Menakar Kapabilitas Pertamina di Blok Rokan

Selasa, 31 Juli 2018 - 09:23 WIB
Menakar Kapabilitas Pertamina di Blok Rokan
Menakar Kapabilitas Pertamina di Blok Rokan
A A A
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Antimafia Migas

SETELAH Blok Mahakam diserahkan pengelolaan ke Pertamina pada saat kontrak berakhir pada 2017, kini giliran Blok Rokan yang akan berakhir kontraknya pada 2021. Blok Rokan merupakan ladang minyak dan gas bumi (migas) yang berada di Kepulauan Riau.

Blok Rokan saat ini masih dikelola oleh Chevron, perusahaan Migas asal Amerika Serikat (AS). Chevron mengelola blok Rokan sejak menandatangani kontrak pada 8 Agustus 1971, kontrak berlaku 30 tahun yang berakhir pada 2001, lalu kontrak diperpanjang lagi hingga akan berakhir pada 2021. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Blok Rokan mampu menghasilkan 207.148 barel per hari (bph), setara dengan 26% produksi migas nasional.

Produksi minyak Rokan hingga akhir 2018 diperkirakan mencapai 205.952 bph atau dalam setahun sekitar 75 juta barel. Dengan rata-rata Indonesian Crude Price (ICP) saat ini sebesar USD66,55 per barel, pendapatan kotor blok Rokan sebesar USD4,99 miliar. Dengan pendapatan sebesar itu, tidak mengherankan kalau Chevron dan Pertamina berebut untuk mengelola pada pascakontrak berakhir.

Penetapan pengelola Blok Rokan semestinya didasarkan pada amanah konstitusi Pasal 33 UUD 1945, ayat 3 menyebutkan bahwa: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kalau mendasarkan pada “dikuasai negara” maka idealnya Blok Rokan diserahkan kepada Pertamina, sebagai representasi negara.

Tetapi, harus ada jaminan peningkatan produksi sehingga hasil produksi itu “dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Dengan demikian, keputusan menetapkan Pertamina atau Chevron sebagai pengelola Blok Rokan, indikatornya adalah jaminan peningkatan produksi.

Pertamina sudah mengajukan proposal untuk bisa mengelola Blok Rokan pada 25 Juli 2018 lalu. Lagi-lagi, Pertamina menyatakan komitmennya untuk mengelola Blok Rokan 100% secara mandiri dan sekaligus sebagai operator serta sanggup menyediakan dana investasi yang dibutuhkan. Pernyataan komitmen itu sama persis pada saat Pertamina mengajukan pengelolaan Blok Mahakam.

Sejak 2008, Pertamina telah berulang kali mengajukan usulan ke Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengelola Blok Mahakam secara mandiri sekaligus sebagai operator. Pertamina juga menyatakan kesanggupannya mengalokasi dana investasi yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan produksi.

Setelah Menteri ESDM menyerahkan 100% pengelolaan, Pertamina ternyata tidak memenuhi komitmen tersebut. Secara B2B (Business to Business), Pertamina menawarkan share down hingga 39% kepada Total E&P Indonesia, kontraktor Blok Mahakam sebelumnya. Alasan Pertamina, share down itu lebih untuk capital and risk sharing. Pasalnya, investasi di hulu migas, selain membutuhkan modal investasi yang besar dengan pengembalian dana investasi dalam jangka panjang, juga mempunyai tingkat risiko yang tinggi.

Kalau komitmen awal 100% pengelolaan lalu Pertamina menawarkan share down hingga 39% kepada Total maka tidak berlebihan dikatakan bahwa Pertamina lebih bertindak sebagai “makelar”. Tidak menutup kemungkinan modus makelaran itu akan terulang pada saat pemerintah menyerahkan 100% pengelolaan Blok Rokan kepada Pertamina.

Selain itu, Pertamina ternyata tidak bisa menaikkan produksi Blok Mahakam sesuai target ditetapkan. Pertamina hanya mampu menghasilkan produksi minyak 75.879 bph dari target 85.869 bph atau sekitar 88,37% ditargetkan. Sementara produksi gas hanya sebesar 814,4 MMSCFD dari target 831,9 MMSCFD atau 97,9% dari target.

Penurunan produksi, yang ditunjukkan tidak tercapainya target produksi, tidak hanya terjadi di Blok Mahakam, tetapi terjadi juga di Blok ONWJ. Pada 2017, produksi minyak di Blok ONWJ sebesar 30.457 bph atau sekitar 92,29% dari target. Tidak tercapainya target produksi Blok Mahakam juga diakui oleh Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam. Alasannya, sumur-sumur di Blok Mahakam sudah tergolong tua sehingga sulit untuk meningkatkan produksi.

Berdasarkan record penurunan produksi migas di Blok ONWJ dan Blok Mahakam, pemerintah memang menghadapi dilema dalam menetapkan pengelola Blok Rokan. Di satu sisi, penyerahan 100% pengelolaan Blok Rokan kepada Pertamina sebagai manifestasi kedaulatan energi.

Namun, di sisi lain, pemberian Blok Rokan kepada Pertamina berpotensi menurunkan produksi, seperti yang terjadi pada Blok ONWJ dan Blok Mahakam. Kalau benar terjadi penurunan produksi Blok Rokan maka pendapatan pemerintah juga akan mengalami penurunan. Dampaknya, pemerintah tidak bisa secara optimal menggunakan pendapatan dari Blok Rokan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Untuk memberikan kepastian dalam mempertahankan dan meningkatkan produksi migas serta menjaga kelangsungan investasi pada Blok Terminasi, termasuk Blok Rokan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) Nomor 23 Tahun 2018. Dalam permen itu pemerintah memberikan kesempatan yang sama antara Pertamina dan existing investor untuk mengelola Blok Terminasi, dengan mengajukan proposal kepada pemerintah.

Pemberian kesempatan yang sama itu berdasarkan PP 35/2004 tentang Kegiatan Hulu Migas. Pasal 28 ayat 1 menyebutkan bahwa existing investor dapat mengajukan perpanjangan saat kontrak berakhir, dengan mengajukan proposal. Jika proposal perpanjangan ditolak, pemerintah akan menyerahkan Blok Terminasi itu kepada Pertamina. Namun, jika Pertamina menolak, pemerintah akan melelang Blok Terminasi, yang sudah habis kontraknya.

Semangat Permen ESDM 23/2018 ini lebih untuk menjaga, bahkan meningkatkan produksi migas dari Blok Terminasi serta menjaga kelangsungan investasi pada blok migas tersebut. Selain itu, permen itu juga untuk mendorong kiprah Pertamina dalam melakukan investasi pada blok migas baru.

Dengan demikian, kiprah Pertamina tidak selamanya hanya berkutat pada pengelolaan Blok Terminasi, yang produksinya relatif lebih rendah lantaran sumur-sumurnya sudah renta. Kalau akhirnya pemerintah memutuskan untuk menerima proposal Chevron, tentunya proposal Chevron lebih dapat memberikan jaminan kepastian peningkatan produksi migas di Blok Rokan ketimbang proposal Pertamina.

Keputusan itu bukan berarti pemerintah tidak menjalankan amanah pasal 33 ayat 3, namun lebih mendahulukan untuk peningkatan pendapatan negara dari Blok Rokan sehingga bisa lebih optimal. Pendapatan optimal Blok Rokan itu semestinya dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sesuai juga dengan pasal 33 UUD 1945 ayat 3.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7036 seconds (0.1#10.140)