Membangun Keadaban di Era Demokrasi Virtual
A
A
A
Benni Setiawan Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute
REVOLUSI Industri 4.0 telah menjadi keniscayaan. Bangsa Indonesia pun bersiap menuju dunia yang kian terbuka. Making Indonesia 4.0, sebuah gerakan yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, pun akan menjadi gerbang masa depan bangsa Indonesia. Masa depan bangsa akan lebih baik dan atau malah sebaliknya, sejarahlah yang membuktikan.
Making Indonesia 4.0 merupakan respons dari peradaban digital yang kian kencang masuk dalam alam bawah sadar dan ruang gerak masyarakat Indonesia. Peradaban digital yang akan mengubah tatanan sosial politik masyarakat. Tatanan sosial politik tidak hanya akan mengubah lembaga politik, tetapi juga akan “menata ulang” cara pandang, perilaku, dan struktur sosial masyarakat.
Gilardi (2016) menjelaskan bahwa teknologi digital ini juga memengaruhi proses demokrasi itu sendiri. Mobilisasi politik, strategi kampanye, polarisasi opini publik hingga perangkat dan saluran tata kelola pemerintahan pun mulai berubah (Yanu Endar Prasetyo, 2016).
Kekuatan Internet
Dengan demikian kehadiran demokrasi virtual sangat bersinggungan dengan bangunan sosial politik. Bangunan sosial politik berubah total. Internet menjadi kekuatan pengubah tatanan sosial. Internet akan menjadi modal utama seseorang memenangkan pertarungan perebutan wacana.
Survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada November 2016 (APJII, 2016) menunjukkan bahwa sebanyak 129,2 juta (97,4%) dari total pengguna internet di Indonesia menjadikan media sosial sebagai jenis konten yang paling sering diakses. Data tersebut menunjukkan bahwa setengah lebih penduduk Indonesia atau 129,2 juta dari 256,2 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial sebagai konten yang paling sering diakses untuk memenuhi segala kebutuhan informasi mereka.
Kehadiran media sosial yang digunakan sebagai sumber informasi khalayak tersebut telah mengubah pola interaksi sosial atau interaksi antar individual (Iswandi Syahputra, 2017).
Pengguna internet yang banyak bisa saja menimbulkan masalah. Misalnya maraknya hoaks (berita bohong) dan ujaran kebencian. Namun internet perlu dimanfaatkan sebagai media dakwah membangun keadaban. Pasalnya, politik merupakan salah satu cara membangun keadaban itu.
Our Contribution Matters
Makna politik sebagai sebuah penata bangunan keumatan membuat semua orang harus aktif di dalamnya. Demokrasi virtual memungkinkan warga masyarakat berperan lebih banyak. Pasalnya, di era ini semua tanggapan, masukan, saran, dan seterusnya menjadi sangat penting (our contribution matters).
Setiap kontribusi, sumbang saran, dan usulan kebajikan akan sangat berpengaruh pada bentuk dan wajah demokrasi virtual. Saat kita mendorong terciptanya kebajikan melalui ujaran kasih sayang (rahma), bentuk dan wajah tatanan sosial juga akan sejuk dan damai. Sebaliknya, saat yang tersaji ke permukaan adalah wajah garang, marah, dan penuh amarah, rupa demokrasi juga akan penuh dendam.
Membangun tatanan yang baik membutuhkan sikap kreatif. Sikap kreatif merupakan salah satu cara mengerem laju sikap reaktif. Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Badan Bahasa memuat lema kreatif dengan makna memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk menciptakan, bersifat (mengandung) daya cipta.
Inilah fase tertinggi dalam model pendidikan, yaitu sikap mencipta dan menemukan hal baru. Kreativitas akan mendorong seseorang terus berpikir dan bertindak.
Kreativitas juga menjadikan seseorang berbeda dengan yang lain. Pasalnya seorang kreator akan mampu melihat tantangan menjadi peluang, melihat masalah menjadi solusi, melihat kekurangan menjadi kelebihan dan seterusnya. Seorang kreator tidak akan pernah mati gaya. Ia akan selalu hidup di mana pun dan kapan pun.
