Jelang Lebaran, Pejabat Dilarang Menerima Parsel
A
A
A
JAKARTA - Bagi pejabat negara yang biasa menjelang Lebaran menerima parsel, baik berupa barang, uang, maupun bentuk lainnya, sebaiknya menolak pemberian tersebut. Jika nekat menerima, apalagi tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka bisa diancam pidana.
Peringatan yang disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo, sekaligus mengingatkan adanya aturan gratifikasi seperti dimuat dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam undang-undang tersebut disebut bahwa penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya adalah dilarang, dan memiliki risiko sanksi pidana.
Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, KPK sudah menyampaikan imbauannya dan menyiarkannya ke lembaga-lembaga negara, kepala daerah, BUMD dan kalangan pengusaha melalui surat resmi yang ditembuskan kepada Presiden RI Joko Widodo, Ketua DPR Bambang Soesatyo, dan Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara. Namun, imbauan KPK tersebut masih memicu kontroversi karena pemberian parsel merupakan bentuk budaya. Larangan itu juga hanya akan merugikan pengusaha parsel yang sebagian besar merupakan kalangan UMKM.
Agus menandaskan, selain untuk mendukung pemberantasan korupsi, sikap menolak parsel yang dilakukan pegawai negeri atau penyelenggara negara merupakan teladan yang baik bagi masyarakat. "Apabila pegawai negeri dan penyelenggara negara dalam keadaan tertentu terpaksa menerima gratifikasi maka wajib melaporkan kepada KPK dalam 30 hari kerja sejak tanggal penerimaan gratifikasi," ujar Agus kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/6/2018).
Apabila para pejabat negara mendapat bungkusan parsel berupa makanan maka dapat langsung disumbangkan ke panti asuhan, panti jompo, dan pihak lain yang lebih membutuhkan. Namun, Agus meminta pemberian tersebut wajib difoto dan dilaporkan kepada KPK. "Kemudian, pimpinan instansi atau lembaga pemerintah agar melarang penggunaan fasilitas dinas seperti kendaraan dinas operasional untuk kepentingan pribadi pegawai untuk kegiatan mudik," imbuhnya.
Bukan hanya parsel, KPK juga melarang permintaan dana, sumbangan, atau hadiah sebagai tunjangan hari raya (THR), sebab THR tersebut dapat berpotensi menyalahgunakan wewenang yang dapat berimplikasi pada tindak pidana korupsi. "Peran pimpinan perusahaan atau korporasi diharapkan komitmennya untuk meningkatkan kesadaran dan ketaatan dengan tidak memberikan sesuatu, serta menginstruksikan kepada semua jajarannya untuk tidak memberikan gratifikasi," pungkasnya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Asman Abnur menilai surat edaran yang dikeluarkan oleh KPK merupakan bentuk pengawasan dan pencegahan, sehingga momen lebaran tidak dijadikan kesempatan untuk melanggar aturan yang ada. "Ini bentuk pengawasan supaya jangan sampai parsel disalahgunakan. Ini positif," katanya.
Menurut dia, melalui Permenpan larangan menerima parsel sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Untuk lebaran ini ketentuan yang sama tinggal dilaksanakan. "Permenpan memang melarang. Jadi tinggal dilanjutkan saja," tuturnya.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran Yogi Suprayogi mengatakan budaya PNS untuk melaporkan pemberian ataupun gratifikasi masih rendah. Apalagi banyak PNS, terutama di daerah, tidak tahu mekanisme bagaimana melaporkan hasil pemberian orang lain. "Surat edaran tersebut baik dan positif. Tapi harus juga disertai kejelasan ke mana dan bagaimana mekanisme pelaporan setiap pemberian. Jangan sampai PNS tidak tahu harus dikembalikan ke mana," ungkapnya.
Pro-Kontra
Peringatan KPK tersebut masih memicu pro-kontra. Selain karena budaya, sebagian masih berharap parsel dengan harga di bawah satu juga tidak dipersoalkan. Anggota Komisi II DPR Firman Soebagyo, misalnya, meski mendukung pelaksanaan aturan perundangan tersebut, dia juga mengingatkan adanya ketentuan bahwa pejabat boleh menerima asalkan tidak melebihi nominal Rp1 juta. "Itu budaya yang sifatnya untuk saling menghargai. Kalau isinya makanan enggak masalah, kalau mobil enggak boleh," kata Firman saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta, Senin (4/6/2018).
