Panas-Dingin Hubungan AS-Iran
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
SITUASI perdamaian di Timur Tengah setelah Amerika Serikat mundur dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPA) atau dikenal dengan Kesepakatan Nuklir Iran sudah menjadi tidak konstruktif. Mundurnya AS menyebabkan setiap situasi selalu diinterpretasikan sebagai sebuah ancaman baik dari AS kepada Iran ataupun sebaliknya.
Meskipun tidak ideal, situasi tersebut dapat diperbaiki. Hal ini apabila negara lain yang tetap berkomitmen misalnya China, Prancis, Rusia, Inggris, Jerman, dan Masyarakat Eropa dapat mengambil langkah-langkah konstruktif yang independen dari AS. Yaitu, dengan tidak ikut-ikutan memberi sanksi agar tidak memprovokasi kekuatan konservatif yang memang tidak menghendaki perdamaian di Timur Tengah, entah itu di dalam Iran maupun secara umum di kawasan.
Situasi tegang itu kembali muncul dalam perang diplomasi digital antara Amerika Serikat dan Iran melalui Twitter dalam satu minggu belakangan ini. Perang itu dimulai ketika Presiden Iran Hasan Rouhani menyampaikan pandangannya dalam pertemuan dengan para diplomat pada Minggu lalu.
Ia secara umum berpidato tentang komitmen Iran untuk tetap berada di jalur JCPA meskipun AS mundur dari kesepakatan pada 8 Mei 2017. Kantor berita IRNA kemudian mengutip pernyataan Rouhani: ”Amerika sepatutnya paham bahwa perdamaian dengan Iran adalah ibu dari segala perdamaian dan perang dengan Iran adalah ibu dari segala peperangan.” Yang mau dikatakan adalah bahwa memprovokasi Iran sama saja seperti bermain-main dengan ekor singa.
Presiden AS Donald Trump kemudian membalas melalui Twiter dengan huruf-huruf besar (isyarat suatu teriakan) kepada Presiden Rouhani: “JANGAN PERNAH, MENGANCAM AS LAGI ATAU KAMU AKAN MENDERITA SETARA YANG PERNAH TERJADI DALAM SEJARAH TERBURUK DUNIA. KAMI BUKAN LAGI NEGARA YANG AKAN DIAM SAJA AKAN KATA-KATA KEKERASAN DAN KEMATIAN DARIMU. BERHATI-HATILAH!”
Cuitan Donald Trump kemudian dibalas lagi oleh Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif yang mengatakan: “WARNA AS TIDAK MENGESANKAN: Dunia bahkan telah mendengar kata-kata agresif yang lebih parah beberapa bulan lalu. Dan, orang Iran telah mendengarnya – kami yang lebih beradab ini – selama 40 tahun. Kami sudah ada di bumi ini selama ratusan tahun dan telah menyaksikan keruntuhan banyak kekaisaran, termasuk milik kami sendiri, yang berumur lebih lanjut daripada kekaisaran di sejumlah negara lain. BERHATI-HATILAH!’’
Akar Ketegangan
Perseteruan antara AS dan Iran yang berlangsung lebih dari 40 tahun adalah bukti bahwa dalam politik banyak hal terjadi di luar apa yang direncanakan. Kita dapat merencanakan dan mengatur, tetapi hasilnya dapat terjadi di luar perkiraan kita.
Demikian pula dengan masalah nuklir di Iran. Tidak ada yang pernah membayangkan bahwa program “Atom For Peace” yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Iran pada 1957 justru memukul balik politik AS pada masa sekarang.
Perang Dingin adalah konteks keterlibatan AS dalam politik di Iran. Di mana, Iran memiliki perbatasan langsung dengan Uni Soviet ketika persekutuan itu masih berdiri pada 1950an. AS dan Uni Soviet adalah dua negara besar yang secara terbuka atau diam-diam terus menyebarkan pengaruh mereka ke negara-negara tetangganya. Seandainya tidak menyebarkan pengaruh, minimal membuat negara tetangga mereka menjadi netral.
AS dan Inggris mulai merasa kepentingan mereka terdesak ketika hubungan mereka dengan Shah atau Kaisar Iran terganggu dengan proses demokrasi yang terjadi di sistem politik Iran. Kepentingan AS-Inggris terutama terkait dengan investasi minyak mereka di Iran yang dilindungi oleh kekuasaan Shah.
