Korupsi dan Pembubaran Parpol
A
A
A
Jamaludin Ghafur
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI
SISTEM demokrasi perwakilan meniscayakan hadirnya partai politik (parpol). Begitu sentral dan pentingnya parpol dalam kehidupan demokrasi tidak mengejutkan bila dikatakan modern democracy is party democracy (Richard S. Katz:1980:1). Sementara Yves Meny and Andrew Knapp menyebut, suatu sistem politik dengan hanya satu parpol sulit sekali dibayangkan untuk disebut demokratis, apalagi jika tanpa parpol sama sekali (1998:86).
Parpol dan demokrasi bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan demokrasi yang semakin baik dalam sebuah negara akan berimplikasi pada kukuhnya jaminan atas kebebasan warga negara untuk mendirikan parpol. Sebaliknya, institusi parpol yang mapan dan terlembagai akan menjanjikan terbangunnya kualitas demokrasi yang baik. Karena itu, kebutuhan akan hadirnya parpol yang bermutu merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda, karena parpol yang besar secara jumlah tetapi minus kualitas hanya akan menjadi beban dan petaka bagi masa depan demokrasi itu sendiri.
Ironisnya, yang sedang dialami Indonesia saat ini adalah kondisi performa parpol menunjukkan hal yang buruk karena semestinya berperan sebagai perantara yang menjembatani kepentingan rakyat dan pemerintah, namun justru oleh para oknumnya dibajak menjadi alat untuk menyamun uang rakyat dan negara.
Pengakuan yang disampaikan oleh tersangka kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-I, Eni Maulani Saragih bahwa sebagian uang hasil korupsinya mengalir ke Munaslub Golkar 2017 membuat khalayak terkejut dan tersentak. Pengakuan ini jika kelak terbukti, membenarkan kecurigaan publik selama ini bahwa parpol adalah salah satu lembaga produsen koruptor. Lembaga penegak hukum harus serius menelusuri kebenaran kasus ini sehingga semuanya menjadi terang benderang dan jangan sampai menguap begitu saja tanpa ada juntrungannya, sebagaimana kasus-kasus korupsi sebelumnya yang terindikasi melibatkan parpol yang tenggelam ditelan waktu.
Larangan bagi Parpol
Ditinjau dari perspektif HAM, mendirikan parpol merupakan pengejawantahan daripada jaminan konstitusional atas hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945.
Namun yang perlu disadari, tidak ada satu jenis hak pun yang berlaku secara absolut. Untuk tujuan dan kepentingan yang lebih besar, negara dapat mengatur, membatasi, mengurangi bahkan mencabut pelaksanaan hak yang melekat pada setiap individu. Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 menyatakan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Guna memastikan bahwa pendirian parpol diperuntukkan sebagaimana mestinya dan tidak disalahgunakan untuk tujuan yang tercela, pemerintah melalui UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang parpol telah mengatur tentang kebolehan dan sekaligus larangan bagi parpol. Pelanggaran atas norma larangan akan berkonsekuensi dijatuhkannya sanksi dari yang paling ringan yaitu sanksi administratif sampai yang terberat berupa pembubaran.
Salah satu tindakan parpol yang dapat berujung pada pembubaran ialah pelanggaran atas ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf a UU Parpol, yaitu parpol melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Pembubaran Parpol
Korupsi yang dilakukan oleh parpol jelas merupakan pelanggaran atas konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Maka apabila kelak penegak hukum dapat membuktikan bahwa sebagian hasil korupsi proyek PLTU Riau-I memang nyata mengalir dan menjadi salah satu sumber pendanaan dalam Munaslub Golkar 2017, maka Presiden melalui Kejaksaan Agung tidak perlu ragu-ragu untuk mengajukan permohonan pembubaran Partai Golkar ke Mahkamah Konstitusi.
