Pilkada Serentak dan Industri 4.0 di Bidang Pangan
A
A
A
Posman Sibuea
Guru Besar Tetap pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara; Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
APA tantangan yang dihadapi para pemenang Pilkada Serentak 2018 ketika Indonesia tengah memasuki era revolusi industri 4.0? Setelah usia kemerdekaan republik ini 73 tahun, Indonesia menghadapi penjajahan baru di bidang ekonomi dan budaya. Hampir di semua bidang kita terpuruk!
Jika para kepala daerah pemenang Pilkada Serentak 2018 tidak siap, penjajahan baru itu semakin kuat mencengkeram di tengah era digital yang diformat dalam bingkai revolusi industri 4.0 (RI 4.0). Industri yang mengusung kecerdasan buatan, data raksasa, teknologi finansial dan ekonomi berbagi serta robotisasi telah mendisrupsi berbagai inovasi sebelumnya.
Para kepala daerah baru patut menyadari masyarakat kini mengalami efek disrupsi dengan berbagai fenomena yang mengindikasikan menurunnya semangat nasionalisme. Kita tidak lagi bangga dengan produk dalam negeri sehingga Indonesia harus mengalami krisis pangan “lokal” yang berkepanjangan. Di era RI 4.0, energi “politik pangan” pemerintah seharusnya tidak lagi terkuras mengurusi pangan di sektor hulu. Jika dirunut ke belakang, era RI 1.0 yang dicirikan dengan tumbuhnya mekanisasi dan energi berbasis uap dan air; RI 2.0 yang dicirikan dengan berkembangnya energi listrik dan produksi massal; RI 3.0 yang dicirikan dengan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi sudah sepatutnya meletakkan pilar-pilar produksi pangan secara kukuh. Kenyataannya, pilar itu kian rapuh yang mendorong harga pangan kian mahal dan kran impor pangan selalu dibuka lebar.
Mitos Ketahanan Pangan
Pemahaman bias yang menyamakan pengertian swasembada beras dengan ketahanan pangan (bahkan kedaulatan pangan) kerap diamini para pejabat di daerah. Mitos ini terus direproduksi dari masa ke masa untuk mengukur keberhasilan pembangunan pertanian. Ketersediaan beras di gudang Bulog—lumbung pangan modern—acap dijadikan sebagai basis ketahanan pangan di daerah dan nasional.
Beras menjadi mitos ketahanan pangan dan ditempatkan sebagai makanan pokok. No rice no glory menjadi landasan “politik beras murah” yang digelar pemerintah. Implikasinya, peningkatan konsumsi beras terjadi secara dahsyat, dari 110 kg/kapita/tahun pada 1967 menjadi 135 kg/kapita/tahun pada 2017. Tren peningkatan konsumsi beras yang amat signifikan ini patut diduga ada yang salah dalam pengertian makan di tengah masyarakat. Mengkristalnya beras sebagai makanan pokok menjadi bukti bahwa hingga di era RI 4.0 ini masyarakat masih menganut paradigma lama, yakni makan identik dengan menyantap nasi.
Padahal, banyak sumber lain seperti singkong, ubi jalar, sagu, dan sorgum yang bisa dikonsumsi meski kadang memiliki nilai sosial rendah. Sebab, jika dikonsumsi dianggap orang miskin.
Pemahaman seperti ini menjadi ganjalan perwujudan diversifikasi konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal. Ini tentu menjadi tantangan baru mengingat potensi pangan lokal yang amat besar itu belum dibangkitkan sebagai pilar kedaulatan pangan guna memerangi kelaparan dan gizi buruk.
Tema Sentral
Peta jalan revolusi industri 4.0 yang telah diluncurkan Kementerian Perindustrian dalam kemasan Making Indonesia 4.0 harus bisa diterjemahkan sebaik mungkin oleh kepala daerah baru. Revolusi industri keempat ini menjadi lompatan besar di bidang pangan yang mau tidak mau harus mengadopsi perkembangan Internet of/for Things yang diikuti teknologi baru dan big data.
Pertanyaannya, apakah industri pangan di sejumlah daerah mampu beradaptasi? Menghadapi serbuan pangan impor yang diproduksi di negara-negara maju yang sudah mengadopsi RI 4.0 secara baik, pelaku industri pangan lokal pasti terseok-seok. Maka dalam memudahkan implementasi RI 4.0 diperlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah dan pelaku industri untuk mewujudkan pertumbuhan dan peningkatan daya saing berbagai pangan lokal guna mengurangi ketergantungan terhadap pangan impor.
Perkembangan menarik misalnya terdapat pada pola konsumsi pangan pokok sumberkarbohidrat. Tren penurunan kontribusi energi dari jagung, sagu, dan umbi-umbian terjadi seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan semakin sedikit mengonsumsi pangan lokal nonberas. Bahkan fenomena menarik terjadi pada konsumsi pangan pokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan yang kian berpusat pada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, khususnya mi instan dan roti.