Kepentingan ini mulai terganggu ketika pada 21 Juli 1957 Perdana Menteri terpilih secara demokratis Mohammed Mossadeq dipilih oleh Parlemen Iran. Kepentingan itu juga bukan hanya soal minyak, tetapi juga pengaruh Blok Barat terhadap Iran sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Uni Soviet.
Pada masa itu sistem pemerintahan Iran adalah monarki-konstitusional. Shan Iran masih memiliki kewenangan untuk mengesahkan perdana menteri yang dipilih oleh Parlemen Iran. Meski demikian, Mossadeq yang sangat populer di Iran karena ideologinya yang antikolonialisme mulai membuat pihak Barat jengkel.
Ia mulai merencanakan nasionalisasi perusahaan minyak Iran ketika mulai diangkat. Rencana itu membahayakan kepentingan AS dan Inggris. Dua negara itu melalui peran lembaga intelijen mereka masing-masing, CIA dan M16, mendorong Operasi Ajax yang menempatkan Jenderal Fazlollah Zahedi menggantikan Mossadeq melalui sebuah kudeta militer. Kudeta itu kemudian menempatkan kembali kekuasaan Shah sebagai raja untuk mengangkat para menteri.
Mohammad Reza Pahlavi sebagai Shah atau raja yang baru di Iran mencoba untuk mengarahkan Iran menjadi lebih modern dengan mendeklarasikan Revolusi Putih. Tujuan formal dari revolusi itu adalah untuk mengikis habis kekuatan feodal yang mendukung sistem politik tradisional. Caranya dengan melakukan reformasi agraria, memberantas buta huruf, membangun infrastruktur jalan, air, pembuatan koperasi, sebagainya.
Hal ini terdengar kontradiktif karena kekuasaan Shah sendiri bagian dari sistem politik tradisional di Iran. Namun, hal itu akan menjadi terlihat konsisten karena di balik tujuan itu adalah mencegah ideologi kelas yang bisa mengancam dinasti Shah pada masa depan.
Periode 1950-1970 adalah masa perlawanan ideologis kelompok kiri di Timur Tengah berkembang demikian kuat sehingga Shah berpikir untuk mengarahkan kemarahan dari kelompok petani dan masyarakat miskin menjadi lebih konstruktif dan tidak menganggu sistem dinasti Shah secara keseluruhan.AS dan Eropa juga membantu Shah memoderasi Iran dengan menawarkan program nuklir “Atom For Peace” pada masa Presiden Eisenhower. Nama program itu diambil dari pidato Eisenhower di Sidang Umum PBB pada 1953 yang meyakini bahwa mempromosikan teknologi nuklir nonmiliter akan mengurangi negara-negara untuk menciptakan senjata nuklir untuk kepentingan perang.
Program ini yang kemudian juga menginspirasi negara-negara lain seperti India, Pakistan, dan Israel ikut mengembangkan program nuklir untuk perdamaian terlepas bahwa memiliki kemampuan nuklir juga berimplikasi pada penguatan daya gentar terhadap negara lain.
Modernisasi Iran melalui Revolusi Putih tidak menghasilkan dampak seperti yang bisa diharapkan. Alih-alih petani, intelektual, atau kaum miskin perkotaan berterima kasih atas reformasi yang diberikan, program Revolusi Putih justru melahirkan kelompok yang menentang paling keras kekuasaan Shah.
Para petani yang mendapat pembagian tanah hasil reformasi agraria menjadi kelompok mandiri yang bisa mengalihkan dukungan politiknya kepada siapa saja dan tidak kepada raja. Demikian pula dengan kelompok intelektual. Program Revolusi Putih memang berhasil menghindarkan Dinasti Shah dari Revolusi Merah (sosialis), tetapi tidak bisa menghindari dari Revolusi Iran yang berbasis agama.
Dua puluh enam tahun kemudian terjadi Revolusi Iran yang menempatkan Ayatollah Khomeini sebagai pemimpin. Revolusi Iran menggantikan pemerintahan dari satu sistem otoriter kerajaan menjadi sistem otoritarian lain, yaitu teokrasi. Teokrasi adalah sistem di mana kekuasaan pemuka agama dan pemuka negara menjadi satu dan tidak terpisahkan.
Hubungan Barat dan Iran semakin menjauh sejak pecahnya revolusi tersebut. Rangkaian sanksi ekonomi yang dilancarkan oleh Barat kepada Iran tidak membuat negara itu menyerah. Pengaruh Iran juga semakin meluas terutama dalam sejumlah konflik di Timur Tengah mulai dari konflik Palestina-Israel hingga di Suriah sampai saat ini. Walaupun demikian, bukan berarti Iran juga menerima keadaan di bawah tekanan Barat dengan gembira.
