Energi Asia

Kamis, 19 Juli 2018 - 08:32 WIB
Energi Asia
Energi Asia
A A A
Nadjamuddin Ramly
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RIPada bulan-bulan ini kita menikmati musim pertanding an olahraga tingkat nasional, regional, dan internasional. Liga 1 sepak bola Indonesia, pada awal pekan Juli, sudah menyelesaikan 114 pertandingan.
Selain Liga 1, kita seru-serunya menonton rangkaian pertandingan sepak bola Piala Dunia. Lantas, pada 18 Agustus hingga 2 Septem ber, Indonesia akan menjadi tuan rumah pelaksanaan Asian Games 2018. Semua mata penggemar olah raga di seluruh Asia dan du nia akan tertuju ke Indo nesia. Mereka akan disuguhi 462 acara pertandingan pada 40 cabang olahraga yang diikuti peserta dari 45 negara. Salah satu cabang olahraga baru yang dipertandingkan kali ini ada lah pencak silat. Sebagai tuan rumah, Indonesia memang ber hak menambahkan tiga ca bang olahraga baru di Asian Games 2018. Pencak silat di pi lih karena ini olahraga asli Indonesia.

Pencak silat termasuk 10 Objek Pemajuan Kebuda ya an Indonesia yang termaktub dalam Undang-Undang Pe ma ju an Kebudayaan (UU Nomor 5/2017) dalam kategori Olah raga Tradisional. Ajang olahraga empat tahun an kali ini mengusung tema: Energy of Asia atau Ener - gi Asia. Semangat ini terwakili da lam “matahari” di tengah logo Asian Games bergambar Stadion Utama Gelora Bung Karno. Jiwa “Energi Asia” sendiri tertanam dalam keragaman budaya, bahasa, dan sejarah ke-45 negara peserta, yang menyatu bersama menciptakan energi kuat meningkatkan semangat kemajuan dalam suasana persahabatan dan sportivitas.

Energi Asia dipilih sebagai moto untuk membangkitkan semangat pembangunan di se - gala bidang secara merata di Asia. Para peserta tak hanya mempertontonkan kehebatan capaian mereka di bidang olah raga, tapi diharapkan ikut meng gelorakan obor peradaban maju di Asia. Kita tahu, Jepang sudah lebih dulu diakui dunia berkat teknologinya. Ke hebatannya diikuti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, In dia, Singapura, dan belakang an China. Kemajuan begitu feno menal dicapai China hingga diprediksi akan menjadi raksasa ekonomi dunia pada 2020 mengalahkan Amerika Serikat.

Pertanyaan mampukah Asia menyaingi Barat yang diajukan Kishore Mahbubani dalam Can Asians Think (2009) tampak nya terjawab, “bisa!” Guru be sar dan mantan diplomat Asia ini pun mengurai fenomena ke bangkitan negara-negara Asia dan memban dingkannya dengan Barat. Asia memiliki “energi” besar untuk maju. Mahbubani mencatat, ledakan ekonomi terjadi di Asia berkat kecer dasan dan kerja keras, suatu modal yang juga menentukan keberhasilan di olahraga. Ekonomi Asia tum buh lebih cepat dan konsisten dibanding kelompok regional negara lain di dunia sejak 1960 hingga 1990.

Pertumbuhan per kapita rata-rata negara Asia mencapai 5,5%, mengalah kan performa Amerika Latin dan subsahara Afrika. Pada masa lalu, di awal modernisasi para tokoh negara Asia bekas jajahan, seperti Jawaharlal Nehru dan Sun Yat Sen berkesimpulan bahwa untuk mengejar ketertinggalan, kita hanya perlu mengikuti Barat. Namun, kini Asia tak lagi melihat Barat sebagai contoh yang mesti ditiru dan ditela dani. Di Asia muncul semangat baru untuk menghubung kan kembali dirinya dengan masa lalu, mengikat kembali tali yang terputus sejak masa kolonial, dan dominasi pan dangan dunia Barat.

Semangat baru itu menjadi energi yang sangat diperlukan oleh orang-orang Asia dalam upaya mereka menemukan keseimbangan antara dunia global dengan akar dan kesa daran tentang identitas le luhur mereka. Itulah upa ya mendefinisikan identitas personal, sosial, dan nasional yang sejalan dengan bangkitnya rasa percaya diri mereka dalam percaturan dunia yang saling terkoneksi di era teknologi informasi saat ini. Beberapa negara Asia telah mencapai standar taraf kehi dup an tinggi tanpa harus meng ikuti Barat. Ambil contoh China dan Singapura yang da lam tata kelola pe merintahan tidak menerapkan demokrasi liberal, tapi men ja - lankannya de ngan sistem meritokrasi.

Tata kelola peme rintah an yang baik tak harus mengikuti cara Ba rat dengan demokrasi libe ral nya. Asia punya caranya sen diri tanpa harus terjebak dalam arus pemikiran Barat. Kita di Indonesia harus merespons secara positif energi dan semangat baru yang mun cul di Asia tersebut. Indone sia yang secara global sudah mencapai tahapan baik dalam hal-hal tertentu, terutama proses demokratisasinya yang terus membaik, sudah saatnya membenahi persoalan-persoalan mendasar lainnya, seperti masalah kesenjangan sosial dan ekonomi, kemiskinan, pelayanan publik dan jaminan sosial, ketersediaan lapangan kerja, korupsi dan oligarki, serta lebih utama lagi di bidang pendidikan.

Pasalnya, kemajuan yang dicapai negara-negara Asia Timur dan rasa percaya diri yang mereka miliki, didorong oleh capaian performa akademik warganya yang mengagumkan. Para pemain olahraga berba kat menjadi hebat setelah dibina dengan baik dan penuh disiplin di tempat-tempat pelatihan khusus. Banyak ma hasiswa terbaik yang dihasilkan perguruan tinggi di Amerika berasal dari Asia. Lebih dari separuh mahasiswa asing di AS berasal dari Asia. Tak aneh bila banyak perusahaan multi nasio nal merekrut dan melatih talenta berbakat dari Asia. Indonesia dapat mencon toh bagaimana negara-negara se sama Asia, seperti Jepang, Korea, dan Singapura mening kat kan taraf pendidikan me re ka.

Negara-negara ini terus menggenjot tingkat pendidik an mereka hing ga melahirkan ahli-ahli terbaik di bidang masing-masing. Tak terkecuali di bidang-bidang olahraga. Kita dapat mene ladani bagaimana negara-negara itu me ning kat kan skala pertum buhan se ka ligus menaik - kan standar kehidupan ratarata masyarakat me lalui pening katan pendi dik an mereka. Demikian adanya, dengan ilmu hidup kita akan lebih meningkat, dengan agama hidup kita akan lebih bermakna, dengan teknologi hidup kita akan lebih berwarna, dan dengan budaya hidup kita akan lebih menawan.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0984 seconds (0.1#10.140)