Inflasi Rendah di Ujung Ramadan
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SEBAGAI bangsa yang beragama dan bertakwa, saat Ramadan memasuki masa-masa penghujungnya, membuat sebagian besar kaum muslim akan merasa sangat bersedih karena segera ditinggalkan bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Ramadan akan selalu diingat sebagai bulan penuh ampunan dan limpahan pahala yang dilipatgandakan.
Kebaikan yang senantiasa dilakukan oleh kaum muslim dalam bentuk infak, sedekah, dan zakat sebagai ibadah wajib dan sunah diyakini juga akan berdampak positif bagi pembangunan sosial ekonomi bangsa kita. Aktivitas tersebut mendukung gerakan gotong-royong masyarakat untuk berbagi kebahagiaan antarkomponen bangsa dalam menjalankan kehidupan bernegara.
Setidaknya dalam jangka pendek daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat semakin menguat seiring dengan keinginan berbelanja yang meningkat.
Di balik itu semua, terdapat berita yang cukup menarik seputar inflasi pada Mei yang dilaporkan BPS dalam kategori yang cukup rendah. Catatan positif tersebut seperti berbeda dari inflasi alami yang seringkali terjadi ketika mendekati momentum Ramadan dan Lebaran.
Pada masa-masa tersebut kenaikan harga khususnya pada kebutuhan sandang dan pangan akibat ada lonjakan permintaan (demand pull inflation) dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Inflasi pada Mei yang tercatat sebesar 0,21% (mtm) dianggap sebagai capaian yang sangat baik. Pada momentum yang sama tahun sebelumnya tingkat inflasi mencapai 0,39% (mtm).
Tahun ini capaian inflasi berada pada situasi yang sangat positif, khususnya untuk dikorelasikan pada output pertumbuhan ekonomi maupun daya beli masyarakat. Selain berkat pasokan produk yang terbukti mendorong harga menjadi stabil, faktor pendukung lainnya adalah tambahan pendapatan berupa tunjangan hari raya (THR) pada hampir seluruh tenaga kerja maupun gaji ke-13 yang diterima aparatur sipil negara (ASN). THR yang diterima ASN tahun ini juga meningkat karena jumlahnya tidak hanya sebesar gaji pokok, melainkan beserta tunjangan-tunjangannya.
Secara ekonomi Ramadan tahun ini benar-benar diusahakan tidak sampai terganggu dengan isu kenaikan harga. Kondisi ini seharusnya berimplikasi positif terhadap sektor ekonomi lainnya untuk ikut bergerak progresif dan turut meningkatkan gairah ekonomi.
Logika sederhananya ketika tingkat belanja (konsumsi) masyarakat semakin besar, jumlah suplai produksinya juga akan kian membesar. Produk-produk yang dikategori musiman seperti sarung, baju koko, sandal, sajadah, dan perlengkapan ibadah lainnya jumlahnya membanjiri pasar-pasar domestik.
Sayangnya, kita masih melihat banyak sekali produk-produk impor yang menghiasi lapak-lapak kita. Belum lagi jika ditambahkan pada kelompok bahan makanan atau makanan jadi yang sebagian juga diisi produk impor.
Berdasarkan pengakuan BPS, pada April 2018 terjadi kenaikan impor pakaian jadi bukan rajutan dari China sebesar 64,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun ini nilai transaksinya mencapai USD36,3 juta. Sedangkan pada April 2017 nilainya hanya sebesar USD22 juta.
Impor filamen (jenis benang yang digunakan untuk membuat kain) buatan China juga relatif besar mencapai USD320,82 juta pada April 2018. Penyebab utamanya tidak lain karena persiapan menjelang Lebaran.
Selain itu, berdasarkan pengakuan beberapa pedagang di Pasar Tanah Abang, produk-produk peralatan ibadah seperti sajadah kebanyakan disediakan dari Turki dan Arab Saudi.
