Jepitan Moneter dan Fiskal
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
Berita mengejutkan muncul dari Bank Indonesia (BI) yang di luar dugaan meningkatkan tingkat suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate hingga 50 basis points (bps) menuju menjadi 5,25%.
Kenaikan ini keluar dari “norma-norma” sebelumnya yang biasanya hanya naik-turun sekitar 25 bps. Kebijakan yang dilakukan BI sedikit mengindikasikan apakah ini semua karena pelemahan kurs rupiah yang kian mengkhawatirkan? Selama Juni kemarin rupiah relatif stabil untuk terus mengalami depresiasi. Penguatan-penguatan kecil yang terjadi sudah tertindih dengan lebih besarnya level depresiasi.
Pada penutupan Jumat (29/6) lalu, kurs rupiah menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) sudah menyentuh angka Rp14.404 per USD. Mata uang kita kian mendekati batas psikologis kurs rupiah yang umumnya diasumsikan pada kisaran Rp15.000 per USD.
Jurus BI untuk menaikkan suku bunga acuan sampai 3 kali diharapkan mampu menekan gejolak nilai tukar yang mayoritas disebabkan kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS). Kendati Gubernur BI mengaku bahwa kenaikan suku bunga acuan ini untuk mengundang agar pemodal asing berbondong-bondong datang ke Indonesia, hasilnya kok masih seperti ini-ini saja? Awalnya memang sempat terlihat ampuh khususnya pada medio Maret-April yang lalu dimana kurs rupiah tampak cukup stabil.
Akan tetapi kesuksesan itu tidak bertahan lama karena gejolak perekonomian global terus digiring untuk turut menanggung akibat adanya perang dagang antara AS dan China. Belum lagi ditambah dengan perang psikologis para pemodal dunia akibat The Fed (selaku Bank Sentral AS) menaikkan Fed Fund Rate (FFR) secara atrak tif.
Dengan kenaikan FFR yang baru dua kali saja kita sudah tampak ngos-ngosan. Apalagi jika rumor seputar FFR yang kabarnya akan meningkat 2 kali lagi selama 2018 (sehingga total menjadi 4 kali) nantinya betul-betul akan terjadi? Fenomena yang ada memang menjangkiti hampir semua negra di dunia.
Adapun di antara negara ASEAN saat ini, tampaknya penurunan/depresiasi rupiah menjadi yang paling parah bila dibandingkan negara-negara tetangga kita. Berdasarkan data kurs rupiah dari situs exchange-rates.org, dapat kita lihat bahwa rupiah dalam sepekan terakhir terus tertekan dengan mengalami depresiasi sebesar 1,49%.
Level depresiasi ini tercatat sebagai yang paling mendalam bila dibandingkan angka yang menimpa ringgit, bath, dolar Singapura, dan peso Filipina. Ringgit Malaysia hanya terdepresiasi sebesar 0,75%. Bath Thailand juga mampu menahan depresiasi hingga hanya 0,35%.
Dolar Singapura sedikit di bawahnya dengan depresiasi 0,22%. Sementara itu peso Filipina menjadi mata uang yang cukup tangguh karena hanya mengalami de pre siasi 0,14%. Situasi yang ada sudah terbilang cukup berat dan akan terus menekan stabilitas perekonomian kita. Tentu hal ini tidak bisa hanya dibebankan kepada BI sendirian untuk segera mengatasi segala tantangan. Karena juga ada sektor-sektor lain yang sudah seharusnya turut menjadi penawar nilai tukar rupiah yang sedang terus melemah. Pemerintah sendiri posisinya juga terjepit karena bisa jadi target pendapatan negara bisa terganggu dengan adanya depresiasi rupiah.
Penulis berdiri di tengah-tengah barisan yang sependapat bahwa penguatan rupiah adalah pekerjaan multisektoral sehingga perlu upaya sinergis antarpemangku kebijakan yang bersifat simultan dan komprehensif, khususnya dari sisi moneter dan fiskal.
Pasca-kenaikan suku bunga acuan oleh BI, sektor perbankan dan pasar modal mungkin menjadi pihak yang paling sensitif dengan di namika tingkat suku bunga acuan. Pasalnya kebijakan perbankan khususnya yang terkait dengan suku bunga deposito dan kredit akan berpegang erat pada nomenklatur kebijakan BI.