Anak Muda
Di tengah demokrasi virtual, anak-anak muda perlu aktif dan kreatif. Anak muda harus optimistis terhadap kehidupan demokrasi virtual saat ini. Sikap optimistis ini menjadi penting di tengah semakin tercerabutnya budaya bangsa dari nalar anak muda. Anak muda Indonesia sering kali kehilangan jati diri sebagai warga bangsa karena mereka kehilangan orientasi. Meminjam istilah Hannah Arendt, hilangnya orientasi hidup dan spirit kreator itu sebagai sebuah bunuh diri generasi.
Membangkitkan anak muda untuk menjadi seorang yang kreatif menjadi sebuah keniscayaan saat ini. Anak muda membutuhkan bimbingan dari yang tua. Keterbukaan orang tua terhadap anak muda akan menguatkan kepercayaan diri mereka. Saat anak muda sudah tumbuh rasa dan jiwanya, ia akan mampu mengguncang dunia sebagaimana kata Sukarno: berikan aku sepuluh pemuda, akan aku guncang dunia.
Kreativitas digital inilah yang akan mewarnai jagat demokrasi virtual. Jagat di mana serangan yang masif walaupun penuh dengan kebohongan akan menjadi kebenaran. Dan sebaliknya, saat kebenaran terus diam saja tanpa bertindak (amalu ash-sholihat), ia akan terbenam dan kalah.
Dengan demikian, dunia telah berubah, masyarakat perlu memahami dan turut serta membangun keadaban. Ngeli ning ra keli menjadi ungkapan bijak guna menguatkan kolektivitas sosial dan menguatkan jejaring sosial. Menyiapkan anak muda, kreatif, dan inovatif dengan dukungan orang tua akan mengukuhkan wajah bangsa. Anak muda perlu terus didorong guna mewarnai demokrasi virtual saat ini. Pasalnya inilah era anak muda. Anak muda yang lekat dengan peranti internet yang memungkinkan terjadinya perubahan sosial secara cepat.
REVOLUSI Industri 4.0 telah menjadi keniscayaan. Bangsa Indonesia pun bersiap menuju dunia yang kian terbuka. Making Indonesia 4.0, sebuah gerakan yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, pun akan menjadi gerbang masa depan bangsa Indonesia. Masa depan bangsa akan lebih baik dan atau malah sebaliknya, sejarahlah yang membuktikan.
Making Indonesia 4.0 merupakan respons dari peradaban digital yang kian kencang masuk dalam alam bawah sadar dan ruang gerak masyarakat Indonesia. Peradaban digital yang akan mengubah tatanan sosial politik masyarakat. Tatanan sosial politik tidak hanya akan mengubah lembaga politik, tetapi juga akan “menata ulang” cara pandang, perilaku, dan struktur sosial masyarakat.
Gilardi (2016) menjelaskan bahwa teknologi digital ini juga memengaruhi proses demokrasi itu sendiri. Mobilisasi politik, strategi kampanye, polarisasi opini publik hingga perangkat dan saluran tata kelola pemerintahan pun mulai berubah (Yanu Endar Prasetyo, 2016).
Kekuatan Internet
Dengan demikian kehadiran demokrasi virtual sangat bersinggungan dengan bangunan sosial politik. Bangunan sosial politik berubah total. Internet menjadi kekuatan pengubah tatanan sosial. Internet akan menjadi modal utama seseorang memenangkan pertarungan perebutan wacana.
Survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada November 2016 (APJII, 2016) menunjukkan bahwa sebanyak 129,2 juta (97,4%) dari total pengguna internet di Indonesia menjadikan media sosial sebagai jenis konten yang paling sering diakses. Data tersebut menunjukkan bahwa setengah lebih penduduk Indonesia atau 129,2 juta dari 256,2 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial sebagai konten yang paling sering diakses untuk memenuhi segala kebutuhan informasi mereka.
