Deepening Kebijakan
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
GLOBALISASI yang banyak kita diskusikan 20 tahun lalu tentang positif dan negatifnya pada perekonomian suatu bangsa, telah membantu kita untuk memahami dan membangun alasan yang sangat jelas pada kita semua untuk melihat perekonomian nasional saat ini.
Kita menjadi sadar bahwa pembuatan kebijakan ekonomi di suatu negara menjadi semakin kompleks dan cenderung berkausalitas. Ada lebih banyak variabel dan informasi yang harus masuk dalam dapur kajian pembuatan kebijakan agar menghasilkan kebijakan yang kredibel.
Perekonomian dunia menjadi saling terintegrasi dan menciptakan dependensi yang sangat kuat, baik di bidang perdagangan, keuangan, maupun moneter. Apabila terjadi sesuatu hal di sebuah negara, dampaknya akan segera menjalar kenegara lain, khususnya pada negaranegara dengan jaringan kerja sama yang erat.
Hubungan ketergantungan ini dapat membuat perekonomian di suatu negara menjadi fragile , terutama bagi negara yang tidak mampu memanage keuntungan sesaat atas adanya keuntungan (advantage ) dalam kerja sama tersebut. Perang ekonomi global menjadi kian cepat tersulut dan dampaknya semakin mudah meluas.
Kendati demikian, tampaknya sudah semakin sulit bagi sebuah negara untuk membangun sistem perekonomian yang independen (tertutup) seiring keterbatasan sumber daya yang di milikinya. Pertukaran keunggulan komparatif masih menjadi asimilasi kebijakan yang paling logis demi menjaga stabilitas dan efisiensi ekonomi dalam negeri.
Saat ini Indonesia terbilang tengah menghadapi kondisi yang fragile terhadap situasi perekonomian global. Seti daknya hal tersebut tergambarkan atas kondisi rupiah yang tengah mengalami pelemahan signifikan. Situasi yang ada memaksa banyak pihak untuk urun rembug agar kondisinya tidak semakin mengkhawatirkan.
Tidak sedikit pula yang mulai menghubungkan (jika frase menyalahkan terdengar ekstrem) dengan berbagai kejadian perekonomian di luar negeri sebagai faktor penyebabnya. Tetapi, tidak cukup elok jika kita sekadar menyalahkan fenomena luar negeri sebagai satu-satunya penyebab. Kita sendiri selama ini terlalu nyaman dininabobokan kebijakan impor, khususnya terkait barang-barang kebutuhan produksi.
Alhasil, seperti yang sedang kita saksikan bersama, ketahanan ekonomi kita menjadi pasang surut karena bergantung pada kondisi perekonomian global. Di kala nilai tukar rupiah sedang terkulai lemah, praktis para produsen pengguna bahan baku impor perlu merogoh koceknya lebih dalam untuk berbelanja kebutuhan produksinya.
Untuk menjaga kesinambungan usaha maka pilihan logisnya tinggal dua, apakah menaikkan harga produknya dengan kuantitas output yang sama, atau sebaliknya menjaga harga tetap konstan dengan alternatif bahwa kuantitas output-nya diturunkan. Kedua pilihan memiliki risiko pasar tersendiri. Namun, konsekuensinya relatif sama: tingkat kepuasan konsumen akan mengalami pelemahan.
Fenomena inilah yang kemudian membuat asumsi daya saing ekspor akan menguat (pada saat rupiah melemah) menjadi berantakan. Karena perubahan harga di sektor hulu akan membuat pelaku usaha cenderung bertindak logis agar usahanya tidak terlalu dalam mengalami kerugian.
Untuk mencegah efek domino yang lebih parah di masa mendatang, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan kebi jakan-kebijakan konvensional yang berkutat pada ring fiskal dan moneter saja. Bauran dua kebijakan ini tidak lagi cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah yang semakin mengemuka saat ini. Alasan utamanya adalah karena sumber daya fiskal kita yang sangat terbatas untuk mengatasi beragam persoalan yang tengah membelit perekonomian kita.
Karena itu, kekuatan fiskal kita perlu di perdalam lagi kapasitasnya agar memiliki nilai manfaat yang lebih luas. Misalnya, kepemilikan obligasi oleh masyarakat serta institusi/badan usaha dalam negeri didorong agar semakin besar keterlibatannya. Karena hanya mengandalkan pendapatan negara yang saat ini didominasi hasil penerimaan pajak ternyata belum cukup mendanai seluruh kebutuhan pembangunan domestik.
