Azan dan Kerukunan
A
A
A
Busman Edyar
Kandidat Doktor Pascasarjana UIN Jakarta
PENERBITAN surat edaran Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama tentang pengeras suara di masjid, langgar, dan musala menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Dari berbagai diskusi grup di media sosial (medsos), sikap ini mengerucut dalam satu pertanyaan: akankah surat edaran (SE) tersebut membatasi azan di masjid atau musala di Tanah Air? Sekiranya persoalan ini tak ditangani dengan cermat, maka berpotensi gaduh terhadap trilogi kerukunan; kerukunan intraumat beragama (karena umat Islam tidak satu suara menanggapinya); kerukunan antarumat beragama (karena muncul setelah jatuhnya vonis hakim terhadap Meiliana dalam kasus penistaan agama); dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah (mis-persepsi atas keberadaan SE itu sendiri).
Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan SE bernomor B.3940/DJ.III/ Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/ 101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala tersebut. Secara konten SE hanyalah sosialisasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Tahun 1978 yang berisikan penggunaan pengeras suara baik di dalam ataupun di luar masjid, langgar, ataupun musala. Kalau dibaca dengan cermat, tidak satu kalimat pun dalam instruksi tersebut yang berisi pembatasan azan di masjid, langgar, ataupun musala. Justru untuk azan setiap masuk waktu salat yang lima waktu sudah terakomodasi dengan baik.
Setidaknya ada tiga poin utama dari inpres tersebut. Pertama, azan tak dilarang pakai pengeras suara keluar. Bahkan dianjurkan memperdengarkan bacaan Alquran dengan pengeras suara keluar selama lima menit sebelum salat asar, magrib, dan isya; 15 menit sebelum subuh; dan 15 menit sebelum zuhur ataupun salat Jumat.
Kedua, takbir Idul Fitri pada malam Syawal dan pada tanggal satu Syawalnya diperbolehkan pakai pengeras suara keluar. Begitu juga dengan takbir pada waktu Idul Adha diperbolehkan juga pakai pengeras suara keluar. Bahkan lebih lama lagi selama empat hari. Sepertinya ini terkait hari Idul Adha sendiri plus tiga hari Tasyri’.
Ketiga, pengeras suara ke dalam digunakan untuk: a) tarhim berupa doa (tarhim berupa zikir tidak memakai pengeras suara baik di dalam apalagi keluar); tadarusan di malam Ramadan, tablig pada peringatan hari besar Islam; pengajian, kuliah subuh, khotbah, bacaan doa, pengumuman, dan sebagainya).
Tiga hal di atas tidak ada yang bertentangan dengan tuntutan agama sehingga patut diresahkan. Azan memang mesti disuarakan dengan keras karena fungsi azan adalah untuk memberi tahu bahwa waktu salat sudah masuk. Selain itu, azan juga berfungsi untuk memanggil orang-orang yang di luar masjid atau langgar dan musala agar segera memenuhi panggilan azan dan menunaikan salat berjamaah. Sementara poin yang kedua juga tidak ada persoalan sebab takbir merupakan salah satu syiar dalam Islam atau simbol kemenangan setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsu dan semua yang membatalkan puasa. Bagi Idul Adha, takbir menggambarkan penegasan penghambaan manusia di hadapan Allah dan mau melakukan apa pun atas nama perintah Allah yang Maha Agung sebagaimana dipraktikkan Ibrahim dan keluarganya.
Adapun pada poin ketiga adalah benar kalau sasaran ibadah adalah ke dalam, maka adalah lumrah bila doa dan zikir dilakukan dengan penuh kerendahan hati dan lemah lembut sebagaimana pesan QS.5: 8; 19: 3. Bahkan kalau dilihat asbab nuzul turunnya ayat ini terkait sikap sahabat yang bertakbir terlalu keras sehingga turun ayat untuk menegurnya.
Demikian juga pengajian ataupun khotbah memang lebih pas kalau ditujukan untuk audiens yang ada di dalam. Kalau mendengar dari luar, khawatir tidak bisa memahaminya dengan utuh sehingga bisa menimbulkan kesalahpahaman baik dari umat seagama maupun umat beda agama.