Kehadiran media sosial yang digunakan sebagai sumber informasi khalayak tersebut telah mengubah pola interaksi sosial atau interaksi antar individual (Iswandi Syahputra, 2017).
Pengguna internet yang banyak bisa saja menimbulkan masalah. Misalnya maraknya hoaks (berita bohong) dan ujaran kebencian. Namun internet perlu dimanfaatkan sebagai media dakwah membangun keadaban. Pasalnya, politik merupakan salah satu cara membangun keadaban itu.
Our Contribution Matters
Makna politik sebagai sebuah penata bangunan keumatan membuat semua orang harus aktif di dalamnya. Demokrasi virtual memungkinkan warga masyarakat berperan lebih banyak. Pasalnya, di era ini semua tanggapan, masukan, saran, dan seterusnya menjadi sangat penting (our contribution matters).
Setiap kontribusi, sumbang saran, dan usulan kebajikan akan sangat berpengaruh pada bentuk dan wajah demokrasi virtual. Saat kita mendorong terciptanya kebajikan melalui ujaran kasih sayang (rahma), bentuk dan wajah tatanan sosial juga akan sejuk dan damai. Sebaliknya, saat yang tersaji ke permukaan adalah wajah garang, marah, dan penuh amarah, rupa demokrasi juga akan penuh dendam.
Membangun tatanan yang baik membutuhkan sikap kreatif. Sikap kreatif merupakan salah satu cara mengerem laju sikap reaktif. Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Badan Bahasa memuat lema kreatif dengan makna memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk menciptakan, bersifat (mengandung) daya cipta.
Inilah fase tertinggi dalam model pendidikan, yaitu sikap mencipta dan menemukan hal baru. Kreativitas akan mendorong seseorang terus berpikir dan bertindak.
Kreativitas juga menjadikan seseorang berbeda dengan yang lain. Pasalnya seorang kreator akan mampu melihat tantangan menjadi peluang, melihat masalah menjadi solusi, melihat kekurangan menjadi kelebihan dan seterusnya. Seorang kreator tidak akan pernah mati gaya. Ia akan selalu hidup di mana pun dan kapan pun.
Anak Muda
Di tengah demokrasi virtual, anak-anak muda perlu aktif dan kreatif. Anak muda harus optimistis terhadap kehidupan demokrasi virtual saat ini. Sikap optimistis ini menjadi penting di tengah semakin tercerabutnya budaya bangsa dari nalar anak muda. Anak muda Indonesia sering kali kehilangan jati diri sebagai warga bangsa karena mereka kehilangan orientasi. Meminjam istilah Hannah Arendt, hilangnya orientasi hidup dan spirit kreator itu sebagai sebuah bunuh diri generasi.
Membangkitkan anak muda untuk menjadi seorang yang kreatif menjadi sebuah keniscayaan saat ini. Anak muda membutuhkan bimbingan dari yang tua. Keterbukaan orang tua terhadap anak muda akan menguatkan kepercayaan diri mereka. Saat anak muda sudah tumbuh rasa dan jiwanya, ia akan mampu mengguncang dunia sebagaimana kata Sukarno: berikan aku sepuluh pemuda, akan aku guncang dunia.
Kreativitas digital inilah yang akan mewarnai jagat demokrasi virtual. Jagat di mana serangan yang masif walaupun penuh dengan kebohongan akan menjadi kebenaran. Dan sebaliknya, saat kebenaran terus diam saja tanpa bertindak (amalu ash-sholihat), ia akan terbenam dan kalah.
Dengan demikian, dunia telah berubah, masyarakat perlu memahami dan turut serta membangun keadaban. Ngeli ning ra keli menjadi ungkapan bijak guna menguatkan kolektivitas sosial dan menguatkan jejaring sosial. Menyiapkan anak muda, kreatif, dan inovatif dengan dukungan orang tua akan mengukuhkan wajah bangsa. Anak muda perlu terus didorong guna mewarnai demokrasi virtual saat ini. Pasalnya inilah era anak muda. Anak muda yang lekat dengan peranti internet yang memungkinkan terjadinya perubahan sosial secara cepat.
(mhd)