Bisnis dan HAM

Rabu, 06 Juni 2018 - 07:47 WIB
Bisnis dan HAM
Bisnis dan HAM
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

SAYA menghadiri sebuah konferensi antarbenua yang mempertemukan para pengusaha dan para penggiat HAM pekan ini di Bangkok. Penyelenggaranya adalah AICHR (Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk HAM) dengan tema Bisnis dan HAM.

Tema ini bukan hal baru dan sudah dikampanyekan sejak tiga puluhan tahun lalu, tepatnya ketika pusat-pusat produksi di Eropa dan Amerika Serikat (AS) melakukan relokasi ke sejumlah negara-negara berkembang yang berada di belahan timur dunia. Institusionalisasi bisnis dan HAM berkembang dengan berbagai standar-standar dan mekanismenya sebagai syarat produk-produk tertentu masuk ke dalam pasar di Eropa dan AS.

Contoh, produk-produk alas sepatu NIKE, Adidas, Puma, dan sebagainya memiliki standar ketenagakerjaan yang harus dipatuhi oleh sebuah pabrik di Indonesia. Kadang-kadang satu pabrik memproduksi lebih dari satu merek sehingga mereka juga harus memiliki standar lebih dari satu. Ini menjadi salah keluhan bagi pemilik pabrik karena standar itu harus disertifikasi oleh lembaga pengawas dan berbayar.

Selain alas sepatu, produk yang saat ini tengah menjadi perhatian adalah minyak kelapa sawit. Para produsen yang ingin masuk pasar Eropa dan Amerika wajib mengantongi sertifikat RSPO atau standar lain yang membuktikan bahwa produksi minyak kelapa sawit mereka sudah ramah lingkungan dan ramah HAM.

Dari berbagai bentuk institusionalisasi dan standardisasi, PBB melalui Dewan HAM PBB mengeluarkan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) pada 2011.

Profesor John Ruggie yang ditugaskan oleh Sekretaris Jenderal PBB sebagai special representative untuk HAM dan Perusahaan Lintas Negara, merumuskan tiga pilar dari Bisnis dan HAM yaitu protect, respect, remedy (perlindungan, penghormatan, pemulihan). Protect maksudnya adalah tugas negara untuk melindungi warganya dari pelanggaran HAM akibat pihak ketiga termasuk perusahaan melalui kebijakan, peraturan, dan putusan hukum yang tepat guna.

Respect maksudnya tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM sehingga badan usaha wajib bertindak hati-hati untuk menghindari pelanggaran hak dan untuk merespons dampak-dampak buruk akibat kegiatannya. Remedy maksudnya kebutuhan akan akses bagi korban akan pemulihan yang efektif, baik yang sifatnya yudisial maupun nonyudisial.

Indonesia ikut mendukung UNGPs dengan menerima kritik dan rekomendasi terkait Bisnis dan HAM melalui Universal Periodic Review atau Siklus Tinjauan Universal Berkala. Beberapa lembaga swadaya masyarakat juga menyambut baik dukungan tersebut.

Komnas HAM bersama-sama dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meluncurkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM Indonesia yang diturunkan menjadi Peraturan Komnas HAM Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengesahan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM, Berita Negara No 856. Dokumen ini memuat strategi kebijakan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif operasional dunia usaha.

Bila diterapkan, prinsip Panduan Bisnis dan HAM akan amat bermanfaat untuk meningkatkan perlindungan HAM masyarakat yang pada akhirnya membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Namun kenyataannya, di lapangan ternyata tidaklah mudah. Sejumlah kendala seperti perbedaan interpretasi, sejarah masyarakat, dinamika politik di dalam negeri, perkembangan bisnis tidak sama antara satu negara dan negara lain. Bahkan, antara satu provinsi dan provinsi lain pun berbeda.

Bagi mereka yang telah bergelut lama dalam masalah HAM, melihat masalah ini sebagai persoalan klasik di tingkat wacana antara paham universal versus paham partikularistik. Secara sederhana, paham universal mendefinisikan HAM sebagai sebuah nilai-nilai yang berlaku umum, lintas batas, lintas negara, lintas agama, dan sebagainya.

Di sisi lain, paham partikularistik mendefinisikan HAM dalam konteks keberagaman masyarakat di dunia. Saya sendiri menilai bahwa sistem sosial masyarakat adalah sistem yang bersifat terbuka karena sistem itu dihuni oleh manusia yang aktif dan responsif.

Sistem terbuka dalam arti bahwa banyak tindakan-tindakan manusia yang timbul baik secara spontan maupun terencana yang membuat harapan manusia lainnya terwujud atau terhambat. Sistem sosial masyarakat adalah hasil dari negosiasi, konflik, atau kompromi dari satu kelompok dengan kelompok lainnya. Oleh sebab itu, wajah masyarakat tidak pernah sama karena selalu merupakan refleksi dari dinamika sejarah di dalamnya.

Perkara ini juga dipahami ketika panduan ini disusun. Panduan ini tidak seluruhnya bersifat universal, tetapi juga tidak partikularistik. Contoh satu pilar yang berbicara tentang pentingnya perilaku perusahaan atau bisnis baik mengikuti prinsip seluruh komponen standar HAM, namun di sisi lain kepatuhan itu bersifat sukarela.

