Koperasi dan Partisipasi
A
A
A
Koperasi pada tahun politik tampaknya semakin diabaikan. Padahal eksistensi koperasi yang tahun ini mencapai 71 tahun diharapkan dapat memacu geliat ekonomi di daerah.
Terkait ini, tema Hari Koperasi Ke-71 baru-baru lalu adalah "Penguatan Koperasi Mendukung Ekonomi Nasional". Selain itu Kemenkop UKM menegaskan pada 2018 setidaknya akan ada sejumlah koperasi yang bisa berkembang, yaitu koperasi unit simpan pinjam, koperasi sektor riil, dan koperasi di bidang jasa. Pada 2017 pendirian koperasi mencapai 3.892 unit dan pada 2018 diharapkan berdiri 1.100 unit.
Ironisnya pada 2017 ada 40.013 koperasi dibubarkan dengan perincian 7.235 koperasi dibubarkan oleh daerah dan 32.778 dibubarkan oleh Kemenkop UKM, sementara yang 'sakit' ternyata juga masih banyak dan butuh penanganan yang kompleks.
Usia 71 tahun bagi pergerakan koperasi tentu bukan usia yang muda. Namun ironisnya di tengah usia kemapanannya ternyata bukan eksistensi koperasi yang berkembang, melainkan justru muncul fakta ironis tentang kian banyaknya koperasi yang kolaps. Memang kita semestinya peduli pada nasib koperasi, termasuk atas kasus koperasi terbelit investasi bodong. Alasan yang mengemuka karena nasib koperasi saat ini ibarat mati segan hidup tak mau.
Di satu sisi kuantitas koperasi memang meningkat, tetapi kualitas koperasi dan daya survive-nya cenderung kian rentan. Bahkan eksistensi KUD sebagai urat nadi ekonomi di perdesaan kini mengalami penurunan pamor atau justru kalah gesit daripada tengkulak yang getol turun ke bawah jemput bola terhadap semua kebutuhan petani atau masyarakat di perdesaan.
Fakta lain yang tidak bisa disangkal, kolapsnya koperasi tidak bisa terlepas dari era perilaku konsumen global dan hal ini diperkuat dengan dukungan teknologi yang memacu e-commerce dan digitalisasi dunia maya secara sistematis. Selain itu di tahun politik ternyata perhatian lebih ke sektor politik daripada bagaimana memacu geliat koperasi agar tidak sakit atau apalagi dibubarkan.
Tumbuh
Berkaca dari buramnya perkoperasian, pakar ekonomi kerakyatan Mubyarto (alm) menegaskan, meskipun pengertian economic democracy jelas lebih luas daripada industrial democracy, keduanya bisa diterapkan sebagai asas atau style manajemen satu perusahaan yang jika
dilaksanakan dengan disiplin tinggi akan menghasilkan kepuasan semua pihak (stakeholders) yang terlibat dalam perusahaan.
Itulah demokrasi industrial yang tak lagi menganggap modal dan pemilik modal sebagai yang paling penting dalam kerja sama atau perusahaan, tapi dianggap sederajat kedudukannya dengan buruh/tenaga kerja yang berarti memberi koreksi atau reformasi pada kekurangan sistem kapitalisme, lebih-lebih yang bersifat neoliberal.
Prinsip employee participation, yaitu partisipasi buruh-karyawan dalam pengambilan keputusan, sangat erat kaitannya dengan asas profit-sharing. Adanya proses partisipasi buruh-karyawan dalam decision-making berarti buruh-karyawan ikut bertanggung jawab atas keuntungan atau terjadinya kerugian.
Banyak perusahaan di negara kapitalis yang menganut pola welfare state telah menerapkan prinsip profit-sharing dan employee
participation ini dan yang paling jelas di antaranya adalah bangun perusahaan koperasi, baik koperasi produksi atau koperasi konsumsi, terutama di negara-negara Skandinavia.
Yang justru menjadi pertanyaan, mengapa profit-sharing dan share-ownership ? Berdasar penelitian 303 perusahaan di Inggris, alasan perusahaan mengadakan aturan pembagian laba dan pemilikan saham oleh karyawan ada 5 (Poole, 1989), yaitu komitmen moral, penahanan staf, keterlibatan buruh-karyawan, perbaikan kinerja hubungan industrial, dan perlindungan dari pengambilalihan oleh perusahaan lain.
Dalam perusahaan berbentuk koperasi, sejak awal anggota koperasi adalah juga pemilik perusahaan yang di samping bisa memperoleh manfaat langsung dalam berbisnis dengan koperasi, juga pada akhir tahun masih dapat menerima sisa hasil usaha. Inilah 'rahasia'
berkoperasi yang biasanya tidak ditonjolkan oleh pengurus karena praktik manajemen koperasi sering bertentangan dengan “teori koperasi” yang harus bersifat profit-sharing.