Sama halnya dengan prediksi di pasar modal, para investor mung kin akan memilih untuk wait and see. Karena pada dasarnya modal yang ditanamkan tidak seketika segera berbuah. Ada proses “produksi” sehingga nantinya baru dapat dilihat hasilnya. Nah manakala proses produksinya tidak berjalan dengan baik, jangan terlalu berharap para investor akan dengan mudah terpancing dengan kenaikan suku bunga acuan. Kita harus tetap mempertimbangkan expected returns yang dapat diterima setiap kucuran modal sehingga perekonomian kita berjalan interaktif dan tidak saling mengorbankan kepentingan pihak satu dengan pihak yang lain.
Langkah selanjutnya, BI harus mengawasi bagaimana dampak kenaikan suku bunga acuan terhadap eksistensi kredit perbankan. Alasannya karena kredit perbankan merupakan pasar yang menjembatani supply dan demand pasar modal (kredit). Kalau suplainya terus meningkat sedangkan demandnya sedang stagnan atau malah kontraktif, investor pasar modal akan harap-harap cemas dengan ambisi return-nya. Kita perlu mewaspadai gejala dari kalangan perbankan yang bisa jadi akan menyesuaikan suku bunga kreditnya.
Seandainya kondisi ini sulit dihindari, tekanan akan merambah pelaku usaha yang selama ini bergantung pada kredit perbankan. Ekspansi usaha yang diidamidamkan akan trade-off karena beban bunga kredit yang ditanggungnya turut meningkat. Pukulan akan bertambah lagi jika ketidakpastian pasar berjalan dalam waktu yang relatif lebih panjang. Nanti korban berikutnya akan terus mengular, khususnya terkait dengan ekspektasi emiten dan pertumbuhan ekonomi yang mungkin menjadi sulit mencapai target. Prediksi ini bukan berarti penulis hendak menakuti-nakuti.
Tujuannya justru hendak mengingatkan untuk harus tetap waspada dengan masa de pan perekonomian agar tidak semakin runyam. Lantas untuk menjaga agar pasar tetap menggeliat, perlu ada bauran kebijakan antara BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku otoritas moneter beserta pemerin tah selaku otoritas fiskal untuk mendorong agresivitas pasar di sektor riil. Bersamaan dengan pengumuman kenaikan suku bunga acuan kemarin, BI juga mengumumkan adanya kelong garan ke bi jak an loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) untuk kredit properti.
BI merelaksasi LTV kredit pe ru mahan(KPR) dengan membebaskan uang muka (down payment/DP) yang sebelumnya disyaratkan sebesar 10%. Untuk kepemilikan rumah kedua dan seterusnya juga dilonggarkan dengan syarat DP hanya 15%. Adapun DP rumah ketiga dan seterusnya menjadi 20%.
Dengan kelonggaran ini diha rap kan pertumbuhan pasar properti tetap menggeliat di tengah isu ketidakpastian ekonomi global yang terus mencuat. Sebagai komponen kebutuhan primer, karakter pasar properti biasanya cenderung inelastis. Mau dipasang harga berapa pun tetap akan ada permintaan.
Pilihannya tinggal apakah pasar properti ingin di genjot secara agresif dan inklusif (kelas menengah ke bawah tetap dapat ikut menikmati) ataukah dibiarkan tumbuh dengan cara merayap sekalipun. Akan tetapi risiko masih sangat mungkin terjadi jika perbankan kurang tanggap mengantisipasi. Risiko kredit macet (non-performing loan/ NPL) masih akan terus menghantui. Cara mengatasinya adalah dengan menjaga agar willingness dan ability to pay para debitor tetap berjalan.
Kuncinya terletak pada bagaimana mekanisme pembayaran/penagihan dapat berjalan efektif dan tingkat pendapatan (debitor) bisa terus mengimbangi.
Nah, urusan pendapatan masyarakat sendiri merupakan domain utama dari pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang mendorong perbaikan pendapatan murni sangat dibutuhkan dengan hulu produksinya adalah ketersediaan lapangan pekerjaan dan daya saing investasi. Misalnya terkait dengan kebijakan pemerintah yang memberikan relaksasi PPh final untuk UMKM sebesar 0,5% kemarin.