Iran juga mengalami krisis ekonomi dan terhambatnya pembangunan akibat sanksi tersebut. Secara politis, masyarakat Iran, terutama kaum muda yang tidak mengalami langsung Revolusi Iran, mulai mempertanyakan kekuasaan ulama dalam pemerintahan teokrasi di Iran.
Keinginan untuk melakukan reformasi sistem politik dan pemerintahan dapat terlihat dari kemenangan kubu reformis saat pemilihan presiden pada 2013 yang menempatkan Hasan Rouhani sebagai presiden Iran menggantikan Mahmoud Ahmadinejad dari kubu konservatif.
Kemenangan kubu reformis ini juga yang menghantarkan JCPA tercapai setelah melalui proses negosiasi bersama antara China, Prancis, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, ditambah dengan Jerman dan Masyarakat Eropa selama 20 bulan.
Inisiatif P4+1
Kita tidak berharap bahwa saling ancam antara Iran dan AS akan menjadi kenyataan dan untuk itu negara-negara yang berkomitmen dalam Kesepakatan Nuklir Iran perlu mengambil langkah yang lebih aktif dan progresif. Ketegangan terutama yang tercipta dengan mundurnya AS dari kesepakatan telah membuka kesempatan bagi kelompok-kelompok konservatif yang sejak awal menolak kesepakatan itu berkuasa.
Seandainya kelompok-kelompok itu tidak berkuasa, kekuatan reformis di Iran pun mau tidak mau harus bergerak condong ke konservatif agar tidak kehilangan simpati di mata masyarakat mereka. Sebab itu, ketegangan ini harus diperbaiki dan diantisipasi.
Satu di antara kekuatan yang memiliki peran untuk melakukan hal itu adalah negara P4+1 yang telah mengangkat kesepakatan. Negara P4-1 perlu meyakinkan Iran lebih dalam lagi bahwa mereka tetap memiliki komitmen dengan perdamaian dan membantu dengan cara-cara yang lebih konkret. Misalnya dengan menghilangkan sanksi-sanksi atau tidak mengikuti sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh AS.
Dengan demikian, masyarakat Iran masih tetap dapat percaya bahwa perundingan adalah jalan terbaik untuk mencapai perdamaian.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
SITUASI perdamaian di Timur Tengah setelah Amerika Serikat mundur dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPA) atau dikenal dengan Kesepakatan Nuklir Iran sudah menjadi tidak konstruktif. Mundurnya AS menyebabkan setiap situasi selalu diinterpretasikan sebagai sebuah ancaman baik dari AS kepada Iran ataupun sebaliknya.
Meskipun tidak ideal, situasi tersebut dapat diperbaiki. Hal ini apabila negara lain yang tetap berkomitmen misalnya China, Prancis, Rusia, Inggris, Jerman, dan Masyarakat Eropa dapat mengambil langkah-langkah konstruktif yang independen dari AS. Yaitu, dengan tidak ikut-ikutan memberi sanksi agar tidak memprovokasi kekuatan konservatif yang memang tidak menghendaki perdamaian di Timur Tengah, entah itu di dalam Iran maupun secara umum di kawasan.
Situasi tegang itu kembali muncul dalam perang diplomasi digital antara Amerika Serikat dan Iran melalui Twitter dalam satu minggu belakangan ini. Perang itu dimulai ketika Presiden Iran Hasan Rouhani menyampaikan pandangannya dalam pertemuan dengan para diplomat pada Minggu lalu.
Ia secara umum berpidato tentang komitmen Iran untuk tetap berada di jalur JCPA meskipun AS mundur dari kesepakatan pada 8 Mei 2017. Kantor berita IRNA kemudian mengutip pernyataan Rouhani: ”Amerika sepatutnya paham bahwa perdamaian dengan Iran adalah ibu dari segala perdamaian dan perang dengan Iran adalah ibu dari segala peperangan.” Yang mau dikatakan adalah bahwa memprovokasi Iran sama saja seperti bermain-main dengan ekor singa.
Presiden AS Donald Trump kemudian membalas melalui Twiter dengan huruf-huruf besar (isyarat suatu teriakan) kepada Presiden Rouhani: “JANGAN PERNAH, MENGANCAM AS LAGI ATAU KAMU AKAN MENDERITA SETARA YANG PERNAH TERJADI DALAM SEJARAH TERBURUK DUNIA. KAMI BUKAN LAGI NEGARA YANG AKAN DIAM SAJA AKAN KATA-KATA KEKERASAN DAN KEMATIAN DARIMU. BERHATI-HATILAH!”
