Menuju Mudik Ramah Difabel

Selasa, 05 Juni 2018 - 09:12 WIB
Menuju Mudik Ramah Difabel
Menuju Mudik Ramah Difabel
A A A
FX Rudy Gunawan

Penulis adalah Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden dan

Pendiri media khusus disabilitas Majalah Diffa

Saat mudik Le­bar­an telah tiba. Ri­tual massal ta­hun­a­n bangsa In­do­nesia yang luar biasa besar dan menyatukan seluruh ele­men bangsa dalam suatu per­ge­rakan bersama itu diper­ki­ra­kan akan mulai berlangsung pa­da akhir pekan pertama Ju­ni 2018.

Nilai-nilai yang te­r­da­pat dalam ritual mudik Le­bar­an adalah spiritualitas yang ber­sifat lintas agama, lintas bu­daya, lintas suku, lintas go­long­an, lintas kelas, dan status sosial, ekonomi, politik. Da­lam ritual mudik Lebaran se­mua sekat tersebut melebur menjadi sebuah energi bangsa yang bergerak dalam kesa­tu­pa­duan.

Mudik Lebaran ada­lah fakta kesatupaduan selu­ruh elemen bangsa, termasuk ke­lompok difabel atau pe­nyan­dang disabilitas yang juga larut dalam menjadi bagian momen tersebut.

Dalam sebuah rapat koor­di­nasi antarkementerian dan lem­baga untuk mem­per­sia­p­kan serta memastikan mudik Le­baran 2018 bisa berjalan le­bih lancar, aman, dan nyaman yang digelar Kantor Staf Pre­siden (KSP), turut hadir se­orang tunadaksa. Ini bukan se­buah kebetulan.

Tunadaksa yang hadir itu memang salah se­orang tenaga ahli di KSP. Da­lam hiruk-pikuk ritual mudik, mungkin kelompok difabel atau disabilitas selama ini ku­rang mendapat perhatian. Pe­nyebabnya, persepsi ma­sya­ra­kat dan pemahaman umum ten­tang disabilitas masih be­lum berbasis hak asasi ma­nu­sia, melainkan lebih ber­da­sar­kan pada belas kasihan.

Arti­nya, sebagian besar ma­sya­ra­kat mungkin masih be­r­ang­gapan para penyandang di­sa­bilitas tidak menjadi bagian dari ritual mudik karena kon­disi keterbatasan fisik mereka. Padahal sebagian besar pe­nyandang disabilitas selama ini juga turut menjadi bagian ritual mudik lebaran.

Kehadiran seorang tuna­dak­sa dalam rapat koordinasi antarkementerian dan lem­baga tim persiapan dan pe­man­tauan mudik 2018 adalah se­buah bukti nyata sekaligus langkah maju menuju mudik yang ramah difabel.

Di sisi lain, keberadaan seorang te­na­ga ahli dari kelompok difa­bel di ling­karan utama ke­kua­saan juga patut mendapat apre­siasi dan menjadi contoh pe­me­nuh­an undang-undang ket­e­na­ga­ker­jaan yang meng­ha­ruskan kuo­ta 1% tenaga ker­ja disa­bi­li­tas di semua sektor.

Infrastruktur untuk Aksesibilitas

Para tunadaksa, tu­na­ne­tra, tunarungu, tunagrahita atau down syndrome, dan juga autis serta celebral palsy setiap tahun pasti ada yang turut me­lebur dalam arus mudik. Men­jadi satu padu dengan seluruh rakyat Indonesia sebagai se­sa­ma warga negara yang me­mi­li­ki hak sama.

Meski tidak pasti berapa besar jumlah kelompok difabel yang turut menjadi ba­gi­an dari arus mudik, tapi kita bi­sa merujuk pada data dari

Ba­dan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis tahun 2016 ten­tang jumlah kelompok difabel. Menurut data BPS, estimasi pe­nyandang disabilitas

di In­do­­nesia pada 2016 sebesar 12,15%. Dari jumlah itu, 10,29% adalah penyandang di­sabilitas kategori sedang dan 1,87% kategori berat.