Masalah Utama
Persoalan utama dari SE ini adalah momen keluarnya yang tidak pas. Pertama, SE muncul setelah jatuhnya vonis majelis hakim PN Medan terhadap Meiliana karena dianggap melanggar Pasal 156 a KUHP, yakni melakukan penistaan terhadap agama setelah memprotes suara azan di lingkungannya. Dari kronologi kasus ini, -mulai dari protes Meiliana terhadap pengurus masjid Al-Maksum sampai muncul aksi kekerasan masif (Penelitian Iswandi Syahputra, Repubika/ 27/8/2018), awalnya memang protes Meliana terhadap pengurus masjid karena suara azan yang terlalu besar.
Namun, penggunaan bahasa yang tidak tepat menjadi sebab tersandungnya ia dalam kasus penistaan agama sebagaimana ditegaskan Din Syamsudin, ketua Dewan Pertimbangan MUI. Bahasa yang kurang pas (arogan) ditambah konflik laten jauh hari sebelumnya ini yang menyebabkan muncul kekerasan masif yang berujung pada perusakan beberapa tempat ibadah termasuk rumah yang bersangkutan sendiri (Penelitian Iswandi Syahputra).
Dengan demikian, antara kasus Meiliana dengan sosialisasi inpres tersebut sebenarnya tidak memiliki relevansi. Inpres tersebut justru tidak mampu menjawab keluhan Meiliana karena suara azan yang terlalu keras sebab inpres tersebut tetap memperbolehkan azan pakai pengeras suara. Lagi pula azan memang harus pakai pengeras suara. Menurut Fannes (2012) yang dikutip Iswandi Syahputra, azan merupakan cultural sounds yang harus dilindungi dan dihormati sebagaimana lonceng gereja bagi umat Kristiani. Lagi pula kalau hanya suara azan, dengan jumlah tercatat 54 masjid dan 98 musala di Tanjung Balai, mereka sudah terbiasa mendengar azan lima waktu sehari/ semalam selama ratusan tahun tanpa pernah ada masalah.
Karena itulah, penerbitan SE setelah kasus ini bisa-bisa dipersepsi sebagai pembelaan terhadap kasus yang membelit Meiliana. Apalagi berkembang tweet unsur pemerintah yang siap menjadi saksi dalam lanjutan kasus tersebut. Kondisi ini secara otomatis menempatkan pemerintah seakan-akan berada pada posisi berseberangan dengan umat Islam yang merasa dinodai agamanya.
Kedua, terkait dengan suasana tahun politik yang cenderung meningkatkan kecurigaan. Tidak terkecuali dengan kebijakan negara yang sangat mungkin disebabkan karena belum terakomodasinya kepentingan umat secara keseluruhan; sebutlah penuntasan kasus penganiayaan terhadap pemuka agama yang terhenti pada pelakunya orang gila. Demikian juga sikap pemerintah terhadap oposan yang digerakkan oleh tokoh agama seperti Habib Rizieq Shihab, Al Khathath, Zulkifli Hazma, Alfian Tanjung, dan lainnya.
Karena itulah, perlu dikembangkan budaya husnuzh zhan (baik sangka) di kalangan bangsa Indonesia. Jangan sampai tujuan baik, tapi karena diawali oleh kecurigaan, tidak bisa menyikapinya secara proporsional. Persis seperti firman Allah dalam QS.5: 8 bahwa jangan sampai kecurigaan pada satu kaum menyebabkan kita tidak bisa berlaku adil.
Sebaliknya, pada pemerintah juga harus lebih hati-hati baik dalam mengeluarkan kebijakan maupun penyikapan. Jangan sampai muncul pandangan bahwa pemerintah memperlihatkan keberpihakan pada pihak tertentu. Kerukunan umat beragama akan terpelihara bila semua kelompok saling menghormati baik norma sosial maupun norma hukum. Sementara pemerintah pada titik sentralnya mengelola dengan bijak.
