Gerindra Dukung Digulirkannya Angket Pelantikan Pj Gubernur Jabar
A
A
A
JAKARTA - Partai Gerindra sangat mendukung dibentuknya Pansus Hak Angket terkait pengangkatan perwira Polri aktif Komjen Pol M Iriawan sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat. Pernyataan tegas ini disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon.
“Fraksi Partai Gerindra di DPRD Jawa Barat sudah mengambil sikap yang tepat dengan melakukan boikot atas pelantikan Pj Gubernur Jawa Barat yang cacat hukum. Nah, kini giliran Fraksi Partai Gerindra di DPR RI untuk memberikan sikap yang juga tegas. Kami bukan hanya akan ikut mendukung dibentuknya Pansus Hak Angket atas pengangkatan perwira Polri aktif sebagai Gubernur, namun akan jadi salah satu inisiator Pansus tersebut,” ujarnya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon melalui rilis yang diterima SINDOnews, Selasa (19/6/2018).
Menurutnya, masyarakat bisa menilai sendiri, kritik atas penunjukan jenderal polisi aktif sebagai Pj Gubernur Jawa Barat ini bukan hanya datang dari kelompok oposisi, tapi juga disampaikan oleh sejumlah partai pendukung pemerintah sendiri. Artinya, di luar soal oposisi dan nonoposisi, semua pihak pada dasarnya memiliki penilaian serupa bahwa kebijakan tersebut memang keliru, menabrak undang-undang, dan tak sesuai dengan tuntutan reformasi untuk menghapus dwifungsi angkatan bersenjata, baik TNI maupun Polri.
“Pengangkatan Komjen M Iriawan bukan hanya cacat secara formil, tapi juga secara materil. Sesudah namanya ditarik oleh Menko Polhukam, ia kemudian segera dimutasi ke Lemhanas, dijadikan Sekretaris Utama. Ia diberi jabatan tinggi madya di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) hanya untuk merepetisi model pengangkatan Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Pj Gubernur Sulawesi Barat pada 2016, yang sebelumnya menduduki jabatan tinggi madya di Kemenko Polhukam. Artinya, sejak awal pemerintah memang sangat menginginkan M Iriawan menjadi Gubernur Jawa Barat, meskipun sempat berpura-pura menarik namanya pada akhir Februari silam. Jadi, ini kan hanya dagelan politik saja,” jelasnya.
Seperti yang dulu pernah dirinya sampaikan, kata Fadli, meskipun memang pernah ada presedennya, penunjukan anggota Polri aktif sebagai gubernur cukup jelas melanggar undang-undang. Ada tiga undang-undang yang terlanggar. Pertama, UU Nompr 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam pasal 28 ayat (1), UU jelas memerintahkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
"Begitu juga dalam ayat (3) Pasal 28, yang menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Rambu ini sangat tegas. Rambu ini juga menjadi bagian dari spirit Reformasi yang telah ditegaskan oleh konstitusi pasca-amandemen,” paparnya.
Kedua, UU Nomor 16 tahun 2016 tentang Pilkada. Menurut UU Pilkada, untuk mengisi kekosongan jabatan ubernur maka diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pemimpin tinggi madya. Nah, jabatan pemimpin tinggi madya ini ada batasannya, yaitu pejabat Aparatur Sipil Negara. Gubernur adalah jabatan sipil, jadi tak dibenarkan polisi aktif menduduki jabatan tersebut.
Ketiga, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Pasal 20 ayat (3) disebutkan jika pengisian jabatan ASN tertentu memang bisa berasal dari prajurit TNI atau anggota Polri, namun ketentuan inipun ada batasnya, yaitu hanya bisa dilaksanakan pada instansi pusat saja. Sementara, gubernur ini kan penjabat pemerintah daerah.
“Apalagi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang merupakan turunan UU ASN, pada Pasal 157 ayat (1) menegaskan jikapun ada prajurit TNI dan anggota Polri yang kompetensinya dibutuhkan untuk pengisian jabatan pimpinan di luar instansi pusat, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari dinas aktif," tegasnya.
Dia menilai, semua undang-undang dan peraturan tadi telah dilanggar oleh pemerintah saat pelantikan Komjen M Iriawan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat pada hari Senin kemarin. Menurutnya hal ini tak boleh dibiarkan. Negara tidak boleh dikelola seenak selera penguasa.
“Dulu sudah saya ingatkan, biang kerok semua ini adalah Permendagri Nomor 1/2018, yang telah menyesatkan seluruh peraturan yang ada di atasnya. Permendagri Nomor 1/2018 telah memberikan tafsir yang salah melalui pencantuman frasa 'setara jabatan tinggi madya', sehingga seolah aparat negara non-sipil memiliki hak yang sama dengan ASN,” ucapnya.
Wakil Ketua DPR ini menambahkan, permendagri ini bermasalah karena bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya. Dulu dirinya menyarankan agar Permendagri ini segera dicabut tapi sayangnya tak diindahkan. Akibatnya, kini Kemendagri telah menyeret polisi kembali ke pusaran politik praktis. "Ini kan tidak benar. Saat reformasi dulu kita sudah mengkoreksi dwifungsi TNI, jangan kini pemerintah mengulang kesalahan dengan dwifungsi Polri,” katanya.
Dia kembali menegaskan, pengangkatan Mayjen TNI Setia Purwaka sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur pada 26 Agustus 2008, serta pelantikan Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat pada 30 Desember 2016, adalah preseden yang salah. Tak sepatutnya preseden salah dijadikan yurisprudensi.
"Pansus Hak Angket ingin mengkoreksi hal ini. Jangan sampai kesalahan masa lalu itu malah dilembagakan seolah-olah kebijakan yang benar. Gerindra tidak menginginkan negara ini dikelola secara amatiran dan sekehendak hati penguasa. Itu sebabnya kami akan gulirkan Pansus Hak Angket," tutupnya.
