Optimalkan Program Biosolar B20
A
A
A
Marwan Batubara
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS)
Mulai 1 September 2018 pemerintah telah mewajibkan seluruh badan usaha niaga BBM untuk mencampur 20% biodiesel dengan 80% solar (B20) dalam penjualan BBM solar, baik untuk pengguna solar bersubsidi (biosolar di SPBU), maupun nonsubsidi (pertambangan, perkebunan, dan lain-lain). Dengan kewajiban ini penggunaan biosolar B20 diperluas dari hanya pada sektor PSO menjadi termasuk juga sektor non-PSO. Kebijakan B-20 merupakan mandatori pencampuran bahan bakar nabati (BBN) ke dalam bahan bakar minyak (BBM).
Perluasan penggunaan program B20 terutama bertujuan untuk mengurangi impor minyak dan BBM sehingga dapat menghemat devisa negara yang diharapkan berdampak pada pengurangan defisit transaksi berjalan (current account defisit, CAD) yang menjadi sentimen negatif terhadap pelemahan rupiah. Untuk itu pemerintah pun melengkapi kebijakan dengan ketentuan lain berupa: tidak boleh ada lagi penjualan solar murni (B0), sanksi denda dan pencabutan izin bagi pelanggar, tersedianya insentif dari BPDPKS, jaminan kualitas FAME sesuai SNI dari pemerintah, dan dibentuknya customer care untuk pengaduan masyarakat.
Selain menghemat devisa, program B20 juga akan meningkatkan devisa ekspor melalui naiknya harga CPO dan meningkatnya harga di tingkat petani. Yang tak kalah penting, program B20 juga akan meningkatkan ketahanan energi melalui peningkatan porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi, dan berkurangnya emisi gas rumah kaca.
Peningkatan porsi EBT ini sebenarnya telah dicanangkan dalam PP Nomor 79/2014 (tentang Kebijakan Energi Nasional, KEN), yakni sekitar 23% pada 2025. Namun karena masalah road map dan inkonsistensi sikap pemerintah, target KEN tersebut belum optimal dilaksanakan.
“Untunglah” muncul masalah CAD dan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, sehingga pemerintah menerbitkan program B20 yang secara bersamaan dapat mempercepat tercapainya target bauran EBT 23% di atas. Namun agar kebijakan tersebut berkelanjutan dan tidak hanya bersifat interim seperti pola pemadam kebakaran, perlu diberi catatan dan sejumlah usulan seperti diuraikan berikut ini.
Pertama, program B20 mestinya tidak hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi dan industri CPO, tetapi juga pada kepentingan ketahanan energi. Ketiga hal tersebut mestinya ditangani secara terintegrasi dan berkelanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa pada 2016 dan awal 2018, saat harga CPO turun ke titik terendah (sekitar US$ 414/ton), pemerintah sangat aktif mempromosikan program-program B10, B20 bahkan B30. Tujuannya agar permintaan CPO meningkat dan harga CPO terkerek naik. Penaikan harga CPO ini pun tentu akan meningkatkan penerimaan negara. Namun setelah harga CPO “pulih”, promosi program-program B”X” tersebut seolah dilupakan. Tak terlihat upaya yang komprehensif guna meningkatkan penggunaan CPO pada sektor energi. Terkesan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan industri sawit dibanding kepentingan ketahanan energi nasional.
Kedua, penerapan program B20 mestinya diiringi dengan program-program B30, B40, dan seterusnya hingga B100 dalam kurun waktu yang terencana dan dipercepat. Pemerintah perlu menyusun target tercapainya program B100, misalnya dalam 4-5 tahun mendatang. Dengan demikian, target bauran energi dapat tercapai, turunnya produksi migas akan dapat disubstitusi oleh BBN/EBT, dan CAD yang dipicu oleh besarnya impor migas dapat dimitigasi.
Ketiga, sejalan dengan butir kedua di atas, pemerintah harus menjamin kelangsungan program B20 hingga B100 di atas secara berkesinambungan tanpa terkendala oleh kepentingan sektoral industri kelapa sawit. Kendala ini dapat saja muncul saat harga CPO naik secara signifikan, sehingga produsen sawit lebih memilih, atau “dibiarkan” oleh pemerintah untuk mengekspor CPO dibanding menjualnya di dalam negeri untuk mendukung program B”X”.
