Pilkada Serentak dan Industri 4.0 di Bidang Pangan

Senin, 02 Juli 2018 - 09:29 WIB
Pilkada Serentak dan Industri 4.0 di Bidang Pangan
Pilkada Serentak dan Industri 4.0 di Bidang Pangan
A A A
Posman Sibuea

Guru Besar Tetap pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara; Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

APA tantangan yang di­ha­dapi para pe­me­nang Pilkada Se­rentak 2018 ke­tika In­do­nesia tengah me­ma­­suki era re­volusi industri 4.0? Setelah usia kemerdekaan re­publik ini 73 tahun, Indo­nesia meng­ha­dapi penjajahan baru di bidang ekonomi dan budaya. Hampir di semua bi­dang kita terpuruk!

Jika para kepala daerah pe­menang Pilkada Serentak 2018 tidak siap, penjajahan baru itu semakin kuat mencengkeram di tengah era digital yang di­format dalam bingkai revolusi industri 4.0 (RI 4.0). Industri yang mengusung kecerdasan buatan, data raksasa, teknologi finansial dan ekonomi berbagi serta robotisasi telah men­dis­rup­si berbagai inovasi sebe­lumnya.

Para kepala daerah baru pa­tut menyadari masyarakat kini mengalami efek disrupsi de­ngan berbagai fenomena yang mengindikasikan me­nu­run­nya semangat nasi­o­nalisme. Kita tidak lagi bangga dengan produk dalam negeri sehingga Indonesia harus mengalami krisis pangan “lokal” yang ber­kepanjangan. Di era RI 4.0, energi “politik pangan” pe­me­rintah seharusnya tidak lagi ter­kuras mengurusi pangan di sek­tor hulu. Jika dirunut ke be­lakang, era RI 1.0 yang di­cir­i­kan dengan tumbuhnya me­ka­nisasi dan energi berbasis uap dan air; RI 2.0 yang dicirikan dengan berkembangnya ener­gi listrik dan produksi massal; RI 3.0 yang dicirikan dengan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi infor­ma­si, serta otomatisasi sudah sepatutnya meletakkan pilar-pilar produksi pangan secara kukuh. Kenyataannya, pilar itu kian rapuh yang mendorong harga pangan kian mahal dan kran impor pangan selalu di­buka lebar.

Mitos Ketahanan Pangan

Pemahaman bias yang me­nyamakan pengertian swa­sem­ba­da beras dengan keta­han­an pangan (bahkan ke­dau­lat­an pangan) kerap diamini para pejabat di daerah. Mitos ini terus direproduksi dari masa ke masa untuk mengukur keberhasilan pembangunan pertanian. Ketersediaan beras di gudang Bulog—lumbung pa­ngan modern—acap dija­dikan se­ba­gai basis ketahanan pa­ngan di daerah dan nasional.

Beras menjadi mitos ke­ta­han­an pangan dan ditem­pat­kan sebagai makanan pokok. No rice no glory menjadi lan­das­an “politik beras murah” yang digelar pemerintah. Impli­ka­si­nya, peningkatan konsumsi beras terjadi secara dahsyat, dari 110 kg/kapita/tahun pada 1967 menjadi 135 kg/ka­pi­ta/tahun pada 2017. Tren pe­ning­katan konsumsi beras yang amat signifikan ini patut diduga ada yang salah dalam pengertian makan di tengah masyarakat. Mengkristalnya beras sebagai makanan pokok menjadi bukti bahwa hingga di era RI 4.0 ini masyarakat masih menganut paradigma lama, yakni makan identik dengan menyantap nasi.

Padahal, banyak sumber lain seperti sing­kong, ubi jalar, sagu, dan sorgum yang bisa di­kon­sumsi meski kadang memiliki nilai sosial ren­dah. Sebab, jika dikonsumsi di­ang­gap orang miskin.

Pemahaman seper­ti ini menjadi ganjalan per­wuj­udan diversifikasi konsumsi pa­ngan nonberas berbasis sum­­ber daya lokal. Ini tentu menjadi tan­tangan baru mengingat po­tensi pangan lokal yang amat besar itu belum dibangkitkan sebagai pilar kedaulatan pa­ngan guna memerangi kel­a­par­an dan gizi buruk.

