Tantangan Politik Luar Negeri Capres

Rabu, 26 September 2018 - 07:46 WIB
Tantangan Politik Luar Negeri Capres
Tantangan Politik Luar Negeri Capres
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

PARA calon presiden dan wakil presiden telah ditetapkan secara sah dan masa kampanye telah dimulai. Kampanye pemilihan presiden sekaligus DPR dan DPD yang terjadi tahun ini sangat menentukan; bukan hanya hasilnya, melainkan juga yang lebih penting adalah prosesnya.

Apabila proses pemilihan umum dapat berjalan dan diterima oleh kedua belah pihak atau masyarakat dengan baik maka hasilnya akan memiliki bobot yang berkualitas. Sebaliknya, apabila prosesnya tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan tidak diterima oleh banyak pihak maka hasilnya pun akan kehilangan legitimasi.Kehilangan legitimasi ini akan menjadi faktor penghambat bagi siapa pun yang nanti berkuasa untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakannya.Legitimasi ini menjadi penting karena menjadi kekuatan internal kita dalam menghadapi dinamika politik luar negeri yang sangat dinamis. Saya melihat bahwa di dalam visi dan misi 2019–2024, kedua pasangan masih belum ada penegasan tentang arah politik luar negeri ke depan.

Kekosongan ini berbeda dari visi dan misi masa kampanye 2014. Pada saat itu, Jokowi-JK menyatakan politik luar negeri bebas-aktif masih menjadi kerangka kerja politik luar negeri Indonesia, sementara Prabowo-Hatta menekankan pada tantangan untuk menghadapi globalisasi dan perlunya Indonesia aktif dalam perdamaian dunia.

Belum tampaknya arah politik luar negeri kedua pasangan mungkin disebabkan tidak mau terbebani oleh janji-janji atau target. Saya memahami dan wajar hal itu terjadi karena situasi politik internasional di dunia memang sangat dinamis dan bergerak dengan cepat.

Meski demikian, garis kebijakan politik luar negeri sewajarnya juga tetap ditegaskan sebagai bagian dari program kampanye agar masyarakat di dalam dan di luar negeri dapat menduga ke arah mana Indonesia akan dibawa selanjutnya.

Dua hal yang penting dalam politik luar negeri, karena sifatnya yang saling mengisi, adalah perdagangan dan penegakan HAM. Tema ini penting karena perdagangan tanpa ada perlindungan HAM hanya akan menghasilkan ketimpangan yang makin mendalam. Sementara itu, penegakan HAM tanpa ada perdagangan yang adil juga akan menciptakan kesenjangan antarnegara.

Dalam perdagangan, masalah pertama di depan mata adalah bagaimana sikap Indonesia dalam menghadapi menguatnya proteksionisme di tingkat global? Dalam tataran retorika, di luar wilayah Eropa atau Amerika Serikat, hampir semua negara (khususnya negara dunia ketiga dan emerging market) memang menampilkan semangat proteksionisme yang terkandung dalam ideologi nasionalisme dan kedaulatan.

Namun dalam kenyataannya, ketika hampir seluruh negara menjadi anggota World Trade Organization dan terlibat dalam perjanjian kerja sama ekonomi antarnegara, maka kemampuan menerapkan batas-batas nasionalisme otomatis menyusut. Suka atau tidak suka, ada beberapa sektor kita yang diuntungkan dengan semakin tipisnya batas antara negara seperti di sektor manufaktur, tetapi juga ada yang dirugikan seperti dalam komoditas pertanian.

Dalam kurun waktu 30 tahun lebih, tidak ada negara yang berani menantang liberalisasi perdagangan itu kecuali Amerika Serikat dan Inggris dalam lima tahun terakhir ini. Kedua negara ekonomi besar dunia ini benar-benar menggunakan retorika nasionalisme mereka dalam melawan arus kerja sama global yang sebenarnya juga telah menguntungkan mereka di beberapa aspek ekonomi.
Tidak bisa disangkal bahwa globalisasi telah membawa kejayaan pada sejumlah perusahaan AS dan Inggris seperti Microsoft, Apple, Nike, Levis, Coach, Bentley, Rolls-Royce, Dunhill. Namun, kedua negara ini merasa bahwa dengan menarik sejumlah kerja sama dengan sejumlah pihak mereka akan lebih untung. Presiden AS Donald Trump mengambil jalan menaikkan tarif impor sementara Inggris memilih keluar dari Uni Eropa.
Kebijakan proteksionis Inggris mungkin agak berbeda dengan AS. Kebijakan proteksionis Inggris lebih diproyeksikan untuk menghadang persaingan di pasar Uni Eropa ketimbang global, sedangkan proteksi AS lebih luas dan menyasar ke berbagai perjanjian multilateral dan internasional yang telah disepakati sebelumnya. Liberalisasi perdagangan bebas yang terjadi selama ini dinilai oleh kedua negara tersebut telah merugikan kepentingan ekonomi dalam negerinya.