Sikap berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR Nihayatul Wafiroh. Dia secara tegas mendukung adanya surat edaran KPK itu. Itu merupakan penegasan dari aturan yang sudah ada sebelumnya. Meskipun nominal parsel di bawah Rp1 juta, hal itu sebaiknya dihindari. "Pertanyaannya begini, apakah ada pengusaha yang cuma ngasih kurang dari sejuta?" kata politikus PKB itu saat dihubungi.
Pro-kontra juga terjadi di kalangan pengusaha. Anggota Himpunan Pengusaha Indonesia (Hipmi) bidang organisasi, Anggawira, menilai larangan KPK untuk memberikan parsel di kalangan pengusaha dinilai tidak sesuai dengan tata krama di Indonesia. Dia menilai larangan tersebut seharusnya tidak dilihat dari nominalnya.
"Saya kira kami di kalangan pengusaha biasa dengan hal-hal seperti itu, sebab jangan dilihat nominalnya. Biasanya nominalnya justru tidak seberapa," ujar dia kepada KORAN SINDO.
Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang mendukung penuh peringatan KPK yang dinilainya sebagai salah satu upaya untuk menangkal terjadinya praktik korupsi. Dia mengakui surat KPK tersebut bukan hanya ditujukan kepada pejabat pemerintah, melainkan juga kepada ketua umum Kadin Indonesia dan kepada seluruh pelaku usaha. "Walaupun ada larangan jangan sampai mengurangi tali silaturahmi di hari raya Idul Fitri, saling mengunjungi dan saling memaafkan tetap dilakukan. Kalau sesama pengusaha swasta enggak masalah saling mengirimkan parsel," ujarnya.
Adapun Ketua Asosiasi Peng usaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana mengatakan larangan tersebut sudah lama dan kalangan pengusaha tentu mematuhi larangan tersebut. Namun, dia mengingatkan KPK jika tujuan pelarangan ini disebabkan adanya oknum-oknum yang menyalahgunakan parsel sebagai bagian dari gratifikasi, yang merugi adalah para pebisnis parsel, “Dan, kebanyakan pebisnis parsel itu kalangan UKM yang mestinya tidak perlu jadi korban kebijakan," tuturnya.
Peringatan yang disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo, sekaligus mengingatkan adanya aturan gratifikasi seperti dimuat dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam undang-undang tersebut disebut bahwa penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya adalah dilarang, dan memiliki risiko sanksi pidana.
Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, KPK sudah menyampaikan imbauannya dan menyiarkannya ke lembaga-lembaga negara, kepala daerah, BUMD dan kalangan pengusaha melalui surat resmi yang ditembuskan kepada Presiden RI Joko Widodo, Ketua DPR Bambang Soesatyo, dan Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara. Namun, imbauan KPK tersebut masih memicu kontroversi karena pemberian parsel merupakan bentuk budaya. Larangan itu juga hanya akan merugikan pengusaha parsel yang sebagian besar merupakan kalangan UMKM.
Agus menandaskan, selain untuk mendukung pemberantasan korupsi, sikap menolak parsel yang dilakukan pegawai negeri atau penyelenggara negara merupakan teladan yang baik bagi masyarakat. "Apabila pegawai negeri dan penyelenggara negara dalam keadaan tertentu terpaksa menerima gratifikasi maka wajib melaporkan kepada KPK dalam 30 hari kerja sejak tanggal penerimaan gratifikasi," ujar Agus kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/6/2018).
Apabila para pejabat negara mendapat bungkusan parsel berupa makanan maka dapat langsung disumbangkan ke panti asuhan, panti jompo, dan pihak lain yang lebih membutuhkan. Namun, Agus meminta pemberian tersebut wajib difoto dan dilaporkan kepada KPK. "Kemudian, pimpinan instansi atau lembaga pemerintah agar melarang penggunaan fasilitas dinas seperti kendaraan dinas operasional untuk kepentingan pribadi pegawai untuk kegiatan mudik," imbuhnya.
