Tren Penyebaran Hoaks dan Ujaran Kebenciah Masih Berlanjut
A
A
A
JAKARTA - Tren penyebaran kabar bohong atau hoaks dan ujaran kebencian di tengah masyarakat diprediksi akan terus berlanjut menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019.
"Karena perkembangan teknologi informasi yang pesat dan semakin terjangkau, pertarungan opini di dunia maya merupakan pilihan termudah dan utama bagi masyarakat," kata
Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Anita Wahid, di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Jakarta, Selasa 14 Agustus 2018.
Konten yang menyinggung suku agama ras dan antargolongan (SARA) diprediksi akan tetap muncul menjelang perhelatan lima tahunan itu, seperti yang terjadi pada Pilpres 2014.
"Mempolitisasi SARA ditambahkan dengan berita bohong merupakan cara paling mudah bagi parpol mengumpulkan partisipasi publik, terkhusus publik yang punya sentimen SARA tinggi dan literasi tinggi," tandasnya.
Penyebaran berita hoaks, lanjut dia, bukan hanya terjadi secara online tapi juga dapat menyebar secara offline tergantung tempat dan kondisi.
"Ini enggak terjadi di online saja, saat Pilpres 2014 bertebaran banyak juga dalam bentuk offline. Misalnya selembaran yang dibagi di desa-desa" ungkapnya.
Menurut data yang dihimpun oleh Mafindo, selama Juli 2018 terdapat sebanyak 13 konten ujaran kebencian dan hoaks berbau politik yang disebarkan melalui berbagai platform di dunia maya.
Oleh sebab itu, kata dia, para elite politik dapat terlebih dahulu memberikan teladan berpolitik yang baik kepada masyarakat untuk meredam derasnya hoaks dan ujaran kebencian yang dipicu ekosistem politik yang tidak sehat.
"Kita berharap para elite politik sadar bahwa kontestasi yang menghalalkan segala cara, termasuk membiarkan atau bahkan merekayasa berita bohong untuk menjatuhkan lawannya adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai dasar bangsa ini," tutur Anita.
"Karena perkembangan teknologi informasi yang pesat dan semakin terjangkau, pertarungan opini di dunia maya merupakan pilihan termudah dan utama bagi masyarakat," kata
Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Anita Wahid, di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Jakarta, Selasa 14 Agustus 2018.
Konten yang menyinggung suku agama ras dan antargolongan (SARA) diprediksi akan tetap muncul menjelang perhelatan lima tahunan itu, seperti yang terjadi pada Pilpres 2014.
"Mempolitisasi SARA ditambahkan dengan berita bohong merupakan cara paling mudah bagi parpol mengumpulkan partisipasi publik, terkhusus publik yang punya sentimen SARA tinggi dan literasi tinggi," tandasnya.
Penyebaran berita hoaks, lanjut dia, bukan hanya terjadi secara online tapi juga dapat menyebar secara offline tergantung tempat dan kondisi.
"Ini enggak terjadi di online saja, saat Pilpres 2014 bertebaran banyak juga dalam bentuk offline. Misalnya selembaran yang dibagi di desa-desa" ungkapnya.
Menurut data yang dihimpun oleh Mafindo, selama Juli 2018 terdapat sebanyak 13 konten ujaran kebencian dan hoaks berbau politik yang disebarkan melalui berbagai platform di dunia maya.
Oleh sebab itu, kata dia, para elite politik dapat terlebih dahulu memberikan teladan berpolitik yang baik kepada masyarakat untuk meredam derasnya hoaks dan ujaran kebencian yang dipicu ekosistem politik yang tidak sehat.
"Kita berharap para elite politik sadar bahwa kontestasi yang menghalalkan segala cara, termasuk membiarkan atau bahkan merekayasa berita bohong untuk menjatuhkan lawannya adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai dasar bangsa ini," tutur Anita.
(dam)