Kendati perubahannya terlihat relatif kecil (dari 1% men jadi 0,5%), kebijakan ini bisa berdampak positif terhadap sisi psikologis pelaku UMKM yang jumlahnya sangat mayoritas di Indonesia. Minimal menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap eksistensi UMKM.
Tentu kebijakan ini perlu diikuti dengan relaksasi atau insentif tambahan lainnya terhadap industri menengah maupun besar. Target utamanya adalah agar daya saing mereka bisa meningkat dan mendorong kinerja ekspor. Sebenarnya kalau boleh jujur, jika ingin kurs rupiah bisa stabil dan terus menguat, kuncinya terletak pada kemampuan pengembangan kebijakan struktural.
Fokusnya adalah bagaimana caranya agar devisa kita terus meningkat. Pada kondisi eksisting justru devisa kita terus “diobral” demi mengintervensi kurs rupiah. Oleh karena itu ada baiknya jika pemerintah memperhatikan dengan saksama bagaimana kinerja industri, peluang ekspor, dan pengembangan substitusi impor.
Ketiganya merupakan target utama untuk memperbaiki neraca perdagangan dan neraca pembayaran kita. Adapun relaksasi pajak yang tadi dijelaskan bersifat lebih pada tujuan kuratif dan kepentingan jangka pendek. Adapun neraca perdagangan kita pada Mei 2018 kemarin berdasarkan laporan BPS sedang terpuruk dengan defisit USD1,52 miliar.
Sementara secara tahun berjalan, neraca perdagangan Januari-Mei 2018 tercatat sudah defisit sebesar USD2,83 miliar. Penyebabnya disinyalir karena daya impor kita khususnya untuk bahan baku dan barang penolong produksi masih tergolong tinggi.
Faktor ini pula yang membuat asumsi bahwa pelemahan rupiah akan mendongkrak kinerja daya saing ekspor menjadi berantakan. Karena sisi hulunya sendiri masih “dihantui” impor dari negara lain. Langkah ke depannya dibutuhkan strategi yang dapat mengurangi beban impor dan secara simultan juga mendongkrak daya saing ekspor. Walaupun terlihat agak berat mengingat industri kita membutuhkan bahan baku yang jumlah dan kualitas yang tinggi, tidak ada pilihan lain jika tidak ingin industri kita terus terintervensi oleh perekonomian luar negeri.
Oleh karena itu di butuhkan kebijakan fiskal untuk substitusi bahan baku impor meskipun sering kali akan diikuti munculnya risiko perlawanan dari negara importir eksisting. Selain itu juga sering kali rawan diselewengkan karena adanya politik rente. Tapi kita sangat membutuhkan usaha-usaha menuju kemandirian ekonomi dan berdikari. Di luar itu, gerakan mencintai produk dalam negeri juga sangat dibutuhkan untuk memotivasi produsen lokal, terutama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian.
Produsen-produsen yang dapat diprioritaskan meliputi produsen pangan, makanan dan minuman olahan, serta produk-produk fashion agar menjadi penyuplai konsumsi dalam negeri secara masif. Pemerintah perlu tampil meyakinkan ke seluruh stakeholder ekonomi bahwa semua dinamika yang terjadi saat ini dapat tertangani dengan baik.
Hal ini terkait dengan efek psikologis dari para pelaku ekonomi. Pertemuan yang produktif dengan para pengambil keputusan di sektor swasta dan politik serta bersama-sama dengan otoritas moneter untuk menciptakan bauran kebijakan yang efektif perlu dilakukan untuk membuat langkah bersama yang kondusif. Kendati mungkin akan sulit dilakukan, apalagi di tengah tahun politik, langkah tersebut tetap harus diupayakan demi kepentingan bersama.
Masyarakat sebagai konsumen dan produsen perlu diberi ketenangan bahwa kita bisa menghadapi seluruh tantangan ini dengan terus bergandengan tangan. Karena kebersamaan dan sinergi kebijakan yang tepat akan mencegah perekonomian kita ke arah yang lebih mengenaskan. Kita harus yakin bahwa kita pasti bisa!
