Berpolitik dengan Rileks
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
PILKADA serentak 2018 ini terasa melegakan. Tidak heboh dan tegang seperti Pilkada DKI tahun lalu. Setidaknya terdapat empat faktor yang membuat pilkada berlangsung kondusif.
Pertama, suasana batin masyarakat masih lekat dengan ritual Lebaran, saling membuka pintu maaf sehingga terjalin silaturahmi dan kohesi sosial. Tentu ada rasa sungkan dan tak pantas berkompetisi pilkada dengan menjelekkan dan menjatuhkan lawan politiknya yang mayoritas adalah sama-sama muslim.
Kedua, pilkada ini dilakukan serentak di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota, sehingga perhatian masyarakat terbagi-bagi. Tidak terjadi pengumpulan dan kristalisasi dukungan hanya di satu tempat.
Ketiga, dan ini mungkin paling fenomenal, koalisi antarparpol sangat cair, tak berlaku lagi "politik aliran" ideologis yang konsisten dari pusat sampai daerah. Misalnya saja, dulu ketika Pilkada DKI parpol yang mengusung simbol agama diperhadapkan dengan parpol yang dianggap nasionalis atau sekuler, namun dalam pilkada kali ini skema itu buyar. Di berbagai wilayah terjadi koalisi antara PDIP, PKS, Gerindra.
Faktor keempat, berbarengan dengan Piala Dunia yang juga menyedot perhatian masyarakat. Mereka secara emosional memiliki jago yang diunggulkan, namun juga siap kalah jika harapannya meleset. Bahkan antarpendukung sudah biasa saling canda dan ejek, tanpa meninggalkan rasa permusuhan dan hard feeling.
Empat faktor di atas, tentu masih bisa ditambah lagi, sangat berpengaruh bagi keberlangsungan pilkada serentak 2018 dalam suasana jauh lebih damai dan rileks dari pilkada sebelumnya. Beberapa tokoh yang tampil di panggung kontestasi juga menunjukkan sikap bersahabat antarsesama lawan politiknya. Sikap demikian ini mesti dilestarikan agar masyarakat pendukung di akar rumput juga terjaga persahabatannya, tidak rusak hanya gara-gara pilkada dan beda pilihan jagonya.
Koalisi ideologis yang mencair dalam pilkada ini juga mengisyaratkan banyak hal. Pertama, secara ideologis semua parpol semakin mendekat, bergeser ke tengah.
Kedua, kualitas figur calon bisa jadi lebih penting ketimbang parpol pengusungnya. Ketiga, mayoritas parpol tidak berhasil melakukan kaderisasi, mengingat banyak calon yang bukan anak kandung parpol pengusungnya. Keempat, sekarang ini fenomena politisi pindah induk parpolnya semakin diterima oleh masyarakat.
Dari sisi negatifnya, ini berarti semakin banyak politisi "kutu loncat" dengan pertimbangan sangat pragmatik dan jangka pendek. Namun positifnya, persaingan politik menjadi rileks. Yang dituntut adalah tampilnya calon yang bagus, yang menawarkan program untuk membangun daerahnya.
Kelima, pilkada kali ini hendaknya dijadikan modal oleh parpol untuk membangun kembali kepercayaan rakyat pada politik dan demokrasi yang belakangan ini sudah sangat menurun. Jauhkan money politics, jaring putra-putra terbaik bangsa untuk masuk parpol, kurangi nepotisme, dinastisme dan oligarki dalam budaya politik kita.
Keenam, jika pilkada 2018 ini diposisikan sebagai persiapan pilpres 2019, alangkah indahnya kalau suasana pilkada yang kondusif ini juga bisa terjadi pada pilpres mendatang. Sebuah kompetisi dan kontestasi memilih capres-cawapres dengan rileks dan cerdas.
Dalam sebuah negara yang menganut demokrasi, keberadaan multipartai adalah suatu keharusan. Dan demokrasi itu pasti berisik, gaduh, penuh persaingan. Itulah demokrasi. Always noicy and restless. Namun dengan berjalannya waktu, semoga ke depan masyarakat semakin dewasa dan rasional dalam menentukan pilihannya, tidak emosional semata like or dislike.
Bahwa faktor agama dan etnis tetap menjadi bahan pertimbangan, itu tidak mungkin hilang. Namun, jangan sampai menjadi faktor utama dan pertama tanpa mempertimbangkan kapabilitas teknokratik dan manajerial. Ini penting karena yang akan dihadapi seorang pemimpin lebih banyak masalah riil di mana membutuhkan skill penyelesaian masalah yang menjadi hajat hidup anak bangsa, apa pun agama dan etnisnya.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
PILKADA serentak 2018 ini terasa melegakan. Tidak heboh dan tegang seperti Pilkada DKI tahun lalu. Setidaknya terdapat empat faktor yang membuat pilkada berlangsung kondusif.
