Polemik Dua Kali Masa Jabatan

Jum'at, 27 Juli 2018 - 07:17 WIB
Polemik Dua Kali Masa Jabatan
Polemik Dua Kali Masa Jabatan
A A A
Syamsuddin Radjab Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Unpad dan Staf Pengajar HTN UIN Alauddin Makassar

POLEMIK masa jabat­an presiden dan wakil presiden kian menggelinding panas di jagat politik karena kehadiran Jusuf Kalla (JK) yang mengajukan diri sebagai pihak terkait dan jelang pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada 4-10 Agustus 2018. Ditambah lagi dengan gerilya partai politik koalisi Istana yang juga ngebet menjadi cawapres men­dam­pingi Jokowi. DPP Partai Perindo dan JK yang sedang menggunakan hak kon­stitu­sionalnya harus me­nanggung cibiran dan sinistik.

Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali mengemuka di media massa dan menjadi perdebatan publik setelah DPP Partai Perindo yang mengajukan peninjauan kem­bali (judicial review) Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu karena dinilai bertentangan dengan Pasal 7 UUDN RI 1945 yang berbunyi,”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabat­an selama lima tahun dan sesudah­nya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu berbunyi ”Yang dimaksud dengan belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut mau­pun tidak berturut-turut, walau­pun masa jabatan tersebut kurang dari 5 [lima) tahun.”

Pasal 169 huruf n UU Pemilu hanya berbunyi”Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”. Pada penjelasan pasal di atas, ada penambahan norma baru dengan frasa”maupun tidak berturut-turut” yang dinilai ber­tentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pem­bentukan Peraturan Per­undang-undangan karena mempersempit dan menambah norma baru dalam batang tu­buh UU Pemilu.

Jika mengamati pasal yang dimohonkan dan pasal yang dinilai bertentangan dengan UUDN RI 1945 maka akan terkait dengan kedudukan hu­kum (legal standing) pemohon dan kerugian hak konstitu­sio­nal yang dialami pemohon atau minimal berpotensi merugikan pemohon atas keberlakuan pasal, ayat dan/atau bagian undang-undang (penjelasan) UU Pemilu.

Di pihak JK, sebagai pe­mohon pihak terkait adalah orang yang mengalami dan dicalonkan oleh pemohon (principal) akan ter­halang dengan penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu se­hingga dinilai dapat merugikan hak konstitusionalitasnya baik langsung maupun tidak lang­sung. Apalagi DPP Perindo secara nyata sudah mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2019 yakni Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Legal Standing

Pengujian Pasal 169 huruf n UU Pemilu sebelumnya telah diajukan oleh kelompok ma­sya­rakat dan individu dengan dua nomor registrasi perkara yakni Perkara Nomor 36/PUU-XVI/2018 dan Nomor 40/PUU-XVI/2018, namun Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa permohonan para pe­mohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) karena soal kedudukan hukum (legal standing) atau mengan­dung cacat formil yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 Jo Pasal 3 PMK Noor 6 Tahun 2005.

Berdasarkan putusan MK Nomor 36/PUU-XVI/2018, MK memberikan kesempatan bagi partai politik peserta pemilihan umum yang tidak ikut dalam pembahasan UU Pemilu di DPR dan juga sesuai dengan ke­ten­tu­an Pasal 6A ayat (2) UUDN RI 1945. Dalam hal ini, kedudukan Partai Perindo merupakan salah satu partai politik peserta pemilu 2019 yang memenuhi syarat dan telah ditetapkan KPU melalui Ketetapan KPU No. 58/PL.01.1-Kpt/03/KPU/ II/2018.

Dengan demikian, DPP Partai Perindo memiliki ke­dudukan hukum yang kuat baik menurut PMK Nomor 6/2005, Putusan MK Nomor 36/PUU-XVI/2018 (sederajat dengan UU) apalagi Pasal 6A ayat (2) UUDN RI 1945.

Sinyalemen bahwa DPP Perindo tidak memiliki ke­duduk­an hukum karena tidak memenuhi sebagai partai politik ambang batas presiden (presidential threshold), yakni 20% perolehan kursi DPR dan 25% suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya tidak­lah relevan karena tiga alasan:

Pertama, Partai Perindo bu­kan­lah partai lama yang harus memenuhi ketentuan Pasal 222 UU Pemilu sebagai peserta Pemilu 2014 dengan adanya frasa”pada pemilu anggota DPR sebelumnya” sehingga beban syarat tersebut sama sekali tidak di­tu­ju­kan ke partai baru peserta Pe­milu 2019 ter­masuk ke PSI, Partai Ber­karya dan Partai Garuda.