Keempat, pemerintah harus menjamin kesinambungan pemberian insentif untuk menutup selisih antara Harga Indeks Pasar (HIP) BBN biodiesel, yang sering lebih tinggi, dengan HIP BBM solar, agar harga eceran biosolar (B20) tidak naik. Insentif penutup selisih HIP tersebut, sesuai ketentuan yang ada, diambil dari pungutan ekspor yang dihimpun oleh BPDPKS (besarnya US$ 50 per ton). Pemerintah harus menjamin agar BUMN/Pertamina sebagai badan usaha terbesar penyalur biodiesel B20 (sekitar 2,5 juta kiloliter hingga Desember 2018) tidak ikut menanggung selisih HIP tersebut. Pemerintah harus mencegah terulangnya kerugian Pertamina puluhan triliun rupiah akibat dipaksa menjalankan kebijakan PSO solar dan premium 2017 yang seharusnya didanai APBN. Jika diperlukan, akibat keterbatasan dana BPDPKS, pemerintah pun layak mengalokasikan subsidi program B20 di APBN.
Kelima, terkait dengan butir keempat di atas, dana BPDPKS yang digunakan untuk insentif selisih HIP biodiesel dengan HIP solar harus seimbang dengan dana yang digunakan untuk tujuan awal penghimpunan pungutan oleh BPDPKS. Seperti disebutkan dalam Pasal 11 Perpres No.66/2018 tujuan penghimpunan dana oleh BPDPKS terutama adalah untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan perkebunan dan pembangunan sarana dan prasarana perkebunan. Jika dana untuk insentif program B20 jauh melebihi nilai yang layak, maka pengembangan perkebunan kelapa sawit dapat terhambat, produksi menurun, dan pengembangan EBT pun tidak berkelanjutan.
Keenam, pemerintah harus menjamin berakhirnya penyelewengan penggunaan BBM PSO B20 (bersubsidi) pada sektor-sektor pertambangan, perkebunan, pertanian, industri, dll, yang selama terus berlangsung, terutama saat besarnya selisih harga BBM non-subsidi dengan bersubsidi. Penyelewengan ini telah membuat kuota BBM bersubsidi terus naik, beban subsidi negara dan BUMN terus meningkat. Untuk itu, peran pengawasan aparat yang selama ini justru mengawal terjadinya pelanggaran, harus diakhiri. Sanksi harus ditingkatkan dan konsisten dijalankan. Jika sanksi terhadap pelanggar kebijakan program B20 bisa dipersiapkan, mengapa untuk modus pelanggaran jauh lebih besar pemerintah seolah tidak berdaya atau tutup mata?
Ketujuh, pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan harga khusus CPO untuk program BBN biodiesel (B20, B30, dst), seperti berlaku dalam penetapan harga jual batubara, maksimum sebesar USD 70/ton untuk kalori 6.332 kepada PLN. Pemerintah dapat menerapkan satu harga maksimum tertentu untuk program biodiesel nasional, setelah mempertimbangkan berbagai aspek terkait, misalnya keuntungan wajar pengusaha sawit, keberlanjutan bisnis, besarnya pajak, dan lain-lain. Penerapan harga maksimum ini relevan untuk melindungi konsumen dan badan usaha akibat gejolak harga CPO global. Apalagi Indonesia adalah produsen CPO terbesar dunia, sehingga wajar jika lebih mengutamakan kepentingan domestik.
Kedelapan, pemerintah harus menjamin secara berkelanjutan pasokan biodiesel (FAME) yang akan dicampur oleh badan usaha (Pertamina) dengan solar di terminal BBM dan refinery yang dimiliki. Sejauh ini, belum tercapainya target program B20 disebabkan oleh belum terpasoknya biodiesel oleh badan-badan usaha BBN ke seluruh lokasi pencampuran biodiesel dengan solar, baik karena kendala transportasi, kesiapan sarana (storage, sarana pencampuran, dll), maupun ketersediaan biodiesel.
Menurut Dirjen EBTKE, untuk 2018 program B20 dengan volume FAME sekitar 2,7 kiloliter, akan dapat menghemat devisa sekitar USD 1 miliar. Pada 2019, pengurang defisit perdagangan tersebut adalah USD3 miliar hingga USD3,5 miliar, untuk volume biodiesel 5,7 hingga 6 juta kiloliter. Kalau saja program B20 diterapkan sejak dini, bisa saja kurs dollar terhadap rupiah tidak sampai ke level Rp14.800 seperti sekarang.
Terlepas dari kealpaan tersebut, IRESS berharap pemerintah konsisten menjalankan kebijakan B20, dan serius pula melaksanakan program-program lanjutan yang lebih progresif menuju B100. Kebijakan tersebut hendaknya diambil bukan saja karena faktor makro ekonomi atau kepentingan pelaku industri CPO, tetapi juga karena faktor ketahanan energi yang memang saling berkaitan. Selain itu, karena masalah ini menyangkut hajat hidup orang banyak, maka sesuai konstitusi, peran BUMN sebagai pengelola pasokan biodiesel dan penyalur biosolar harus ditingkatkan.
