Menggugat Vonis Penjara Penyalah Guna Narkot

Kamis, 19 Juli 2018 - 08:48 WIB
Menggugat Vonis Penjara...
Menggugat Vonis Penjara Penyalah Guna Narkot
A A A
Anang Iskandar
Kepala Badan Narkotika Nasional (2012-2015), Kabareskrim Polri (2015-2016), Dosen Universitas TrisaktiVONIS pidana rehabilitasi dalam praktik peradilan di Indonesia terhadap perkara penyalahgunaan narkotika hampir tidak pernah dija tuhkan oleh hakim, padahal ini sifatnya wajib.
Sekitar 70% perkara pidana adalah perkara narkotika yang terdiri atas perkara penyalahgunaan dan perkara peredaran. Mes ki pun tercatat ada beberapa per kara penyalahgunaan narko ti ka yang divonis dengan pidana rehabilitasi, namun itu melalui pro ses penahanan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sebagai contoh, perkara ko median Tessy, di mana ketika itu dia didakwa dengan pasal kumu latif sebagai pengedar (112, 114, 132) dan pasal penyalah guna (127) dengan barang bukti 1 gram sabu (Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4/2010). Fakta persidangan me nunjukkan terdakwa terbuk ti sebagai penyalah guna saja karena digunakan untuk diri sendiri, tidak untuk dijual.

Tessy lalu divonis rehabilitasi dan hakim menganjurkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan dan diperintahkan untuk rawat jalan. Perkara lain, yakni selebritas Ridho Rhoma di mana terdakwa dituntut pasal kumulatif sebagai pengedar (Pasal 112 jo 131) dan sebagai penyalah guna (Pasal 127 jo 55) dengan jumlah barang bukti seberat 0,7 gram sabu (di bawah SEMA). Fakta persidangan terdakwa adalah penyalah guna bukan pengedar karena digunakan sendiri, tidak untuk di jual. Putusan hakim terdakwa dihukum 10 bulan pen jara potong tahanan, sisanya 6 bulan 10 hari ditempatkan di lembaga rehabilitasi (RSKO). Contoh lain di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus Aan Nuraeni, terdakwa penyalah guna narkotika yang didakwa sebagai pengedar (112 ayat 1 dan 114 ayat 1).

Barang bukti sedikit, 2 pil ekstasi (di bawah SEMA). Putusan hakim pidana penjara 4 tahun dan denda Rp800 juta. Di tingkat ban ding tuntutan dan putusannya dibatalkan dan Pengadilan Tinggi menghukum dengan caranya sendiri dengan menggunakan Pasal 127 (sebagai penyalah guna) dengan hukuman 11 bulan penjara dipotong masa tahan 8 bulan sisanya di tempatkan di Balai Rehabilitasi Lido. Nah, masalahnya ada ribuan kasus seperti contoh tersebut yang oleh hakim yang “tidak mengerti kewajibannya dalam menangani perkara penya lahgunaan narkotika” menyebabkan banyak penyalah guna yang divonis hukuman penjara.

Dam paknya ke mana-mana; pencandu tidak sembuh, jumlahnya meningkat terus, masalah penyalahgunaan trennya naik, lapas kepenuhan, negara memproduksi generasi adiksi, uang negara yang digunakan untuk biaya penegakan hukum muspro. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika, terdakwa penyalah guna wajib dihukum dengan hu kuman pidana rehabilitasi (Pa sal 4,127/1/2, 54, 55, 103 UU Narkotika) dan PP No 25/210 serta dipertegas dengan SEMA Nomor 4/2010 ten tang Penem patan Penyalah Guna, Korban Penyalah gu naan, dan Pen can du Narkotika ke Dalam Lem ba ga Rehabilitasi Medis dan Re habilitasi Sosial. Ketika itu yang menandatangani Ketua MA Harifin A Tumpa.

Sejak itu, seharusnya sudah clear bahwa penyalah guna wajib di hukum dengan pidana rehabilitasi. Dalam teori hukum modern, konstruksi ini disebut dekriminalisasi penyalah guna narkotika (decriminal ization of pos session or use). Dekriminalisasi penya lah guna narkotika ini sudah ter konstruksi dalam UU No mor 35/2009 tentang Narkotika. Tujuan dekriminalisasi penyalah guna adalah menekan sisi demand reduction dalam rang ka mengurangi supply reduction agar penanganan masalah narkotika balance,di satu sisi terhadap kejahatan peredaran diperangi secara represif, sedang di sisi lain yaitu terhadap kejahatan penyalahgunaan diperangi secara preventif dan rehabilitatif.

Di mana tujuan akhirnya di satu pihak untuk me nyelamatkan masa depan war ga bangsa yang terpengaruh penyalahgunaan narkotika, menghentikan negara menghasilkan generasi adiksi, dan meng hemat energi pene gakan hukum. Di pihak lain, memberantas peredaran gelap narkotika dengan hukuman yang keras. Pada 2005, Badan Pemerintah Pusat Uni Eropa yang mengoordinasikan data kebijakan obat, European Monitoring Centre for Drugs and Drug Ad - diction (EMCDDA) mengeluarkan definisi decriminalization of drug possession or use as: “removal of sanctions under criminal law, with optional use of administrative sanctions, such as the application of civil fines or court ordered therapeutic responses”.

