Korupsi Bencana dan Bencana Korupsi
A
A
A
Aminuddin
Direktur Eksekutif pada Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (Pokasi)
PUBLIK seolah-olah tiada henti-henti dirundung duka akibat ulah oknum wakil rakyat yang terlibat korupsi. Salah satu yang mengejutkan adalah kabar anggota DPRD yang mengorupsi dana rehabilitasi untuk gempa Lombok. Tentu ini menjadi bencana terhadap moralitas wakil rakyat kita. Bagaimana bisa dana rehabilitasi yang sejatinya diawasi demi memulihkan daerah yang porak-poranda oleh gempa justru dikorupsi. Kasus ini semakin menambah panjang deretan kasus korupsi yang dilakukan wakil rakyat. Sebelumnya publik juga digegerkan dengan penetapan tersangka 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang
Sudah tidak diragukan lagi bahwa kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangkap koruptor sangat lugas, tegas, dan tidak tebang pilih. Namun satu hal yang belum disentuh KPK adalah partai politik (parpol). Kendati yang melakukan korupsi adalah orang-orang parpol, sejauh ini partai masih kebal dan tidak pernah dijerat atas masalah korupsi.
Padahal seharusnya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah yang berlatar belakang politisi tidak serta-merta dilepaskan dari parpolnya. Anggota legislatif yang tersangkut korupsi faktanya merupakan kader parpol. Tentunya tindakan korupsi yang dilakukan itu tidak berjalan secara otonom. Kemungkinan banyak anggota kader parpol lain yang ikut serta untuk memuluskan niat jahat si pelaku. Koruptor dari kader parpol memang tidak pernah mendeklarasikan diri bahwa apa yang dilakukannya atas nama parpol. Namun jika merunut relasi dan proses mencapai kekuasaan, parpollah yang memiliki jasa terhadap kader-kadernya tersebut.
Namun, faktanya, parpol seolah cuci tangan ketika ada kadernya yang terjerat korupsi. Parpol lebih memilih jalan aman untuk memecat kader-kadernya yang tersandera korupsi. Parpol juga terang-terangan menolak disangkutpautkan dan mengklaim bahwa yang dilakukan kadernya merupakan inisiatif pribadi, bukan atas nama parpol. Padahal parpol juga memetik keuntungan dari apa yang dikorupsi kader-kadernya. Jikapun parpol mengakui kesalahan yang dilakukan kadernya, paling banter adalah meminta maaf ke publik. Ini juga terjadi di Kota Malang di mana parpol hanya meminta maaf kepada publik karena kadernya paling banyak yang menjadi tersangka korupsi.
Sejatinya korupsi yang dilakukan kader-kader parpol harus menjadi pertanggungjawaban partai. Hal ini terjadi karena parpol juga menikmati hasil korupsi. Jika parpol sudah menikmati hasil korupsi kader-kadernya, parpol juga bisa dikategorikan sebagai peserta korup. Terkait dengan hal itulah ada beberapa hal mendasar mengapa parpol juga dapat dikategorikan korup. Pertama, jika dirunut dari sejarahnya, parpol memang enggan menjadi organisasi politik dalam membentuk kader-kader berkualitas dan berdedikasi tinggi untuk negeri. Ini dapat diamati dari proses perekrutan kader parpol yang seolah mencomot sana-sini. Proses perekrutan tidak dilihat sejauh mana kader dapat mengimplementasikan visi-misi parpol, melainkan sejauh mana ke depannya orang yang direkrut dapat menjadi mesin penggerak parpol. Jadi tidak mengherankan apabila banyak kader yang direkrut karena pertimbangan finansial.
Kedua, sejak proses pendirian parpol, telah terjadi kesalahan niat dan manajerialnya. Hal ini terjadi karena pembentukan beberapa parpol bukan dilandasi kesamaan visi-misi untuk membangun bangsa, melainkan atas dasar sakit hati terhadap parpol sebelumnya sehingga proses pembentukan parpol lebih bersifat emosional dan gegabah. Atas dasar ini pula banyak kader parpol yang direkrut karena kesamaan sakit hati terhadap parpol sebelumnya (entah dipecat atau kalah dalam pemilihan ketua umum parpol).
Ketiga, hingga saat ini belum ada parpol yang memiliki visi-misi yang jelas dan spesifik. Artinya parpol satu dengan lainnya seolah melakukan kloning dan copy-paste visi-misi partai lain. Kendati ada parpol yang berasas Islam atau nasionalis, pada kenyataannya mereka tidak mengimplementasikan asas-asas tersebut sehingga simbol dari asas tersebut hanya dijadikan alat untuk menuai suara.
