Mendukung Kebijakan Zonasi
A
A
A
Riduan Situmorang
Pendidik, Pengajar di Bimbel Prosus Inten,
Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (Plot) Medan dan Toba Writers Forum (TWF)
SELAMA sepekan dalam acara Hari Batak di Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, saya dengan teman-teman menginap di rumah kos-kosan seorang guru dari SMA teramat favorit di daerah itu, yakni SMA Plus Soposurung. Sekolah ini sudah sangat terkenal, tidak hanya di Sumut, tetapi juga di Indonesia.
Namun tahun ini mereka mulai “gerah”. Itu saya baca dari keluhan guru di sekolah bergengsi tersebut. Kurang lebih guru tersebut mengatakan bahwa sistem zonasi pada penerimaan siswa baru pelan-pelan akan menghancurkan pamor sekolahnya. Karena itu dia tak mendukung sistem zonasi.
Saya tentu saja tak sepakat dengan perkataan guru tersebut. Sadar atau tidak, guru tersebut secara tak langsung malah sudah mengakui bahwa naiknya pamor sekolah itu bukan karena kefasihan guru mengajar dan mendidik, tetapi dari mutu siswa-siswa yang mendaftar.
Dengan kata lain, yang berhasil selama ini adalah siswa, bukan guru. Lantas apa istimewanya guru yang terseleksi itu kalau hanya memintarkan orang-orang yang sudah pintar? Inilah yang selama ini keliru dalam pemahaman kita.
Betapa tidak, kita menyerahkan siswa “biasa-biasa” saja ke guru yang juga “biasa-biasa” saja. Sebaliknya kita memberikan siswa “pintar-pintar” ke guru “pintar-pintar”. Ini sangat tidak adil. Bayangkan, guru “terseleksi” malah berbeban ringan karena sudah menerima siswa yang “terseleksi”.
Sementara itu guru di sekolah yang bukan favorit harus berbeban berat: memintarkan siswa-siswa buangan. Padahal tiap guru semestinya berbagi tugas dan peran. Karena itulah, dari awal, saya sangat mendukung sistem zonasi, bahkan mengembangkannya.
Hanya di Atas Kertas
Tingginya kesenjangan negara kita dipengaruhi oleh timpangnya mutu pendidikan. Semakin bermutu pendidikan seseorang, tingkat keberhasilannya juga semakin tinggi. Masalahnya selama ini pendidikan-bermutu dominan dikuasai orang-orang kaya. Ini terlihat dari hasil survei PISA terbaru (2015) di mana perbedaan skor rata-rata antara siswa dari kelompok dengan status sosial ekonomi terendah dan tertinggi mencapai 60 poin.
Perbedaan ini terjadi karena kualitas sekolah orang miskin dan sekolah orang kaya berbeda. Orang kaya biasanya bersekolah di tempat favorit, sementara orang miskin di tempat seadanya. Kita sudah sama-sama tahu bahwa orang miskin “diharamkan” masuk sekolah favorit.
Di atas kertas, sekolah favorit memang sangat inklusif. Tapi ini hanya di atas kertas. Sekolah favorit selalu membuat saringan berlapis sehingga siswa-siswanya menjadi eksklusif. Saringan pertama dimulai dari nilai ujian kelulusan (SD kalau ke SMP, SMP kalau ke SMA).
Saringan selanjutnya dilihat dari nilai seleksi. Banyaknya pendaftar mengakibatkan sekolah favorit selalu mengadakan seleksi. Saringan terakhir dan ini yang memberatkan adalah kesanggupan finansial. Sudah rahasia umum bahwa pihak sekolah selalu membuat bahasa sarkasme: kualitas punya harga.
Di sinilah harapan orang miskin meredup. Jadi T Anthony Walker (2016) benar bahwa kesenjangan capaian akademis berakar dari hal yang lebih mendasar, yaitu kesenjangan harapan.
Belum lagi kalau kita melihat premis-premis lain di mana siswa-siswa dari sekolah favorit sering mempertajam nalar akademisnya ke bimbel. Siswa miskin tak berhak mendapatkan ini. Alih-alih ke bimbel, ke sekolah favorit saja siswa miskin tak mampu.