Dalam penelitian saya yang ber judul dekriminalisasi penya lah guna dalam konstruksi hu kum positif di Indonesia pada 2013, saya mem ban dingkan kon struk si hukum narkotika di Australia, Portugal, Belanda, dengan Indonesia. Saya menemukan konstruksi hukum ten tang dekriminalisasi penyalah guna narkotika dalam UU No mor 35/2009 tentang Nar ko tika mendefinisikan bah wa kepemilikan narkotika (memiliki, menguasai, mengonsumsi narkotika) dalam jumlah tertentu untuk pemakai an sehari adalah perbuatan melanggar hukum pidana. Namun, apa bila yang bersangkutan melakukan pelanggaran tersebut diberikan hukuman bukan pidana penjara, melainkan pidana rehabilitasi.

Model dekriminalisasi yang berkembang di dunia berwarna-warni bergantung sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara. Indonesia juga memiliki model sendiri yang sangat spe si fik. Model dekriminalisasi penya lah guna ala UU Nomor 35/ 2009 tentang Narkotika terkon struksi sebagai berikut: 1) Penyalah guna sebagai kriminal diancam dengan pidana ringan di bawah 4 tahun (Pasal 127) tidak memenuhi syarat dilakukan penahanan dalam pro ses penyidikan, penun tutan, dan peradilan berdasarkan Pa sal 21 KUHAP dan tidak dapat di-juncto-kan dengan pasal peng edar karena berkaitan dengan tujuan dibuatnya UU Narkotika.

2) Tujuan dibuatnya UU Narkotika tegas dipilah menjadi penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika, terhadap penyalahgunaan dengan cara dicegah, dilindungi, diselamatkan, dan dijamin pengaturan upaya rehabilitasinya (Pasal 4 huruf b dan d). Sementara terhadap peredaran gelap narkotika hanya satu cara, yaitu diberantas (Pasal 4 huruf c). 3) Secara yuridis, penyalah guna pemula dapat berme tamorfosis menjadi korban penyalahgunaan narkotika (penje lasan Pasal 54). Penegak hukum dibebani tugas untuk mem buktikan penyalah guna pemula sebagai korban penyalah gunaan narkotika hukumnya wajib direhabilitasi (Pasal 54 dan penjelasannya).

4) Secara akademis penyalah guna berulang dapat berme ta - mor fosis menjadi pencandu (Pa sal 1 angka 13). Hukumnya wajib direhabilitasi (Pasal 54). 5) Kewajiban hakim sangat detail dijelaskan dalam Pasal 127 ayat 2 yaitu hakim dalam memutus perkara penyalah guna wajib memperhatikan (Pa - sal 54, 55, dan 103). 6) Kewajiban hakim yang ber hubungannya dengan Pasal 54 menyangkut apakah ter dakwa penyalah guna itu termasuk korban penyalahgunaan nar kotika atau bukan. Kalau ter masuk korban penyalahgunaan, hukumannya wajib di rehablitasi (penjelasan Pasal 54). Hakim juga wajib memperhatikan apakah penyalah guna itu kadar kecanduannya termasuk golong an ringan, sedang, atau berat, karena setiap penyalah guna pasti pencandu.

Hal ini penting agar hakim punya ancer-ancer berapa lama untuk merehabilitasi terdakwa agar sembuh. Terhadap pencandu ringan, sedang, ataupun berat, hukumnya wajib direhabilitasi. 7) Kewajiban hakim ber hubungan dengan Pasal 55 tentang wajib lapor bagi orang tua pencandu yang belum dewasa dan pencandu yang sudah cukup umur. Wajib lapor adalah upaya pemerintah bagi penyalah guna yang “berkeliaran” di masyarakat untuk direhabilitasi. Kalau sudah mendapatkan pelayanan rehabilitasi, mes kipun belum sembuh total secara hukum, status penyalah guna ber ubah dari pelaku kriminal menjadi “tidak dituntut pidana” (Pasal 128 ayat 1 dan 2).

Ini menunjukkan kepada hakim bahwa penyalahgunaan nar kotika sebagai domestic crime, artinya menjadi tugas orang tua untuk merehabilitasi penyalah guna, kalau tidak orang tua di ancam pidana (Pasal 128). Ini erat hubungannya dengan kewajiban hakim untuk mem vonis hukuman pidana reha bilitasi sebagai premium meredium. 8) Kewajiban hakim ber hu - bung an Pasal 103, yaitu me ngenai kewenangan hakim dalam memutus perkara penyalah guna. Hakim diberi kewe nangan khusus yang tidak dimiliki sebelumnya. Bila menangani per kara penyalahgunaan dan perkara pencandu (Pasal 1 ang - ka 13) terbukti bersalah atau tidak terbukti bersalah di pengadilan, terdakwa wajib divonis rehabilitasi (ayat 1).

Sementara ayat 2-nya menyatakan hu kuman pidana penjara sama dengan hukuman pidana rehabilitasi. Inilah gugatan dan alasan para orang tua di Indonesia yang anaknya saat ini mendekam di lapas dan yang merindukan si anak sembuh dari keter gantung an narkotika, kepada para hakim yang bersemayam di ba wah MA.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0746 seconds (0.1#10.140)