan pelayan umat dan bangsa. Karena itu, ulama harus menunjukkan kompetensi dan integritasnya dalam mengemban visi dan misi profetik mulia: membangun peradaban kemanusiaan yang berkeadaban dan berkemajuan.

Panggilan Iman
Menjadi ulama perekat umat dan bangsa itu bukan pilihan biasa, tetapi merupakan panggilan iman dan hati nurani kebenaran. Dalam menjahit “baju kebinekaan” dan merekatkan nasionalisme keindonesiaan, ulama diharapkan menjadi pengemban misi dakwah amar makruf nahi mungkar. Karena itu, ulama tidak hanya dituntut menjadi penyejuk dan pemersatu umat, tetapi juga harus bisa menjadi teladan moral terbaik dan terdepan bagi semua.

Sebagai pewaris keluhuran moralitas Nabi, ulama berperan sentral dalam mencerdaskan, menginspirasi, mencerahkan, dan membela kepentingan umat dan bangsa. Ulama diharapkan mampu memberi solusi cerdas dan strategis dalam mengatasi berbagai persoalan umat dan bangsa. Tidak sepatutnya ulama “mengemis” jabatan politik karena ulama itu harus “berada di atas dan untuk semua golongan”. Ulama itu sejatinya menjadi guru bangsa dan sumber referensi dalam memberi solusi persoalan keagamaan, keumatan, dan kebangsaan.

Panggilan iman dan komitmen kebenaran mengharuskan ulama bersedia menyelami “denyut nadi” anak bangsa karena mengalami dekadensi moral yang sangat serius. Kanker korupsi yang menggerogoti hampir semua lini kehidupan, utang negara yang kian menggunung, maraknya hoaks, ujaran kebencian, fitnah dan adu domba, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan penurunan daya beli masyarakat merupakan pekerjaan rumah yang menuntut kontribusi ulama untuk memberikan solusinya.

Menjadi ulama itu tidak boleh “karbitan sekaligus partisan” karena tidak akan “berdiri tegap, di atas dan untuk semua golongan”. Ulama karbitan dan partisan berpotensi “menjual dan melacurkan agama” hanya untuk kepentingan politik kekuasaan, bukan politik kemaslahatan umat dan bangsa. Karena itu, ulama harus memiliki jejak rekam keilmuan, keberpihakan kepada kebenaran, dan komitmen keumatan yang kuat untuk menjadi penyejuk hati umat, bukan penebar permusuhan dan kebencian kepada siapa pun, apalagi terhadap sesama ulama.

Bermitra Strategis
Karena persoalan bangsa ini sangat kompleks: korupsi berjamaah, bisnis dan penyalahgunaan narkoba, miras, pengangguran, dan sebagainya, maka ulama perlu bersinergi dan berbagi peran dalam mencegah dan memberantas berbagai pelanggaran hukum tersebut. Ulama pewaris Nabi itu patut bermitra strategis dan berkontribusi positif dalam pembangunan bangsa, bukan sekadar menjadi “stempel pemerintah” saat dibutuhkan, apalagi sampai “melacurkan dirinya“ untuk merebut jabatan tertentu dengan menghalalkan segala cara.

Sebagai mitra strategis, ulama dapat berperan ganda: sebagai perekat umat dan bangsa dengan kontribusi keulamaan dan keteladanan moralitasnya di satu segi, dan di segi lagi sebagai pengontrol dan penyampai kritik sosial konstruktif terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah yang dipandang perlu diluruskan dan ditingkatkan.

Karena itu, sinergi ulama, umara, dan umat harus diaktualisasikan da­lam memajukan pembangunan bangsa. Simbiosis mutualisme ketiganya tidak boleh disusupi “anasir jahat” yang bermaksud mengganti ideologi negara (Pancasila) dan membelokkan “kiblat dan tujuan pendirian” NKRI.

Kontestasi pemilihan capres dan cawapres yang akan dihelat pada 17 April 2019 hendaknya dimaknai sebagai proses demokrasi yang menggembirakan dan bermartabat bagi semua, termasuk ulama. Dalam masa kampanye pilpres para ulama diharapkan memainkan peran pemersatu dan pendamai segenap pihak agar tidak terjadi permusuhan, persekusi, perundungan, penyebaran hoaks, ujaran kebencian, fitnah, provokasi liar, dan disintegrasi bangsa.

Semua ulama perlu membangun komunikasi dan silaturahmi dengan semua komponen bangsa dalam bingkai demokrasi yang santun, rasional, dan berkeadaban. Karena itu, tidak sepatutnya, sesama ulama saling menghina dan merendahkan. Sebaliknya, sesama ulama harus saling memuliakan dan menunjukkan keteladanan moral sebagai guru bangsa yang patut digugu, ditiru, dan dihormati. Dalam menyikapi perbedaan, para ulama harus dapat menunjukkan kematangan mental spiritual dan kearifan sosialnya sehingga tidak terjadi persekusi dan kriminalisasi ulama.

Ulama sejati pewaris Nabi itu tidak akan bersikap oportunis dan pragmatis dalam berpolitik karena warisan profetik yang mengaliri darah keulamaannya adalah iman hakiki, ilmu amali, dan nilai-nilai suci demi tegaknya kebenaran, kebaikan, kemaslahatan, kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan bagi semua. Jika ulama sejati pewaris Nabi itu hebat, maka bangsa dan negara ini pasti berdaulat, kuat, dan bermartabat. Akan tetapi, jika ulama “dikebiri dan dipolitisasi”, maka umat dan bangsa akan kehilangan figur referensi moral panutan, dan berpotensi terjadi adu domba, permusuhan, keterbelahan, dan konfrontasi satu sama lain.

Sudah saatnya, ulama memandu jalan warisan kenabian dalam memenangkan Indonesia masa depan karena republik ini dimerdekakan dan didirikan antara lain dengan tinta emas para ulama yang dengan tulus meletakkan dasar-dasar negara: ideologi Pancasila dan UUD 1945. Mereka itulah ulama perekat umat dan bangsa!
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6826 seconds (0.1#10.140)
pixels