Perihal kejadian ini seharusnya kita perlu sadar diri untuk berupaya lebih mandiri. Logikanya momentum Ramadan dan Lebaran sudah menjadi sebuah rutinitas tahunan.
Jika kita setiap tahunnya masih bergantung pada impor, sebetulnya ada apa dengan kita? Untuk produk-produk yang memang tidak efisien jika dipaksakan dikelola sendiri karena faktor endowment yang terbatas mungkin masih bisa dimaklumi.
Situasinya akan berbeda jika kita berbicara mengenai produk yang sebenarnya bisa kita buat sendiri. Karena nilai tambah berdikari (produksi secara mandiri) versus sekadar impor memiliki kesan yang berbeda dalam rangka pembangunan negeri.
Ada baiknya jika lapak-lapak yang menggeliat di mal atau pasar modern dapat diisi dengan produk dalam negeri, termasuk produk yang diperlukan saudara-saudara kita yang muslim selama Ramadan. Nanti akan ada gelimang penyerapan tenaga kerja dari berbagai lini yang sekaligus akan memberi pendapatan dan penguatan daya beli. Masak kita hanya terus menjadi penonton dan pembeli setiap tahun?
Menyelamatkan Daya Beli
Sepertinya kita perlu melakukan kroscek untuk memastikan apakah respons kebahagiaan kita sudah “benar” melihat inflasi yang saat ini tercatat cukup rendah. Pada dasarnya pergerakan inflasi memiliki hukum alam yang sederhana, yakni di mana lokasi pertemuan antara pasar demand dan supply.
Idealnya dua sisi pasar tersebut bertemu pada titik-titik yang sama-sama merdeka, yaitu di saat permintaan dan penawarannya seimbang pada tingkat yang sama-sama progresif.
Fenomena inflasi yang rendah itu sendiri biasanya karena tidak terjadi gap yang relatif besar antara jumlah permintaan dan penawaran (berjalan seimbang). Nah, dua komponen tersebut juga tidak bisa serta-merta muncul ke permukaan karena masih ada faktor-faktor lain yang bisa juga memengaruhi, yakni terkait tingkat pendapatan dan harga.
Tingkat pendapatan dan harga sangat dekat dengan daya beli yang mendorong permintaan. Faktor harga pada sisi produksi juga turut memengaruhi jumlah barang yang mampu disediakan. Di luar itu masih ada juga faktor preferensi (selera) dan karakteristik jenis produk yang memengaruhi tingkat elastisitas permintaan dan penawaran.
Terkait dengan inflasi yang rendah selama Ramadan, penulis menduga ada tiga kemungkinan di dalamnya yang dalam praktiknya tetap berpatok pada kurva permintaan dan penawaran. Kemungkinan yang pertama, karena suplai yang meningkat saat permintaannya tengah konstan, yang artinya ekuilibrium lebih banyak didorong pergerakan faktor penawaran untuk mendekati kurva permintaan.
Kemungkinan yang kedua, dua kurva sama-sama meningkat, tetapi pertumbuhan kurva penawarannya jauh lebih tinggi kelipatannya dibandingkan kurva permintaannya. Dengan begitu, keduanya berada pada masa top performances dan fenomena ini yang selalu menjadi idaman hampir di setiap negara.
Kemungkinan yang ketiga, terjadi inflasi rendah disebabkan penurunan tingkat permintaan, sedangkan kurva penawarannya berada pada kondisi yang konstan alias terjadi penurunan daya beli.
Penulis meragukan akseptabilitas kemungkinan pertama dan ketiga, mengingat besarnya gelontoran THR dan sumbangan sosial selama Ramadan. Dengan demikian, itu seharusnya mampu mendongkrak tingkat permintaan menjadi berlipat ganda daripada hari-hari biasa.