Di sini siswa miskin sudah kalah banyak hal. Kalah dari guru pengampu di sekolah. Adalah fakta guru-guru di sekolah favorit selalu lebih istimewa dan terampil daripada guru di sekolah biasa. Guru di sekolah favorit banyak menghadiri seminar, tutorial, bahkan pendidikan.
Sementara di sekolah biasa, gurunya (maaf) umumnya biasa-biasa saja. Dari segi fasilitas lebih mengkhawatirkan lagi. Sekolah favorit biasanya sudah lengkap dengan perpustakaan, laboratorium, bahkan wifi bebas akses. Sekolah biasa?
Jangankan punya laboratorium, punya ruang kelas yang tak bocor saja sudah syukur. Konon lagi kalau kita sampai pada fakta siapa saja yang belajar di bimbel, privat, atau kursus, mustahil mereka ini adalah siswa dari sekolah biasa.
Ini terafirmasi dari studi McNeil (2000) dan Nathan (2002). Di sana disebutkan bahwa biaya terbesar yang dikeluarkan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan anak-anak bukan di sekolah, melainkan di pusat-pusat bimbingan belajar. Hasil studi ini menyimpan sebuah kezaliman.
Adalah fakta bahwa lebih sedikit siswa yang belajar di bimbel. Tapi mengapa biaya terbesar bukannya ke sekolah, malah ke bimbel? Ini artinya bahwa siswa di sekolah favorit saja masih merasa kurang kalau hanya mengandalkan pembelajaran dari sekolah favoritnya, apalagi sekolah-sekolah biasa yang tak mengenyam bimbel itu?
Jadi upaya zonasi yang dibuat pemerintah sudah sangat baik. Upaya ini kelak tidak hanya membuat kualitas sekolah akan sama, tetapi juga kesempatan masyarakat miskin akan semakin besar. Kualitas masyarakat pun pasti akan semakin baik.
Pasalnya, jika boleh siswa diibaratkan sebagai pasien, siswa miskin selama ini adalah ibarat pasien yang butuh berobat, tetapi tak punya biaya. Daripada tak berobat, pergilah siswa itu ke rumah sakit biasa dengan dokter biasa-biasa pula. Syukur-syukur sembuh.
Tidak Berebut Pasar
Sebaliknya dengan sistem zonasi ini, siswa setempat berpeluang masuk ke rumah sakit favorit. Di sana mereka akan disembuhkan oleh dokter yang baik. Obat dan dosisnya pun tepat. Yang jauh lebih menguntungkan sebenarnya bukan soal kesembuhan siswa, tetapi adanya berbagi tugas di antara dokter.
Selama ini kita mengenal sekolah favorit bukan semata karena gurunya. Sekolah menjadi favorit adalah karena input siswanya sangat selektif. Ibaratnya siswa yang datang ke sekolah favorit adalah siswa yang sehat. Jikapun sakit, mereka hanya flu.
Sangat wajar jika kemudian input sekolah favorit ini akan melahirkan output yang baik pula. Dengan nalar sederhana saja kita tahu bahwa meski ke sekolah-sekolah biasa, siswa dengan input selektif kemungkinan besar akan menghasilkan output yang baik. Inilah yang salah selama ini.
Kita menyisihkan siswa-siswa biasa lalu menempatkannya ke sekolah-sekolah biasa. Mestinya mereka harus ditempatkan di rumah sakit hebat dan ditangani dokter hebat pula. Bukankah sangat sia-sia tenaga guru kita jika mereka mengajari orang pintar?
Saya yakin, dengan sistem zonasi, kelak, sekolah demi sekolah tak lagi berebut pasar. Sekolah di zona masing-masing akan berlomba-lomba untuk memajukan daerahnya. Sekolah di zona yang sama bahkan akan saling membantu dan bekerja sama untuk memajukan zonanya. Alangkah indahnya jika tiap sekolah di daerah berlomba-lomba untuk maju.
Selama ini hal ini tak terjadi. Pasalnya sekolah-biasa tak berani berlomba karena siswa mereka adalah mereka yang ditolak di sekolah favorit. Ibaratnya ini persaingan tak sebanding. Karena itu demi masa depan yang beragam, maju, dan adil, marilah sama-sama mendukung sistem zonasi ini!
