Polemik Gaji Kepala Daerah
A
A
A
ASOSIASI Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) yang menaungi para wali kota di Indonesia meminta kenaikan gaji kepada pemerintah pusat. Saat ini, harus diakui gaji wali kota/wakil wali kota di antara Rp5-6 juta yang terdiri atas gaji pokok dan tunjangan jabatan. Padahal gaji dan tunjangan Aparatur Sipil Negara (ASN) eselon II bisa mencapai Rp12 juta.
Jika melihat Keputusan Presiden Nomor 68/2001 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu, gaji pokok wali kota atau bupati sebesar Rp2,1 juta, tunjangan jabatan Rp3,78 juta atau total menerima sekitar Rp5,88 juta. Memang kalau dibandingkan hanya dari gaji pokok dan tunjangan, gaji kepala daerah lebih rendah dengan para pejabat eselon.
Belum lagi jika dibandingkan dengan perusahaan swasta. Bisa jadi, gaji Rp6 juta adalah gaji pertama seorang fresh graduate yang mulai bekerja. Namun, ada komponen gaji lainnya seperti pajak pungut, tunjangan operasional dan lain yang kalau dihitung bisa jadi penghasilan seorang kepala daerah bisa mencapai puluhan juta. Artinya, gaji yang hanya tidak sampai Rp6 juta tersebut bukanlah take home pay yang diterima oleh kepala daerah.
Masih ada komponen-komponen penghasilan lainnya yang bisa menambah kantong kepala daerah. Jadi, apa yang diterima kepala daerah baik wali kota, bupati atau pun gubernur (juga para wakilnya) mendapatkan penghasilan yang tinggi. Toh, jika melihat dari penghasilan bukan hanya gaji, masih banyak orang yang berminat ingin menjadi kepala daerah.
Ya, memang ada orang yang ingin menjadi kepala daerah karena pengabdian, tapi diyakini banyak juga yang menjadi kepala daerah karena ingin mendapatkan penghasilan yang besar. Jumlah gaji kepala daerah tanpa komponen penghasilan lainnya memang kecil. Maka muncul rencana untuk menaikkan gaji para pejabat termasuk kepala daerah.
Pada penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang gaji yang sudah beredar luas ada perubahan siginifikan tentang penghasilan pejabat termasuk kepala daerah. Bahkan, penghasilan bupati/wali kota bisa mencapai Rp73, 2 juta per bulan. Jumlah yang sangat-sangat layak.
Tapi juga belum tahu, apakah jumlah tersebut termasuk komponen penghasilan lainnya atau hanya gaji pokok dan tunjangan jabatan. Jika rencana ini terwujud tentu akan semakin banyak orang yang berminat menjadi kepala daerah. Jadi, nanti pada gelaran pilkada akan semakin banyak kandidat yang mendaftar.
Pertanyaan umum yang dilontarkan tentang keinginan para wali kota minta naik gaji adalah apakah memang sudah layak? Beberapa pihak menilai kinerja kepala daerah apalagi sejak era otonomi daerah jauh dari harapan. Bahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebut dari 2004 hingga 2017 sebanyak 392 kepala daerah terjerat kasus hukum.
Sejak pemerintahan saat ini sudah ada 33 kepala daerah yang terjerat kasus hukum. Ada pihak yang mengatakan, kecilnya gaji kepala daerah sebagai pemicu keinginan korupsi. Namun jika ditilik dari komponen penghasilan tentu alasan itu tidak mendasar. Karena para kepala daerah sudah mendapatkan puluhan juta.
Apalagi jika menggunakan alasan idealis mengabdi kepada bangsa-negara.Hal lain mengatakan, masih banyak kepala daerah yang terjerat kasus hukum sehingga dianggap tidak pantas ada kenaikan gaji. Ini yang sering menjadi polemik.
Ditilik dari gaji pokok dan tunjangan jabatan, sangat wajar jika dinaikkan. Kenaikan tentu harus memiliki dasar yang kuat salah satunya tentang martabat dan harga diri seorang pejabat negara yang memiliki sifat pengabdian. Namun, juga harus diperhatikan tentang komponen-komponen penghasilan lainnya yang mungkin dianggap menyerempet kasus korupsi seperti upah pungut atau upah pajak.
Jadi komponen gaji pokok dan tunjangan yang dibesarkan, sedangkan komponen yang tidak berkaitan langsung dengan kinerja kepala daerah dikurangi. Intinya secara total ada kenaikan penghasilan kepala daerah terutama dalam hal fix salary mereka.