THR, Governance, Tingkat Bunga
Diskursus THR yang sedang ramai dibicarakan sepertinya perlu ditanggapi secara bijak, terutama terkait dengan prinsip governance yang perlu diutamakan. Seperti bagaimana pos pengeluaran belanja THR bisa dimasukkan dalam APBD Perubahan 2018 atau ada surat keputusan dari Kemenkeu (PMK) atau Kemendagri (permendagri) sebagai dasar untuk memasukkan belanja THR ini pada APBD.
Pola perhitungan THR tahun ini terdapat perbedaan dari tahun sebelumnya yang hanya memasukkan unsur gaji pokok. Sedangkan tahun ini ada tunjangan pendapatan yang juga dihitung dalam paket THR. Di satu sisi penambahan besaran THR diharapkan meningkatkan daya beli masyarakat khususnya dari kalangan ASN. Namun, di sisi yang lain, perubahan yang terkesan mendadak ini membuat banyak daerah yang kelabakan.
Problem lainnya muncul bagi daerah yang memiliki ruang fiskal yang sangat terbatas, akan kesulitan untuk memindah/menggeser belanja yang sudah ditetapkan sebelumnya menjadi belanja THR. Penggeseran pos anggaran ini sebaiknya tidak menjauhkan pemerintah daerah (pemda) dari tujuan semula yang sudah ditetapkan, khususnya dalam pencapaian tujuan pembangunan daerah seperti yang termaktub dalam rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) yang bersangkutan.
Kebijakan menarik berikutnya datang dari dampak kenaikan tingkat suku bunga 7 days repo rate (7DRR) yang sekarang menjadi 4,75%. Kurs rupiah terus menguat salah satunya berkat kenaikan 7DRR oleh Bank Indonesia (BI). Namun, paradigma tidak berhenti karena biasanya berlanjut pada isu tingkat bunga kredit yang bisa jadi memperkecil daya profitable-nya.
Kenaikan ini melahirkan kontemplasi berupa penurunan keuntungan perbankan melawan hasil penguatan rupiah. Tetapi, kabar baiknya penguatan kurs rupiah ternyata turut mengamankan inflasi dan mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya berkaitan dengan produk yang menggunakan barang impor sebagai bahan baku/barang penolong dan/atau barang konsumsi akhir.
Selama Ramadan ini berjalan, kita belajar betapa pentingnya kebijakan pemerintah yang bersifat incentive dan facilitative bagi keberlangsungan ekonomi masyarakat. Kendati demikian, bisa jadi kebijakan-kebijakan tersebut akan segera “menghilang” setelah berakhir Ramadan ini.
Kebijakan yang saat ini berlaku sifatnya hanyalah pengaman dan mitigasi dalam jangka pendek. Alangkah lebih baiknya jika sifat-sifat kebijakan ini bisa dilanjutkan dan didesain ulang agar meningkatkan nilai tambah ekonomi masyarakat dalam jangka panjang. Misalnya fokus untuk menjaga tingkat produktivitas dan daya beli masyarakat, yang berpusat pada penguatan pendapatan dan stabilitas harga yang muncul karena keseimbangan yang baik antara pasar demand dan supply.
Produk-produk yang tergantung dengan aktivitas impor seharusnya juga perlu ditekan agar tidak membuat perekonomian domestik terus mengalami gonjang-ganjing akibat fluktuasi perekonomian global. Kemandirian ekonomi juga bertujuan agar semakin banyak warga lokal yang terlibat pada aktivitas produksi dan pendapatan.
Kita perlu terus menjaga dan meningkatkan upaya yang sedemikian rupa agar aktivitas perekonomian kita lebih besar manfaatnya bagi masyarakat.
Akhir kata, penulis mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri untuk semua yang turut merayakan. Taqobbalallahuminnawaminkum. Semoga momentum Ramadan dan Lebaran kali ini menjadi masa-masa yang terbaik puasa kita dan berharap dengan seikhlas mungkin untuk dipertemukan dengan Ramadan yang indah, penuh maaf dan rahmat di tahun mendatang. Amin.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SEBAGAI bangsa yang beragama dan bertakwa, saat Ramadan memasuki masa-masa penghujungnya, membuat sebagian besar kaum muslim akan merasa sangat bersedih karena segera ditinggalkan bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Ramadan akan selalu diingat sebagai bulan penuh ampunan dan limpahan pahala yang dilipatgandakan.