Kedua, Pasal 222 UU Pe­milu ter­kait de­ngan tata cara pe­nen­tuan pa­sang­­an calon presiden dan wakil presiden sehingga ke­ber­adaan pasal itu pun tidak tepat secara logis-sistematik dalam penyusunan perundang-undang­an karena mencampur adukkan antara penentuan pasangan calon dengan syarat partai politik dalam pengajuan pasangan calon.

Ketiga, hak konstitusional partai politik mengajukan pa­sangan calon sesuai ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUDN RI 1945 yang berbunyi”Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pe­laksanaan pemilihan umum”, ketentuan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28J UUDN RI 1945 dan Pasal 1 ayat (1), Pasal 13, Pasal 29 ayat (1) huruf d UU No. 2 Tahun 2011 perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang pada pokoknya mengatur kewajiban partai politik untuk mem­per­juangkan aspirasi anggota dan warga negara dalam penyeleng­g­araan pemilu dan merekrut ca­lon presiden dan wakil presiden.

Masa Jabatan

Masa jabatan wakil presiden selalu bergandengan dengan jabatan presiden dan tidak dapat dipisahkan sebagai satu kesatuan jabatan tetapi ber­beda secara kedudukan, peran, fungsi, wewenang dan tang­gung jawab. Untuk memahami semua itu tidak cukup hanya membaca Pasal 7 UUDN RI 1945 tetapi dari Pasal 4 sampai Pasal 16 UUDN RI 1945.

Jabatan wapres yang di­sandang JK saat ini bukanlah ja­batan yang me­me­gang ken­dali dan ke­kuasaan peme­rin­tahan maupun negara se­hingga ke­khawatiran berlaku otoritarian sa­ngat tidak beralasan, ilusi dan halusinasi. Kenapa? Kare­na pemegang kendali semua itu adalah presiden.

Tapi apakah juga presi­den dapat bertindak se­wenang-wenang tanpa batas hingga mem­praktikkan otoritarian­isme de­ngan sistem ke­tata­negaraan kita saat ini? Jawabannya juga sama, tidak mungkin. Karena sistem politik nasional telah berubah secara total dengan perangkat peraturan perundang-undang­an, pengawasan DPR kian galak dan bahkan terkesan lebih ber­kuasa dari presiden sendiri dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan semakin luas.

Frasa ”maupun tidak ber­turut-turut” dalam penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu yang disoal Partai Perindo cu­kup beralasan dengan per­tim­bang­an: Pertama, pemuatan frasa itu dinilai bertentangan dengan tata cara pembentukan per­atur­an perundang-undang­an de­ngan alasan memper­sem­pit dan menambah norma baru dalam batang tubuh suatu undang-undang sebagaimana ketentuan dalm lampiran II angka 186 UU Nomor 12 Tahun 2011.

Kedua, judul Pasal 169 UU Pemilu mengatur persyaratan calon presiden dan wakil pre­siden. Frasa ”dan” antara frasa”presiden” dan frasa”wakil pre­siden” merupakan kata peng­hubung yang menandakan satu­an ikatan yang tak ter­pisahkan sementara dalam penjelasannya mengubah frasa”dan” diganti de­ngan frasa”atau” yang me­rupa­kan kata penghubung pilihan di antara keduanya sehingga makna dan konteksnya juga turut berubah padahal jabatan presiden dan wakil presiden merupakan jabatan pasangan calon yang tak terpisahkan yang akan di­aju­kan oleh partai politik pe­serta pemilu.

Ketiga, dalam Pasal 7 UUDN RI 1945, frasa”dan sesudahnya” tidak menerangkan secara jelas maksud jabatan selama lima tahun itu. Frasa”dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama” dan frasa” hanya untuk satu kali masa jabatan” lebih bermakna kedudukan dan ba­tas­an jabatan. Tetapi pemak­na­an dua kali masa jabatan dalam Pasal 7 itu sendiri menjadi multitafsir sehingga MK me­mang perlu memberikan tafsir resmi demi kepastian hukum, keadilan dan hak asasi seorang warga negara.

Selain tafsir MK sebagai pe­nafsir yang diberikan kewe­nang­an oleh UU atas polemik masa jabatan yang dimohon di atas haruslah dianggap sebagai tafsir suka-suka: suka atas per­mohonan yang di ajukan Perindo atau tidak suka dengan permohonan tersebut.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4925 seconds (0.1#10.140)