Tindakan tegas pembubaran parpol yang terbukti menerima uang hasil korupsi perlu diambil sebagai pembelajaran dan pendewasaan parpol, karena pembiaran terhadap tindakan seperti itu akan menimbulkan preseden buruk bahwa parpol adalah institusi yang kebal hukum sehingga merasa bebas melakukan tindakan-tindakan busuk.
Memang, pembubaran parpol bukan merupakan perkara mudah karena tidak hanya mempersyaratkan parpol tersebut telah terbukti melakukan pelanggaran yang dapat menjadi alasan pembubaran seperti korupsi, melainkan juga lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pembubaran parpol ke MK hanya dapat dilakukan oleh presiden.
Pemberian hak eksklusif hanya kepada presiden sebagai pemohon dalam pembubaran parpol menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, presiden adalah bagian dari parpol karena pencalonannya melalui parpol, sehingga mustahil bagi presiden untuk mengajukan permohonan pembubaran jika parpol tersebut adalah partainya. Kedua, dalam penyusunan kabinet, presiden selalu memiliki mitra koalisi. Jika yang melakukan pelanggaran adalah bagian dari mitra koalisinya, secara akal sehat tidak mungkin presiden akan menggunakan kewenangannya tersebut.
Oleh sebab itu, di masa depan perlu ada rekonstruksi ulang terhadap pengaturan legal standing pemohon pembubaran parpol ini, yaitu tidak boleh hanya menjadi hak eksklusif presiden tetapi juga harus diperluas. Jika pemberian legal standing kepada masyarakat luas dianggap dapat menimbulkan persoalan karena dikhawatirkan para simpatisan parpol akan saling mengajukan permohonan pembubaran terhadap parpol lawan sehingga hal ini tidak baik bagi demokrasi, maka dapat dipertimbangkan untuk memberikan kewenangan tersebut kepada lembaga yang memiliki keterkaitan dalam pengawasan parpol, yaitu Badan Pengawas Pemilu. Harapannya, pasal tentang pembubaran parpol tidak lagi menjadi pajangan tapi dapat diimplementasikan sebagai sebuah mekanisme kontrol parpol.
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI
SISTEM demokrasi perwakilan meniscayakan hadirnya partai politik (parpol). Begitu sentral dan pentingnya parpol dalam kehidupan demokrasi tidak mengejutkan bila dikatakan modern democracy is party democracy (Richard S. Katz:1980:1). Sementara Yves Meny and Andrew Knapp menyebut, suatu sistem politik dengan hanya satu parpol sulit sekali dibayangkan untuk disebut demokratis, apalagi jika tanpa parpol sama sekali (1998:86).
Parpol dan demokrasi bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan demokrasi yang semakin baik dalam sebuah negara akan berimplikasi pada kukuhnya jaminan atas kebebasan warga negara untuk mendirikan parpol. Sebaliknya, institusi parpol yang mapan dan terlembagai akan menjanjikan terbangunnya kualitas demokrasi yang baik. Karena itu, kebutuhan akan hadirnya parpol yang bermutu merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda, karena parpol yang besar secara jumlah tetapi minus kualitas hanya akan menjadi beban dan petaka bagi masa depan demokrasi itu sendiri.
Ironisnya, yang sedang dialami Indonesia saat ini adalah kondisi performa parpol menunjukkan hal yang buruk karena semestinya berperan sebagai perantara yang menjembatani kepentingan rakyat dan pemerintah, namun justru oleh para oknumnya dibajak menjadi alat untuk menyamun uang rakyat dan negara.
Pengakuan yang disampaikan oleh tersangka kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-I, Eni Maulani Saragih bahwa sebagian uang hasil korupsinya mengalir ke Munaslub Golkar 2017 membuat khalayak terkejut dan tersentak. Pengakuan ini jika kelak terbukti, membenarkan kecurigaan publik selama ini bahwa parpol adalah salah satu lembaga produsen koruptor. Lembaga penegak hukum harus serius menelusuri kebenaran kasus ini sehingga semuanya menjadi terang benderang dan jangan sampai menguap begitu saja tanpa ada juntrungannya, sebagaimana kasus-kasus korupsi sebelumnya yang terindikasi melibatkan parpol yang tenggelam ditelan waktu.