Kebaikan yang senantiasa dilakukan oleh kaum muslim dalam bentuk infak, sedekah, dan zakat sebagai ibadah wajib dan sunah diyakini juga akan berdampak positif bagi pembangunan sosial ekonomi bangsa kita. Aktivitas tersebut mendukung gerakan gotong-royong masyarakat untuk berbagi kebahagiaan antarkomponen bangsa dalam menjalankan kehidupan bernegara.
Setidaknya dalam jangka pendek daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat semakin menguat seiring dengan keinginan berbelanja yang meningkat.
Di balik itu semua, terdapat berita yang cukup menarik seputar inflasi pada Mei yang dilaporkan BPS dalam kategori yang cukup rendah. Catatan positif tersebut seperti berbeda dari inflasi alami yang seringkali terjadi ketika mendekati momentum Ramadan dan Lebaran.
Pada masa-masa tersebut kenaikan harga khususnya pada kebutuhan sandang dan pangan akibat ada lonjakan permintaan (demand pull inflation) dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Inflasi pada Mei yang tercatat sebesar 0,21% (mtm) dianggap sebagai capaian yang sangat baik. Pada momentum yang sama tahun sebelumnya tingkat inflasi mencapai 0,39% (mtm).
Tahun ini capaian inflasi berada pada situasi yang sangat positif, khususnya untuk dikorelasikan pada output pertumbuhan ekonomi maupun daya beli masyarakat. Selain berkat pasokan produk yang terbukti mendorong harga menjadi stabil, faktor pendukung lainnya adalah tambahan pendapatan berupa tunjangan hari raya (THR) pada hampir seluruh tenaga kerja maupun gaji ke-13 yang diterima aparatur sipil negara (ASN). THR yang diterima ASN tahun ini juga meningkat karena jumlahnya tidak hanya sebesar gaji pokok, melainkan beserta tunjangan-tunjangannya.
Secara ekonomi Ramadan tahun ini benar-benar diusahakan tidak sampai terganggu dengan isu kenaikan harga. Kondisi ini seharusnya berimplikasi positif terhadap sektor ekonomi lainnya untuk ikut bergerak progresif dan turut meningkatkan gairah ekonomi.
Logika sederhananya ketika tingkat belanja (konsumsi) masyarakat semakin besar, jumlah suplai produksinya juga akan kian membesar. Produk-produk yang dikategori musiman seperti sarung, baju koko, sandal, sajadah, dan perlengkapan ibadah lainnya jumlahnya membanjiri pasar-pasar domestik.
Sayangnya, kita masih melihat banyak sekali produk-produk impor yang menghiasi lapak-lapak kita. Belum lagi jika ditambahkan pada kelompok bahan makanan atau makanan jadi yang sebagian juga diisi produk impor.
Berdasarkan pengakuan BPS, pada April 2018 terjadi kenaikan impor pakaian jadi bukan rajutan dari China sebesar 64,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun ini nilai transaksinya mencapai USD36,3 juta. Sedangkan pada April 2017 nilainya hanya sebesar USD22 juta.
Impor filamen (jenis benang yang digunakan untuk membuat kain) buatan China juga relatif besar mencapai USD320,82 juta pada April 2018. Penyebab utamanya tidak lain karena persiapan menjelang Lebaran.
Selain itu, berdasarkan pengakuan beberapa pedagang di Pasar Tanah Abang, produk-produk peralatan ibadah seperti sajadah kebanyakan disediakan dari Turki dan Arab Saudi.
