Pemilu Turki: Menangkah Erdogan?

Jum'at, 22 Juni 2018 - 07:10 WIB
Pemilu Turki: Menangkah Erdogan?
Pemilu Turki: Menangkah Erdogan?
A A A
Muhamad Syauqillah
Analis Politik Timur Tengah
Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global UIAlumni Universitas Marmara, Istanbul Turki.
MINGGU, 24 Juni 2018 telah ditetapkan Parlemen Turki sebagai hari pelaksanaan pemilu, lebih awal dari jadwal seharusnya yakni 2019 (Erken Seçimi). Pemilu kali ini adalah pemilu bersejarah bagi Turki karena terdapat dua gelaran politik secara berbarengan, Pemilu Parlemen dan Pemilu Presiden.

Pemilu 2018 akan mengakhiri masa transisi menuju sistem presidensial. Hasil referendum 2017 mengisyaratkan bahwa sistem presidensial akan menggantikan sistem parlementer, sistem yang selama ini dianut Turki.

Sistem presidensial akan memberikan keleluasaan bagi Presiden terpilih nantinya untuk menata pemerintahan. Maklum, pada masa transisi, Turki harus melakukan penyesuaian, termasuk dengan mundurnya Ahmet Davutoglu sebagai Perdana Menteri.

Dinamika Politik dan Suara AKP
Spekulasi politik bermunculan untuk menjawab alasan dibalik dimajukannya jadwal pemilu. Mulai dari hasrat politik petahana, upaya menghadang dukungan Abdullah Gul-Ahmet Davutoglu yang kian membesar hingga adanya upaya mempercepat implementasi sistem presidensial yang diklaim akan membawa banyak perubahan, terutama berkenaan stabilitas politik dan keamanan.

Tensi Politik antara faksi Erdogan dan faksi Gul mulai terasa saat kritik Abdullah Gul saat demonstrasi di Gezi Park 2013. Erdogan saat itu menyatakan bahwa dialah pemimpin yang terpilih melalui pemilu, dan jika ingin kekuasaan maka ikutlah pemilu. Saat itu Gul menjawab bahwa Demokrasi bukan hanya pemilu. Rezim harusnya merespons tuntutan demostrasi besar di Taksim.

Dinamika internal AKP (Adalet ve Kalkınma Parti/Partai Keadilan dan Pembangunan) pun berlanjut. Bülent Arinç mundur dari AKP (sebelumnya menjabat deputi perdana menteri). Akibatnya makin memperlebar jurang pemisah antara Erdogan dan para pendiri AKP.

Rivalitas antara Erdogan dan Davutoglu pun kentara terlihat sejak terpilihnya Erdogan menjadi Presiden tahun 2014. Beberapa momen peresmian megaproyek terlihat betul aroma persaingan keduanya.

Davutoglu pun mundur. Erdogan butuh sosok yang tidak memiliki potensi menyalip popularitasnya, dipilihlah Binali Yilidirim sebagai Ketua Umum AKP yang secara otomatis menjadi Perdana Menteri.

Perolehan suara AKP dan Erdogan pada pemilihan kepala daerah, referendum dan pilpres terlihat di posisi lebih dari 40%. Menariknya dalam pemilihan parlemen, AKP sempat terjun bebas dari sebelumnya mendapat 49,8% pada 2011 menjadi 41% pada Juni 2015, hingga berubah menjadi 49,5% pada November 2015.

Perolehan suara tersebut harus melalui masa pemerintahan sementara dan pemilu putaran kedua. Ini karena sistem pemerintahan parlementer sebagaimana dalam konstitusi Turki mengharuskan adanya koalisi jika suara mayoritas belum terpenuhi.

Apabila Erdogan melekat dengan AKP, maka perolehan AKP pada pemilu menjadi koreksi publik bagi Erdogan. Pasalnya pada Pilpres 2014, Erdogan memiliki suara sebesar 51,79%, terkoreksi menjadi 49,5% pada November 2015, selisih kurang lebih 2%.

Saat AKP mendapat 41%, dan Erdogan baru saja meninggalkan kursi ketua umum AKP. Artinya AKP tidak bisa lepas dari bayang-bayang Erdogan.

Membandingkan referendum sistem presidensial 2017 dan pemilu presiden 2014, maka suara Erdogan tidak terkoreksi cukup banyak. Perolehan suara Erdogan hanya terkoreksi 0,39%, dari 51,79% menjadi 51,4%. Namun, ada hal yang berbeda. Perolehan suara Erdogan di dua daerah basis utama, Istanbul dan Ankara sebagai kota penting di Turki, secara mayoritas tidak mendukung sistem presidensial.

Peta Politik, Tantangan Regional dan Internal
Maksimalisasi kekuatan politik saat pileg 2015 akan terulang, elemen MHP (Milliyetçi Hareket Parti-Partai Gerakan Nasionalis) menjadi penentu naiknya suara AKP. Saat itu Tugrul Turkes, tokoh MHP, berhasil dipinang masuk menjadi anggota AKP dan akhirnya berhasil mengerek suara AKP.

Saat ini strategi tersebut pun dibangun oleh AKP. Bukan hanya segelintir orang dari MHP, akan tetap semua elemen MHP, dibuktikan dalam pidato momen pidato resmi Devlet Bahceli pada pertemuan anggota parlemen yang secara bulat memutuskan Erdogan sebagai calon presiden.

