Politik Islam, Demokrasi atau Monarki?

Kamis, 28 Juni 2018 - 08:11 WIB
Politik Islam, Demokrasi atau Monarki?
Politik Islam, Demokrasi atau Monarki?
A A A
Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran Kebahasaan Alumni Jami'ah Dual Arabiyah Mesir

Sepeninggal wafat, Rasulullah Muhammad SAW tidak pernah menunjuk siapa khalifah pemimpin sepeninggal beliau kelak. Beliau hanya memberi isyarat implisit kepada Abu Bakar RA untuk menjadi imam salat Subuh di masjid Nabawi menjelang wafatnya, sedangkan Rasulullah berdiri di belakang sebagai makmum.

Meski demikian, penunjukan dan pembaiatan Abu Bakar As Shiddiq berdasarkan demokrasi atas dasar pemilihan para sahabat dari golongan Anshar dan Muhajirin di Saqifah Bani Sa'idah. Setelah opsi kandidat lain yang ditawarkan oleh kelompok Anshar Madinah terhadap Sa'ad bin Ubaidah tidak mendapat dukungan penuh dari sahabat Muhajirin.

Para sahabat lainnya, akhirnya sepakat secara aklamasi mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin, disebabkan pengalaman serta pengetahuan keilmuannya yang sangat mumpuni karena telah lama mendampingi Rasulullah SAW selama hidupnya. Jelas, ini sebuah pendidikan demokrasi pertama dalam sejarah peradaban Islam.

Begitu pula, manakala pemilihan khalifah selanjutnya, Sayyidina Umar bin Khattab pun dipilih berdasarkan demokrasi. Meski penunjukkan Umar sebagai pemimpin secara pendelegasian atau penunjukan langsung oleh khalifah Abu Bakar, tapi hal tersebut diambil berdasarkan pertimbangan dan musyawarah dewan pertimbangan para sahabat senior, seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Said bin Zaid, Usaid bin Hadihir serta para sahabat lainnya.

Umar dipilih sebagai pemimpin didasarkan keberanian dan ketegasannya menegakkan supremasi hukum Islam secara adil dan bermartabat, tidak pandang bulu memimpin berdasarkan prinsip kebenaran, keadilan dan kemaslahatan bersama.

Selanjutnya, pemilihan dan pengangkatan Khalifah pengganti Umar bin Khattab -yang ketika itu sedang mengalami masa kritis akibat tikaman seorang pembunuh bayaran bernama Abu Lulu'ah- jauh lebih demokratis.Khalifah Umar bin Khattab mengajukan nama-nama kandidat yang lebih profesional dan andal sebagai pemimpin umat, seperti Ali bin Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin Auf.

Dalam prosesnya, beberapa orang kandidat mengundurkan diri dan tersisalah dua orang kandidat, yaitu Utsman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Akhirnya, pilihan mayoritas terbanyak penduduk Kota Madinah ketika itu jatuh pada Sayyidina Utsman bin Affan atas pertimbangan dia lebih senior dan lebih dermawan.

Utsman dibunuh dalam menjalankan tugas kekhalifahan akibat sebuah konspirasi pemberontakan yang tidak menginginkan Sayyidina Utsman menjadi pemimpin. Sepeninggal Utsman bin Affan, penduduk Madinah secara aklamasi mengangkat dan membaiat Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah Amirul mukmimin (pemimpin tertinggi orang-orang beriman).

Sayyidina Ali bin Abi Thalib dipilih berdasarkan kecerdasan, keberanian, ketegasan, kepiawaian, dan kasih sayangnya terhadap rakyatnya dengan menekankan prinsip-prinsip pendahulunya, yaitu prinsip keadilan, kebenaran, kesamarataan, elegaterian, demokrasi dan demi kemaslahan bersama.

Namun ironisnya, pascamasa pemerintahan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), pemerintahan kekhalifahan Islam selanjutnya menjadi semacam model pemerintahan monarki, otokrasi atau kedinastian.

Diawali sejak dari kekhalifahan Umawiyyah, Dinasti Abasyiah, Dinasti Fathimiyyah, Dinasti Ayubiyyah, Dinasti Mamluk, Dinasti Alawiyyin, hingga kekhalifahan Turki Utsmani justru menerapkan pemerintahan secara otokrasi dan monarki berdasarkan sistem pemerintahan garis keturunan. Bukan lagi berdasarkan prinsip demokrasi sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah serta para pemimpin sepeninggal Rasulullah.

Ini fakta sejarah yang harusnya kita pahami dan perlu kita kaji ulang untuk melihat sistem politik Islam sesungguhnya dalam rentang sejarah peradaban Islam yang utuh, bukan asal memahami konsep khilafah yang kadang salah kaprah dan terkesan dipaksakan?

Ironisnya, ada semacam narasi besar bahwa demokrasi itu produk Barat, dan harus ditolak konsep dan penerapannya. Padahal kebutaan sejarah justru membuat sebagian kecil pendukung konsep anti-demokrasi ini tidak mampu melihat bahwa justru roh demokrasi sudah ada dan telah diterapkan pada masa awal Khulafaur-Rasyidin, jauh lebih dahulu ketimbang dunia Barat hari ini.

Alquran sesungguhnya tidaklah memberikan konsep model baku terhadap pemerintahan Islam atau konsep Khilafah yang selama ini dipropagandakan sebagai satu-satu model alternatif terbaik pengganti sistem demokrasi.
Justru Alquran secara implisit menyatakan sebuah prinsip berdemokrasi dengan perintah "Wasyawirhum fil amri." Bermufakatlah dalam segala perkara (pemerintahan). Jelas ini konsep demokrasi yang ditawarkan oleh Alquran, bukan konsep absolut yang habya ditentukan oleh perseorangan.
Konsep model demokrasi yang dikehendaki oleh Islam bukanlah sekadar symbol. Namun lebih dari itu subtansi pemerintahan yang memberikan sebuah ruang berdialog dan kebebasan berpendapat, dipilih dan memilih berdasarkan asas musyawarah mufakat, keadilan dan kemaslahatan bersama.
Apakah Islam menghendaki bentuk monarki, otokrasi, atau kekhalifahan?Tidak ada satu dalil di dalam Quran maupun hadits-hadits Nabi pun yang menyatakan demikian, baik secara eksplisit maupun implisit. Semuanya diberikan sebuah ruang ijtihad untuk melakukan bentuk pemerintahan yang sesuai dengan keinginan rakyatnya masing-masing.

Hal yang terpenting adalah tujuan bernegara itu tercapai menjadi "Baldatun Thaibatun wa Rabbun Ghafuur." Negeri yang makmur dan Tuhan pun memberikan keampunan-Nya disebabkan supremasi hukum ditegakkan di dalamnya.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9655 seconds (0.1#10.140)