Pendekatan pragmatis ini mengakomodasi tuntutan berlakunya HAM tanpa kecuali, tetapi juga mengakomodasi pendekatan partikularistik yang memandang tidak semua perusahaan maju seperti perusahaan lain. Pun tidak semua unit bisnis bisa diperlakukan sama.

Ruggie menyadari masalah ini. Pendapatnya dalam sebuah artikel mengatakan bahwa “Ide HAM memang sederhana dan kuat, tetapi operasionalisasi dan efektivitas rezim HAM global justru sebaliknya. Kesederhanaan dan kekuatan HAM terletak pada ide bahwa tiap orang terlahir bermartabat dengan hak-hak yang sama, tetapi masalahnya mendasar bagaimana suatu proyek politis yang dikemas oleh perspektif HAM dapat bersifat tetap, padahal kepentingan kita meluas, dan komunitas yang terbiasa dengan suatu isu telah kehilangan dasar dan basis pemersatu” (Ruggie 2017).

Dalam diskusi yang berkembang dalam pertemuan AICHR di Bangkok, salah satu contoh dari masalah ini adalah terkait penjaminan hak perempuan dalam dunia bisnis. Di satu sisi tidak disangkal bahwa perempuan berhak untuk mengambil keputusan dan menerima upah yang layak beserta segala tunjangannya setara dengan yang diterima rekan-rekan kerjanya yang laki-laki.

Namun di sisi lain, dunia yang semakin terintegrasi oleh pasar global ini menempatkan perempuan sebagai konsumen sekaligus produsen. Produsen di satu negara bisa ditekan oleh konsumen di negara lain karena berbagai alasan kewajiban untuk bertanggung jawab di dunia usaha, misalnya untuk menjaga kelestarian alam maka ada tuntutan traceability untuk produk-produk pertanian seperti minyak sawit dan daging, juga tuntutan standar organik untuk produk holtikultura tertentu, atau tuntutan harga lebih terjangkau untuk produk industri rumahan yang mengabaikan hak intelektual atas desain produk tersebut.

Isu ramah gender dalam arti yang biasanya dipahami (seperti pelecehan seksual di tempat kerja atau kesenjangan upah bagi perempuan) menjadi tidak sepenuhnya relevan karena kepentingan kelompok perempuan terpecah antara perempuan dari negara berkembang dan perempuan dari negara maju.

Semakin lebar jurang pembangunan antarnegara di sektor-sektor ekonomi tertentu maka semakin tajam pula tekanan yang dialami pada perempuan di sektor-sektor tersebut. Alhasil, tuntutan perlindungan HAM atas konsumen yang notabene perempuan di belahan dunia yang satu, malah akan menekan HAM bagi perempuan di belahan dunia yang lain. Ironis. Apalagi tren perang dagang antarnegara meluas tahun ini.

Itu sebabnya Ruggie memilih untuk memberi kebebasan bentuk implementasi UNGPs sesuai keragaman jenis industri, aturan usaha, inisiatif lintas kelompok kepentingan di suatu negara, wujud kerja sama publik-swasta, serta potensi pengaturan kejahatan internasional di pengadilan dalam negeri. Tanpa pengakuan akan keberagaman tersebut, menurut Ruggie, implementasi prinsip Bisnis dan HAM justru akan terbatas dan tidak efektif.

Di tingkat ASEAN sedang dieksplorasi kerangka institusional yang khas dan cocok dikembangkan secara luas di Asia Tenggara. Ada yang menganggap bahwa model pewajiban pengelolaan corporate social responsibility (CSR) sebagai yang patut diperluas pengembangannya dengan contoh keberhasilan Singapura.

Namun, negara seperti Indonesia menginginkan eksplorasi yang lebih mendalam pada perluasan kewirausahaan (entrepreneurship) karena skala usaha yang beragam wujudnya dan tidak bisa disamaratakan untuk seluruh wilayah negeri.

Ada pula wacana penguatan kerja sama swasta-swasta untuk menyamakan standar penghormatan pada hak perempuan dan anak di dalam perusahaan, misalnya dalam menyediakan standar upah untuk kategori pekerjaan tertentu, penyediaan ruang laktasi dan penitipan anak di kantor, akses cuti orang tua saat kelahiran anak, dan sebagainya. Untuk jenis usaha tertentu seperti yang bergerak di sektor kehutanan, disebut pula wacana perlindungan atas penghidupan masyarakat adat dan keanekaragaman hayati (biodiversity) di sekitar wilayah produksi.

Sejumlah contoh di atas tidak sepenuhnya baru. Ada yang mirip pernah dikembangkan juga di belahan dunia lain. Namun, yang patut diapresiasi adalah bahwa negara-negara di ASEAN ternyata termasuk yang tanggap membuat Kerangka Aksi Nasional untuk menerapkan UNGPs dan di sejumlah lokasi telah dilakukan pemetaan kelompok kepentingan.

Ada dorongan agar kelompok bisnis multinasional yang masuk berinvestasi dan mencari mitra ke kawasan ASEAN, wajib bersikap bertanggung jawab dalam menjalankan prinsip Protect, Respect and Remedy. Demikian pula para pengusaha lokal mulai diperkenalkan dengan kewajiban mematuhi standar HAM dalam memperlakukan pegawai. Ini tren positif yang perlu terus dikawal, apalagi karena tajamnya persaingan ekonomi di tingkat global biasanya membuat penguatan tren ini berpotensi terhambat.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1156 seconds (0.1#10.140)