Koalisi politik yang dibangun AKP dan MHP sangat mungkin dikarenakan ideologi kedua partai memiliki kemiripan tentang nasionalisme Turki. AKP tentu sulit berkoalisi dengan partai oposisi CHP (Cumhuriyet Halk Parti/Partai Rakyat Republik), Partai Mustafa Kemal Ataturk. Begitu pula dengan HDP (Halkların Demokrat Parti-Partai Rakyat Demokrat), partai dengan basis massa Kurdi.

Secara faktual, hari ini terjadi pertarungan koalisi Cumhur (Republik), AKP dan MHP, dengan calon Presiden Recep Tayyip Erdogan versus Koalisi Millet (Kebangsaan) yang terdiri dari CHP dan Saadet Parti (Partai Kebahagiaan), dan Demokrat Parti (Partai Demokrat), dengan calon Presiden Muharrem Ince. HDP sepertinya masih memunculkan Selahattin Demirtas (berstatus tahanan) sebagai calon presiden sebagaimana pada pemilihan presiden 2014 lalu.

Pada bagian lain Partai Baru İyi Parti (Partai baik) mencalonkan Meral Aksener sebagai calon presiden. Pencalonan Meral Aksener dari İyi Parti yang merupakan mantan pengurus MHP, dapat dibaca sebagai upaya untuk memecah suara koalisi AKP dan MHP.

Koalisi kedua kubu ini menggambarkan tipologi demokrasi liberal, sebelumnya agak sulit koalisi dibentuk antara Saadet Parti (Partai Kebahagian), Partai Demokrat dan CHP. Karena secara ideologis ketiganya memiliki basis ideologi yang berbeda-beda. Koalisi disatukan oleh kepentingan mengalahkan Erdogan. Dengan begitu, pemilu kali ini bukan hanya merubah atmosfir sistem pemerintahan, akan tetapi juga menggeser pakem tradisi politik Turki.

Pergeseran pakem bisa jadi karena perubahan tipologi sekularisme Turki, yang lebih cenderung libertarian. Pertimbangan pilihan politik lebih pada asas political interest ketimbang ideological interest. Perubahan politik positif di tengah polarisasi kutub politik dan identitas politik di kawasan Timur Tengah.

Situasi regional tentunya akan berpengaruh terhadap dinamika politik Internal Turki. Dukungan internal pasti dibutuhkan rezim untuk melakukan berbagai manuver politik luar negeri Turki. Dengan kata lain, tidak akan ada operasi Afrin, jika parlemen tidak setuju.

Kebijakan operasi Afrin, dukungan Turki atas serangan AS ke Suriah, sikap Turki terhadap ketegangan Qatar-Saudi, dialog Turki, Iran dan Rusia, bagaimanapun harus dibaca dengan political interest dan economic interest yang cukup tinggi. Konflik Suriah cukup berpengaruh terhadap perekonomian Turki selama tiga tahun terakhir.

Tensi panas setelah penembakan pesawat Rusia tahun 2015 yang berujung pada boikot produk pertanian dan pariwisata Turki oleh Rusia. Demikian juga dengan kondisi keamanan Turki akibat serangan PKK dan ISIS berimbas pada pariwisata, urutan ketiga penyumbang devisa.
Kebijakan pendekatan keamanan Turki terhadap Kurdi di Suriah dengan operasi Afrin berhasil memukul mundur kekuatan YPG, perlu dicermati lebih lanjut. Apalagi terjadi penguatan politik identitas sebagaimana tercermin dari referendum Irak bagian utara. HDP kemungkinan akan menggunakan sentimen Kurdi, bukan hanya di wilayah Anadolu Tenggara, akan tetapi juga di Anatolia dan luar negeri.
Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi Turki mengalami masalah serius. Tiga tahun terakhir inflasi mengalami peningkatan. Tahun lalu inflasi berada pada angka 11,92%, mengalami peningkatan cukup signifikan, setelah pada 2016 dan 2015 berada pada 8,53% dan 7,83%. Inflasi ini paling tinggi dalam kurun waktu 15 tahun terakhir.

Percobaan kudeta Juli 2016 berimbas pada penangkapan kelompok Gulen atas tuduhan keterlibatan percobaan kudeta tersebut. Perhatian saat ini adalah keadilan.

Kritik kelompok liberal atas isu keadilan dalam penanganan kasus Kudeta 2016 pun mengemuka. Alasannya, sejak AKP berdiri, adalet (keadilan) sebagaimana namanya menjadi paradigma politik partai ini, pendekatan keadilan penting dalam mencari solusi pascapercobaan kudeta Juli 2016.

Lawan politik Erdogan, sesungguhnya bukanlah sosok calon presiden yang memiliki popularitas politik yang sebanding. Muharrem Ince, adalah tokoh dari kader Kemalis Republik, bukanlah tokoh yang cukup populer.

Namun demikian, kekuatan koalisi partai politik dengan beragam ideologi tentu bukanlah lawan politik yang patut dikesampingkan begitu saja. Strategi mengalahkan Erdogan dengan basis ideologi tak lagi dipakai oleh lawan politiknya

Akhirnya, kendati Erdogan saat ini masih menjadi tokoh sentral dalam perpolitikan Turki, bukan berarti Erdogan tidak bisa dikalahkan. Tentu semuanya akan kembali pada pilihan politik rakyat Turki pada 24 Juni 2018. Selamat berdemokrasi Turki, Hayırlısı Türkiye.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3488 seconds (0.1#10.140)