Cuitan Donald Trump kemudian dibalas lagi oleh Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif yang mengatakan: “WARNA AS TIDAK MENGESANKAN: Dunia bahkan telah mendengar kata-kata agresif yang lebih parah beberapa bulan lalu. Dan, orang Iran telah mendengarnya – kami yang lebih beradab ini – selama 40 tahun. Kami sudah ada di bumi ini selama ratusan tahun dan telah menyaksikan keruntuhan banyak kekaisaran, termasuk milik kami sendiri, yang berumur lebih lanjut daripada kekaisaran di sejumlah negara lain. BERHATI-HATILAH!’’
Akar Ketegangan
Perseteruan antara AS dan Iran yang berlangsung lebih dari 40 tahun adalah bukti bahwa dalam politik banyak hal terjadi di luar apa yang direncanakan. Kita dapat merencanakan dan mengatur, tetapi hasilnya dapat terjadi di luar perkiraan kita.
Demikian pula dengan masalah nuklir di Iran. Tidak ada yang pernah membayangkan bahwa program “Atom For Peace” yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Iran pada 1957 justru memukul balik politik AS pada masa sekarang.
Perang Dingin adalah konteks keterlibatan AS dalam politik di Iran. Di mana, Iran memiliki perbatasan langsung dengan Uni Soviet ketika persekutuan itu masih berdiri pada 1950an. AS dan Uni Soviet adalah dua negara besar yang secara terbuka atau diam-diam terus menyebarkan pengaruh mereka ke negara-negara tetangganya. Seandainya tidak menyebarkan pengaruh, minimal membuat negara tetangga mereka menjadi netral.
AS dan Inggris mulai merasa kepentingan mereka terdesak ketika hubungan mereka dengan Shah atau Kaisar Iran terganggu dengan proses demokrasi yang terjadi di sistem politik Iran. Kepentingan AS-Inggris terutama terkait dengan investasi minyak mereka di Iran yang dilindungi oleh kekuasaan Shah.
Kepentingan ini mulai terganggu ketika pada 21 Juli 1957 Perdana Menteri terpilih secara demokratis Mohammed Mossadeq dipilih oleh Parlemen Iran. Kepentingan itu juga bukan hanya soal minyak, tetapi juga pengaruh Blok Barat terhadap Iran sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Uni Soviet.
Pada masa itu sistem pemerintahan Iran adalah monarki-konstitusional. Shan Iran masih memiliki kewenangan untuk mengesahkan perdana menteri yang dipilih oleh Parlemen Iran. Meski demikian, Mossadeq yang sangat populer di Iran karena ideologinya yang antikolonialisme mulai membuat pihak Barat jengkel.
Ia mulai merencanakan nasionalisasi perusahaan minyak Iran ketika mulai diangkat. Rencana itu membahayakan kepentingan AS dan Inggris. Dua negara itu melalui peran lembaga intelijen mereka masing-masing, CIA dan M16, mendorong Operasi Ajax yang menempatkan Jenderal Fazlollah Zahedi menggantikan Mossadeq melalui sebuah kudeta militer. Kudeta itu kemudian menempatkan kembali kekuasaan Shah sebagai raja untuk mengangkat para menteri.
Mohammad Reza Pahlavi sebagai Shah atau raja yang baru di Iran mencoba untuk mengarahkan Iran menjadi lebih modern dengan mendeklarasikan Revolusi Putih. Tujuan formal dari revolusi itu adalah untuk mengikis habis kekuatan feodal yang mendukung sistem politik tradisional. Caranya dengan melakukan reformasi agraria, memberantas buta huruf, membangun infrastruktur jalan, air, pembuatan koperasi, sebagainya.
Hal ini terdengar kontradiktif karena kekuasaan Shah sendiri bagian dari sistem politik tradisional di Iran. Namun, hal itu akan menjadi terlihat konsisten karena di balik tujuan itu adalah mencegah ideologi kelas yang bisa mengancam dinasti Shah pada masa depan.
Periode 1950-1970 adalah masa perlawanan ideologis kelompok kiri di Timur Tengah berkembang demikian kuat sehingga Shah berpikir untuk mengarahkan kemarahan dari kelompok petani dan masyarakat miskin menjadi lebih konstruktif dan tidak menganggu sistem dinasti Shah secara keseluruhan.AS dan Eropa juga membantu Shah memoderasi Iran dengan menawarkan program nuklir “Atom For Peace” pada masa Presiden Eisenhower. Nama program itu diambil dari pidato Eisenhower di Sidang Umum PBB pada 1953 yang meyakini bahwa mempromosikan teknologi nuklir nonmiliter akan mengurangi negara-negara untuk menciptakan senjata nuklir untuk kepentingan perang.