Perihal kejadian ini seharusnya kita perlu sadar diri untuk berupaya lebih mandiri. Logikanya momentum Ramadan dan Lebaran sudah menjadi sebuah rutinitas tahunan.
Jika kita setiap tahunnya masih bergantung pada impor, sebetulnya ada apa dengan kita? Untuk produk-produk yang memang tidak efisien jika dipaksakan dikelola sendiri karena faktor endowment yang terbatas mungkin masih bisa dimaklumi.
Situasinya akan berbeda jika kita berbicara mengenai produk yang sebenarnya bisa kita buat sendiri. Karena nilai tambah berdikari (produksi secara mandiri) versus sekadar impor memiliki kesan yang berbeda dalam rangka pembangunan negeri.
Ada baiknya jika lapak-lapak yang menggeliat di mal atau pasar modern dapat diisi dengan produk dalam negeri, termasuk produk yang diperlukan saudara-saudara kita yang muslim selama Ramadan. Nanti akan ada gelimang penyerapan tenaga kerja dari berbagai lini yang sekaligus akan memberi pendapatan dan penguatan daya beli. Masak kita hanya terus menjadi penonton dan pembeli setiap tahun?
Menyelamatkan Daya Beli
Sepertinya kita perlu melakukan kroscek untuk memastikan apakah respons kebahagiaan kita sudah “benar” melihat inflasi yang saat ini tercatat cukup rendah. Pada dasarnya pergerakan inflasi memiliki hukum alam yang sederhana, yakni di mana lokasi pertemuan antara pasar demand dan supply.
Idealnya dua sisi pasar tersebut bertemu pada titik-titik yang sama-sama merdeka, yaitu di saat permintaan dan penawarannya seimbang pada tingkat yang sama-sama progresif.
Fenomena inflasi yang rendah itu sendiri biasanya karena tidak terjadi gap yang relatif besar antara jumlah permintaan dan penawaran (berjalan seimbang). Nah, dua komponen tersebut juga tidak bisa serta-merta muncul ke permukaan karena masih ada faktor-faktor lain yang bisa juga memengaruhi, yakni terkait tingkat pendapatan dan harga.
Tingkat pendapatan dan harga sangat dekat dengan daya beli yang mendorong permintaan. Faktor harga pada sisi produksi juga turut memengaruhi jumlah barang yang mampu disediakan. Di luar itu masih ada juga faktor preferensi (selera) dan karakteristik jenis produk yang memengaruhi tingkat elastisitas permintaan dan penawaran.
Terkait dengan inflasi yang rendah selama Ramadan, penulis menduga ada tiga kemungkinan di dalamnya yang dalam praktiknya tetap berpatok pada kurva permintaan dan penawaran. Kemungkinan yang pertama, karena suplai yang meningkat saat permintaannya tengah konstan, yang artinya ekuilibrium lebih banyak didorong pergerakan faktor penawaran untuk mendekati kurva permintaan.
Kemungkinan yang kedua, dua kurva sama-sama meningkat, tetapi pertumbuhan kurva penawarannya jauh lebih tinggi kelipatannya dibandingkan kurva permintaannya. Dengan begitu, keduanya berada pada masa top performances dan fenomena ini yang selalu menjadi idaman hampir di setiap negara.
Kemungkinan yang ketiga, terjadi inflasi rendah disebabkan penurunan tingkat permintaan, sedangkan kurva penawarannya berada pada kondisi yang konstan alias terjadi penurunan daya beli.
Penulis meragukan akseptabilitas kemungkinan pertama dan ketiga, mengingat besarnya gelontoran THR dan sumbangan sosial selama Ramadan. Dengan demikian, itu seharusnya mampu mendongkrak tingkat permintaan menjadi berlipat ganda daripada hari-hari biasa.