Selain itu, dibutuhkan evaluasi yang mendalam mengenai struktur belanja di dalam APBN dan APBD kita. Kita tentu berharap belanja pemerintah yang bersumber dari APBN dan APBD memiliki nilai manfaat yang berjangka panjang, serta dikelola secara efektif dan efisien sehingga berdampak positif terhadap pembangunan perekonomian dalam negeri.
Kegiatan pendukung lain adalah mendorong gerakan cinta produk dalam negeri, agar kapasitas produksi beserta snowball effects-nya dapat kita nikmati bersama. Minimal lapangan pekerjaan semakin meningkat dan peluang peningkatan pendapatan dapat semakin terbuka. Dari sisi kebijakan moneter, pendalaman yang dilakukan tidak hanya bersikap defended dengan hanya mengobral stok devisa kita.
Upaya-upaya sporadis seperti gerakan cinta rupiah juga perlu dilakukan, terutama sebagai portofolio aset kelompok berpendapatan tinggi. Peningkatan partisipasi masyarakat yang terkoordinir dan terukur seperti ini dibutuhkan agar tidak lagi terjadi “noise” yang menyebarkan sifat pesimistis. Akan tetapi juga perlu diingat bahwa menciptakan kesadaran masyarakat dalam partisipasi pembangunan membutuhkan alasan dan faktor pemicu yang kuat.
Misalnya, pemerintah memiliki citra dan kredibilitas yang hebat bahwa perencanaan dan respons kebijakan yang akan/sedang dilakukan dapat melahirkan benefit yang optimal terhadap pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Para ekonom sebagai kelompok pembentuk opini masyarakat juga perlu bertindak adil dan objektif dalam menilai dinamika perekonomian di negara kita.
Ada faktor trust yang sulit ditinggalkan di dalam hubungan principal-agent antara pemerintah dan masyarakat. Minimal masyarakat merasa tidak dianaktirikan dan “dikibuli” dengan proses-proses peru musan di setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan pertimbangan berbagai kondisi yang terjadi pada akhir-akhir ini, penulis ingin memberikan masukan terhadap beberapa kebijakan pemerintah.
Tentu masukan yang diantarkan penulis memiliki landasan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Pertama, penulis tidak mendukung dengan kebijakan pemerintah yang akan mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan beberapa subsidi produktif lain dengan alasan untuk mengirit APBN.
Berdasarkan pengalaman di tahun 1998, ternyata dengan mengurangi subsidi (sehingga harga BBM terdorong naik) justru semakin memperburuk situasi karena melemahkan perspektif keberpihakan pemerintah terhadap daya beli masyarakat. Karena itu, penulis berpikir agar pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan pengurangan subsidi BBM tersebut.
Perlu dicarikan momen yang tepat, yakni sampai masyarakat tersadar bahwa pemerintah senantiasa berada di pihak mereka sehingga secara psikologis masyarakat tidak merasa berat saat pemerintah mengajak bersama-sama kuatkan tali ikat pinggang.
Kedua, sudah saatnya karpet kepemilikan obligasi diperlebar untuk sumber dana yang berasal dari masyarakat domestik. Saat ini investor asing menguasai sekitar 37,2% pasar obligasi. Angka tersebut turun dari 37,6% pada akhir bulan lalu. Penurunan penguasaan ini ditengarai karena volatilitas rupiah yang masih sangat tinggi. Apalagi, The Fed selaku bank sentral Amerika Serikat rumornya akan kembali meningkatkan tingkat suku bunganya pada bulan ini.
Kita perlu “memaklumi” ketika investor asing cenderung oportunis pada kepentingan profit bisnis sehingga sense of belonging mereka terhadap stabilitas perekonomian kita sangat wajar jika cenderung muram. Ke depan masyarakat dalam negeri perlu didorong agar semakin menguasai pasar obligasi kita.
Caranya dengan meningkatkan promosi dan berbagai kemudahan cara memperolehnya, misalnya dengan menggaet lembaga atau kelompok masyarakat yang potensial (contoh: pondok pesantren), yang masih menyimpan dan mengelola dananya secara konvensional. Ketiga, hubungan komunikasi dengan para pengusaha perlu dibangun secara sinergis untuk mengurangi bahaya asymmetric information yang kerap menimbulkan mispersepsi. Melalui komunikasi yang baik, noise yang muncul atas kebijakan tersebut semakin berkurang dan makin efektif hasilnya.
Pengusaha merupakan tandem ideal bagi pemerintah untuk membangun kebijakan makroekonomi dari lingkup kebijakan mikro sehingga sudah seharusnya pemerintah memfasilitasi sistem informasi yang kredibel, yang dibutuhkan oleh pengusaha untuk merumuskan kebijakan bagi lini-lini usahanya.