Bukan hanya parsel, KPK juga melarang permintaan dana, sumbangan, atau hadiah sebagai tunjangan hari raya (THR), sebab THR tersebut dapat berpotensi menyalahgunakan wewenang yang dapat berimplikasi pada tindak pidana korupsi. "Peran pimpinan perusahaan atau korporasi diharapkan komitmennya untuk meningkatkan kesadaran dan ketaatan dengan tidak memberikan sesuatu, serta menginstruksikan kepada semua jajarannya untuk tidak memberikan gratifikasi," pungkasnya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Asman Abnur menilai surat edaran yang dikeluarkan oleh KPK merupakan bentuk pengawasan dan pencegahan, sehingga momen lebaran tidak dijadikan kesempatan untuk melanggar aturan yang ada. "Ini bentuk pengawasan supaya jangan sampai parsel disalahgunakan. Ini positif," katanya.
Menurut dia, melalui Permenpan larangan menerima parsel sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Untuk lebaran ini ketentuan yang sama tinggal dilaksanakan. "Permenpan memang melarang. Jadi tinggal dilanjutkan saja," tuturnya.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran Yogi Suprayogi mengatakan budaya PNS untuk melaporkan pemberian ataupun gratifikasi masih rendah. Apalagi banyak PNS, terutama di daerah, tidak tahu mekanisme bagaimana melaporkan hasil pemberian orang lain. "Surat edaran tersebut baik dan positif. Tapi harus juga disertai kejelasan ke mana dan bagaimana mekanisme pelaporan setiap pemberian. Jangan sampai PNS tidak tahu harus dikembalikan ke mana," ungkapnya.
Pro-Kontra
Peringatan KPK tersebut masih memicu pro-kontra. Selain karena budaya, sebagian masih berharap parsel dengan harga di bawah satu juga tidak dipersoalkan. Anggota Komisi II DPR Firman Soebagyo, misalnya, meski mendukung pelaksanaan aturan perundangan tersebut, dia juga mengingatkan adanya ketentuan bahwa pejabat boleh menerima asalkan tidak melebihi nominal Rp1 juta. "Itu budaya yang sifatnya untuk saling menghargai. Kalau isinya makanan enggak masalah, kalau mobil enggak boleh," kata Firman saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta, Senin (4/6/2018).
Sikap berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR Nihayatul Wafiroh. Dia secara tegas mendukung adanya surat edaran KPK itu. Itu merupakan penegasan dari aturan yang sudah ada sebelumnya. Meskipun nominal parsel di bawah Rp1 juta, hal itu sebaiknya dihindari. "Pertanyaannya begini, apakah ada pengusaha yang cuma ngasih kurang dari sejuta?" kata politikus PKB itu saat dihubungi.
Pro-kontra juga terjadi di kalangan pengusaha. Anggota Himpunan Pengusaha Indonesia (Hipmi) bidang organisasi, Anggawira, menilai larangan KPK untuk memberikan parsel di kalangan pengusaha dinilai tidak sesuai dengan tata krama di Indonesia. Dia menilai larangan tersebut seharusnya tidak dilihat dari nominalnya.
"Saya kira kami di kalangan pengusaha biasa dengan hal-hal seperti itu, sebab jangan dilihat nominalnya. Biasanya nominalnya justru tidak seberapa," ujar dia kepada KORAN SINDO.
Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang mendukung penuh peringatan KPK yang dinilainya sebagai salah satu upaya untuk menangkal terjadinya praktik korupsi. Dia mengakui surat KPK tersebut bukan hanya ditujukan kepada pejabat pemerintah, melainkan juga kepada ketua umum Kadin Indonesia dan kepada seluruh pelaku usaha. "Walaupun ada larangan jangan sampai mengurangi tali silaturahmi di hari raya Idul Fitri, saling mengunjungi dan saling memaafkan tetap dilakukan. Kalau sesama pengusaha swasta enggak masalah saling mengirimkan parsel," ujarnya.
Adapun Ketua Asosiasi Peng usaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana mengatakan larangan tersebut sudah lama dan kalangan pengusaha tentu mematuhi larangan tersebut. Namun, dia mengingatkan KPK jika tujuan pelarangan ini disebabkan adanya oknum-oknum yang menyalahgunakan parsel sebagai bagian dari gratifikasi, yang merugi adalah para pebisnis parsel, “Dan, kebanyakan pebisnis parsel itu kalangan UKM yang mestinya tidak perlu jadi korban kebijakan," tuturnya.
(amm)