Me(nye)mbunyikan Kemiskinan

Jum'at, 27 Juli 2018 - 07:31 WIB
Me(nye)mbunyikan Kemiskinan
Me(nye)mbunyikan Kemiskinan
A A A
Rahmat Petuguran Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang

Penulis buku Politik Bahasa Penguasa (2016)

LAPORAN Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyatakan ke­mis­kinan di Indo­nesia mencapai level terendah sepanjang sejarah (9,82%), menuai kontroversi. Sebagian masyarakat mempertanyakan asumsi kemiskinan dan meto­dologi pencatatan yang dipakai lembaga tersebut sehingga meng­hasilkan angka satu digit.

Sejumlah kalangan menilai kriteria miskin yang digunakan BPS tidak realistis karena ter­lalu rendah. Ambang batas kemiskinan yang terlalu rendah membuat jumlah warga miskin relatif kecil. Sebab, hanya pen­duduk yang miskin parah yang masuk dalam kategori tersebut.

Empat belas kriteria ke­mis­kin­an yang digunakan BPS menunjukkan standar hidup yang benar-benar tidak layak sebagai kriteria kemiskinan.

Pada poin sembilan, misalnya, disebutkan bahwa orang miskin adalah yang hanya membeli satu setel pakaian dalam se­tahun. Adapun Badan Peren­cana­an Pembangunan Nasional (Bappenas) memiliki kriteria kuantitatif yang lebih ekstrem lagi. Menurut lembaga ter­sebut, ambang batas kemiskinan ada­lah penghasilan Rp361.990 per kapita per bulan.

Meski dengan argumentasi yang tidak selalu akademis, skeptisisme terhadap statistik kemiskinan merupakan gejala yang wajar karena dua alasan. Pertama, angka kemiskinan merupakan isu penting dalam kehidupan berbangsa dan ber­negara. Selain berkaitan de­ngan tujuan bernegara, isu itu me­miliki dampak politik luas, baik bagi pemerintah maupun opo­sisi. Kedua, dalam sejarah peme­rintahan Indonesia, pe­me­rintah memang punya kecenderung­an”memainkan” kemiskinan. Se­lain dibunyikan (dipubli­kasi­kan), kemiskinan juga cen­derung di­sembunyikan.

Pada masa pemerintahan Soekarno, kerja-kerja statistik memang belum begitu populer (sensus pertama baru dilaku­kan pada 1960, 15 tahun setelah merdeka). Namun, Soekarno punya kecenderungan untuk menyembunyikan kemiskinan rakyatnya.

Pada masa pemerin­tah­an­nya, Soekarno menerapkan po­litik mercusuar. Strategi ini di­tempuh untuk mengirim pesan (terutama kepada negara asing) bahwa Indonesia merupakan negara yang berdaya dan ber­budaya. Aneka bangunan dan monumen spektakuler di­bangun untuk meyakinkan negara-negara tetangga bahwa negeri yang di­pimpinnya relatif maju dan se­jahtera. Selain Gelora Bung Karno (GBK) dan Monas, Soekarno menyembunyikan kemiskinan rakyatnya dengan membangun Hotel Indonesia.

Ketika wartawan asing meng­kritik dengan menam­pil­kan kemegahan hotel itu ber­sanding dengan daerah ping­gir­an yang kumuh, Soekarno membela diri”... negeri-negeri yang kaya pun punya hotel yang gemerlapan, empuk, dari yang harganya jutaan dolar, sedang di sudutnya terdapat bangun­an-bangunan yang tercela penuh dengan kotoran, busuk dan jelek.” (Adams, 2014).

Mantan Presiden Soeharto menyembunyikan kemiskinan dengan menyodorkan ung­kap­an eufimistis. Pemerintah meng­ubah istilah”miskin” yang populis dengan istilah biro­kratis”pra­sejahtera” agar ke­miskinan tidak menciptakan efek psi­ko­logis yang mengentak. Dengan meng­ganti kata”miskin” yang vulgar dengan kata”pra­sejah­tera” yang eufimistis itu, Soeharto hendak menyem­buny­ikan kemiskinan bukan saja dari dokumen, tetapi juga dari ingatan publik.

Rokhman dan Surahmat (2016) berpendapat, kata”mis­kin” berarti”tidak berharta; ser­bakekurangan”. Kata itu ber­sinonim dengan”fakir”,”me­larat”,”papa”, dan”totok”. Ada­pun kata”prasejahtera” di­baku­kan dengan arti”dalam keadaan belum mencapai kesejah­tera­an”. Kedua kata tersebut me­miliki nuansa kebahasaan yang jauh berbeda. Jika kata pertama bermakna statis, kata kedua menyiratkan kondisi dinamis menuju. Penggunaan bentuk terikat ”pra” yang berarti ”belum” digunakan untuk me­nyatakan bentuk”akan”. De­ngan demikian”prasejahtera” dapat dimaknai sebagai”kon­disi menuju sejahtera”.