Pendidik, Pengajar di Bimbel Prosus Inten,
Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (Plot) Medan dan Toba Writers Forum (TWF)
SELAMA sepekan dalam acara Hari Batak di Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, saya dengan teman-teman menginap di rumah kos-kosan seorang guru dari SMA teramat favorit di daerah itu, yakni SMA Plus Soposurung. Sekolah ini sudah sangat terkenal, tidak hanya di Sumut, tetapi juga di Indonesia.
Namun tahun ini mereka mulai “gerah”. Itu saya baca dari keluhan guru di sekolah bergengsi tersebut. Kurang lebih guru tersebut mengatakan bahwa sistem zonasi pada penerimaan siswa baru pelan-pelan akan menghancurkan pamor sekolahnya. Karena itu dia tak mendukung sistem zonasi.
Saya tentu saja tak sepakat dengan perkataan guru tersebut. Sadar atau tidak, guru tersebut secara tak langsung malah sudah mengakui bahwa naiknya pamor sekolah itu bukan karena kefasihan guru mengajar dan mendidik, tetapi dari mutu siswa-siswa yang mendaftar.
Dengan kata lain, yang berhasil selama ini adalah siswa, bukan guru. Lantas apa istimewanya guru yang terseleksi itu kalau hanya memintarkan orang-orang yang sudah pintar? Inilah yang selama ini keliru dalam pemahaman kita.
Betapa tidak, kita menyerahkan siswa “biasa-biasa” saja ke guru yang juga “biasa-biasa” saja. Sebaliknya kita memberikan siswa “pintar-pintar” ke guru “pintar-pintar”. Ini sangat tidak adil. Bayangkan, guru “terseleksi” malah berbeban ringan karena sudah menerima siswa yang “terseleksi”.
Sementara itu guru di sekolah yang bukan favorit harus berbeban berat: memintarkan siswa-siswa buangan. Padahal tiap guru semestinya berbagi tugas dan peran. Karena itulah, dari awal, saya sangat mendukung sistem zonasi, bahkan mengembangkannya.
Hanya di Atas Kertas
Tingginya kesenjangan negara kita dipengaruhi oleh timpangnya mutu pendidikan. Semakin bermutu pendidikan seseorang, tingkat keberhasilannya juga semakin tinggi. Masalahnya selama ini pendidikan-bermutu dominan dikuasai orang-orang kaya. Ini terlihat dari hasil survei PISA terbaru (2015) di mana perbedaan skor rata-rata antara siswa dari kelompok dengan status sosial ekonomi terendah dan tertinggi mencapai 60 poin.
Perbedaan ini terjadi karena kualitas sekolah orang miskin dan sekolah orang kaya berbeda. Orang kaya biasanya bersekolah di tempat favorit, sementara orang miskin di tempat seadanya. Kita sudah sama-sama tahu bahwa orang miskin “diharamkan” masuk sekolah favorit.
Di atas kertas, sekolah favorit memang sangat inklusif. Tapi ini hanya di atas kertas. Sekolah favorit selalu membuat saringan berlapis sehingga siswa-siswanya menjadi eksklusif. Saringan pertama dimulai dari nilai ujian kelulusan (SD kalau ke SMP, SMP kalau ke SMA).
Saringan selanjutnya dilihat dari nilai seleksi. Banyaknya pendaftar mengakibatkan sekolah favorit selalu mengadakan seleksi. Saringan terakhir dan ini yang memberatkan adalah kesanggupan finansial. Sudah rahasia umum bahwa pihak sekolah selalu membuat bahasa sarkasme: kualitas punya harga.
Di sinilah harapan orang miskin meredup. Jadi T Anthony Walker (2016) benar bahwa kesenjangan capaian akademis berakar dari hal yang lebih mendasar, yaitu kesenjangan harapan.
Belum lagi kalau kita melihat premis-premis lain di mana siswa-siswa dari sekolah favorit sering mempertajam nalar akademisnya ke bimbel. Siswa miskin tak berhak mendapatkan ini. Alih-alih ke bimbel, ke sekolah favorit saja siswa miskin tak mampu.
