Membangun Keadaban di Era Demokrasi Virtual

Kamis, 07 Juni 2018 - 08:00 WIB
Membangun Keadaban di Era Demokrasi Virtual
Membangun Keadaban di Era Demokrasi Virtual
A A A
Benni Setiawan Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute

REVOLUSI Industri 4.0 telah menjadi keniscayaan. Bangsa Indonesia pun bersiap menuju dunia yang kian terbuka. Making Indonesia 4.0, sebuah gerakan yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, pun akan menjadi gerbang masa depan bangsa Indonesia. Masa depan bangsa akan lebih baik dan atau malah sebaliknya, sejarahlah yang membuktikan.

Making Indonesia 4.0 me­rupakan respons dari peradaban digital yang kian kencang masuk dalam alam bawah sadar dan ruang gerak masyarakat Indo­nesia. Peradaban digital yang akan mengubah tatanan sosial politik masyarakat. Tatanan sosial politik tidak hanya akan mengubah lembaga politik, tetapi juga akan “menata ulang” cara pandang, perilaku, dan struktur sosial masyarakat.

Gilardi (2016) menjelaskan bahwa teknologi digital ini juga memengaruhi proses demo­krasi itu sendiri. Mobilisasi politik, stra­tegi kampanye, polarisasi opini publik hingga perangkat dan saluran tata kelola peme­rintahan pun mulai berubah (Yanu Endar Prasetyo, 2016).

Kekuatan Internet

Dengan demikian kehadiran demokrasi virtual sangat ber­singgungan dengan bangunan sosial politik. Bangunan sosial politik berubah total. Internet menjadi kekuatan pengubah tatanan sosial. Internet akan menjadi modal utama seseorang memenangkan pertarungan perebutan wacana.

Survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada November 2016 (APJII, 2016) menunjukkan bahwa sebanyak 129,2 juta (97,4%) dari total pengguna internet di Indonesia menjadikan media sosial sebagai jenis konten yang paling sering diakses. Data tersebut menunjukkan bahwa setengah lebih penduduk Indonesia atau 129,2 juta dari 256,2 juta pen­duduk Indonesia menggunakan media sosial sebagai konten yang paling sering diakses untuk memenuhi segala kebutuhan informasi mereka.

Kehadiran media sosial yang digunakan sebagai sumber informasi khalayak tersebut telah mengubah pola interaksi sosial atau interaksi antar individual (Iswandi Syahputra, 2017).

Pengguna internet yang banyak bisa saja menimbulkan masalah. Misalnya maraknya hoaks (berita bohong) dan ujaran kebencian. Namun internet perlu dimanfaatkan sebagai me­dia dakwah membangun ke­adab­an. Pasalnya, politik merupa­kan salah satu cara membangun ke­adaban itu.

Our Contribution Matters

Makna politik sebagai se­buah penata bangunan ke­umat­an mem­buat semua orang harus aktif di dalamnya. Demokrasi virtual memungkinkan warga masya­ra­kat berperan lebih banyak. Pa­sal­nya, di era ini semua tanggapan, masukan, saran, dan seterusnya menjadi sangat penting (our contribution matters).

Setiap kontribusi, sumbang saran, dan usulan kebajikan akan sangat berpengaruh pada bentuk dan wajah demokrasi virtual. Saat kita mendorong terciptanya ke­bajikan melalui ujaran kasih sayang (rahma), bentuk dan wajah tatanan sosial juga akan sejuk dan damai. Sebaliknya, saat yang tersaji ke permukaan adalah wajah garang, marah, dan penuh amarah, rupa demokrasi juga akan penuh dendam.

Membangun tatanan yang baik membutuhkan sikap kreatif. Sikap kreatif merupa­kan salah satu cara mengerem laju sikap reaktif. Kamus Besar Bahasa Indo­nesia dari Badan Bahasa me­muat lema kreatif dengan makna me­miliki daya cipta, memiliki ke­mam­puan untuk menciptakan, bersifat (mengandung) daya cipta.

Inilah fase tertinggi dalam model pendidikan, yaitu sikap mencipta dan menemukan hal baru. Kreativitas akan men­dorong seseorang terus berpikir dan bertindak.

Kreativitas juga menjadikan seseorang berbeda dengan yang lain. Pasalnya se­orang kreator akan mampu me­lihat tantangan menjadi pe­luang, melihat masalah menjadi solusi, melihat kekurangan men­jadi ke­lebihan dan seterus­nya. Seorang kreator tidak ak­an pernah mati gaya. Ia akan selalu hidup di mana pun dan kapan pun.

Anak Muda

Di tengah demokrasi virtual, anak-anak muda perlu aktif dan kreatif. Anak muda harus optimistis terhadap kehidupan demokrasi virtual saat ini. Sikap optimistis ini menjadi penting di tengah semakin tercerabutnya budaya bangsa dari nalar anak muda. Anak muda Indonesia sering kali kehilangan jati diri sebagai warga bangsa karena mereka kehilangan orientasi. Meminjam istilah Hannah Arendt, hilangnya orientasi hidup dan spirit kreator itu sebagai sebuah bunuh diri generasi.

Membangkitkan anak muda untuk menjadi seorang yang kreatif menjadi sebuah kenis­caya­an saat ini. Anak muda membutuhkan bim­bingan dari yang tua. Keter­bukaan orang tua terhadap anak muda akan me­nguatkan kepercayaan diri mereka. Saat anak muda sudah tumbuh rasa dan jiwanya, ia akan mampu mengguncang du­nia sebagai­mana kata Sukarno: berikan aku sepuluh pemuda, akan aku guncang dunia.

Kreativitas digital inilah yang akan mewarnai jagat de­mokrasi virtual. Jagat di mana serangan yang masif walaupun penuh dengan kebohongan akan menjadi kebenaran. Dan se­baliknya, saat kebenaran terus diam saja tanpa bertindak (amalu ash-sholihat), ia akan terbenam dan kalah.

Dengan demikian, dunia telah berubah, masyarakat perlu memahami dan turut serta membangun keadaban. Ngeli ning ra keli menjadi ung­kapan bijak guna menguatkan kolek­tivitas sosial dan me­nguatkan jejaring sosial. Me­nyiapkan anak muda, kreatif, dan inovatif dengan dukungan orang tua akan mengukuhkan wajah bangsa. Anak muda perlu terus didorong guna mewarnai demo­k­rasi virtual saat ini. Pasalnya inilah era anak muda. Anak muda yang lekat dengan peranti internet yang memungkinkan ter­jadi­nya perubahan sosial secara cepat.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3838 seconds (0.1#10.140)