Menteri LHK: Pengelolaan Hutan Indonesia Pengaruhi Iklim Dunia
A
A
A
JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan, hutan Indonesia tidak saja memiliki peran sebagai katalis dalam pelaksanaan Kesepakatan Paris (Paris Agreement) dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), tetapi juga menjadi lokomotif dalam pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) menurunkan emisi gas rumah kaca nasional, serta mendukung aktivitas yang memiliki dampak netral terhadap iklim global.
Namun kata Siti Nurbaya, peran tersebut tidak bisa hanya diserahkan pada masing-masing upaya negara penandatangan Kesepakatan Paris atau yang telah berkomitmen pada pencapaian SDGs saja.
"Dukungan internasional melalui mekanisme yang telah disepakati sangat diperlukan oleh negara-negara yang telah berkomitmen pada kesepakatan Paris dan SDGs,” tegas Menteri Siti Nurbaya.
Hal ini disampaikannya menjawab pertanyaan yang diajukan pada pertemuan tingkat tinggi bertajuk "Implementing Article 5 of the Paris Agreement and Achieving Climate Neutrality through Forests" yang diselenggarakan oleh COP24 Presidency dan FAO di sela-sela acara The 24th Sessions of FAO Committee on Forestry (COFO-24) di Roma, Italia, Senin (16/7/2018) malam waktu setempat.
Acara tersebut mendiskusikan upaya untuk memastikan sinergi antarberbagai penggunaan
lahan dan pelaksanaan Artikel 5 Kesepakatan Paris. Sebagaimana diketahui, artikel 5 Kesepakatan Paris memuat upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta mekanisme insentif berbasis hasil yang diakui oleh dunia internasional.
Terkait dengan hal itu, strategi perlu dikembangkan untuk memastikan upaya penanggulangan perubahan iklim dapat dilaksanakan, dan secara bersamaan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.
Selain Menteri Siti Nurbaya, pertemuan tingkat tinggi tersebut juga dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup Polandia yang juga Presiden COP-24, Slawomir Mazurek, Menteri Ekonomi Kehutanan Republik Kongo, Rosalie Matondo, dan Asisten Deputi Kementerian Sumber Daya Kanada, Mary Beth MacNeil.
Menurut Menteri Siti, Indonesia memiliki hutan yang mencapai 63% dari luas daratannya yang merupakan sumber daya penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
"Sektor kehutanan sangat penting bagi pencapaian NDC karena bersama-sama dengan sektor energi mengambil porsi 98% dari total penurunan emisi nasional," tegas Menteri Siti.
Lebih lanjut Menteri Siti menyatakan, strategi kehutanan Indonesia dalam adaptasi terhadap perubahan iklim dilaksanakan melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu, peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya alam, konservasi dan restorasi ekosistem, serta perlindungan kawasan pantai.
"Contoh yang komprehensif atas peran hutan di tingkat tapak dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dalam program perhutanan sosial," ujar Menteri Siti.
Dengan diberikannya 1,7 juta ha akses resmi masyarakat pada kawasan hutan telah memberikan jalan bagi masyarakat setempat, termasuk masyarakat adat, untuk berperan dalam pengelolan hutan lestari, konservasi keanekaragaman hayati, peningkatan kesempatan berusaha, dan pencegahan konflik tenurial.
Dengan demikian, perhutanan sosial dapat mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Lebih lanjut, dengan menyasar pada 25.000 desa di dalam dan sekitar hutan dan mencakup sekitar 10 juta masyarakat miskin, maka perhutanan sosial telah membantu upaya pengentasan kemiskinan yang menjadi ruh tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Menjawab pertanyaan tentang insiatif Indonesia yang mencerminkan solusi atas pembangunan dan perubahan klim, Menteri Siti menjelaskan bahwa pengelolaan hutan di Indonesia melibatkan beragam aktor, fungsi hutan, dan kondisi hutan yang mementuk pola pengelolaan yang berbeda-beda.
Untuk itulah maka kebijakan pengelolaan hutan memiliki spektrum yang luas dari perhutanan sosial (social forestry), penataan pengelolaan lahan gambut, hingga penegakan hukum, merupakan inisiatif Indonesia untuk menyeimbangkan antara kepentingan pemanfaatan sumberdaya hutan dan kelestarian lingkungan yang mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim.