Seiring dengan itu kebangkitan pangan lokal patut dijadikan tema sentral di era revolusi industri 4.0 di bidang teknoagroindustri pangan berbasis sumber daya lokal. Ini untuk mencegah ketergantungan pada satu jenis pangan. Meski Indonesia dikenal memiliki beragam makanan pokok, dalam arti beras dan terigu memang bukan makanan utama untuk sebagian masyarakat, percepatan diversifikasi konsumsi pangan masih lambat.
Contohnya, di Papua, yang dulu memiliki makanan pokok sagu, saat ini diperkirakan sekitar 80% penduduknya sudah makan beras, 15% makan ubi, dan tinggal 5% makan sagu. Padahal Papua dikenal sebagai kantong tanaman sagu dunia karena bisa memasok makanan berbasis sagu (papeda) bagi seluruh penduduknya selama 450 tahun.
Kian hilangnya pangan lokal dari daftar menu harian warga tidak terlepas dari miskinnya pengembangan iptek dan kurangnya sumber daya manusia (SDM) bermutu di bidang teknoagroindustri pangan nonberas berbasis sumber daya lokal untuk percepatan penganekaragaman pangan. Meski kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal sudah dibuat sejak 9 tahun lalu, yakni Peraturan Presiden No 22/2009, beleid ini belum dijadikan acuan dalam melakukan perencanaan dan pengembangan penganekaragaman konsumsi guna memanfaatkan potensi pangan lokal.
Ke depan pemerintah daerah baik di provinsi maupun di kabupaten/kota patut membenahi sistem pendidikan vokasi atau pendidikan berbasis keahlian untuk mempersiapkan SDM yang sesuai dengan tuntutan revolusi industri 4.0 di bidang pangan. Ini penting untuk mencetak pekerja yang memiliki keahlian sesuai kebutuhan industri pangan berbasis sumber daya lokal.
Dengan meng-upgrade pendidikan vokasi di bidang teknologi pangan, baik dari sisi kurikulum, infrastruktur, alat penunjang lain maupun sistem pemagangan, kekurangan SDM bermutu tidak terjadi lagi. Di sisi lain sertifikasi perlu dibenahi agar bisa menjadi penanda kemampuan pekerja dan diakui oleh industri pangan. Semoga!
Guru Besar Tetap pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara; Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
APA tantangan yang dihadapi para pemenang Pilkada Serentak 2018 ketika Indonesia tengah memasuki era revolusi industri 4.0? Setelah usia kemerdekaan republik ini 73 tahun, Indonesia menghadapi penjajahan baru di bidang ekonomi dan budaya. Hampir di semua bidang kita terpuruk!
Jika para kepala daerah pemenang Pilkada Serentak 2018 tidak siap, penjajahan baru itu semakin kuat mencengkeram di tengah era digital yang diformat dalam bingkai revolusi industri 4.0 (RI 4.0). Industri yang mengusung kecerdasan buatan, data raksasa, teknologi finansial dan ekonomi berbagi serta robotisasi telah mendisrupsi berbagai inovasi sebelumnya.
Para kepala daerah baru patut menyadari masyarakat kini mengalami efek disrupsi dengan berbagai fenomena yang mengindikasikan menurunnya semangat nasionalisme. Kita tidak lagi bangga dengan produk dalam negeri sehingga Indonesia harus mengalami krisis pangan “lokal” yang berkepanjangan. Di era RI 4.0, energi “politik pangan” pemerintah seharusnya tidak lagi terkuras mengurusi pangan di sektor hulu. Jika dirunut ke belakang, era RI 1.0 yang dicirikan dengan tumbuhnya mekanisasi dan energi berbasis uap dan air; RI 2.0 yang dicirikan dengan berkembangnya energi listrik dan produksi massal; RI 3.0 yang dicirikan dengan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi sudah sepatutnya meletakkan pilar-pilar produksi pangan secara kukuh. Kenyataannya, pilar itu kian rapuh yang mendorong harga pangan kian mahal dan kran impor pangan selalu dibuka lebar.
Mitos Ketahanan Pangan
Pemahaman bias yang menyamakan pengertian swasembada beras dengan ketahanan pangan (bahkan kedaulatan pangan) kerap diamini para pejabat di daerah. Mitos ini terus direproduksi dari masa ke masa untuk mengukur keberhasilan pembangunan pertanian. Ketersediaan beras di gudang Bulog—lumbung pangan modern—acap dijadikan sebagai basis ketahanan pangan di daerah dan nasional.
