Mendukung Kebijakan Zonasi

Sabtu, 07 Juli 2018 - 08:01 WIB
Mendukung Kebijakan Zonasi
Mendukung Kebijakan Zonasi
A A A
Riduan Situmorang
Pendidik, Pengajar di Bimbel Prosus Inten,
Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (Plot) Medan dan Toba Writers Forum (TWF)

SELAMA sepekan da­lam acara Hari B­a­tak di Balige, Ka­bu­pa­­ten Toba Sa­mo­sir, Sumatera Utara, saya de­ngan teman-teman meng­inap di rumah kos-kosan se­orang gu­ru dari SMA teramat fa­vorit di dae­rah itu, yakni SMA Plus So­po­surung. Sekolah ini su­­dah sa­ngat terkenal, tidak ha­nya di Su­mut, tetapi juga di In­donesia.

Na­mun tahun ini me­reka mulai “ge­r­­ah”. Itu saya ba­ca dari ke­luh­an guru di se­ko­lah bergengsi ter­sebut. Kurang le­bih guru tersebut menga­ta­kan bahwa sis­tem zonasi pada pe­nerimaan sis­wa baru pelan-pe­lan akan meng­hancurkan pa­mor se­ko­lah­nya. Karena itu dia tak men­du­kung sistem zonasi.

Saya tentu saja tak sepakat de­ngan perkataan guru ter­se­but. Sadar atau tidak, guru ter­se­but secara tak langsung ma­lah sudah mengakui bahwa naik­­nya pamor sekolah itu bu­kan karena kefasihan guru meng­­ajar dan mendidik, tetapi dari mutu siswa-siswa yang men­­daftar.

Dengan kata lain, yang berhasil selama ini adalah sis­­wa, bukan guru. Lantas apa is­­timewanya guru yang ter­se­lek­­si itu kalau hanya me­min­tar­kan orang-orang yang su­dah pin­tar? Inilah yang selama ini ke­liru dalam pemahaman kita.

Betapa tidak, kita me­nye­rah­kan siswa “biasa-biasa” saja ke gu­ru yang juga “biasa-biasa” sa­ja. Sebalik­nya kita mem­be­ri­kan siswa “pintar-pin­tar” ke gu­ru “pin­tar-pintar”. Ini sangat ti­dak adil. Ba­yang­kan, guru “ter­­se­­lek­si” malah ber­beban ri­ngan ka­rena sudah me­nerima sis­wa yang “ter­se­lek­si”.

Se­men­ta­ra itu gu­ru di se­ko­lah yang bu­kan fa­vo­rit harus ber­beban be­rat: memintarkan siswa-siswa buang­an. Padahal tiap guru se­mes­ti­nya berbagi tu­gas dan pe­ran. Ka­rena itulah, da­ri awal, ­sa­ya sa­ngat men­du­kung sistem zo­nasi, bahkan mengembangkannya.

Hanya di Atas Kertas
Tingginya kesenjangan ne­ga­ra kita dipengaruhi oleh tim­pang­nya mutu pendidikan. Se­ma­kin bermutu pendidikan se­se­orang, tingkat ke­be­r­ha­sil­an­nya juga semakin tinggi. Ma­sa­lah­nya selama ini pendidikan-ber­mutu dominan dikuasai orang-orang kaya. Ini terlihat da­ri hasil survei PISA terbaru (2015) di mana perbedaan skor rata-rata antara siswa dari ke­lom­­pok dengan status so­sial eko­nomi terendah ­dan ter­tin­g­gi men­ca­pai 60 poin.

Perbedaan ini ter­jadi karena kua­­litas sekolah orang miskin dan se­kolah orang kaya ber­be­da. Orang kaya biasanya ber­se­ko­lah di tempat favorit, se­me­n­ta­ra orang miskin di tempat se­ada­nya. Kita sudah sama-sama ta­hu bahwa orang miskin “di­ha­ramkan” masuk sekolah fa­vo­­rit.

Di atas kertas, sekolah f­a­vo­rit memang sangat inklusif. Ta­­pi ini hanya di atas kertas. Se­ko­lah favorit selalu membuat sa­ringan berlapis sehingga sis­wa-siswanya menjadi eks­klu­sif. Saringan pertama dimulai da­ri nilai ujian kelulusan (SD ka­lau ke SMP, SMP kalau ke SMA).

Saringan selanjutnya di­li­hat dari nilai seleksi. Ba­nyak­nya pendaftar mengakibatkan se­kolah favorit selalu meng­ada­kan seleksi. Saringan ter­akhir dan ini yang mem­be­rat­kan adalah kesanggupan fi­nan­sial. Sudah rahasia umum bah­wa pihak sekolah selalu mem­buat bahasa sarkasme: kualitas pu­nya harga.

Di sinilah ha­rap­an orang miskin meredup. Jadi T Anthony Walker (2016) be­nar bahwa kesenjangan ca­pai­an akademis berakar dari hal yang lebih mendasar, yaitu ke­sen­jangan harapan.

Belum lagi kalau kita me­li­hat premis-premis lain di mana sis­wa-siswa dari sekolah fa­vo­rit sering mempertajam nalar akademisnya ke bimbel. Siswa mis­kin tak berhak me­n­da­pat­kan ini. Alih-alih ke bimbel, ke se­kolah favorit saja siswa mi­s­kin tak mampu.