"Masyarakat di Desa Sarongge, Cianjur mampu mengubah perilaku sebagai perambah menjadi petani agroforestri dan agrosilvopastur yang mendukung pelestarian hutan melalui pemberian akses ke kawasan hutan dan dengan bantuan aktivis dan LSM, masyarakat pun mampu meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola hutan secara lestari," terang Menteri Siti.
Namun kata Siti Nurbaya, peran tersebut tidak bisa hanya diserahkan pada masing-masing upaya negara penandatangan Kesepakatan Paris atau yang telah berkomitmen pada pencapaian SDGs saja.
"Dukungan internasional melalui mekanisme yang telah disepakati sangat diperlukan oleh negara-negara yang telah berkomitmen pada kesepakatan Paris dan SDGs,” tegas Menteri Siti Nurbaya.
Hal ini disampaikannya menjawab pertanyaan yang diajukan pada pertemuan tingkat tinggi bertajuk "Implementing Article 5 of the Paris Agreement and Achieving Climate Neutrality through Forests" yang diselenggarakan oleh COP24 Presidency dan FAO di sela-sela acara The 24th Sessions of FAO Committee on Forestry (COFO-24) di Roma, Italia, Senin (16/7/2018) malam waktu setempat.
Acara tersebut mendiskusikan upaya untuk memastikan sinergi antarberbagai penggunaan
lahan dan pelaksanaan Artikel 5 Kesepakatan Paris. Sebagaimana diketahui, artikel 5 Kesepakatan Paris memuat upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta mekanisme insentif berbasis hasil yang diakui oleh dunia internasional.
Terkait dengan hal itu, strategi perlu dikembangkan untuk memastikan upaya penanggulangan perubahan iklim dapat dilaksanakan, dan secara bersamaan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.
Selain Menteri Siti Nurbaya, pertemuan tingkat tinggi tersebut juga dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup Polandia yang juga Presiden COP-24, Slawomir Mazurek, Menteri Ekonomi Kehutanan Republik Kongo, Rosalie Matondo, dan Asisten Deputi Kementerian Sumber Daya Kanada, Mary Beth MacNeil.
Menurut Menteri Siti, Indonesia memiliki hutan yang mencapai 63% dari luas daratannya yang merupakan sumber daya penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
"Sektor kehutanan sangat penting bagi pencapaian NDC karena bersama-sama dengan sektor energi mengambil porsi 98% dari total penurunan emisi nasional," tegas Menteri Siti.
Lebih lanjut Menteri Siti menyatakan, strategi kehutanan Indonesia dalam adaptasi terhadap perubahan iklim dilaksanakan melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu, peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya alam, konservasi dan restorasi ekosistem, serta perlindungan kawasan pantai.
"Contoh yang komprehensif atas peran hutan di tingkat tapak dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dalam program perhutanan sosial," ujar Menteri Siti.
Dengan diberikannya 1,7 juta ha akses resmi masyarakat pada kawasan hutan telah memberikan jalan bagi masyarakat setempat, termasuk masyarakat adat, untuk berperan dalam pengelolan hutan lestari, konservasi keanekaragaman hayati, peningkatan kesempatan berusaha, dan pencegahan konflik tenurial.
Dengan demikian, perhutanan sosial dapat mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Lebih lanjut, dengan menyasar pada 25.000 desa di dalam dan sekitar hutan dan mencakup sekitar 10 juta masyarakat miskin, maka perhutanan sosial telah membantu upaya pengentasan kemiskinan yang menjadi ruh tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Menjawab pertanyaan tentang insiatif Indonesia yang mencerminkan solusi atas pembangunan dan perubahan klim, Menteri Siti menjelaskan bahwa pengelolaan hutan di Indonesia melibatkan beragam aktor, fungsi hutan, dan kondisi hutan yang mementuk pola pengelolaan yang berbeda-beda.
Untuk itulah maka kebijakan pengelolaan hutan memiliki spektrum yang luas dari perhutanan sosial (social forestry), penataan pengelolaan lahan gambut, hingga penegakan hukum, merupakan inisiatif Indonesia untuk menyeimbangkan antara kepentingan pemanfaatan sumberdaya hutan dan kelestarian lingkungan yang mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim.
"Masyarakat di Desa Sarongge, Cianjur mampu mengubah perilaku sebagai perambah menjadi petani agroforestri dan agrosilvopastur yang mendukung pelestarian hutan melalui pemberian akses ke kawasan hutan dan dengan bantuan aktivis dan LSM, masyarakat pun mampu meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola hutan secara lestari," terang Menteri Siti.
(maf)