Kandidat Doktor Pascasarjana UIN Jakarta
PENERBITAN surat edaran Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama tentang pengeras suara di masjid, langgar, dan musala menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Dari berbagai diskusi grup di media sosial (medsos), sikap ini mengerucut dalam satu pertanyaan: akankah surat edaran (SE) tersebut membatasi azan di masjid atau musala di Tanah Air? Sekiranya persoalan ini tak ditangani dengan cermat, maka berpotensi gaduh terhadap trilogi kerukunan; kerukunan intraumat beragama (karena umat Islam tidak satu suara menanggapinya); kerukunan antarumat beragama (karena muncul setelah jatuhnya vonis hakim terhadap Meiliana dalam kasus penistaan agama); dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah (mis-persepsi atas keberadaan SE itu sendiri).
Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan SE bernomor B.3940/DJ.III/ Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/ 101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala tersebut. Secara konten SE hanyalah sosialisasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Tahun 1978 yang berisikan penggunaan pengeras suara baik di dalam ataupun di luar masjid, langgar, ataupun musala. Kalau dibaca dengan cermat, tidak satu kalimat pun dalam instruksi tersebut yang berisi pembatasan azan di masjid, langgar, ataupun musala. Justru untuk azan setiap masuk waktu salat yang lima waktu sudah terakomodasi dengan baik.
Setidaknya ada tiga poin utama dari inpres tersebut. Pertama, azan tak dilarang pakai pengeras suara keluar. Bahkan dianjurkan memperdengarkan bacaan Alquran dengan pengeras suara keluar selama lima menit sebelum salat asar, magrib, dan isya; 15 menit sebelum subuh; dan 15 menit sebelum zuhur ataupun salat Jumat.
Kedua, takbir Idul Fitri pada malam Syawal dan pada tanggal satu Syawalnya diperbolehkan pakai pengeras suara keluar. Begitu juga dengan takbir pada waktu Idul Adha diperbolehkan juga pakai pengeras suara keluar. Bahkan lebih lama lagi selama empat hari. Sepertinya ini terkait hari Idul Adha sendiri plus tiga hari Tasyri’.
Ketiga, pengeras suara ke dalam digunakan untuk: a) tarhim berupa doa (tarhim berupa zikir tidak memakai pengeras suara baik di dalam apalagi keluar); tadarusan di malam Ramadan, tablig pada peringatan hari besar Islam; pengajian, kuliah subuh, khotbah, bacaan doa, pengumuman, dan sebagainya).
Tiga hal di atas tidak ada yang bertentangan dengan tuntutan agama sehingga patut diresahkan. Azan memang mesti disuarakan dengan keras karena fungsi azan adalah untuk memberi tahu bahwa waktu salat sudah masuk. Selain itu, azan juga berfungsi untuk memanggil orang-orang yang di luar masjid atau langgar dan musala agar segera memenuhi panggilan azan dan menunaikan salat berjamaah. Sementara poin yang kedua juga tidak ada persoalan sebab takbir merupakan salah satu syiar dalam Islam atau simbol kemenangan setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsu dan semua yang membatalkan puasa. Bagi Idul Adha, takbir menggambarkan penegasan penghambaan manusia di hadapan Allah dan mau melakukan apa pun atas nama perintah Allah yang Maha Agung sebagaimana dipraktikkan Ibrahim dan keluarganya.
Adapun pada poin ketiga adalah benar kalau sasaran ibadah adalah ke dalam, maka adalah lumrah bila doa dan zikir dilakukan dengan penuh kerendahan hati dan lemah lembut sebagaimana pesan QS.5: 8; 19: 3. Bahkan kalau dilihat asbab nuzul turunnya ayat ini terkait sikap sahabat yang bertakbir terlalu keras sehingga turun ayat untuk menegurnya.
Demikian juga pengajian ataupun khotbah memang lebih pas kalau ditujukan untuk audiens yang ada di dalam. Kalau mendengar dari luar, khawatir tidak bisa memahaminya dengan utuh sehingga bisa menimbulkan kesalahpahaman baik dari umat seagama maupun umat beda agama.