Program ini yang kemudian juga menginspirasi negara-negara lain seperti India, Pakistan, dan Israel ikut mengembangkan program nuklir untuk perdamaian terlepas bahwa memiliki kemampuan nuklir juga berimplikasi pada penguatan daya gentar terhadap negara lain.
Modernisasi Iran melalui Revolusi Putih tidak menghasilkan dampak seperti yang bisa diharapkan. Alih-alih petani, intelektual, atau kaum miskin perkotaan berterima kasih atas reformasi yang diberikan, program Revolusi Putih justru melahirkan kelompok yang menentang paling keras kekuasaan Shah.
Para petani yang mendapat pembagian tanah hasil reformasi agraria menjadi kelompok mandiri yang bisa mengalihkan dukungan politiknya kepada siapa saja dan tidak kepada raja. Demikian pula dengan kelompok intelektual. Program Revolusi Putih memang berhasil menghindarkan Dinasti Shah dari Revolusi Merah (sosialis), tetapi tidak bisa menghindari dari Revolusi Iran yang berbasis agama.
Dua puluh enam tahun kemudian terjadi Revolusi Iran yang menempatkan Ayatollah Khomeini sebagai pemimpin. Revolusi Iran menggantikan pemerintahan dari satu sistem otoriter kerajaan menjadi sistem otoritarian lain, yaitu teokrasi. Teokrasi adalah sistem di mana kekuasaan pemuka agama dan pemuka negara menjadi satu dan tidak terpisahkan.
Hubungan Barat dan Iran semakin menjauh sejak pecahnya revolusi tersebut. Rangkaian sanksi ekonomi yang dilancarkan oleh Barat kepada Iran tidak membuat negara itu menyerah. Pengaruh Iran juga semakin meluas terutama dalam sejumlah konflik di Timur Tengah mulai dari konflik Palestina-Israel hingga di Suriah sampai saat ini. Walaupun demikian, bukan berarti Iran juga menerima keadaan di bawah tekanan Barat dengan gembira.
Iran juga mengalami krisis ekonomi dan terhambatnya pembangunan akibat sanksi tersebut. Secara politis, masyarakat Iran, terutama kaum muda yang tidak mengalami langsung Revolusi Iran, mulai mempertanyakan kekuasaan ulama dalam pemerintahan teokrasi di Iran.
Keinginan untuk melakukan reformasi sistem politik dan pemerintahan dapat terlihat dari kemenangan kubu reformis saat pemilihan presiden pada 2013 yang menempatkan Hasan Rouhani sebagai presiden Iran menggantikan Mahmoud Ahmadinejad dari kubu konservatif.
Kemenangan kubu reformis ini juga yang menghantarkan JCPA tercapai setelah melalui proses negosiasi bersama antara China, Prancis, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, ditambah dengan Jerman dan Masyarakat Eropa selama 20 bulan.
Inisiatif P4+1
Kita tidak berharap bahwa saling ancam antara Iran dan AS akan menjadi kenyataan dan untuk itu negara-negara yang berkomitmen dalam Kesepakatan Nuklir Iran perlu mengambil langkah yang lebih aktif dan progresif. Ketegangan terutama yang tercipta dengan mundurnya AS dari kesepakatan telah membuka kesempatan bagi kelompok-kelompok konservatif yang sejak awal menolak kesepakatan itu berkuasa.
Seandainya kelompok-kelompok itu tidak berkuasa, kekuatan reformis di Iran pun mau tidak mau harus bergerak condong ke konservatif agar tidak kehilangan simpati di mata masyarakat mereka. Sebab itu, ketegangan ini harus diperbaiki dan diantisipasi.
Satu di antara kekuatan yang memiliki peran untuk melakukan hal itu adalah negara P4+1 yang telah mengangkat kesepakatan. Negara P4-1 perlu meyakinkan Iran lebih dalam lagi bahwa mereka tetap memiliki komitmen dengan perdamaian dan membantu dengan cara-cara yang lebih konkret. Misalnya dengan menghilangkan sanksi-sanksi atau tidak mengikuti sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh AS.
Dengan demikian, masyarakat Iran masih tetap dapat percaya bahwa perundingan adalah jalan terbaik untuk mencapai perdamaian.
(poe)