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
Berita mengejutkan muncul dari Bank Indonesia (BI) yang di luar dugaan meningkatkan tingkat suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate hingga 50 basis points (bps) menuju menjadi 5,25%.
Kenaikan ini keluar dari “norma-norma” sebelumnya yang biasanya hanya naik-turun sekitar 25 bps. Kebijakan yang dilakukan BI sedikit mengindikasikan apakah ini semua karena pelemahan kurs rupiah yang kian mengkhawatirkan? Selama Juni kemarin rupiah relatif stabil untuk terus mengalami depresiasi. Penguatan-penguatan kecil yang terjadi sudah tertindih dengan lebih besarnya level depresiasi.
Pada penutupan Jumat (29/6) lalu, kurs rupiah menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) sudah menyentuh angka Rp14.404 per USD. Mata uang kita kian mendekati batas psikologis kurs rupiah yang umumnya diasumsikan pada kisaran Rp15.000 per USD.
Jurus BI untuk menaikkan suku bunga acuan sampai 3 kali diharapkan mampu menekan gejolak nilai tukar yang mayoritas disebabkan kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS). Kendati Gubernur BI mengaku bahwa kenaikan suku bunga acuan ini untuk mengundang agar pemodal asing berbondong-bondong datang ke Indonesia, hasilnya kok masih seperti ini-ini saja? Awalnya memang sempat terlihat ampuh khususnya pada medio Maret-April yang lalu dimana kurs rupiah tampak cukup stabil.
Akan tetapi kesuksesan itu tidak bertahan lama karena gejolak perekonomian global terus digiring untuk turut menanggung akibat adanya perang dagang antara AS dan China. Belum lagi ditambah dengan perang psikologis para pemodal dunia akibat The Fed (selaku Bank Sentral AS) menaikkan Fed Fund Rate (FFR) secara atrak tif.
Dengan kenaikan FFR yang baru dua kali saja kita sudah tampak ngos-ngosan. Apalagi jika rumor seputar FFR yang kabarnya akan meningkat 2 kali lagi selama 2018 (sehingga total menjadi 4 kali) nantinya betul-betul akan terjadi? Fenomena yang ada memang menjangkiti hampir semua negra di dunia.
Adapun di antara negara ASEAN saat ini, tampaknya penurunan/depresiasi rupiah menjadi yang paling parah bila dibandingkan negara-negara tetangga kita. Berdasarkan data kurs rupiah dari situs exchange-rates.org, dapat kita lihat bahwa rupiah dalam sepekan terakhir terus tertekan dengan mengalami depresiasi sebesar 1,49%.
Level depresiasi ini tercatat sebagai yang paling mendalam bila dibandingkan angka yang menimpa ringgit, bath, dolar Singapura, dan peso Filipina. Ringgit Malaysia hanya terdepresiasi sebesar 0,75%. Bath Thailand juga mampu menahan depresiasi hingga hanya 0,35%.
Dolar Singapura sedikit di bawahnya dengan depresiasi 0,22%. Sementara itu peso Filipina menjadi mata uang yang cukup tangguh karena hanya mengalami de pre siasi 0,14%. Situasi yang ada sudah terbilang cukup berat dan akan terus menekan stabilitas perekonomian kita. Tentu hal ini tidak bisa hanya dibebankan kepada BI sendirian untuk segera mengatasi segala tantangan. Karena juga ada sektor-sektor lain yang sudah seharusnya turut menjadi penawar nilai tukar rupiah yang sedang terus melemah. Pemerintah sendiri posisinya juga terjepit karena bisa jadi target pendapatan negara bisa terganggu dengan adanya depresiasi rupiah.
Penulis berdiri di tengah-tengah barisan yang sependapat bahwa penguatan rupiah adalah pekerjaan multisektoral sehingga perlu upaya sinergis antarpemangku kebijakan yang bersifat simultan dan komprehensif, khususnya dari sisi moneter dan fiskal.
Pasca-kenaikan suku bunga acuan oleh BI, sektor perbankan dan pasar modal mungkin menjadi pihak yang paling sensitif dengan di namika tingkat suku bunga acuan. Pasalnya kebijakan perbankan khususnya yang terkait dengan suku bunga deposito dan kredit akan berpegang erat pada nomenklatur kebijakan BI.
