Pilpres dan Geliat Ekonomi Perikanan Asia

Jum'at, 24 Agustus 2018 - 08:30 WIB
Pilpres dan Geliat Ekonomi...
Pilpres dan Geliat Ekonomi Perikanan Asia
A A A
Abdul Halim Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan

Hajatan politik Indonesia pada 2019 sudah dimulai. Itu ditandai dengan hadirnya dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) periode 2019-2024, yakni petahana Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Terlepas dari ritual politik jelang pencoblosan pada 17 April 2019, ada perkembangan menarik di sektor perikanan yang mesti dijadikan sebagai prioritas pembangunan oleh pemimpin nasional ke depan.

Di dalam laporan terbarunya, FAO (2018) menyebut adanya kenaikan tingkat konsumsi ikan di dunia. Hal ini terlihat dari 170,9 juta ton (2016) ikan yang diproduksi oleh 195 negara, baik dari sektor perikanan tangkap maupun budidaya, 151,2 juta ton di antaranya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan protein 7,4 miliar penduduk bumi. Tak pelak, angka konsumsi ikan per kapita/tahun melonjak drastis dalam 5 tahun terakhir, dari 18,5 kilogram (2011) menjadi 20,3 kilogram (2016).

Di Asia, rata-rata tingkat konsumsi per kapita/tahun sebesar 24 kilogram. Angka ini sedikit lebih rendah ketimbang Oseania, yakni 25 kilogram/kapita/tahun. Sebaliknya, rata-rata konsumsi ikan di Eropa hanya 22,5 kilogram. Disusul Afrika dan Amerika Utara masing-masing sebesar 9,9 kilogram/kapita/tahun dan 21,6 kilogram/kapita/tahun.

Di samping itu, FAO (2018) juga menandai adanya pergeseran pasar konsumsi ikan di dunia. Mengacu pada fakta yang diungkap oleh FAO, pada 1961, Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat mengonsumsi 47% dari total produksi pangan perikanan di dunia. Selang 54 tahun kemudian, ketiganya hanya mengonsumsi 20% saja pada tahun 2015. Disusul Afrika dan Oseania yang berada di posisi terbawah. Sebaliknya, Asia justru mengonsumsi 2/3 atau 106 juta ton dari 149 juta ton ikan yang diproduksi di dunia pada tahun 2015. Pertanyaannya, apa sajakah faktor yang memengaruhi pergeseran pasar konsumsi ikan dunia?

Setidaknya terdapat 3 faktor yang memengaruhi terjadinya pergeseran pasar konsumsi ikan di dunia. Pertama, melonjaknya produksi perikanan sejumlah negara di Asia. Seperti diketahui, pada 2016, China (termasuk Taiwan), Indonesia, India, Jepang, Vietnam, Filipina, Malaysia, Korea Selatan, Thailand, dan Myanmar berkontribusi sebesar 38,89 juta ton atau setara dengan 58,6% dari total produksi perikanan tangkap dunia. Sementara itu, China, India, Indonesia, Vietnam, dan Banglades menyumbang sebesar 71,55 juta ton atau setara dengan 81,7% dari total produksi perikanan budidaya global.

Kedua, lonjakan volume produksi perikanan yang membelakangi pertumbuhan populasi dunia. Berkenaan dengan hal ini, FAO (2018) memperkirakan volume produksi perikanan global sebesar 200,96 juta ton pada tahun 2030 atau naik sebesar 17,6% dibandingkan tahun 2016. Dalam konteks itulah, Asia diproyeksikan menjadi produsen perikanan utama dengan kontribusi sebesar 144,66 juta ton. Disusul Afrika (13,56 juta ton), Eropa (17,95 juta ton), Amerika Utara (6,47 juta ton), Amerika Latin dan Kepulauan Karibia (16,04 juta ton), serta Oseania (1,9 juta ton).

