Komitmen dan Wacana Kebijakan Luar Negeri Feminis
A
A
A
Maulia Rahma Fitria
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Malang
MENTERI luar negeri perempuan dari beberapa negara di dunia telah melakukan pertemuan pada 21 hingga 22 September 2018 di Montreal, Kanada. Setidaknya, seperti yang dilansir dalam laman resmi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, pertemuan menlu perempuan yang pertama ini dihadiri oleh 15 Menlu dari Andorra, Bulgaria, Costa Rica, Ghana, Guatemala, Indonesia, Kanada, Kenya, Namibia, Norwegia, Panama, Saint Lucia, South Africa, Swedia dan Uni Eropa serta Jepang.
Sebagai tuan rumah dalam pertemuan tersebut, Kanada telah berkomitmen dalam memprioritaskan isu-isu perempuan di bawah kepemimpinannya dalam G-7 tahun ini. Adapun isu-isu yang diangkat dalam pertemuan tersebut di antaranya keamanan internasional, memperkuat demokrasi, keragaman, dan memerangi kekerasan seksual dan berbasis gender.
Tercatat hingga saat ini sekitar kurang lebih 30 perempuan telah memimpin peran diplomasi negara mereka, termasuk 8 delapan di Eropa, 10 di Amerika Latin dan Karibia, lima di Afrika, dan sisanya berada di negara-negara Asia, Australia dan kawasan pasifik.
Pertemuan ini merupakan pencapaian historis bagi perempuan di dunia. Tetapi, pencapaian tersebut tidak seharusnya sebatas pencapaian secara simbolik. Seharusnya kesempatan ini mampu dijadikan sebagai cara-cara konkret meningkatkan status perempuan di mata global dan mewujudkan kebijakan luar negeri yang lebih feminis (feminist foreign policy).
Konsep kebijakan luar negeri feminis pertama kali dipopulerkan pada 2014 oleh Menteri Luar Negeri Swedia Margot Wallstrom yang juga hadir dalam pertemuan tersebut. Wallstrom telah menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri feminis berarti berdiri melawan subordinasi sistematis perempuan secara global dan prakondisi untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan pembangunan dan keamanan luar negeri yang lebih luas di Swedia.
Kesetaraan gender adalah sebuah keharusan sebagai salah satu bentuk dalam mewujudkan keadilan dan merupakan cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan lain, seperti pemberantasan terorisme, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesehatan.
Dalam agenda bersejarah ini, Kanada melalui Perdana Menterinya, Justin Trudeau turut mengklaim dirinya sebagai negara yang telah mengadopsi kebijakan luar negeri feminis. Keseriusannya telah ditunjukkan dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan. Misalnya 95% anggaran bantuannya telah dialokasikan bagi terwujudnya kesetaraan gender, termasuk investasi USD3,8 milliar untuk pendidikan perempuan dan anak perempuan dalam krisis dan konflik.
Selain itu, kemajuan yang telah dibuat negara ini dengan the Feminist International Assistance Policy pada 2017, the National Action Plan on Women, Peace, and Security, serta fokus gender dalam agenda perdagangan dan kebijakan pertahanan mereka. Kanada bahkan berusaha tetap memegang prinsip kebijakan luar negeri feminis dalam setiap tindakannya, termasuk dalam penjualan senjata.
Sebelumnya, beberapa negara selain Swedia telah mengklaim sebagai negara yang mengadopsi prinsip kebijakan luar negeri feminis. Misalnya Amerika Serikat, melalui departemen luar negeri di bawah Hillary Clinton dan John Kerry, membuat kebijakan luar negeri khusus mengenai berbagai isu gender. Termasuk strategi AS mencegah dan menanggapi kekerasan berbasis gender secara global, National Action Plan untuk perempuan, perdamaian, dan keamanan, serta Global Strategy to Empower Adolescent Girls.
Kemudian Australia, melalui Menteri Luar Negeri perempuan pertamanya, Julie Bishop, menjadikan pentingnya isu kesetaraan gender sebagai pusat perdamaian dan keamanan global. William Hague, mantan Menteri Luar Negeri Inggris pun mengakhiri pemerkosaan dalam perang sebagai prioritas platform kebijakannya selama kepemimpinan Inggris dalam G-7.
Namun berbicara mengenai kebijakan luar negeri yang feminis dan berkeadilan, negara-negara yang pernah mengklaim telah mengadopsi prinsip tersebut tidak pernah benar-benar mengimplementasikan secara penuh.
AS sejak era Trump telah memangkas beberapa program yang ditujukan untuk perempuan, termasuk sebesar USD350 juta dari program kesehatan reproduksi. Bahkan dalam pertemuan G-7 tahun ini, perwakilan AS menolak membicarakan mengenai kesehatan, hak seksual dan reproduksi.