THR, Governance, Tingkat Bunga
Diskursus THR yang sedang ramai dibicarakan sepertinya perlu ditanggapi secara bijak, terutama terkait dengan prinsip governance yang perlu diutamakan. Seperti bagaimana pos pengeluaran belanja THR bisa dimasukkan dalam APBD Perubahan 2018 atau ada surat keputusan dari Kemenkeu (PMK) atau Kemendagri (permendagri) sebagai dasar untuk memasukkan belanja THR ini pada APBD.
Pola perhitungan THR tahun ini terdapat perbedaan dari tahun sebelumnya yang hanya memasukkan unsur gaji pokok. Sedangkan tahun ini ada tunjangan pendapatan yang juga dihitung dalam paket THR. Di satu sisi penambahan besaran THR diharapkan meningkatkan daya beli masyarakat khususnya dari kalangan ASN. Namun, di sisi yang lain, perubahan yang terkesan mendadak ini membuat banyak daerah yang kelabakan.
Problem lainnya muncul bagi daerah yang memiliki ruang fiskal yang sangat terbatas, akan kesulitan untuk memindah/menggeser belanja yang sudah ditetapkan sebelumnya menjadi belanja THR. Penggeseran pos anggaran ini sebaiknya tidak menjauhkan pemerintah daerah (pemda) dari tujuan semula yang sudah ditetapkan, khususnya dalam pencapaian tujuan pembangunan daerah seperti yang termaktub dalam rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) yang bersangkutan.
Kebijakan menarik berikutnya datang dari dampak kenaikan tingkat suku bunga 7 days repo rate (7DRR) yang sekarang menjadi 4,75%. Kurs rupiah terus menguat salah satunya berkat kenaikan 7DRR oleh Bank Indonesia (BI). Namun, paradigma tidak berhenti karena biasanya berlanjut pada isu tingkat bunga kredit yang bisa jadi memperkecil daya profitable-nya.
Kenaikan ini melahirkan kontemplasi berupa penurunan keuntungan perbankan melawan hasil penguatan rupiah. Tetapi, kabar baiknya penguatan kurs rupiah ternyata turut mengamankan inflasi dan mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya berkaitan dengan produk yang menggunakan barang impor sebagai bahan baku/barang penolong dan/atau barang konsumsi akhir.
Selama Ramadan ini berjalan, kita belajar betapa pentingnya kebijakan pemerintah yang bersifat incentive dan facilitative bagi keberlangsungan ekonomi masyarakat. Kendati demikian, bisa jadi kebijakan-kebijakan tersebut akan segera “menghilang” setelah berakhir Ramadan ini.
Kebijakan yang saat ini berlaku sifatnya hanyalah pengaman dan mitigasi dalam jangka pendek. Alangkah lebih baiknya jika sifat-sifat kebijakan ini bisa dilanjutkan dan didesain ulang agar meningkatkan nilai tambah ekonomi masyarakat dalam jangka panjang. Misalnya fokus untuk menjaga tingkat produktivitas dan daya beli masyarakat, yang berpusat pada penguatan pendapatan dan stabilitas harga yang muncul karena keseimbangan yang baik antara pasar demand dan supply.
Produk-produk yang tergantung dengan aktivitas impor seharusnya juga perlu ditekan agar tidak membuat perekonomian domestik terus mengalami gonjang-ganjing akibat fluktuasi perekonomian global. Kemandirian ekonomi juga bertujuan agar semakin banyak warga lokal yang terlibat pada aktivitas produksi dan pendapatan.
Kita perlu terus menjaga dan meningkatkan upaya yang sedemikian rupa agar aktivitas perekonomian kita lebih besar manfaatnya bagi masyarakat.
Akhir kata, penulis mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri untuk semua yang turut merayakan. Taqobbalallahuminnawaminkum. Semoga momentum Ramadan dan Lebaran kali ini menjadi masa-masa yang terbaik puasa kita dan berharap dengan seikhlas mungkin untuk dipertemukan dengan Ramadan yang indah, penuh maaf dan rahmat di tahun mendatang. Amin.
(poe)