Tema Sentral

Peta jalan revolusi industri 4.0 yang telah diluncurkan Ke­menterian Perindustrian da­lam kemasan Making Indo­nesia 4.0 harus bisa diterjemahkan sebaik mungkin oleh kepala daerah baru. Revolusi industri keempat ini menjadi lompatan besar di bidang pangan yang mau tidak mau harus me­ng­adopsi perkembangan Internet of/for Things yang diikuti tek­nologi baru dan big data.

Pertanyaannya, apakah industri pangan di sejumlah daerah mampu beradaptasi? Menghadapi serbuan pangan impor yang diproduksi di ne­gara-negara maju yang sudah mengadopsi RI 4.0 secara baik, pelaku industri pangan lokal pasti terseok-seok. Maka da­lam memudahkan imple­men­tasi RI 4.0 diperlukan koor­dinasi yang kuat antara pe­me­rintah dan pelaku industri un­tuk mewujudkan per­tum­buh­an dan peningkatan daya saing berbagai pangan lokal guna mengurangi ketergantungan terhadap pangan impor.

Perkembangan menarik mi­salnya terdapat pada pola konsumsi pangan pokok sum­berkarbohidrat. Tren penu­run­an kontribusi energi dari ja­gung, sagu, dan umbi-umbian terjadi seiring dengan pe­ning­katan pendapatan ma­sya­ra­kat. Semakin tinggi pen­da­pat­an semakin sedikit me­ngon­sum­si pangan lokal nonberas. Bahkan fenomena menarik ter­jadi pada konsumsi pangan pokok pada kelompok masya­ra­kat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan yang kian berpusat pada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, khususnya mi instan dan roti.

Seiring dengan itu ke­bang­kit­an pangan lokal patut di­ja­dikan tema sentral di era re­vo­lusi industri 4.0 di bidang tek­noagroindustri pangan ber­basis sumber daya lokal. Ini un­tuk mencegah keter­gan­tungan pada satu jenis pangan. Meski In­donesia dikenal memiliki be­ra­gam makanan pokok, dalam arti beras dan terigu memang bukan makanan utama untuk sebagian masyarakat, per­ce­patan diversifikasi konsumsi pa­ngan masih lambat.

Contohnya, di Papua, yang dulu memiliki makanan pokok sagu, saat ini diperkirakan se­kitar 80% pen­duduknya sudah makan beras, 15% makan ubi, dan ting­gal 5% makan sagu. Padahal Papua di­kenal sebagai kantong ta­nam­an sagu dunia karena bisa me­ma­sok ma­kan­an berbasis sagu (papeda) bagi seluruh pen­du­duknya selama 450 tahun.

Kian hilangnya pangan lo­kal dari daftar menu harian war­ga tidak terlepas dari mis­kinnya pengembangan iptek dan kurangnya sumber daya ma­nusia (SDM) bermutu di bi­dang teknoagroindustri pa­ngan nonberas berbasis sum­ber daya lokal untuk per­ce­pat­an penganekaragaman pa­ng­an. Meski kebijakan per­ce­pat­an penganekaragaman kon­sum­si pangan berbasis sumber daya lokal sudah dibuat sejak 9 tahun lalu, yakni Peraturan Presiden No 22/2009, beleid ini belum dijadikan acuan da­lam melakukan pe­ren­canaan dan pengembangan pe­nga­nekaragaman konsumsi guna memanfaatkan potensi pa­ngan lokal.

Ke depan pemerintah dae­rah baik di provinsi maupun di kabupaten/kota patut mem­be­nahi sistem pendidikan vokasi atau pendidikan berbasis ke­ah­lian untuk mempersiapkan SDM yang sesuai dengan tun­tutan revolusi industri 4.0 di bidang pangan. Ini pen­ting untuk mencetak pe­kerja yang memiliki keahlian sesuai ke­bu­tuhan in­dustri pangan ber­ba­sis sumber daya lokal.

Dengan meng-upgrade pen­didikan vokasi di bidang tek­nologi pangan, baik dari sisi kurikulum, infrastruktur, alat penunjang lain maupun sistem pemagangan, kekurangan SDM bermutu tidak terjadi lagi. Di sisi lain sertifikasi perlu dibe­nahi agar bisa menjadi pe­nanda kemampuan pekerja dan di­akui oleh industri pa­ngan. Semoga!
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1605 seconds (0.1#10.140)