Tak berhenti di situ, Trump juga menghapus beberapa kebijakan yang dibuat Obama yang berkaitan dengan hak akses kontrasepsi dan aborsi, hak untuk tidak diperkosa, dan hak-hak LGBT untuk hidup bebas tanpa kekerasan dan diskriminasi.
Implementasi dari kebijakan luar negeri yang memegang prinsip feminis ini memang masih jauh dari pencapaian secara penuh. Bahkan ketika Swedia mengeluarkan kebijakan luar negeri feminis pertama di dunia pada 2014. Namun setahun kemudian kebijakan tersebut dilemahkan oleh kebijakan pertahanan dengan menandatangani kesepakatan untuk menjual senjata ke Arab Saudi.
Kebijakan luar negeri feminis seharusnya diwujudkan dengan lebih ambisius. Seperti apa yang ditulis oleh Wallstrom dalam Handbook yang baru saja diterbitkan mengenai konsep tersebut.
Bahwa kebijakan ini harus bertujuan untuk mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk mencapai kesetaraan gender. Juga harus mampu mengganggu struktur kekuasaan yang didominasi laki-laki, mulai dari strategi diplomasi hingga desain program bantuan asing. Di sinilah kemudian komitmen dalam mewujudkan kebijakan luar negeri yang lebih feminis dan berkeadilan diuji.
Pertemuan yang telah dilaksanakan pada 21 hingga 22 September 2018 lalu merupakan suatu peluang untuk mematangkan dan menyempurnakan gagasan kebijakan luar negeri feminis serta mengartikulasikan tujuan dari kebijakan tersebut agar dapat diupayakan secara penuh oleh negara-negara di dunia.
Dan tentu, tindak lanjut yang nyata dari pertemuan tersebut telah ditunggu-tunggu oleh seluruh kelompok-kelompok perempuan yang ada di dunia. Yang jelas perlu adanya penegasan kembali mengenai pelibatan kebijakan luar negeri feminis dalam bantuan untuk perdagangan hingga pembangunan.
Selain itu, penting untuk dipikirkan kembali bagi seluruh menteri luar negeri maupun diplomat perempuan dari negara manapun untuk berpikir bahwa pekerjaan mereka bukan lagi hanya mengenai perdamaian dan keamanan tradisional. Tetapi juga meliputi keamanan manusia. Misalnya dengan memastikan kamp-kamp pengungsi dirancang agar perempuan terlindungi dengan baik. Sebab tidak sedikit perempuan yang menduduki posisi-posisi pengambilan keputusan tetapi masih menggunakan pendekatan yang maskulin.
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Malang
MENTERI luar negeri perempuan dari beberapa negara di dunia telah melakukan pertemuan pada 21 hingga 22 September 2018 di Montreal, Kanada. Setidaknya, seperti yang dilansir dalam laman resmi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, pertemuan menlu perempuan yang pertama ini dihadiri oleh 15 Menlu dari Andorra, Bulgaria, Costa Rica, Ghana, Guatemala, Indonesia, Kanada, Kenya, Namibia, Norwegia, Panama, Saint Lucia, South Africa, Swedia dan Uni Eropa serta Jepang.
Sebagai tuan rumah dalam pertemuan tersebut, Kanada telah berkomitmen dalam memprioritaskan isu-isu perempuan di bawah kepemimpinannya dalam G-7 tahun ini. Adapun isu-isu yang diangkat dalam pertemuan tersebut di antaranya keamanan internasional, memperkuat demokrasi, keragaman, dan memerangi kekerasan seksual dan berbasis gender.
Tercatat hingga saat ini sekitar kurang lebih 30 perempuan telah memimpin peran diplomasi negara mereka, termasuk 8 delapan di Eropa, 10 di Amerika Latin dan Karibia, lima di Afrika, dan sisanya berada di negara-negara Asia, Australia dan kawasan pasifik.
Pertemuan ini merupakan pencapaian historis bagi perempuan di dunia. Tetapi, pencapaian tersebut tidak seharusnya sebatas pencapaian secara simbolik. Seharusnya kesempatan ini mampu dijadikan sebagai cara-cara konkret meningkatkan status perempuan di mata global dan mewujudkan kebijakan luar negeri yang lebih feminis (feminist foreign policy).
Konsep kebijakan luar negeri feminis pertama kali dipopulerkan pada 2014 oleh Menteri Luar Negeri Swedia Margot Wallstrom yang juga hadir dalam pertemuan tersebut. Wallstrom telah menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri feminis berarti berdiri melawan subordinasi sistematis perempuan secara global dan prakondisi untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan pembangunan dan keamanan luar negeri yang lebih luas di Swedia.
Kesetaraan gender adalah sebuah keharusan sebagai salah satu bentuk dalam mewujudkan keadilan dan merupakan cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan lain, seperti pemberantasan terorisme, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesehatan.