Ketiga, kian efektifnya pemanfaatan dan pengolahan ikan. FAO (2018) menunjukkan bahwa 88% ikan yang diproduksi pada 2016 dipergunakan untuk konsumsi manusia. Sementara 12% atau setara dengan 15 juta ton sisanya dipakai untuk memproduksi pakan dan minyak ikan. Dalam pada itu, FAO juga mendapati adanya sejumlah perbaikan yang dilakukan berkaitan dengan pemanfaatan dan pengolahan ikan, khususnya di banyak negara berkembang, mulai dari penataan lemari pendingin, pabrik es, sarana transportasi, dan menurunnya jumlah ikan yang terbuang sejak didaratkan hingga terkonsumsi oleh manusia.

Berkaca pada ketiga faktor di atas, tak berlebihan apabila dikatakan bahwa geliat ekonomi perikanan tengah mewabah di Asia. Hal ini ditandai oleh tingkat konsumsi pangan perikanan masyarakat global yang diproyeksikan mengalami lonjakan drastis, yakni sebesar 21,5 kilogram pada 2030. Pertumbuhan ini terjadi di antaranya di Amerika Latin sebesar 33%, Afrika (37%), Oseania (28%), dan Asia (20%). Lantas, bagaimana Indonesia memanfaatkan peluang ekonomi ini?

Pada 2030, volume produksi perikanan nasional diperkirakan sebesar 15,15 juta ton atau naik sebesar 31,9% dibandingkan volume produksi pada 2016, yakni sebesar 11,49 juta ton (FAO, 2018). Dalam pada itu, rata-rata konsumsi ikan nasional pada 2016 mencapai 43,94 kilogram/kapita/tahun. Angka konsumsi ikan nasional ini diperkirakan meningkat menjadi 46,49 kilogram/kapita/tahun pada 2017 seiring dengan kenaikan pendapatan dan persebaran kelas menengah yang kian melek manfaat mengonsumsi ikan.

Sementara itu, provinsi yang memiliki tingkat konsumsi ikan rata-rata di atas 31,4 kilogram/kapita/tahun justru tersebar di Pulau Papua, Pulau Maluku, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan Pulau Jawa bagian barat antara tahun 2012-2017 (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2018). Inilah sesungguhnya pasar konsumsi ikan yang harus dikelola dengan baik oleh pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Terlebih lagi, di tengah tingkat konsumsi masyarakat di Eropa yang diprediksi tak akan beranjak dari angka 22 kilogram/kapita/tahun pada tahun 2030 (FAO, 2018), kenaikan volume produksi perikanan dan meningkatnya tingkat konsumsi ikan nasional bisa dijadikan sebagai sarana pencapaian kemakmuran rakyat.

Seperti diketahui, Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan memandatkan kepada pemerintah untuk menjalankan usaha perikanan berdasarkan sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Dalam konteks inilah, pengelolaan pelabuhan perikanan sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan menjadi sangat strategis.

Di Indonesia, jumlah pelabuhan perikanan sebanyak 816 unit. Dari jumlah itu, hanya 483 pelabuhan yang dinyatakan layak beroperasi, meskipun memerlukan perbaikan infrastruktur dan tata kelolanya. Sementara itu, 333 pelabuhan lainnya dinyatakan tidak layak (Kementerian Kelautan dan Perikanan, April 2017). Fakta ini menunjukkan bahwa keberadaan pelabuhan perikanan sebagai sentra ekonomi perikanan rakyat belum menjadi prioritas utama pemerintahan, baik dari sisi fasilitas penunjang maupun tata kelolanya.

Pada konteks inilah, Pilpres 2019 menjadi momentum rakyat untuk melakukan perbaikan. Bagaimana memulainya? Pertama, menggerakkan sentra ekonomi kepulauan yang bertumpu pada usaha perikanan rakyat. Kedua, memprioritaskan pengolahan ikan di dalam negeri guna memenuhi kebutuhan protein 266 juta rakyat Indonesia dengan mempertimbangkan potensi sumber daya dan infrastruktur penunjangnya di setiap wilayah pengelolaan perikanan, seperti fasilitas dan tata kelola pelabuhan perikanan dan angkutan pelayaran rakyat antar-pulau yang lebih baik. Dengan jalan inilah, kemakmuran yang terkonsentrasi pada segilintir orang bisa dikoreksi dan kehendak konstitusi untuk menghadirkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote bisa diwujudkan.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0939 seconds (0.1#10.140)