Di sini siswa miskin sudah kalah banyak hal. Kalah dari guru pengampu di sekolah. Adalah fakta guru-guru di sekolah favorit selalu lebih istimewa dan terampil daripada guru di sekolah biasa. Guru di sekolah favorit banyak menghadiri seminar, tutorial, bahkan pendidikan.
Sementara di sekolah biasa, gurunya (maaf) umumnya biasa-biasa saja. Dari segi fasilitas lebih mengkhawatirkan lagi. Sekolah favorit biasanya sudah lengkap dengan perpustakaan, laboratorium, bahkan wifi bebas akses. Sekolah biasa?
Jangankan punya laboratorium, punya ruang kelas yang tak bocor saja sudah syukur. Konon lagi kalau kita sampai pada fakta siapa saja yang belajar di bimbel, privat, atau kursus, mustahil mereka ini adalah siswa dari sekolah biasa.
Ini terafirmasi dari studi McNeil (2000) dan Nathan (2002). Di sana disebutkan bahwa biaya terbesar yang dikeluarkan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan anak-anak bukan di sekolah, melainkan di pusat-pusat bimbingan belajar. Hasil studi ini menyimpan sebuah kezaliman.
Adalah fakta bahwa lebih sedikit siswa yang belajar di bimbel. Tapi mengapa biaya terbesar bukannya ke sekolah, malah ke bimbel? Ini artinya bahwa siswa di sekolah favorit saja masih merasa kurang kalau hanya mengandalkan pembelajaran dari sekolah favoritnya, apalagi sekolah-sekolah biasa yang tak mengenyam bimbel itu?
Jadi upaya zonasi yang dibuat pemerintah sudah sangat baik. Upaya ini kelak tidak hanya membuat kualitas sekolah akan sama, tetapi juga kesempatan masyarakat miskin akan semakin besar. Kualitas masyarakat pun pasti akan semakin baik.
Pasalnya, jika boleh siswa diibaratkan sebagai pasien, siswa miskin selama ini adalah ibarat pasien yang butuh berobat, tetapi tak punya biaya. Daripada tak berobat, pergilah siswa itu ke rumah sakit biasa dengan dokter biasa-biasa pula. Syukur-syukur sembuh.
Tidak Berebut Pasar
Sebaliknya dengan sistem zonasi ini, siswa setempat berpeluang masuk ke rumah sakit favorit. Di sana mereka akan disembuhkan oleh dokter yang baik. Obat dan dosisnya pun tepat. Yang jauh lebih menguntungkan sebenarnya bukan soal kesembuhan siswa, tetapi adanya berbagi tugas di antara dokter.
Selama ini kita mengenal sekolah favorit bukan semata karena gurunya. Sekolah menjadi favorit adalah karena input siswanya sangat selektif. Ibaratnya siswa yang datang ke sekolah favorit adalah siswa yang sehat. Jikapun sakit, mereka hanya flu.
Sangat wajar jika kemudian input sekolah favorit ini akan melahirkan output yang baik pula. Dengan nalar sederhana saja kita tahu bahwa meski ke sekolah-sekolah biasa, siswa dengan input selektif kemungkinan besar akan menghasilkan output yang baik. Inilah yang salah selama ini.
Kita menyisihkan siswa-siswa biasa lalu menempatkannya ke sekolah-sekolah biasa. Mestinya mereka harus ditempatkan di rumah sakit hebat dan ditangani dokter hebat pula. Bukankah sangat sia-sia tenaga guru kita jika mereka mengajari orang pintar?
Saya yakin, dengan sistem zonasi, kelak, sekolah demi sekolah tak lagi berebut pasar. Sekolah di zona masing-masing akan berlomba-lomba untuk memajukan daerahnya. Sekolah di zona yang sama bahkan akan saling membantu dan bekerja sama untuk memajukan zonanya. Alangkah indahnya jika tiap sekolah di daerah berlomba-lomba untuk maju.
Selama ini hal ini tak terjadi. Pasalnya sekolah-biasa tak berani berlomba karena siswa mereka adalah mereka yang ditolak di sekolah favorit. Ibaratnya ini persaingan tak sebanding. Karena itu demi masa depan yang beragam, maju, dan adil, marilah sama-sama mendukung sistem zonasi ini!
(thm)