Masalah Utama
Persoalan utama dari SE ini adalah momen keluarnya yang tidak pas. Pertama, SE muncul setelah jatuhnya vonis majelis hakim PN Medan terhadap Meiliana karena dianggap melanggar Pasal 156 a KUHP, yakni melakukan penistaan terhadap agama setelah memprotes suara azan di lingkungannya. Dari kronologi kasus ini, -mulai dari protes Meiliana terhadap pengurus masjid Al-Maksum sampai muncul aksi kekerasan masif (Penelitian Iswandi Syahputra, Repubika/ 27/8/2018), awalnya memang protes Meliana terhadap pengurus masjid karena suara azan yang terlalu besar.
Namun, penggunaan bahasa yang tidak tepat menjadi sebab tersandungnya ia dalam kasus penistaan agama sebagaimana ditegaskan Din Syamsudin, ketua Dewan Pertimbangan MUI. Bahasa yang kurang pas (arogan) ditambah konflik laten jauh hari sebelumnya ini yang menyebabkan muncul kekerasan masif yang berujung pada perusakan beberapa tempat ibadah termasuk rumah yang bersangkutan sendiri (Penelitian Iswandi Syahputra).
Dengan demikian, antara kasus Meiliana dengan sosialisasi inpres tersebut sebenarnya tidak memiliki relevansi. Inpres tersebut justru tidak mampu menjawab keluhan Meiliana karena suara azan yang terlalu keras sebab inpres tersebut tetap memperbolehkan azan pakai pengeras suara. Lagi pula azan memang harus pakai pengeras suara. Menurut Fannes (2012) yang dikutip Iswandi Syahputra, azan merupakan cultural sounds yang harus dilindungi dan dihormati sebagaimana lonceng gereja bagi umat Kristiani. Lagi pula kalau hanya suara azan, dengan jumlah tercatat 54 masjid dan 98 musala di Tanjung Balai, mereka sudah terbiasa mendengar azan lima waktu sehari/ semalam selama ratusan tahun tanpa pernah ada masalah.
Karena itulah, penerbitan SE setelah kasus ini bisa-bisa dipersepsi sebagai pembelaan terhadap kasus yang membelit Meiliana. Apalagi berkembang tweet unsur pemerintah yang siap menjadi saksi dalam lanjutan kasus tersebut. Kondisi ini secara otomatis menempatkan pemerintah seakan-akan berada pada posisi berseberangan dengan umat Islam yang merasa dinodai agamanya.
Kedua, terkait dengan suasana tahun politik yang cenderung meningkatkan kecurigaan. Tidak terkecuali dengan kebijakan negara yang sangat mungkin disebabkan karena belum terakomodasinya kepentingan umat secara keseluruhan; sebutlah penuntasan kasus penganiayaan terhadap pemuka agama yang terhenti pada pelakunya orang gila. Demikian juga sikap pemerintah terhadap oposan yang digerakkan oleh tokoh agama seperti Habib Rizieq Shihab, Al Khathath, Zulkifli Hazma, Alfian Tanjung, dan lainnya.
Karena itulah, perlu dikembangkan budaya husnuzh zhan (baik sangka) di kalangan bangsa Indonesia. Jangan sampai tujuan baik, tapi karena diawali oleh kecurigaan, tidak bisa menyikapinya secara proporsional. Persis seperti firman Allah dalam QS.5: 8 bahwa jangan sampai kecurigaan pada satu kaum menyebabkan kita tidak bisa berlaku adil.
Sebaliknya, pada pemerintah juga harus lebih hati-hati baik dalam mengeluarkan kebijakan maupun penyikapan. Jangan sampai muncul pandangan bahwa pemerintah memperlihatkan keberpihakan pada pihak tertentu. Kerukunan umat beragama akan terpelihara bila semua kelompok saling menghormati baik norma sosial maupun norma hukum. Sementara pemerintah pada titik sentralnya mengelola dengan bijak.
(wib)