Pengusaha (khususnya yang menguntungkan sumber daya lokal) juga perlu dilindungi dengan berbagai insentif di tengah kepungan persaingan internasional. Ketika infrastruktur terus dikembangkan dan pajak bagi pengusaha UMKM sudah direduksi, langkah selanjutnya adalah melindungi para produsen dari ketergantungan dan ketidakpastian pasokan impor demi memacu daya saing.
Kebijakan peningkatan tarif PPh impor belum tentu linier dengan upaya penguatan ekonomi dalam negeri. Karena bisa jadi justru cara tersebut malah mematikan usaha domestik yang masih tergantung pada pasokan bahan baku impor.
Alternatif terbaiknya adalah dengan menggenjot pertumbuhan industri substitusi impor yang bisa dikelola secara mandiri. Selain itu, pemerintah perlu membangun sarana captive markets. Lebih-lebih jika mereka dapat melakukan ekspor hingga pada akhirnya tergabung sebagai pahlawan devisa bagi perekonomian Indonesia.
Dengan banyaknya bahan baku impor yang masuk sudah sepantasnya dibalas dengan ekspor yang berlipat ganda. Langkah ini juga untuk mengimbangi kebijakan BI yang menaikkan tingkat suku bunga secara berkala, demi menahan arus modal keluar dari Indonesia. Dengan begitu, nilai rupiah kita tidak kewalahan menahan bombardir mata uang negara lain.
Kita harus tetap gagah berani menghadapi problemproblem berat ini dengan kekuatan kolektif yang dimiliki seluruh komponen bangsa. Karena pada saat kita sudah masuk dalam jurang krisis, tidak ada lagi yang akan merasa diuntungkan. Semuanya bisa berpotensi mengalami stres yang cukup berat, apalagi bagi masyarakat yang pasti akan sangat merasa dirugikan.
Walaupun aktor utama hingga saat ini masih tetap diemban pemerintah, tetapi kebersamaan dan kekompakan merupakan modal tambahan yang sangat penting untuk proses pembangunan kini dan nanti. Kita perlu menjaga fokus dan optimisme diri seraya tetap mewaspadai pergerakan perekonomian luar negeri, agar dampaknya tetap terkendali dan tidak sampai meluluhlantakkan sendi-sendi pembangunan kita.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
GLOBALISASI yang banyak kita diskusikan 20 tahun lalu tentang positif dan negatifnya pada perekonomian suatu bangsa, telah membantu kita untuk memahami dan membangun alasan yang sangat jelas pada kita semua untuk melihat perekonomian nasional saat ini.
Kita menjadi sadar bahwa pembuatan kebijakan ekonomi di suatu negara menjadi semakin kompleks dan cenderung berkausalitas. Ada lebih banyak variabel dan informasi yang harus masuk dalam dapur kajian pembuatan kebijakan agar menghasilkan kebijakan yang kredibel.
Perekonomian dunia menjadi saling terintegrasi dan menciptakan dependensi yang sangat kuat, baik di bidang perdagangan, keuangan, maupun moneter. Apabila terjadi sesuatu hal di sebuah negara, dampaknya akan segera menjalar kenegara lain, khususnya pada negaranegara dengan jaringan kerja sama yang erat.
Hubungan ketergantungan ini dapat membuat perekonomian di suatu negara menjadi fragile , terutama bagi negara yang tidak mampu memanage keuntungan sesaat atas adanya keuntungan (advantage ) dalam kerja sama tersebut. Perang ekonomi global menjadi kian cepat tersulut dan dampaknya semakin mudah meluas.
Kendati demikian, tampaknya sudah semakin sulit bagi sebuah negara untuk membangun sistem perekonomian yang independen (tertutup) seiring keterbatasan sumber daya yang di milikinya. Pertukaran keunggulan komparatif masih menjadi asimilasi kebijakan yang paling logis demi menjaga stabilitas dan efisiensi ekonomi dalam negeri.
Saat ini Indonesia terbilang tengah menghadapi kondisi yang fragile terhadap situasi perekonomian global. Seti daknya hal tersebut tergambarkan atas kondisi rupiah yang tengah mengalami pelemahan signifikan. Situasi yang ada memaksa banyak pihak untuk urun rembug agar kondisinya tidak semakin mengkhawatirkan.
Tidak sedikit pula yang mulai menghubungkan (jika frase menyalahkan terdengar ekstrem) dengan berbagai kejadian perekonomian di luar negeri sebagai faktor penyebabnya. Tetapi, tidak cukup elok jika kita sekadar menyalahkan fenomena luar negeri sebagai satu-satunya penyebab. Kita sendiri selama ini terlalu nyaman dininabobokan kebijakan impor, khususnya terkait barang-barang kebutuhan produksi.