Artinya koperasi justru sering berubah menjadi “koperasi pengurus”, bukan “koperasi anggota”. Profit-sharing dan sharing ownership sejalan dengan aturan main dari sistem ekonomi Pancasila yang bertujuan menghindarkan ketimpangan ekonomi dan sosial dan berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Jadi para pemenang pilkada serentak kemarin seharusnya mulai berorientasi memikirkan nasib koperasi ke depan agar bisa membantu dan berperan bagi pembangunan ekonomi di daerah secara berkelanjutan.
Kekuatan
Terkait itu Noer Soetrisno (2003) menegaskan bahwa persoalan pengembangan koperasi di Indonesia sering dicemooh seolah sedang
menegakkan benang basah. Pemerintah di negara-negara berkembang memainkan peran riil dalam pengembangan koperasi dalam fungsi regulatory dan development.
Tidak jarang peran development justru tidak mendewasakan koperasi. Koperasi sejak kelahirannya disadari sebagai suatu upaya untuk
menolong diri sendiri secara bersama. Oleh karena itu dasar self help and cooperation atau individualitet dan solidaritet selalu disebut
bersamaan sebagai dasar pendiriannya dan hal ini pada dasarnya adalah prinsip mewirausahakan diri sendiri.
Oleh karena itu gerakan koperasi secara tidak langsung tidak bisa lepas dari pemberdayaan dan nantinya ini sangat terkait dengan penumbuhkembangan industri kreatif yang kini digalakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan di era otonomi daerah (otda), terutama yang berbasiskan potensi sumber daya lokal.
Sejatinya koperasi melekat dengan roh era otda ini dan tentu ini menjadi tantangan bagi kepala daerah pemenang pilkada serentak kemarin.
Mengacu pada peran development itu, pemerintah mendukung pelaksanaan otda. Implementasi otda akan memberikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sumber daya alam dan pelayanan-pembinaan lainnya.
Tapi koperasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif dengan pemda dalam bentuk penempatan lokasi investasi dan skala kegiatan koperasi karena asas efisiensi akan lebih mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom.
Di sisi lain peran advokasi oleh gerakan koperasi untuk memberi orientasi ke pemerintah di daerah semakin penting dan dengan demikian peranan pemerintah di tingkat provinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fungsi intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
Terkait ini, tema Hari Koperasi Ke-71 baru-baru lalu adalah "Penguatan Koperasi Mendukung Ekonomi Nasional". Selain itu Kemenkop UKM menegaskan pada 2018 setidaknya akan ada sejumlah koperasi yang bisa berkembang, yaitu koperasi unit simpan pinjam, koperasi sektor riil, dan koperasi di bidang jasa. Pada 2017 pendirian koperasi mencapai 3.892 unit dan pada 2018 diharapkan berdiri 1.100 unit.
Ironisnya pada 2017 ada 40.013 koperasi dibubarkan dengan perincian 7.235 koperasi dibubarkan oleh daerah dan 32.778 dibubarkan oleh Kemenkop UKM, sementara yang 'sakit' ternyata juga masih banyak dan butuh penanganan yang kompleks.
Usia 71 tahun bagi pergerakan koperasi tentu bukan usia yang muda. Namun ironisnya di tengah usia kemapanannya ternyata bukan eksistensi koperasi yang berkembang, melainkan justru muncul fakta ironis tentang kian banyaknya koperasi yang kolaps. Memang kita semestinya peduli pada nasib koperasi, termasuk atas kasus koperasi terbelit investasi bodong. Alasan yang mengemuka karena nasib koperasi saat ini ibarat mati segan hidup tak mau.
Di satu sisi kuantitas koperasi memang meningkat, tetapi kualitas koperasi dan daya survive-nya cenderung kian rentan. Bahkan eksistensi KUD sebagai urat nadi ekonomi di perdesaan kini mengalami penurunan pamor atau justru kalah gesit daripada tengkulak yang getol turun ke bawah jemput bola terhadap semua kebutuhan petani atau masyarakat di perdesaan.
Fakta lain yang tidak bisa disangkal, kolapsnya koperasi tidak bisa terlepas dari era perilaku konsumen global dan hal ini diperkuat dengan dukungan teknologi yang memacu e-commerce dan digitalisasi dunia maya secara sistematis. Selain itu di tahun politik ternyata perhatian lebih ke sektor politik daripada bagaimana memacu geliat koperasi agar tidak sakit atau apalagi dibubarkan.