Meskipun tampak seder­hana, pergantian kata”miskin” dengan ”prasejahtera” merupakan teknik yang canggih. Strategi ke­baha­sa­an ini serupa dengan strategi Kementerian Kebenaran dalam novel 1984 karya sastrawan George Orwell dari Inggris. Di negara distopia bernama Oceania, penguasa memut­lak­kan kekuasaan atas rakyatnya dengan memanipulasi kesa­dar­an bahwa negara senantiasa dalam kondisi baik, maju, dan ber­kecukupan. Manipulasi itu efektif karena menggunakan instrumen yang sangat funda­mental: bahasa.

Angka dan Rasa

Data kemiskinan selalu ber­potensi menuai kontroversi karena terdapat sejumlah perspektif untuk membacanya. Pemerintah menggunakan pen­dekatan akademik yang berpangkal pada paradigma keilmuan positivistik. Dengan pendekatan ini, pemerintah mendudukkan kemiskinan se­bagai gejala empiris yang dapat dikuantifikasi. Asumsi inilah yang membuat pemerintah da­pat membuat garis batas yang tegas antara penduduk miskin dan tidak miskin.

Pendekatan kuantitatif me­miliki keunggulan karena variabel-variabelnya dapat di­amati dengan jelas dan terukur. Pemerintah hanya mengukur variabel yang telah dipilih dan mengabaikan variabel lain yang menurut paradigma keilmuan tersebut kurang bermakna. Dari cara berpikir demikianlah sta­tistik kemiskinan dihasilkan.

Pelaku cenderung meman­dang kemiskinan secara ber­beda. Mereka memaknai kemiskinan bukan hanya dari angka-angka, tetapi dari rasa. Karena meli­bat­kan rasa, pelaku memaknai ke­miskinan ber­dasarkan variabel-variabel psikologis. Bahkan lebih rumit dari itu, bagi orang yang mengalaminya kemis­kin­an juga melibatkan aspek-aspek sosial, keyakinan, bahkan etika. Dua pandangan yang cende­rung berbeda ini dapat berbenturan sehingga menghasilkan ke­tidak­sepahaman makna. Peme­rintah dan warga cenderung mendefinisikan kemiskinan dengan cara yang sama sekali berbeda.

Benturan pandangan se­macam ini pernah terjadi ketika pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan warga Samin di Rembang dan Pati bersengketa mengenai pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara. Pemerintah cenderung menilai bahwa kehidupan warga setempat miskin dan dapat diubah menjadi sejahtera jika di daerah tersebut didirikan pabrik semen. Kalkulasi ini didasarkan pada hitung-hitungan kuan­titatif yang didasarkan pada paradigma positivistik.

Pandangan pemerintah ter­sebut”benar” jika kriteria ke­miskinan yang digunakan ber­sumber dari tradisi keilmuan positivistik. Mereka menilai bahwa warga yang rumahnya kayu berbahan murah, tidak me­miliki fasilitas MCK sendiri, ber­alas tanah, dan tidak me­nyelesaikan pendidikan dasar sebagai warga miskin.

Warga Kendeng yang men­jalani kehidupan justru tidak memandang diri mereka mis­kin karena lebih memp­er­tim­bang­kan aspek rasa. Meski memiliki rumah berbahan kayu murah, mereka merasa nyaman karena rumah tersebut dibuat tanpa harus berutang. Meski tidak memiliki tabungan, me­reka tetap bahagia karena me­miliki ternak yang bisa dijual se­waktu-waktu. Meski tidak me­miliki asuransi, mereka tetap memiliki jaminan sosial karena memiliki tetangga yang siap saling menjaga. Bahkan mereka sengaja tidak menye­kolahkan anak karena meman­dang ke­pan­daian akademis sebagai se­suatu yang tidak lebih ber­harga daripada kearifan yang mereka warisi dari leluhur.

Ketersediaan aneka cara membaca kemiskinan inilah yang membuat interpretasi ter­hadapnya bisa sangat beragam. Tiap-tiap pihak bisa mengklaim benar berdasarkan kriteria yang digunakannya. Sejauh kriteria tersebut belum disepakati se­cara bulat, makna kemiskinan akan cenderung liar dan bisa digunakan untuk aneka ke­pentingan.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0703 seconds (0.1#10.140)