Dengan beberapa alasan itulah parpol lahir bermuka dua. David Runciman (2010) mengungkapkan bahwa parpol merupakan bagian dari fenomena politik muka dua. Dunia politik pun penuh dengan rekayasa dan kemunafikan. Kebijakan parpol dalam agenda pemberantasan korupsi juga demikian. Parpol memiliki wajah ganda dalam menangani masalah korupsi, terlebih lagi melibatkan kader-kadernya.
Agenda pemberantasan korupsi yang bermuka dua dapat dilihat dari proses bantuan hukum kepada kader yang tersangkut korupsi. Bagi kader yang tidak memiliki kekuasaan strategis, agenda bantuan hukum sulit untuk dilakukan. Adapun bagi kader yang memiliki posisi strategis di struktural parpol maupun di pemerintahan, agenda bantuan hukum menjadi keniscayaan. Tak pelak, diskriminasi ini menjadikan mesin parpol tidak berjalan sehat.
Sejauh ini sebesar apa pun kasus korupsi yang menjerat kader parpol, tetap saja parpol tempat bernaung kader kebal terhadap jeratan hukum.
Menjerat Parpol
Sebenarnya peluang memidanakan parpol bisa saja dilakukan jika menggunakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) dan UU Tipikor. Kedua UU tersebut memungkinkan badan hukum dijatuhi pidana, termasuk partai politik. Dalam UU PPTPPU, sanksi pembubaran terhadap badan hukum yang terbukti melakukan pencucian uang dapat dijatuhkan.
Pertanyaannya, apakah mungkin kedua UU dapat direalisasi untuk parpol yang gemar melahirkan kader korup? Secara hukum, parpol hanya dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apabila melakukan kejahatan terhadap keselamatan dan keutuhan negara serta menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Dalam konteks korupsi, pembubaran parpol masih jauh panggang dari api.
Seyogianya ada niat luhur dari parpol untuk bersama-sama memberantas korupsi. Jika hanya mengutak-atik pasal yang sudah ada, rasanya sulit bagi publik untuk bisa melihat sebuah parpol yang terlibat dalam kasus korupsi dihukum, dipidana, dan bahkan dibubarkan. Pengecualian jika kejahatan korupsi kader parpol dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Dengan mengategorikan korporasi, parpol bisa dipidana atas dugaan korupsi.
Direktur Eksekutif pada Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (Pokasi)
PUBLIK seolah-olah tiada henti-henti dirundung duka akibat ulah oknum wakil rakyat yang terlibat korupsi. Salah satu yang mengejutkan adalah kabar anggota DPRD yang mengorupsi dana rehabilitasi untuk gempa Lombok. Tentu ini menjadi bencana terhadap moralitas wakil rakyat kita. Bagaimana bisa dana rehabilitasi yang sejatinya diawasi demi memulihkan daerah yang porak-poranda oleh gempa justru dikorupsi. Kasus ini semakin menambah panjang deretan kasus korupsi yang dilakukan wakil rakyat. Sebelumnya publik juga digegerkan dengan penetapan tersangka 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang
Sudah tidak diragukan lagi bahwa kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangkap koruptor sangat lugas, tegas, dan tidak tebang pilih. Namun satu hal yang belum disentuh KPK adalah partai politik (parpol). Kendati yang melakukan korupsi adalah orang-orang parpol, sejauh ini partai masih kebal dan tidak pernah dijerat atas masalah korupsi.
Padahal seharusnya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah yang berlatar belakang politisi tidak serta-merta dilepaskan dari parpolnya. Anggota legislatif yang tersangkut korupsi faktanya merupakan kader parpol. Tentunya tindakan korupsi yang dilakukan itu tidak berjalan secara otonom. Kemungkinan banyak anggota kader parpol lain yang ikut serta untuk memuluskan niat jahat si pelaku. Koruptor dari kader parpol memang tidak pernah mendeklarasikan diri bahwa apa yang dilakukannya atas nama parpol. Namun jika merunut relasi dan proses mencapai kekuasaan, parpollah yang memiliki jasa terhadap kader-kadernya tersebut.
Namun, faktanya, parpol seolah cuci tangan ketika ada kadernya yang terjerat korupsi. Parpol lebih memilih jalan aman untuk memecat kader-kadernya yang tersandera korupsi. Parpol juga terang-terangan menolak disangkutpautkan dan mengklaim bahwa yang dilakukan kadernya merupakan inisiatif pribadi, bukan atas nama parpol. Padahal parpol juga memetik keuntungan dari apa yang dikorupsi kader-kadernya. Jikapun parpol mengakui kesalahan yang dilakukan kadernya, paling banter adalah meminta maaf ke publik. Ini juga terjadi di Kota Malang di mana parpol hanya meminta maaf kepada publik karena kadernya paling banyak yang menjadi tersangka korupsi.