Larangan bagi Parpol
Ditinjau dari perspektif HAM, mendirikan parpol merupakan pengejawantahan daripada jaminan konstitusional atas hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945.
Namun yang perlu disadari, tidak ada satu jenis hak pun yang berlaku secara absolut. Untuk tujuan dan kepentingan yang lebih besar, negara dapat mengatur, membatasi, mengurangi bahkan mencabut pelaksanaan hak yang melekat pada setiap individu. Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 menyatakan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Guna memastikan bahwa pendirian parpol diperuntukkan sebagaimana mestinya dan tidak disalahgunakan untuk tujuan yang tercela, pemerintah melalui UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang parpol telah mengatur tentang kebolehan dan sekaligus larangan bagi parpol. Pelanggaran atas norma larangan akan berkonsekuensi dijatuhkannya sanksi dari yang paling ringan yaitu sanksi administratif sampai yang terberat berupa pembubaran.
Salah satu tindakan parpol yang dapat berujung pada pembubaran ialah pelanggaran atas ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf a UU Parpol, yaitu parpol melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Pembubaran Parpol
Korupsi yang dilakukan oleh parpol jelas merupakan pelanggaran atas konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Maka apabila kelak penegak hukum dapat membuktikan bahwa sebagian hasil korupsi proyek PLTU Riau-I memang nyata mengalir dan menjadi salah satu sumber pendanaan dalam Munaslub Golkar 2017, maka Presiden melalui Kejaksaan Agung tidak perlu ragu-ragu untuk mengajukan permohonan pembubaran Partai Golkar ke Mahkamah Konstitusi.
Tindakan tegas pembubaran parpol yang terbukti menerima uang hasil korupsi perlu diambil sebagai pembelajaran dan pendewasaan parpol, karena pembiaran terhadap tindakan seperti itu akan menimbulkan preseden buruk bahwa parpol adalah institusi yang kebal hukum sehingga merasa bebas melakukan tindakan-tindakan busuk.
Memang, pembubaran parpol bukan merupakan perkara mudah karena tidak hanya mempersyaratkan parpol tersebut telah terbukti melakukan pelanggaran yang dapat menjadi alasan pembubaran seperti korupsi, melainkan juga lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pembubaran parpol ke MK hanya dapat dilakukan oleh presiden.
Pemberian hak eksklusif hanya kepada presiden sebagai pemohon dalam pembubaran parpol menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, presiden adalah bagian dari parpol karena pencalonannya melalui parpol, sehingga mustahil bagi presiden untuk mengajukan permohonan pembubaran jika parpol tersebut adalah partainya. Kedua, dalam penyusunan kabinet, presiden selalu memiliki mitra koalisi. Jika yang melakukan pelanggaran adalah bagian dari mitra koalisinya, secara akal sehat tidak mungkin presiden akan menggunakan kewenangannya tersebut.
Oleh sebab itu, di masa depan perlu ada rekonstruksi ulang terhadap pengaturan legal standing pemohon pembubaran parpol ini, yaitu tidak boleh hanya menjadi hak eksklusif presiden tetapi juga harus diperluas. Jika pemberian legal standing kepada masyarakat luas dianggap dapat menimbulkan persoalan karena dikhawatirkan para simpatisan parpol akan saling mengajukan permohonan pembubaran terhadap parpol lawan sehingga hal ini tidak baik bagi demokrasi, maka dapat dipertimbangkan untuk memberikan kewenangan tersebut kepada lembaga yang memiliki keterkaitan dalam pengawasan parpol, yaitu Badan Pengawas Pemilu. Harapannya, pasal tentang pembubaran parpol tidak lagi menjadi pajangan tapi dapat diimplementasikan sebagai sebuah mekanisme kontrol parpol.
(wib)