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS)
Mulai 1 September 2018 pemerintah telah mewajibkan seluruh badan usaha niaga BBM untuk mencampur 20% biodiesel dengan 80% solar (B20) dalam penjualan BBM solar, baik untuk pengguna solar bersubsidi (biosolar di SPBU), maupun nonsubsidi (pertambangan, perkebunan, dan lain-lain). Dengan kewajiban ini penggunaan biosolar B20 diperluas dari hanya pada sektor PSO menjadi termasuk juga sektor non-PSO. Kebijakan B-20 merupakan mandatori pencampuran bahan bakar nabati (BBN) ke dalam bahan bakar minyak (BBM).
Perluasan penggunaan program B20 terutama bertujuan untuk mengurangi impor minyak dan BBM sehingga dapat menghemat devisa negara yang diharapkan berdampak pada pengurangan defisit transaksi berjalan (current account defisit, CAD) yang menjadi sentimen negatif terhadap pelemahan rupiah. Untuk itu pemerintah pun melengkapi kebijakan dengan ketentuan lain berupa: tidak boleh ada lagi penjualan solar murni (B0), sanksi denda dan pencabutan izin bagi pelanggar, tersedianya insentif dari BPDPKS, jaminan kualitas FAME sesuai SNI dari pemerintah, dan dibentuknya customer care untuk pengaduan masyarakat.
Selain menghemat devisa, program B20 juga akan meningkatkan devisa ekspor melalui naiknya harga CPO dan meningkatnya harga di tingkat petani. Yang tak kalah penting, program B20 juga akan meningkatkan ketahanan energi melalui peningkatan porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi, dan berkurangnya emisi gas rumah kaca.
Peningkatan porsi EBT ini sebenarnya telah dicanangkan dalam PP Nomor 79/2014 (tentang Kebijakan Energi Nasional, KEN), yakni sekitar 23% pada 2025. Namun karena masalah road map dan inkonsistensi sikap pemerintah, target KEN tersebut belum optimal dilaksanakan.
“Untunglah” muncul masalah CAD dan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, sehingga pemerintah menerbitkan program B20 yang secara bersamaan dapat mempercepat tercapainya target bauran EBT 23% di atas. Namun agar kebijakan tersebut berkelanjutan dan tidak hanya bersifat interim seperti pola pemadam kebakaran, perlu diberi catatan dan sejumlah usulan seperti diuraikan berikut ini.
Pertama, program B20 mestinya tidak hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi dan industri CPO, tetapi juga pada kepentingan ketahanan energi. Ketiga hal tersebut mestinya ditangani secara terintegrasi dan berkelanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa pada 2016 dan awal 2018, saat harga CPO turun ke titik terendah (sekitar US$ 414/ton), pemerintah sangat aktif mempromosikan program-program B10, B20 bahkan B30. Tujuannya agar permintaan CPO meningkat dan harga CPO terkerek naik. Penaikan harga CPO ini pun tentu akan meningkatkan penerimaan negara. Namun setelah harga CPO “pulih”, promosi program-program B”X” tersebut seolah dilupakan. Tak terlihat upaya yang komprehensif guna meningkatkan penggunaan CPO pada sektor energi. Terkesan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan industri sawit dibanding kepentingan ketahanan energi nasional.
Kedua, penerapan program B20 mestinya diiringi dengan program-program B30, B40, dan seterusnya hingga B100 dalam kurun waktu yang terencana dan dipercepat. Pemerintah perlu menyusun target tercapainya program B100, misalnya dalam 4-5 tahun mendatang. Dengan demikian, target bauran energi dapat tercapai, turunnya produksi migas akan dapat disubstitusi oleh BBN/EBT, dan CAD yang dipicu oleh besarnya impor migas dapat dimitigasi.
Ketiga, sejalan dengan butir kedua di atas, pemerintah harus menjamin kelangsungan program B20 hingga B100 di atas secara berkesinambungan tanpa terkendala oleh kepentingan sektoral industri kelapa sawit. Kendala ini dapat saja muncul saat harga CPO naik secara signifikan, sehingga produsen sawit lebih memilih, atau “dibiarkan” oleh pemerintah untuk mengekspor CPO dibanding menjualnya di dalam negeri untuk mendukung program B”X”.