Sama halnya dengan prediksi di pasar modal, para investor mung kin akan memilih untuk wait and see. Karena pada dasarnya modal yang ditanamkan tidak seketika segera berbuah. Ada proses “produksi” sehingga nantinya baru dapat dilihat hasilnya. Nah manakala proses produksinya tidak berjalan dengan baik, jangan terlalu berharap para investor akan dengan mudah terpancing dengan kenaikan suku bunga acuan. Kita harus tetap mempertimbangkan expected returns yang dapat diterima setiap kucuran modal sehingga perekonomian kita berjalan interaktif dan tidak saling mengorbankan kepentingan pihak satu dengan pihak yang lain.
Langkah selanjutnya, BI harus mengawasi bagaimana dampak kenaikan suku bunga acuan terhadap eksistensi kredit perbankan. Alasannya karena kredit perbankan merupakan pasar yang menjembatani supply dan demand pasar modal (kredit). Kalau suplainya terus meningkat sedangkan demandnya sedang stagnan atau malah kontraktif, investor pasar modal akan harap-harap cemas dengan ambisi return-nya. Kita perlu mewaspadai gejala dari kalangan perbankan yang bisa jadi akan menyesuaikan suku bunga kreditnya.
Seandainya kondisi ini sulit dihindari, tekanan akan merambah pelaku usaha yang selama ini bergantung pada kredit perbankan. Ekspansi usaha yang diidamidamkan akan trade-off karena beban bunga kredit yang ditanggungnya turut meningkat. Pukulan akan bertambah lagi jika ketidakpastian pasar berjalan dalam waktu yang relatif lebih panjang. Nanti korban berikutnya akan terus mengular, khususnya terkait dengan ekspektasi emiten dan pertumbuhan ekonomi yang mungkin menjadi sulit mencapai target. Prediksi ini bukan berarti penulis hendak menakuti-nakuti.
Tujuannya justru hendak mengingatkan untuk harus tetap waspada dengan masa de pan perekonomian agar tidak semakin runyam. Lantas untuk menjaga agar pasar tetap menggeliat, perlu ada bauran kebijakan antara BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku otoritas moneter beserta pemerin tah selaku otoritas fiskal untuk mendorong agresivitas pasar di sektor riil. Bersamaan dengan pengumuman kenaikan suku bunga acuan kemarin, BI juga mengumumkan adanya kelong garan ke bi jak an loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) untuk kredit properti.
BI merelaksasi LTV kredit pe ru mahan(KPR) dengan membebaskan uang muka (down payment/DP) yang sebelumnya disyaratkan sebesar 10%. Untuk kepemilikan rumah kedua dan seterusnya juga dilonggarkan dengan syarat DP hanya 15%. Adapun DP rumah ketiga dan seterusnya menjadi 20%.
Dengan kelonggaran ini diha rap kan pertumbuhan pasar properti tetap menggeliat di tengah isu ketidakpastian ekonomi global yang terus mencuat. Sebagai komponen kebutuhan primer, karakter pasar properti biasanya cenderung inelastis. Mau dipasang harga berapa pun tetap akan ada permintaan.
Pilihannya tinggal apakah pasar properti ingin di genjot secara agresif dan inklusif (kelas menengah ke bawah tetap dapat ikut menikmati) ataukah dibiarkan tumbuh dengan cara merayap sekalipun. Akan tetapi risiko masih sangat mungkin terjadi jika perbankan kurang tanggap mengantisipasi. Risiko kredit macet (non-performing loan/ NPL) masih akan terus menghantui. Cara mengatasinya adalah dengan menjaga agar willingness dan ability to pay para debitor tetap berjalan.
Kuncinya terletak pada bagaimana mekanisme pembayaran/penagihan dapat berjalan efektif dan tingkat pendapatan (debitor) bisa terus mengimbangi.
Nah, urusan pendapatan masyarakat sendiri merupakan domain utama dari pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang mendorong perbaikan pendapatan murni sangat dibutuhkan dengan hulu produksinya adalah ketersediaan lapangan pekerjaan dan daya saing investasi. Misalnya terkait dengan kebijakan pemerintah yang memberikan relaksasi PPh final untuk UMKM sebesar 0,5% kemarin.