Dalam agenda bersejarah ini, Kanada melalui Perdana Menterinya, Justin Trudeau turut mengklaim dirinya sebagai negara yang telah mengadopsi kebijakan luar negeri feminis. Keseriusannya telah ditunjukkan dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan. Misalnya 95% anggaran bantuannya telah dialokasikan bagi terwujudnya kesetaraan gender, termasuk investasi USD3,8 milliar untuk pendidikan perempuan dan anak perempuan dalam krisis dan konflik.
Selain itu, kemajuan yang telah dibuat negara ini dengan the Feminist International Assistance Policy pada 2017, the National Action Plan on Women, Peace, and Security, serta fokus gender dalam agenda perdagangan dan kebijakan pertahanan mereka. Kanada bahkan berusaha tetap memegang prinsip kebijakan luar negeri feminis dalam setiap tindakannya, termasuk dalam penjualan senjata.
Sebelumnya, beberapa negara selain Swedia telah mengklaim sebagai negara yang mengadopsi prinsip kebijakan luar negeri feminis. Misalnya Amerika Serikat, melalui departemen luar negeri di bawah Hillary Clinton dan John Kerry, membuat kebijakan luar negeri khusus mengenai berbagai isu gender. Termasuk strategi AS mencegah dan menanggapi kekerasan berbasis gender secara global, National Action Plan untuk perempuan, perdamaian, dan keamanan, serta Global Strategy to Empower Adolescent Girls.
Kemudian Australia, melalui Menteri Luar Negeri perempuan pertamanya, Julie Bishop, menjadikan pentingnya isu kesetaraan gender sebagai pusat perdamaian dan keamanan global. William Hague, mantan Menteri Luar Negeri Inggris pun mengakhiri pemerkosaan dalam perang sebagai prioritas platform kebijakannya selama kepemimpinan Inggris dalam G-7.
Namun berbicara mengenai kebijakan luar negeri yang feminis dan berkeadilan, negara-negara yang pernah mengklaim telah mengadopsi prinsip tersebut tidak pernah benar-benar mengimplementasikan secara penuh.
AS sejak era Trump telah memangkas beberapa program yang ditujukan untuk perempuan, termasuk sebesar USD350 juta dari program kesehatan reproduksi. Bahkan dalam pertemuan G-7 tahun ini, perwakilan AS menolak membicarakan mengenai kesehatan, hak seksual dan reproduksi.
Tak berhenti di situ, Trump juga menghapus beberapa kebijakan yang dibuat Obama yang berkaitan dengan hak akses kontrasepsi dan aborsi, hak untuk tidak diperkosa, dan hak-hak LGBT untuk hidup bebas tanpa kekerasan dan diskriminasi.
Implementasi dari kebijakan luar negeri yang memegang prinsip feminis ini memang masih jauh dari pencapaian secara penuh. Bahkan ketika Swedia mengeluarkan kebijakan luar negeri feminis pertama di dunia pada 2014. Namun setahun kemudian kebijakan tersebut dilemahkan oleh kebijakan pertahanan dengan menandatangani kesepakatan untuk menjual senjata ke Arab Saudi.
Kebijakan luar negeri feminis seharusnya diwujudkan dengan lebih ambisius. Seperti apa yang ditulis oleh Wallstrom dalam Handbook yang baru saja diterbitkan mengenai konsep tersebut.
Bahwa kebijakan ini harus bertujuan untuk mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk mencapai kesetaraan gender. Juga harus mampu mengganggu struktur kekuasaan yang didominasi laki-laki, mulai dari strategi diplomasi hingga desain program bantuan asing. Di sinilah kemudian komitmen dalam mewujudkan kebijakan luar negeri yang lebih feminis dan berkeadilan diuji.
Pertemuan yang telah dilaksanakan pada 21 hingga 22 September 2018 lalu merupakan suatu peluang untuk mematangkan dan menyempurnakan gagasan kebijakan luar negeri feminis serta mengartikulasikan tujuan dari kebijakan tersebut agar dapat diupayakan secara penuh oleh negara-negara di dunia.
Dan tentu, tindak lanjut yang nyata dari pertemuan tersebut telah ditunggu-tunggu oleh seluruh kelompok-kelompok perempuan yang ada di dunia. Yang jelas perlu adanya penegasan kembali mengenai pelibatan kebijakan luar negeri feminis dalam bantuan untuk perdagangan hingga pembangunan.
Selain itu, penting untuk dipikirkan kembali bagi seluruh menteri luar negeri maupun diplomat perempuan dari negara manapun untuk berpikir bahwa pekerjaan mereka bukan lagi hanya mengenai perdamaian dan keamanan tradisional. Tetapi juga meliputi keamanan manusia. Misalnya dengan memastikan kamp-kamp pengungsi dirancang agar perempuan terlindungi dengan baik. Sebab tidak sedikit perempuan yang menduduki posisi-posisi pengambilan keputusan tetapi masih menggunakan pendekatan yang maskulin.
(poe)