“Fraksi Partai Gerindra di DPRD Jawa Barat sudah mengambil sikap yang tepat dengan melakukan boikot atas pelantikan Pj Gubernur Jawa Barat yang cacat hukum. Nah, kini giliran Fraksi Partai Gerindra di DPR RI untuk memberikan sikap yang juga tegas. Kami bukan hanya akan ikut mendukung dibentuknya Pansus Hak Angket atas pengangkatan perwira Polri aktif sebagai Gubernur, namun akan jadi salah satu inisiator Pansus tersebut,” ujarnya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon melalui rilis yang diterima SINDOnews, Selasa (19/6/2018).
Menurutnya, masyarakat bisa menilai sendiri, kritik atas penunjukan jenderal polisi aktif sebagai Pj Gubernur Jawa Barat ini bukan hanya datang dari kelompok oposisi, tapi juga disampaikan oleh sejumlah partai pendukung pemerintah sendiri. Artinya, di luar soal oposisi dan nonoposisi, semua pihak pada dasarnya memiliki penilaian serupa bahwa kebijakan tersebut memang keliru, menabrak undang-undang, dan tak sesuai dengan tuntutan reformasi untuk menghapus dwifungsi angkatan bersenjata, baik TNI maupun Polri.
“Pengangkatan Komjen M Iriawan bukan hanya cacat secara formil, tapi juga secara materil. Sesudah namanya ditarik oleh Menko Polhukam, ia kemudian segera dimutasi ke Lemhanas, dijadikan Sekretaris Utama. Ia diberi jabatan tinggi madya di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) hanya untuk merepetisi model pengangkatan Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Pj Gubernur Sulawesi Barat pada 2016, yang sebelumnya menduduki jabatan tinggi madya di Kemenko Polhukam. Artinya, sejak awal pemerintah memang sangat menginginkan M Iriawan menjadi Gubernur Jawa Barat, meskipun sempat berpura-pura menarik namanya pada akhir Februari silam. Jadi, ini kan hanya dagelan politik saja,” jelasnya.
Seperti yang dulu pernah dirinya sampaikan, kata Fadli, meskipun memang pernah ada presedennya, penunjukan anggota Polri aktif sebagai gubernur cukup jelas melanggar undang-undang. Ada tiga undang-undang yang terlanggar. Pertama, UU Nompr 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam pasal 28 ayat (1), UU jelas memerintahkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
"Begitu juga dalam ayat (3) Pasal 28, yang menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Rambu ini sangat tegas. Rambu ini juga menjadi bagian dari spirit Reformasi yang telah ditegaskan oleh konstitusi pasca-amandemen,” paparnya.
Kedua, UU Nomor 16 tahun 2016 tentang Pilkada. Menurut UU Pilkada, untuk mengisi kekosongan jabatan ubernur maka diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pemimpin tinggi madya. Nah, jabatan pemimpin tinggi madya ini ada batasannya, yaitu pejabat Aparatur Sipil Negara. Gubernur adalah jabatan sipil, jadi tak dibenarkan polisi aktif menduduki jabatan tersebut.
Ketiga, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Pasal 20 ayat (3) disebutkan jika pengisian jabatan ASN tertentu memang bisa berasal dari prajurit TNI atau anggota Polri, namun ketentuan inipun ada batasnya, yaitu hanya bisa dilaksanakan pada instansi pusat saja. Sementara, gubernur ini kan penjabat pemerintah daerah.
“Apalagi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang merupakan turunan UU ASN, pada Pasal 157 ayat (1) menegaskan jikapun ada prajurit TNI dan anggota Polri yang kompetensinya dibutuhkan untuk pengisian jabatan pimpinan di luar instansi pusat, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari dinas aktif," tegasnya.
Dia menilai, semua undang-undang dan peraturan tadi telah dilanggar oleh pemerintah saat pelantikan Komjen M Iriawan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat pada hari Senin kemarin. Menurutnya hal ini tak boleh dibiarkan. Negara tidak boleh dikelola seenak selera penguasa.
“Dulu sudah saya ingatkan, biang kerok semua ini adalah Permendagri Nomor 1/2018, yang telah menyesatkan seluruh peraturan yang ada di atasnya. Permendagri Nomor 1/2018 telah memberikan tafsir yang salah melalui pencantuman frasa 'setara jabatan tinggi madya', sehingga seolah aparat negara non-sipil memiliki hak yang sama dengan ASN,” ucapnya.
Wakil Ketua DPR ini menambahkan, permendagri ini bermasalah karena bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya. Dulu dirinya menyarankan agar Permendagri ini segera dicabut tapi sayangnya tak diindahkan. Akibatnya, kini Kemendagri telah menyeret polisi kembali ke pusaran politik praktis. "Ini kan tidak benar. Saat reformasi dulu kita sudah mengkoreksi dwifungsi TNI, jangan kini pemerintah mengulang kesalahan dengan dwifungsi Polri,” katanya.
Dia kembali menegaskan, pengangkatan Mayjen TNI Setia Purwaka sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur pada 26 Agustus 2008, serta pelantikan Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat pada 30 Desember 2016, adalah preseden yang salah. Tak sepatutnya preseden salah dijadikan yurisprudensi.
"Pansus Hak Angket ingin mengkoreksi hal ini. Jangan sampai kesalahan masa lalu itu malah dilembagakan seolah-olah kebijakan yang benar. Gerindra tidak menginginkan negara ini dikelola secara amatiran dan sekehendak hati penguasa. Itu sebabnya kami akan gulirkan Pansus Hak Angket," tutupnya.
(kri)