Pertama, suasana batin masyarakat masih lekat dengan ritual Lebaran, saling membuka pintu maaf sehingga terjalin silaturahmi dan kohesi sosial. Tentu ada rasa sungkan dan tak pantas berkompetisi pilkada dengan menjelekkan dan menjatuhkan lawan politiknya yang mayoritas adalah sama-sama muslim.
Kedua, pilkada ini dilakukan serentak di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota, sehingga perhatian masyarakat terbagi-bagi. Tidak terjadi pengumpulan dan kristalisasi dukungan hanya di satu tempat.
Ketiga, dan ini mungkin paling fenomenal, koalisi antarparpol sangat cair, tak berlaku lagi "politik aliran" ideologis yang konsisten dari pusat sampai daerah. Misalnya saja, dulu ketika Pilkada DKI parpol yang mengusung simbol agama diperhadapkan dengan parpol yang dianggap nasionalis atau sekuler, namun dalam pilkada kali ini skema itu buyar. Di berbagai wilayah terjadi koalisi antara PDIP, PKS, Gerindra.
Faktor keempat, berbarengan dengan Piala Dunia yang juga menyedot perhatian masyarakat. Mereka secara emosional memiliki jago yang diunggulkan, namun juga siap kalah jika harapannya meleset. Bahkan antarpendukung sudah biasa saling canda dan ejek, tanpa meninggalkan rasa permusuhan dan hard feeling.
Empat faktor di atas, tentu masih bisa ditambah lagi, sangat berpengaruh bagi keberlangsungan pilkada serentak 2018 dalam suasana jauh lebih damai dan rileks dari pilkada sebelumnya. Beberapa tokoh yang tampil di panggung kontestasi juga menunjukkan sikap bersahabat antarsesama lawan politiknya. Sikap demikian ini mesti dilestarikan agar masyarakat pendukung di akar rumput juga terjaga persahabatannya, tidak rusak hanya gara-gara pilkada dan beda pilihan jagonya.
Koalisi ideologis yang mencair dalam pilkada ini juga mengisyaratkan banyak hal. Pertama, secara ideologis semua parpol semakin mendekat, bergeser ke tengah.
Kedua, kualitas figur calon bisa jadi lebih penting ketimbang parpol pengusungnya. Ketiga, mayoritas parpol tidak berhasil melakukan kaderisasi, mengingat banyak calon yang bukan anak kandung parpol pengusungnya. Keempat, sekarang ini fenomena politisi pindah induk parpolnya semakin diterima oleh masyarakat.
Dari sisi negatifnya, ini berarti semakin banyak politisi "kutu loncat" dengan pertimbangan sangat pragmatik dan jangka pendek. Namun positifnya, persaingan politik menjadi rileks. Yang dituntut adalah tampilnya calon yang bagus, yang menawarkan program untuk membangun daerahnya.
Kelima, pilkada kali ini hendaknya dijadikan modal oleh parpol untuk membangun kembali kepercayaan rakyat pada politik dan demokrasi yang belakangan ini sudah sangat menurun. Jauhkan money politics, jaring putra-putra terbaik bangsa untuk masuk parpol, kurangi nepotisme, dinastisme dan oligarki dalam budaya politik kita.
Keenam, jika pilkada 2018 ini diposisikan sebagai persiapan pilpres 2019, alangkah indahnya kalau suasana pilkada yang kondusif ini juga bisa terjadi pada pilpres mendatang. Sebuah kompetisi dan kontestasi memilih capres-cawapres dengan rileks dan cerdas.
Dalam sebuah negara yang menganut demokrasi, keberadaan multipartai adalah suatu keharusan. Dan demokrasi itu pasti berisik, gaduh, penuh persaingan. Itulah demokrasi. Always noicy and restless. Namun dengan berjalannya waktu, semoga ke depan masyarakat semakin dewasa dan rasional dalam menentukan pilihannya, tidak emosional semata like or dislike.
Bahwa faktor agama dan etnis tetap menjadi bahan pertimbangan, itu tidak mungkin hilang. Namun, jangan sampai menjadi faktor utama dan pertama tanpa mempertimbangkan kapabilitas teknokratik dan manajerial. Ini penting karena yang akan dihadapi seorang pemimpin lebih banyak masalah riil di mana membutuhkan skill penyelesaian masalah yang menjadi hajat hidup anak bangsa, apa pun agama dan etnisnya.
(poe)