Di sini siswa mis­kin sudah kalah banyak hal. Ka­lah dari guru pengampu di se­kolah. Adalah fakta guru-gu­ru di sekolah favorit selalu lebih is­timewa dan terampil da­ri­pa­da guru di sekolah biasa. Guru di sekolah favorit banyak meng­­­ha­diri seminar, tutorial, bah­kan pendidikan.

Sementara di sekolah biasa, gu­runya (maaf) umumnya biasa-biasa saja. Dari segi fa­si­li­tas lebih mengkhawatirkan la­gi. Sekolah favorit biasanya su­dah lengkap dengan pe­r­pus­ta­ka­an, laboratorium, bahkan wi­f­i bebas akses. Sekolah biasa?

Jangankan punya lab­orato­rium, punya ruang kelas yang tak bocor saja sudah syukur. Ko­non lagi kalau kita sampai pa­da fakta siapa saja yang be­la­jar di bimbel, privat, atau kur­sus, mustahil mereka ini adalah sis­wa dari sekolah biasa.

Ini terafirmasi dari studi Mc­Neil (2000) dan Nathan (2002). Di sana disebutkan bah­­wa biaya terbesar yang di­ke­luarkan orang tua dan ma­sya­ra­kat dalam pendidikan anak-anak bukan di sekolah, me­lainkan di pusat-pusat bim­bing­an belajar. Hasil studi ini me­nyimpan sebuah ke­za­lim­an.

Adalah fakta bahwa lebih se­dikit siswa yang belajar di bim­bel. Tapi mengapa biaya ter­besar bukannya ke sekolah, ma­lah ke bimbel? Ini artinya bah­wa siswa di sekolah favorit sa­ja masih merasa kurang ka­lau hanya mengandalkan pem­be­lajaran dari sekolah fav­o­rit­nya, apalagi sekolah-sekolah bia­sa yang tak mengenyam bim­bel itu?

Jadi upaya zonasi yang di­buat pemerintah sudah sangat baik. Upaya ini kelak tidak ha­nya membuat kualitas sekolah akan sama, tetapi juga ke­sem­pat­an masyarakat miskin akan se­makin besar. Kualitas ma­sya­ra­kat pun pasti akan semakin baik.

Pasalnya, jika boleh siswa di­ibaratkan sebagai pasien, sis­wa miskin selama ini adalah iba­rat pasien yang butuh ber­obat, tetapi tak punya biaya. Da­ri­pada tak berobat, pergilah sis­wa itu ke rumah sakit biasa de­ngan dokter biasa-biasa pu­la. Syukur-syukur sembuh.

Tidak Berebut Pasar
Sebaliknya dengan sistem zo­nasi ini, siswa setempat ber­pe­luang masuk ke rumah sakit fa­vorit. Di sana mereka akan disembuhkan oleh dokter yang baik. Obat dan dosisnya pun te­pat. Yang jauh lebih meng­un­tung­kan sebenarnya bukan soal kesembuhan siswa, tetapi ada­nya berbagi tugas di antara dok­ter.

Selama ini kita men­ge­n­al sekolah favorit bukan se­ma­ta karena gurunya. Sekolah men­jadi favorit adalah karena in­put siswanya sangat selektif. Iba­ratnya siswa yang datang ke sekolah favorit adalah siswa yang sehat. Jikapun sakit, me­re­ka hanya flu.

Sangat wajar jika kemu­di­an in­put sekolah favorit ini akan me­lahirkan output yang baik pu­la. Dengan nalar se­der­ha­na sa­j­a kita tahu bahwa mes­ki ke sekolah-sekolah bia­sa, siswa de­ngan input s­e­lek­tif ke­mung­kin­an besar akan meng­­ha­sil­kan output yang baik. Inilah yang salah selama ini.

Kita me­nyi­sih­kan siswa-siswa biasa la­lu menempatkannya ke se­ko­lah-sekolah bia­sa. Mestinya me­reka ha­rus ditempatkan di ru­mah sa­kit hebat dan di­ta­ngani dok­ter hebat pula. Bu­kan­kah sa­ngat sia-sia tenaga guru kita jika mereka meng­ajari orang pintar?

Saya yakin, dengan sistem zo­nasi, kelak, sekolah demi se­k­­olah tak lagi berebut pasar. S­e­ko­lah di zona masing-masing akan berlomba-lomba untuk me­majukan daerahnya. Se­ko­lah di zona yang sama bahkan akan saling membantu dan be­ker­ja sama untuk memajukan zo­nanya. Alangkah indahnya ji­ka tiap sekolah di daerah ber­lomba-lomba untuk maju.

Se­la­ma ini hal ini tak terjadi. Pa­salnya sekolah-biasa tak berani ber­lomba karena siswa mereka ada­lah mereka yang ditolak di se­kolah favorit. Ibaratnya ini per­saingan tak sebanding. Ka­re­na itu demi masa depan yang be­ragam, maju, dan adil, ma­ri­lah sama-sama mendukung sis­tem zonasi ini!
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3941 seconds (0.1#10.140)