Beras menjadi mitos ketahanan pangan dan ditempatkan sebagai makanan pokok. No rice no glory menjadi landasan “politik beras murah” yang digelar pemerintah. Implikasinya, peningkatan konsumsi beras terjadi secara dahsyat, dari 110 kg/kapita/tahun pada 1967 menjadi 135 kg/kapita/tahun pada 2017. Tren peningkatan konsumsi beras yang amat signifikan ini patut diduga ada yang salah dalam pengertian makan di tengah masyarakat. Mengkristalnya beras sebagai makanan pokok menjadi bukti bahwa hingga di era RI 4.0 ini masyarakat masih menganut paradigma lama, yakni makan identik dengan menyantap nasi.
Padahal, banyak sumber lain seperti singkong, ubi jalar, sagu, dan sorgum yang bisa dikonsumsi meski kadang memiliki nilai sosial rendah. Sebab, jika dikonsumsi dianggap orang miskin.
Pemahaman seperti ini menjadi ganjalan perwujudan diversifikasi konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal. Ini tentu menjadi tantangan baru mengingat potensi pangan lokal yang amat besar itu belum dibangkitkan sebagai pilar kedaulatan pangan guna memerangi kelaparan dan gizi buruk.
Tema Sentral
Peta jalan revolusi industri 4.0 yang telah diluncurkan Kementerian Perindustrian dalam kemasan Making Indonesia 4.0 harus bisa diterjemahkan sebaik mungkin oleh kepala daerah baru. Revolusi industri keempat ini menjadi lompatan besar di bidang pangan yang mau tidak mau harus mengadopsi perkembangan Internet of/for Things yang diikuti teknologi baru dan big data.
Pertanyaannya, apakah industri pangan di sejumlah daerah mampu beradaptasi? Menghadapi serbuan pangan impor yang diproduksi di negara-negara maju yang sudah mengadopsi RI 4.0 secara baik, pelaku industri pangan lokal pasti terseok-seok. Maka dalam memudahkan implementasi RI 4.0 diperlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah dan pelaku industri untuk mewujudkan pertumbuhan dan peningkatan daya saing berbagai pangan lokal guna mengurangi ketergantungan terhadap pangan impor.
Perkembangan menarik misalnya terdapat pada pola konsumsi pangan pokok sumberkarbohidrat. Tren penurunan kontribusi energi dari jagung, sagu, dan umbi-umbian terjadi seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan semakin sedikit mengonsumsi pangan lokal nonberas. Bahkan fenomena menarik terjadi pada konsumsi pangan pokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan yang kian berpusat pada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, khususnya mi instan dan roti.
Seiring dengan itu kebangkitan pangan lokal patut dijadikan tema sentral di era revolusi industri 4.0 di bidang teknoagroindustri pangan berbasis sumber daya lokal. Ini untuk mencegah ketergantungan pada satu jenis pangan. Meski Indonesia dikenal memiliki beragam makanan pokok, dalam arti beras dan terigu memang bukan makanan utama untuk sebagian masyarakat, percepatan diversifikasi konsumsi pangan masih lambat.
Contohnya, di Papua, yang dulu memiliki makanan pokok sagu, saat ini diperkirakan sekitar 80% penduduknya sudah makan beras, 15% makan ubi, dan tinggal 5% makan sagu. Padahal Papua dikenal sebagai kantong tanaman sagu dunia karena bisa memasok makanan berbasis sagu (papeda) bagi seluruh penduduknya selama 450 tahun.
Kian hilangnya pangan lokal dari daftar menu harian warga tidak terlepas dari miskinnya pengembangan iptek dan kurangnya sumber daya manusia (SDM) bermutu di bidang teknoagroindustri pangan nonberas berbasis sumber daya lokal untuk percepatan penganekaragaman pangan. Meski kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal sudah dibuat sejak 9 tahun lalu, yakni Peraturan Presiden No 22/2009, beleid ini belum dijadikan acuan dalam melakukan perencanaan dan pengembangan penganekaragaman konsumsi guna memanfaatkan potensi pangan lokal.
Ke depan pemerintah daerah baik di provinsi maupun di kabupaten/kota patut membenahi sistem pendidikan vokasi atau pendidikan berbasis keahlian untuk mempersiapkan SDM yang sesuai dengan tuntutan revolusi industri 4.0 di bidang pangan. Ini penting untuk mencetak pekerja yang memiliki keahlian sesuai kebutuhan industri pangan berbasis sumber daya lokal.
Dengan meng-upgrade pendidikan vokasi di bidang teknologi pangan, baik dari sisi kurikulum, infrastruktur, alat penunjang lain maupun sistem pemagangan, kekurangan SDM bermutu tidak terjadi lagi. Di sisi lain sertifikasi perlu dibenahi agar bisa menjadi penanda kemampuan pekerja dan diakui oleh industri pangan. Semoga!
(mhd)