Alhasil, seperti yang sedang kita saksikan bersama, ketahanan ekonomi kita menjadi pasang surut karena bergantung pada kondisi perekonomian global. Di kala nilai tukar rupiah sedang terkulai lemah, praktis para produsen pengguna bahan baku impor perlu merogoh koceknya lebih dalam untuk berbelanja kebutuhan produksinya.
Untuk menjaga kesinambungan usaha maka pilihan logisnya tinggal dua, apakah menaikkan harga produknya dengan kuantitas output yang sama, atau sebaliknya menjaga harga tetap konstan dengan alternatif bahwa kuantitas output-nya diturunkan. Kedua pilihan memiliki risiko pasar tersendiri. Namun, konsekuensinya relatif sama: tingkat kepuasan konsumen akan mengalami pelemahan.
Fenomena inilah yang kemudian membuat asumsi daya saing ekspor akan menguat (pada saat rupiah melemah) menjadi berantakan. Karena perubahan harga di sektor hulu akan membuat pelaku usaha cenderung bertindak logis agar usahanya tidak terlalu dalam mengalami kerugian.
Untuk mencegah efek domino yang lebih parah di masa mendatang, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan kebi jakan-kebijakan konvensional yang berkutat pada ring fiskal dan moneter saja. Bauran dua kebijakan ini tidak lagi cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah yang semakin mengemuka saat ini. Alasan utamanya adalah karena sumber daya fiskal kita yang sangat terbatas untuk mengatasi beragam persoalan yang tengah membelit perekonomian kita.
Karena itu, kekuatan fiskal kita perlu di perdalam lagi kapasitasnya agar memiliki nilai manfaat yang lebih luas. Misalnya, kepemilikan obligasi oleh masyarakat serta institusi/badan usaha dalam negeri didorong agar semakin besar keterlibatannya. Karena hanya mengandalkan pendapatan negara yang saat ini didominasi hasil penerimaan pajak ternyata belum cukup mendanai seluruh kebutuhan pembangunan domestik.
Selain itu, dibutuhkan evaluasi yang mendalam mengenai struktur belanja di dalam APBN dan APBD kita. Kita tentu berharap belanja pemerintah yang bersumber dari APBN dan APBD memiliki nilai manfaat yang berjangka panjang, serta dikelola secara efektif dan efisien sehingga berdampak positif terhadap pembangunan perekonomian dalam negeri.
Kegiatan pendukung lain adalah mendorong gerakan cinta produk dalam negeri, agar kapasitas produksi beserta snowball effects-nya dapat kita nikmati bersama. Minimal lapangan pekerjaan semakin meningkat dan peluang peningkatan pendapatan dapat semakin terbuka. Dari sisi kebijakan moneter, pendalaman yang dilakukan tidak hanya bersikap defended dengan hanya mengobral stok devisa kita.
Upaya-upaya sporadis seperti gerakan cinta rupiah juga perlu dilakukan, terutama sebagai portofolio aset kelompok berpendapatan tinggi. Peningkatan partisipasi masyarakat yang terkoordinir dan terukur seperti ini dibutuhkan agar tidak lagi terjadi “noise” yang menyebarkan sifat pesimistis. Akan tetapi juga perlu diingat bahwa menciptakan kesadaran masyarakat dalam partisipasi pembangunan membutuhkan alasan dan faktor pemicu yang kuat.
Misalnya, pemerintah memiliki citra dan kredibilitas yang hebat bahwa perencanaan dan respons kebijakan yang akan/sedang dilakukan dapat melahirkan benefit yang optimal terhadap pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Para ekonom sebagai kelompok pembentuk opini masyarakat juga perlu bertindak adil dan objektif dalam menilai dinamika perekonomian di negara kita.
Ada faktor trust yang sulit ditinggalkan di dalam hubungan principal-agent antara pemerintah dan masyarakat. Minimal masyarakat merasa tidak dianaktirikan dan “dikibuli” dengan proses-proses peru musan di setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan pertimbangan berbagai kondisi yang terjadi pada akhir-akhir ini, penulis ingin memberikan masukan terhadap beberapa kebijakan pemerintah.
Tentu masukan yang diantarkan penulis memiliki landasan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Pertama, penulis tidak mendukung dengan kebijakan pemerintah yang akan mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan beberapa subsidi produktif lain dengan alasan untuk mengirit APBN.