Kebijakan proteksionis AS dan Inggris juga belum mencapai klimaksnya mengingat konflik yang tajam dalam tubuh elite-elite partai. AS akan menghadapi pemilu sela pada November ini. Perilaku pemilih AS biasanya akan memenangkan partai oposisi ketimbang partai yang mendukung Trump.

Apabila ini terjadi, kebijakan proteksionis dapat terhambat bahkan peluang Presiden Trump untuk menghadapi pemasygulan (impeachment) juga terbuka lebar. Sementara di Inggris, ada usulan untuk melakukan referendum kedua untuk mengulang lagi pencarian keputusan untuk tetap keluar dari Uni Eropa atau kembali masuk ke dalam Masyarakat Uni Eropa.

Namun, hal yang pasti adalah bahwa menyusutnya pengaruh AS dalam perdagangan dunia telah memberikan ruang bagi negara-negara lain seperti China, Rusia, atau Uni Eropa untuk berkibar. Negara-negara tersebut masih tergabung dalam perjanjian multilateral yang penting seperti Kemitraan Trans-Pasifik TPP atau Asian Infrastructure Investment Bank.

Apakah para capres akan mendukung atau menolak Indonesia dalam perjanjian multilateral tersebut? Pilihan itu tentu akan lebih sensitif apabila berkaitan dengan pendanaan dari China. Dana atau utang dari China lebih kompetitif (berbunga rendah) dibandingkan dengan pinjaman komersial dari Eropa atau AS, namun karena bunga kecil itu maka banyak negara yang tergiur meminjam dengan jumlah yang sangat besar.

Beberapa negara yang tidak baik pengelolaan anggarannya akhirnya tidak dapat mengembalikan dana tersebut (dan terjerat utang), sementara mereka yang baik dapat mempercepat pertumbuhan ekonominya. Ini akan menjadi pilihan yang menyulitkan bagi para capres.

Apabila Indonesia tidak meminjam uang dari China untuk pembangunan, Indonesia mungkin tidak akan kompetitif berhadapan dengan negara lain yang berani meminjam bantuan dari China. Kita berharap para capres dapat menegaskan posisi mereka terhadap masalah ini serta memberikan gagasan untuk mengurangi konsekuensi negatif yang mungkin timbul dari menerima atau menolak bantuan China.

Berjalan paralel dengan pendekatan yang sangat pragmatis dari negara-negara di dunia, maka penegakan HAM menjadi semakin tersandera oleh kepentingan masing-masing negara. Dalam pendekatan yang pragmatis, setiap negara akan menyeimbangkan power mereka terhadap negara lain.

Cara penyeimbangannya dapat dilakukan melalui pembentukan aliansi dengan negara lain yang memiliki kepentingan sama hingga melakukan intervensi militer, seperti yang terjadi di Suriah atau Yaman. Di tingkat regional seperti ASEAN, kepentingan untuk menyeimbangkan kekuatan juga telah menyandera penyelesaian masalah Rohingya.

Tidak ada kemajuan yang signifikan dalam masalah ini karena beberapa negara di ASEAN memilih bermain “aman”, terutama mereka yang memiliki investasi atau berbatasan langsung dengan Myanmar. Apakah Indonesia akan memilih “main aman” juga?

PBB sebagai sebuah lembaga yang memiliki mandat internasional untuk membangun perdamaian dunia telah gagal berfungsi dalam beberapa hal, meskipun berhasil di masalah yang lain.

Dalam kasus intervensi dari satu negara ke negara lain, PBB tampak tidak berdaya. Namun untuk masalah terkait wabah epidemik seperi ebola, kepemimpinan PBB dapat teruji. Artinya perlu ada gagasan kreatif untuk mereformasi PBB agar dapat efektif mencegah pertikaian dunia, dan utamanya mencegah negara yang kuat untuk semena-mena terhadap negara lain.

Apabila tidak ada fungsi yang menghambat eksploitasi dari satu negara ke negara lain, kerja sama ekonomi dunia seperti perdagangan hanya akan menguntungkan negara-negara yang kuat. Apakah para capres yang akan bertanding memiliki konsep yang realistis dan dapat menjadi pijakan dalam politik luar negeri Indonesia lima tahun mendatang untuk menciptakan perdamaian dunia?

Dari uraian tersebut maka kita mengharapkan agar visi dan misi para capres bisa terintegrasi dan mengakomodasi kepentingan dalam negeri dan luar negeri. Apakah Indonesia ke depan akan mengikuti garis proteksionis atau terus melanjutkan liberalisasi sesuai dengan semangat perdagangan bebas selama ini? Apakah kedua capres memiliki formula dan memungkinkan menyinergikan kebijakan proteksionis dan liberalisasi?

Apakah formula itu memiliki dampak juga pada penegakan HAM dan perdamaian dunia? Apakah Indonesia akan tetap aktif menyuarakan penegakan HAM di luar negeri seperti halnya kita bicara akan pentingnya kemanusiaan dan pemerataan keadilan di dalam negeri?
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4980 seconds (0.1#10.140)