Keempat, pemerintah harus menjamin kesinambungan pemberian insentif untuk menutup selisih antara Harga Indeks Pasar (HIP) BBN biodiesel, yang sering lebih tinggi, dengan HIP BBM solar, agar harga eceran biosolar (B20) tidak naik. Insentif penutup selisih HIP tersebut, sesuai ketentuan yang ada, diambil dari pungutan ekspor yang dihimpun oleh BPDPKS (besarnya US$ 50 per ton). Pemerintah harus menjamin agar BUMN/Pertamina sebagai badan usaha terbesar penyalur biodiesel B20 (sekitar 2,5 juta kiloliter hingga Desember 2018) tidak ikut menanggung selisih HIP tersebut. Pemerintah harus mencegah terulangnya kerugian Pertamina puluhan triliun rupiah akibat dipaksa menjalankan kebijakan PSO solar dan premium 2017 yang seharusnya didanai APBN. Jika diperlukan, akibat keterbatasan dana BPDPKS, pemerintah pun layak mengalokasikan subsidi program B20 di APBN.
Kelima, terkait dengan butir keempat di atas, dana BPDPKS yang digunakan untuk insentif selisih HIP biodiesel dengan HIP solar harus seimbang dengan dana yang digunakan untuk tujuan awal penghimpunan pungutan oleh BPDPKS. Seperti disebutkan dalam Pasal 11 Perpres No.66/2018 tujuan penghimpunan dana oleh BPDPKS terutama adalah untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan perkebunan dan pembangunan sarana dan prasarana perkebunan. Jika dana untuk insentif program B20 jauh melebihi nilai yang layak, maka pengembangan perkebunan kelapa sawit dapat terhambat, produksi menurun, dan pengembangan EBT pun tidak berkelanjutan.
Keenam, pemerintah harus menjamin berakhirnya penyelewengan penggunaan BBM PSO B20 (bersubsidi) pada sektor-sektor pertambangan, perkebunan, pertanian, industri, dll, yang selama terus berlangsung, terutama saat besarnya selisih harga BBM non-subsidi dengan bersubsidi. Penyelewengan ini telah membuat kuota BBM bersubsidi terus naik, beban subsidi negara dan BUMN terus meningkat. Untuk itu, peran pengawasan aparat yang selama ini justru mengawal terjadinya pelanggaran, harus diakhiri. Sanksi harus ditingkatkan dan konsisten dijalankan. Jika sanksi terhadap pelanggar kebijakan program B20 bisa dipersiapkan, mengapa untuk modus pelanggaran jauh lebih besar pemerintah seolah tidak berdaya atau tutup mata?
Ketujuh, pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan harga khusus CPO untuk program BBN biodiesel (B20, B30, dst), seperti berlaku dalam penetapan harga jual batubara, maksimum sebesar USD 70/ton untuk kalori 6.332 kepada PLN. Pemerintah dapat menerapkan satu harga maksimum tertentu untuk program biodiesel nasional, setelah mempertimbangkan berbagai aspek terkait, misalnya keuntungan wajar pengusaha sawit, keberlanjutan bisnis, besarnya pajak, dan lain-lain. Penerapan harga maksimum ini relevan untuk melindungi konsumen dan badan usaha akibat gejolak harga CPO global. Apalagi Indonesia adalah produsen CPO terbesar dunia, sehingga wajar jika lebih mengutamakan kepentingan domestik.
Kedelapan, pemerintah harus menjamin secara berkelanjutan pasokan biodiesel (FAME) yang akan dicampur oleh badan usaha (Pertamina) dengan solar di terminal BBM dan refinery yang dimiliki. Sejauh ini, belum tercapainya target program B20 disebabkan oleh belum terpasoknya biodiesel oleh badan-badan usaha BBN ke seluruh lokasi pencampuran biodiesel dengan solar, baik karena kendala transportasi, kesiapan sarana (storage, sarana pencampuran, dll), maupun ketersediaan biodiesel.
Menurut Dirjen EBTKE, untuk 2018 program B20 dengan volume FAME sekitar 2,7 kiloliter, akan dapat menghemat devisa sekitar USD 1 miliar. Pada 2019, pengurang defisit perdagangan tersebut adalah USD3 miliar hingga USD3,5 miliar, untuk volume biodiesel 5,7 hingga 6 juta kiloliter. Kalau saja program B20 diterapkan sejak dini, bisa saja kurs dollar terhadap rupiah tidak sampai ke level Rp14.800 seperti sekarang.
Terlepas dari kealpaan tersebut, IRESS berharap pemerintah konsisten menjalankan kebijakan B20, dan serius pula melaksanakan program-program lanjutan yang lebih progresif menuju B100. Kebijakan tersebut hendaknya diambil bukan saja karena faktor makro ekonomi atau kepentingan pelaku industri CPO, tetapi juga karena faktor ketahanan energi yang memang saling berkaitan. Selain itu, karena masalah ini menyangkut hajat hidup orang banyak, maka sesuai konstitusi, peran BUMN sebagai pengelola pasokan biodiesel dan penyalur biosolar harus ditingkatkan.
(mhd)