Namun, apakah ini akan menjamin mengurangi angka korupsi, tampaknya bukan indikator utama. Selain karena faktor kepala daerah adalah manusia juga biaya politik di Indonesia masih cukup tinggi. Kita semua tahu posisi kepala daerah adalah posisi politik di negeri ini.
Jika melihat Keputusan Presiden Nomor 68/2001 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu, gaji pokok wali kota atau bupati sebesar Rp2,1 juta, tunjangan jabatan Rp3,78 juta atau total menerima sekitar Rp5,88 juta. Memang kalau dibandingkan hanya dari gaji pokok dan tunjangan, gaji kepala daerah lebih rendah dengan para pejabat eselon.
Belum lagi jika dibandingkan dengan perusahaan swasta. Bisa jadi, gaji Rp6 juta adalah gaji pertama seorang fresh graduate yang mulai bekerja. Namun, ada komponen gaji lainnya seperti pajak pungut, tunjangan operasional dan lain yang kalau dihitung bisa jadi penghasilan seorang kepala daerah bisa mencapai puluhan juta. Artinya, gaji yang hanya tidak sampai Rp6 juta tersebut bukanlah take home pay yang diterima oleh kepala daerah.
Masih ada komponen-komponen penghasilan lainnya yang bisa menambah kantong kepala daerah. Jadi, apa yang diterima kepala daerah baik wali kota, bupati atau pun gubernur (juga para wakilnya) mendapatkan penghasilan yang tinggi. Toh, jika melihat dari penghasilan bukan hanya gaji, masih banyak orang yang berminat ingin menjadi kepala daerah.
Ya, memang ada orang yang ingin menjadi kepala daerah karena pengabdian, tapi diyakini banyak juga yang menjadi kepala daerah karena ingin mendapatkan penghasilan yang besar. Jumlah gaji kepala daerah tanpa komponen penghasilan lainnya memang kecil. Maka muncul rencana untuk menaikkan gaji para pejabat termasuk kepala daerah.
Pada penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang gaji yang sudah beredar luas ada perubahan siginifikan tentang penghasilan pejabat termasuk kepala daerah. Bahkan, penghasilan bupati/wali kota bisa mencapai Rp73, 2 juta per bulan. Jumlah yang sangat-sangat layak.
Tapi juga belum tahu, apakah jumlah tersebut termasuk komponen penghasilan lainnya atau hanya gaji pokok dan tunjangan jabatan. Jika rencana ini terwujud tentu akan semakin banyak orang yang berminat menjadi kepala daerah. Jadi, nanti pada gelaran pilkada akan semakin banyak kandidat yang mendaftar.
Pertanyaan umum yang dilontarkan tentang keinginan para wali kota minta naik gaji adalah apakah memang sudah layak? Beberapa pihak menilai kinerja kepala daerah apalagi sejak era otonomi daerah jauh dari harapan. Bahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebut dari 2004 hingga 2017 sebanyak 392 kepala daerah terjerat kasus hukum.
Sejak pemerintahan saat ini sudah ada 33 kepala daerah yang terjerat kasus hukum. Ada pihak yang mengatakan, kecilnya gaji kepala daerah sebagai pemicu keinginan korupsi. Namun jika ditilik dari komponen penghasilan tentu alasan itu tidak mendasar. Karena para kepala daerah sudah mendapatkan puluhan juta.
Apalagi jika menggunakan alasan idealis mengabdi kepada bangsa-negara.Hal lain mengatakan, masih banyak kepala daerah yang terjerat kasus hukum sehingga dianggap tidak pantas ada kenaikan gaji. Ini yang sering menjadi polemik.
Ditilik dari gaji pokok dan tunjangan jabatan, sangat wajar jika dinaikkan. Kenaikan tentu harus memiliki dasar yang kuat salah satunya tentang martabat dan harga diri seorang pejabat negara yang memiliki sifat pengabdian. Namun, juga harus diperhatikan tentang komponen-komponen penghasilan lainnya yang mungkin dianggap menyerempet kasus korupsi seperti upah pungut atau upah pajak.
Jadi komponen gaji pokok dan tunjangan yang dibesarkan, sedangkan komponen yang tidak berkaitan langsung dengan kinerja kepala daerah dikurangi. Intinya secara total ada kenaikan penghasilan kepala daerah terutama dalam hal fix salary mereka.
Namun, apakah ini akan menjamin mengurangi angka korupsi, tampaknya bukan indikator utama. Selain karena faktor kepala daerah adalah manusia juga biaya politik di Indonesia masih cukup tinggi. Kita semua tahu posisi kepala daerah adalah posisi politik di negeri ini.
(thm)