Sejatinya korupsi yang dilakukan kader-kader parpol harus menjadi pertanggungjawaban partai. Hal ini terjadi karena parpol juga menikmati hasil korupsi. Jika parpol sudah menikmati hasil korupsi kader-kadernya, parpol juga bisa dikategorikan sebagai peserta korup. Terkait dengan hal itulah ada beberapa hal mendasar mengapa parpol juga dapat dikategorikan korup. Pertama, jika dirunut dari sejarahnya, parpol memang enggan menjadi organisasi politik dalam membentuk kader-kader berkualitas dan berdedikasi tinggi untuk negeri. Ini dapat diamati dari proses perekrutan kader parpol yang seolah mencomot sana-sini. Proses perekrutan tidak dilihat sejauh mana kader dapat mengimplementasikan visi-misi parpol, melainkan sejauh mana ke depannya orang yang direkrut dapat menjadi mesin penggerak parpol. Jadi tidak mengherankan apabila banyak kader yang direkrut karena pertimbangan finansial.
Kedua, sejak proses pendirian parpol, telah terjadi kesalahan niat dan manajerialnya. Hal ini terjadi karena pembentukan beberapa parpol bukan dilandasi kesamaan visi-misi untuk membangun bangsa, melainkan atas dasar sakit hati terhadap parpol sebelumnya sehingga proses pembentukan parpol lebih bersifat emosional dan gegabah. Atas dasar ini pula banyak kader parpol yang direkrut karena kesamaan sakit hati terhadap parpol sebelumnya (entah dipecat atau kalah dalam pemilihan ketua umum parpol).
Ketiga, hingga saat ini belum ada parpol yang memiliki visi-misi yang jelas dan spesifik. Artinya parpol satu dengan lainnya seolah melakukan kloning dan copy-paste visi-misi partai lain. Kendati ada parpol yang berasas Islam atau nasionalis, pada kenyataannya mereka tidak mengimplementasikan asas-asas tersebut sehingga simbol dari asas tersebut hanya dijadikan alat untuk menuai suara.
Dengan beberapa alasan itulah parpol lahir bermuka dua. David Runciman (2010) mengungkapkan bahwa parpol merupakan bagian dari fenomena politik muka dua. Dunia politik pun penuh dengan rekayasa dan kemunafikan. Kebijakan parpol dalam agenda pemberantasan korupsi juga demikian. Parpol memiliki wajah ganda dalam menangani masalah korupsi, terlebih lagi melibatkan kader-kadernya.
Agenda pemberantasan korupsi yang bermuka dua dapat dilihat dari proses bantuan hukum kepada kader yang tersangkut korupsi. Bagi kader yang tidak memiliki kekuasaan strategis, agenda bantuan hukum sulit untuk dilakukan. Adapun bagi kader yang memiliki posisi strategis di struktural parpol maupun di pemerintahan, agenda bantuan hukum menjadi keniscayaan. Tak pelak, diskriminasi ini menjadikan mesin parpol tidak berjalan sehat.
Sejauh ini sebesar apa pun kasus korupsi yang menjerat kader parpol, tetap saja parpol tempat bernaung kader kebal terhadap jeratan hukum.
Menjerat Parpol
Sebenarnya peluang memidanakan parpol bisa saja dilakukan jika menggunakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) dan UU Tipikor. Kedua UU tersebut memungkinkan badan hukum dijatuhi pidana, termasuk partai politik. Dalam UU PPTPPU, sanksi pembubaran terhadap badan hukum yang terbukti melakukan pencucian uang dapat dijatuhkan.
Pertanyaannya, apakah mungkin kedua UU dapat direalisasi untuk parpol yang gemar melahirkan kader korup? Secara hukum, parpol hanya dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apabila melakukan kejahatan terhadap keselamatan dan keutuhan negara serta menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Dalam konteks korupsi, pembubaran parpol masih jauh panggang dari api.
Seyogianya ada niat luhur dari parpol untuk bersama-sama memberantas korupsi. Jika hanya mengutak-atik pasal yang sudah ada, rasanya sulit bagi publik untuk bisa melihat sebuah parpol yang terlibat dalam kasus korupsi dihukum, dipidana, dan bahkan dibubarkan. Pengecualian jika kejahatan korupsi kader parpol dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Dengan mengategorikan korporasi, parpol bisa dipidana atas dugaan korupsi.
(wib)