Problem Identitas Keagamaan

Jum'at, 14 September 2018 - 07:42 WIB
Problem Identitas Keagamaan
Problem Identitas Keagamaan
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

SEMUA komunitas agama, menurut Yuval Noah Harari, dihadapkan pada tiga macam problem dan tantangan besar yang berkaitan, yaitu technical problems, policy problems, dan identity problems (21 Lessons for the 21st Century: 2018). Sekalipun dia seorang Yahudi, eksklusivisme komunitas agama Yahudi dia kritik dengan tajam. Termasuk kritiknya terhadap agama-agama lain yang kedengaran menyakitkan, tetapi argumentatif.

Menurutnya, saat ini seakan terjadi proses nasionalisasi kebertuhanan. God now serves the nation, tulisnya. Peran Tuhan dipersempit, diposisikan untuk membela kepentingan sebuah bangsa, tidak lagi membela dan melayani manusia seluruh jagat tanpa sekat ras, suku, dan bangsa. Bahkan dipersempit lagi, Tuhan dimonopoli mazhab atau kelompok politiknya.

Semasa abad pertengahan peran agama, ulama, dan pendeta sangat sentral. Tuhan dan titah-Nya yang dikandung agama menjadi rujukan masyarakat ketika mereka dilanda krisis.

Ketika panen rusak, mereka datang kepada tokoh agama, memohon pertolongan untuk membujuk dan mengiba kepada Tuhan agar tidak marah, menimpakan bencana. Begitu pun ketika sakit, masyarakat datang kepada tokoh agama minta kesembuhan. Pendeknya pada abad pertengahan Tuhan diyakini sebagai pengendali dan penjaga keseimbangan dan ketenteraman kosmik.

Namun itu semua sudah berlalu. Satu-satu kekuatan dan kekuasaan agama dirongrong dan digantikan oleh sains dan teknologi. Bahkan peristiwa kematian pun tak lagi dikaitkan dengan keyakinan teologis, tetapi semata masalah medis.

Ketika ada orang meninggal, pertanyaan yang muncul adalah: apa penyebab kematiannya? Ketika kebanyakan dikarenakan serangan jantung, riset dan pengobatan di bidang penyakit jantung digalakkan. Termasuk penyakit-penyakit lain yang menyebabkan kematian. Lalu mereka menyimpulkan bahwa panjang dan pendek umur seseorang itu semata karena masalah kesehatan. Urusan dokter.

Demikianlah, tantangan yang dihadapi masyarakat modern itu adalah bagaimana memajukan teknologi untuk menciptakan kehidupan yang lebih ringan dan nyaman dijalani. Sekaya apa pun sumber daya alam sebuah bangsa, jika teknologinya ketinggalan, bangsa itu akan kalah dan tergilas oleh bangsa lain yang lebih maju teknologinya sekalipun tidak beragama.

Tantangan kedua menyangkut policy problem, yaitu bagaimana umat beragama menyikapi dan membuat kebijakan publik dan politik untuk mengatasi berbagai soal kemanusiaan. Ini juga menyangkut manajemen politik sebuah bangsa dan negara tempat umat beragama berada. Krisis ekonomi yang terjadi di Irak, Libya, Suriah, Venezuela, Argentina, dan Yunani semuanya bermula dari kegagalan manajemen politik.

Gejala serupa juga mulai muncul di Turki. Jadi sekalipun sebuah negara kaya sumber alamnya, jika manajemen politiknya lemah, amburadul, tidak efektif, dan tidak visioner, tak ada jaminan rakyatnya makmur sejahtera.

Problem ketiga dan ini tidak enak didengar, semua bangsa itu pasti memerlukan identitas yang jelas dan kuat sebagai sebuah bangsa. Dalam hal ini identitas etnis dan agama sangat fenomenal. Disayangkan, penguatan identitas keagamaan itu memang berhasil membangun kohesi sosial bagi umat seiman, tetapi sekaligus menciptakan pemisahan dan bahkan konflik terhadap yang berbeda iman dan keyakinan.

Dengan eksplisit Harari mengatakan bahwa identitas agama bukannya memecahkan dua problem yang lain, yaitu technical dan policy problems, malah menciptakan problem baru. Ketika orang sudah berkelompok dan berhasil membangun kohesi serta solidaritas keagamaan, pertanyaan yang muncul adalah: problem bangsa dan kemanusiaan apa yang hendak diselesaikan?

Alih-alih menyelesaikan, malahan mereka bertengkar dan terlibat perang atas nama Tuhan dan agama. Ini sebuah kritik dan renungan yang mesti dijawab oleh pejuang agama.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0574 seconds (0.1#10.140)