Tumbuh
Berkaca dari buramnya perkoperasian, pakar ekonomi kerakyatan Mubyarto (alm) menegaskan, meskipun pengertian economic democracy jelas lebih luas daripada industrial democracy, keduanya bisa diterapkan sebagai asas atau style manajemen satu perusahaan yang jika
dilaksanakan dengan disiplin tinggi akan menghasilkan kepuasan semua pihak (stakeholders) yang terlibat dalam perusahaan.
Itulah demokrasi industrial yang tak lagi menganggap modal dan pemilik modal sebagai yang paling penting dalam kerja sama atau perusahaan, tapi dianggap sederajat kedudukannya dengan buruh/tenaga kerja yang berarti memberi koreksi atau reformasi pada kekurangan sistem kapitalisme, lebih-lebih yang bersifat neoliberal.
Prinsip employee participation, yaitu partisipasi buruh-karyawan dalam pengambilan keputusan, sangat erat kaitannya dengan asas profit-sharing. Adanya proses partisipasi buruh-karyawan dalam decision-making berarti buruh-karyawan ikut bertanggung jawab atas keuntungan atau terjadinya kerugian.
Banyak perusahaan di negara kapitalis yang menganut pola welfare state telah menerapkan prinsip profit-sharing dan employee
participation ini dan yang paling jelas di antaranya adalah bangun perusahaan koperasi, baik koperasi produksi atau koperasi konsumsi, terutama di negara-negara Skandinavia.
Yang justru menjadi pertanyaan, mengapa profit-sharing dan share-ownership ? Berdasar penelitian 303 perusahaan di Inggris, alasan perusahaan mengadakan aturan pembagian laba dan pemilikan saham oleh karyawan ada 5 (Poole, 1989), yaitu komitmen moral, penahanan staf, keterlibatan buruh-karyawan, perbaikan kinerja hubungan industrial, dan perlindungan dari pengambilalihan oleh perusahaan lain.
Dalam perusahaan berbentuk koperasi, sejak awal anggota koperasi adalah juga pemilik perusahaan yang di samping bisa memperoleh manfaat langsung dalam berbisnis dengan koperasi, juga pada akhir tahun masih dapat menerima sisa hasil usaha. Inilah 'rahasia'
berkoperasi yang biasanya tidak ditonjolkan oleh pengurus karena praktik manajemen koperasi sering bertentangan dengan “teori koperasi” yang harus bersifat profit-sharing.
Artinya koperasi justru sering berubah menjadi “koperasi pengurus”, bukan “koperasi anggota”. Profit-sharing dan sharing ownership sejalan dengan aturan main dari sistem ekonomi Pancasila yang bertujuan menghindarkan ketimpangan ekonomi dan sosial dan berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Jadi para pemenang pilkada serentak kemarin seharusnya mulai berorientasi memikirkan nasib koperasi ke depan agar bisa membantu dan berperan bagi pembangunan ekonomi di daerah secara berkelanjutan.
Kekuatan
Terkait itu Noer Soetrisno (2003) menegaskan bahwa persoalan pengembangan koperasi di Indonesia sering dicemooh seolah sedang
menegakkan benang basah. Pemerintah di negara-negara berkembang memainkan peran riil dalam pengembangan koperasi dalam fungsi regulatory dan development.
Tidak jarang peran development justru tidak mendewasakan koperasi. Koperasi sejak kelahirannya disadari sebagai suatu upaya untuk
menolong diri sendiri secara bersama. Oleh karena itu dasar self help and cooperation atau individualitet dan solidaritet selalu disebut
bersamaan sebagai dasar pendiriannya dan hal ini pada dasarnya adalah prinsip mewirausahakan diri sendiri.
Oleh karena itu gerakan koperasi secara tidak langsung tidak bisa lepas dari pemberdayaan dan nantinya ini sangat terkait dengan penumbuhkembangan industri kreatif yang kini digalakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan di era otonomi daerah (otda), terutama yang berbasiskan potensi sumber daya lokal.
Sejatinya koperasi melekat dengan roh era otda ini dan tentu ini menjadi tantangan bagi kepala daerah pemenang pilkada serentak kemarin.
Mengacu pada peran development itu, pemerintah mendukung pelaksanaan otda. Implementasi otda akan memberikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sumber daya alam dan pelayanan-pembinaan lainnya.
Tapi koperasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif dengan pemda dalam bentuk penempatan lokasi investasi dan skala kegiatan koperasi karena asas efisiensi akan lebih mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom.
Di sisi lain peran advokasi oleh gerakan koperasi untuk memberi orientasi ke pemerintah di daerah semakin penting dan dengan demikian peranan pemerintah di tingkat provinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fungsi intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
(nag)