Kendati perubahannya terlihat relatif kecil (dari 1% men jadi 0,5%), kebijakan ini bisa berdampak positif terhadap sisi psikologis pelaku UMKM yang jumlahnya sangat mayoritas di Indonesia. Minimal menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap eksistensi UMKM.
Tentu kebijakan ini perlu diikuti dengan relaksasi atau insentif tambahan lainnya terhadap industri menengah maupun besar. Target utamanya adalah agar daya saing mereka bisa meningkat dan mendorong kinerja ekspor. Sebenarnya kalau boleh jujur, jika ingin kurs rupiah bisa stabil dan terus menguat, kuncinya terletak pada kemampuan pengembangan kebijakan struktural.
Fokusnya adalah bagaimana caranya agar devisa kita terus meningkat. Pada kondisi eksisting justru devisa kita terus “diobral” demi mengintervensi kurs rupiah. Oleh karena itu ada baiknya jika pemerintah memperhatikan dengan saksama bagaimana kinerja industri, peluang ekspor, dan pengembangan substitusi impor.
Ketiganya merupakan target utama untuk memperbaiki neraca perdagangan dan neraca pembayaran kita. Adapun relaksasi pajak yang tadi dijelaskan bersifat lebih pada tujuan kuratif dan kepentingan jangka pendek. Adapun neraca perdagangan kita pada Mei 2018 kemarin berdasarkan laporan BPS sedang terpuruk dengan defisit USD1,52 miliar.
Sementara secara tahun berjalan, neraca perdagangan Januari-Mei 2018 tercatat sudah defisit sebesar USD2,83 miliar. Penyebabnya disinyalir karena daya impor kita khususnya untuk bahan baku dan barang penolong produksi masih tergolong tinggi.
Faktor ini pula yang membuat asumsi bahwa pelemahan rupiah akan mendongkrak kinerja daya saing ekspor menjadi berantakan. Karena sisi hulunya sendiri masih “dihantui” impor dari negara lain. Langkah ke depannya dibutuhkan strategi yang dapat mengurangi beban impor dan secara simultan juga mendongkrak daya saing ekspor. Walaupun terlihat agak berat mengingat industri kita membutuhkan bahan baku yang jumlah dan kualitas yang tinggi, tidak ada pilihan lain jika tidak ingin industri kita terus terintervensi oleh perekonomian luar negeri.
Oleh karena itu di butuhkan kebijakan fiskal untuk substitusi bahan baku impor meskipun sering kali akan diikuti munculnya risiko perlawanan dari negara importir eksisting. Selain itu juga sering kali rawan diselewengkan karena adanya politik rente. Tapi kita sangat membutuhkan usaha-usaha menuju kemandirian ekonomi dan berdikari. Di luar itu, gerakan mencintai produk dalam negeri juga sangat dibutuhkan untuk memotivasi produsen lokal, terutama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian.
Produsen-produsen yang dapat diprioritaskan meliputi produsen pangan, makanan dan minuman olahan, serta produk-produk fashion agar menjadi penyuplai konsumsi dalam negeri secara masif. Pemerintah perlu tampil meyakinkan ke seluruh stakeholder ekonomi bahwa semua dinamika yang terjadi saat ini dapat tertangani dengan baik.
Hal ini terkait dengan efek psikologis dari para pelaku ekonomi. Pertemuan yang produktif dengan para pengambil keputusan di sektor swasta dan politik serta bersama-sama dengan otoritas moneter untuk menciptakan bauran kebijakan yang efektif perlu dilakukan untuk membuat langkah bersama yang kondusif. Kendati mungkin akan sulit dilakukan, apalagi di tengah tahun politik, langkah tersebut tetap harus diupayakan demi kepentingan bersama.
Masyarakat sebagai konsumen dan produsen perlu diberi ketenangan bahwa kita bisa menghadapi seluruh tantangan ini dengan terus bergandengan tangan. Karena kebersamaan dan sinergi kebijakan yang tepat akan mencegah perekonomian kita ke arah yang lebih mengenaskan. Kita harus yakin bahwa kita pasti bisa!
(nfl)