Berdasarkan pengalaman di tahun 1998, ternyata dengan mengurangi subsidi (sehingga harga BBM terdorong naik) justru semakin memperburuk situasi karena melemahkan perspektif keberpihakan pemerintah terhadap daya beli masyarakat. Karena itu, penulis berpikir agar pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan pengurangan subsidi BBM tersebut.
Perlu dicarikan momen yang tepat, yakni sampai masyarakat tersadar bahwa pemerintah senantiasa berada di pihak mereka sehingga secara psikologis masyarakat tidak merasa berat saat pemerintah mengajak bersama-sama kuatkan tali ikat pinggang.
Kedua, sudah saatnya karpet kepemilikan obligasi diperlebar untuk sumber dana yang berasal dari masyarakat domestik. Saat ini investor asing menguasai sekitar 37,2% pasar obligasi. Angka tersebut turun dari 37,6% pada akhir bulan lalu. Penurunan penguasaan ini ditengarai karena volatilitas rupiah yang masih sangat tinggi. Apalagi, The Fed selaku bank sentral Amerika Serikat rumornya akan kembali meningkatkan tingkat suku bunganya pada bulan ini.
Kita perlu “memaklumi” ketika investor asing cenderung oportunis pada kepentingan profit bisnis sehingga sense of belonging mereka terhadap stabilitas perekonomian kita sangat wajar jika cenderung muram. Ke depan masyarakat dalam negeri perlu didorong agar semakin menguasai pasar obligasi kita.
Caranya dengan meningkatkan promosi dan berbagai kemudahan cara memperolehnya, misalnya dengan menggaet lembaga atau kelompok masyarakat yang potensial (contoh: pondok pesantren), yang masih menyimpan dan mengelola dananya secara konvensional. Ketiga, hubungan komunikasi dengan para pengusaha perlu dibangun secara sinergis untuk mengurangi bahaya asymmetric information yang kerap menimbulkan mispersepsi. Melalui komunikasi yang baik, noise yang muncul atas kebijakan tersebut semakin berkurang dan makin efektif hasilnya.
Pengusaha merupakan tandem ideal bagi pemerintah untuk membangun kebijakan makroekonomi dari lingkup kebijakan mikro sehingga sudah seharusnya pemerintah memfasilitasi sistem informasi yang kredibel, yang dibutuhkan oleh pengusaha untuk merumuskan kebijakan bagi lini-lini usahanya.
Pengusaha (khususnya yang menguntungkan sumber daya lokal) juga perlu dilindungi dengan berbagai insentif di tengah kepungan persaingan internasional. Ketika infrastruktur terus dikembangkan dan pajak bagi pengusaha UMKM sudah direduksi, langkah selanjutnya adalah melindungi para produsen dari ketergantungan dan ketidakpastian pasokan impor demi memacu daya saing.
Kebijakan peningkatan tarif PPh impor belum tentu linier dengan upaya penguatan ekonomi dalam negeri. Karena bisa jadi justru cara tersebut malah mematikan usaha domestik yang masih tergantung pada pasokan bahan baku impor.
Alternatif terbaiknya adalah dengan menggenjot pertumbuhan industri substitusi impor yang bisa dikelola secara mandiri. Selain itu, pemerintah perlu membangun sarana captive markets. Lebih-lebih jika mereka dapat melakukan ekspor hingga pada akhirnya tergabung sebagai pahlawan devisa bagi perekonomian Indonesia.
Dengan banyaknya bahan baku impor yang masuk sudah sepantasnya dibalas dengan ekspor yang berlipat ganda. Langkah ini juga untuk mengimbangi kebijakan BI yang menaikkan tingkat suku bunga secara berkala, demi menahan arus modal keluar dari Indonesia. Dengan begitu, nilai rupiah kita tidak kewalahan menahan bombardir mata uang negara lain.
Kita harus tetap gagah berani menghadapi problemproblem berat ini dengan kekuatan kolektif yang dimiliki seluruh komponen bangsa. Karena pada saat kita sudah masuk dalam jurang krisis, tidak ada lagi yang akan merasa diuntungkan. Semuanya bisa berpotensi mengalami stres yang cukup berat, apalagi bagi masyarakat yang pasti akan sangat merasa dirugikan.
Walaupun aktor utama hingga saat ini masih tetap diemban pemerintah, tetapi kebersamaan dan kekompakan merupakan modal tambahan yang sangat penting untuk proses pembangunan kini dan nanti. Kita perlu menjaga fokus dan optimisme diri seraya tetap mewaspadai pergerakan perekonomian luar negeri, agar dampaknya tetap terkendali dan tidak sampai meluluhlantakkan sendi-sendi pembangunan kita.
(don)