Ini Penyebab Penentuan Cawapres Jokowi Berlangsung Alot
A
A
A
JAKARTA - Model pembentukan koalisi partai politik yang tidak didasarkan pada persamaan ideologi dan platform dinilai menjadi penyebab alotnya pembahasan siapa calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang akan maju di Pilpres 2019.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengatakan selama ini pembentukan koalisi parpol di Indonesia kerap kali didasarkan pada hasil kompromi dan lobi-lobi politik. Sehingga, basis koalisi akhirnya didasarkan pada siapa capres atau cawapresnya, bukan berdasarkan kesaman platform, ideologi dan program yang dijalankan.
"Ini jamak terjadi di kita dan berlaku pada semua parpol. Tapi terlihat menonjol di antara partai-partai pendukung pemerintah," ujar Adi kepada SINDOnews, Jumat (13/7/2018).
Adi pun menyoroti alotnya penentuan cawapres yang akan mendampingi Joko Widodo (Jokowi) selaku petahana. Adi menilai, hingga kini Jokowi masih gamang memilih cawapres, apakah dari kalangan partai pendukung atau dari kalangan profesional.
Hingga kurang dari 30 hari datangnya masa pendaftaran pasangan capres dan cawapres pada 10 Agustus nanti, Jokowi mengaku masih menggodok lima nama. Komunikasi dan pertemuan semakin intens dilakukan dengan partai-partai anggota koalisi.
Di tengah kondisi demikian, sejumlah partai anggota koalisi seperti Golkar, PKB, dan PAN juga melakukan komunikasi dengan partai-partai non pemerintah. "Logikanya kalau partai-partai ini sudah merasa senasib, sudah sama platform, program dan ideologinya, seharunya sudah tidak ada masalah dengan siapa capres dan cawapresnya. Ini masih cair. Semua masih merasa paling berhak mendampingi Jokowi," jelas Adi.
Adi pun mendorong agar ke depan partai-partai politik di Tanah Air menjadikan ideologi dan platform sebagai landasan membentuk koalisi. Hal ini penting dilakukan untuk mematangkan demokrasi dan memberikan waktu yang cukup kepada publik untuk menimbang siapa calon pemimpin yang akan mereka pilih.
"Kalau di negara-negara lain, koalisi diawali dengan kesamaan platform dan ideologi. Bila koalisi terbentuk atas dasar itu, maka langkah selanjutnya adalah menentukan siapa capres dan cawapresnya. Kalau di kita, logikanya di balik. Cari dulu siapa capres dan cawapresnya, baru dicari kawan koalisi. Ini yang menjelaskan kenapa penentuan cawapres Jokowi sedikit alot," ucap Adi.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengatakan selama ini pembentukan koalisi parpol di Indonesia kerap kali didasarkan pada hasil kompromi dan lobi-lobi politik. Sehingga, basis koalisi akhirnya didasarkan pada siapa capres atau cawapresnya, bukan berdasarkan kesaman platform, ideologi dan program yang dijalankan.
"Ini jamak terjadi di kita dan berlaku pada semua parpol. Tapi terlihat menonjol di antara partai-partai pendukung pemerintah," ujar Adi kepada SINDOnews, Jumat (13/7/2018).
Adi pun menyoroti alotnya penentuan cawapres yang akan mendampingi Joko Widodo (Jokowi) selaku petahana. Adi menilai, hingga kini Jokowi masih gamang memilih cawapres, apakah dari kalangan partai pendukung atau dari kalangan profesional.
Hingga kurang dari 30 hari datangnya masa pendaftaran pasangan capres dan cawapres pada 10 Agustus nanti, Jokowi mengaku masih menggodok lima nama. Komunikasi dan pertemuan semakin intens dilakukan dengan partai-partai anggota koalisi.
Di tengah kondisi demikian, sejumlah partai anggota koalisi seperti Golkar, PKB, dan PAN juga melakukan komunikasi dengan partai-partai non pemerintah. "Logikanya kalau partai-partai ini sudah merasa senasib, sudah sama platform, program dan ideologinya, seharunya sudah tidak ada masalah dengan siapa capres dan cawapresnya. Ini masih cair. Semua masih merasa paling berhak mendampingi Jokowi," jelas Adi.
Adi pun mendorong agar ke depan partai-partai politik di Tanah Air menjadikan ideologi dan platform sebagai landasan membentuk koalisi. Hal ini penting dilakukan untuk mematangkan demokrasi dan memberikan waktu yang cukup kepada publik untuk menimbang siapa calon pemimpin yang akan mereka pilih.
"Kalau di negara-negara lain, koalisi diawali dengan kesamaan platform dan ideologi. Bila koalisi terbentuk atas dasar itu, maka langkah selanjutnya adalah menentukan siapa capres dan cawapresnya. Kalau di kita, logikanya di balik. Cari dulu siapa capres dan cawapresnya, baru dicari kawan koalisi. Ini yang menjelaskan kenapa penentuan cawapres Jokowi sedikit alot," ucap Adi.
(kri)