Ini adalah jumlah yang sig­ni­fikan, 12,15% dari 250-an juta penduduk Indonesia. Un­tuk difabel kategori sedang, arti­nya mereka masih mung­kin memiliki kemampuan mo­bilitas atau melakukan per­ja­lan­an jarak sedang sampai jauh.

Namun, untuk itu tentu dibutuhkan berbagai sarana dan prasarana aksesibilitas se­suai kebutuhan khusus pe­nyan­dang disabilitas. Menu­rut BPS, bahkan dalam men­da­ta disabilitas pun petugas ha­rus mengetahui bagaimana me­ngenali ciri, kebutuhan, mau­pun hambatan dalam ke­hi­­dupan para penyandang disabilitas.

Pendataan di­sa­bi­li­tas dengan demikian menjadi le­bih spesifik dan unik. Pe­me­rintah juga sudah lama me­nya­dari pentingnya data pe­nyan­dang disabilitas yang lebih akurat dan detil, terutama da­lam kaitan merancang ber­bagai ­program pembangunan agar bisa mengakomodasi

ke­bu­tuhan khusus sebagai pe­me­nuhan hak-hak penyan­dang disabilitas secara terin­te­grasi dengan program pem­ba­ngun­an yang dilakukan.

Satu contoh nyata adalah program pembangunan in­fra­struktur. Pembangunan infra­struk­tur yang digenjot selama tiga tahun terakhir oleh pe­me­rin­tahan Presiden Joko Wi­do­do pada dasarnya memiliki visi menciptakan aksesibilitas ba­gi seluruh warga negara In­do­ne­sia termasuk di dalamnya pa­ra penyandang disabilitas.

Dalam wacana pembangunan infrastruktur itu, meski tidak secara langsung ditegaskan, pemerintah sebenarnya telah melakukan upaya memenuhi kebutuhan aksesibilitas para penyandang disabilitas yang selama ini mengalami banyak kendala dan keterbatasan fasilitas.

Keterbatasan dan kendala aksesibilitas ruang gerak pe­nyan­dang disabilitas akan sa­ngat terasa dalam momen mo­bi­li­tas besar mudik lebaran. Di te­ngah hiruk-pikuk per­ge­rak­an yang begitu masif, para pe­nyandang disabilitas harus ber­juang berpuluh kali lebih be­rat dibandingkan

non­di­sa­bi­litas.

Seorang tunagrahita atau penyandang cerebral palsy misalnya, memiliki keti­dak­mam­puan menahan buang air kecil sehingga mereka

mem­bu­tuhkan akses ke toilet lebih ba­nyak. Bayangkan, jika mere­ka harus antre toilet bersama ratusan pemudik lain di rest area.

Ilustrasi di atas adalah con­toh kecil bahwa pem­bangunan infrastruktur yang sudah di­gen­jot habis-habisan oleh pe­me­rintah saat ini akan lebih utuh jika dalam proses pe­ran­cangan programnya telah me­ma­sukkan dan mem­per­tim­bang­kan kebutuhan berbagai kelompok penyandang disa­bi­li­tas. Saat ini fasilitas untuk di­sabilitas yang sudah lengkap adalah untuk para pemudik yang menggunakan moda ang­kutan udara.

Di setiap ban­da­ra, sudah ada toilet khusus pe­nyandang disabilitas, es­k­a­la­t­or yang tidak bertangga (lan­dai), ram di samping anak tangga, dan juga lift khusus di sejumlah bandara. Untuk moda angkutan darat, seperti di terminal bus, para pe­nyan­dang disabilitas masih belum sepenuhnya bisa men­da­pat­kan fasilitas seperti itu. Pem­ba­ngunan jalan tol untuk mu­dik 2018 sudah berhasil meng­hu­bungkan Jakarta sampai Surabaya, tentu juga akan lebih sempurna jika di setiap rest area atau SPBU memiliki fasi­li­tas seperti di bandara.

Disabilitas Bukan Beban

Dalam semangat keber­sa­ma­an mudik, semua sekat per­bedaan seharusnya melebur dan mewujud menjadi rasa per­satuan seluruh anak bang­sa. Selanjutnya tentu saja rasa persatuan itu harus ditum­buh­kembangkan dan diper­kuat se­tiap waktu dalam kehi­dup­an ber­bangsa dan berne­ga­ra.

Se­mua gap atau jarak entah itu ber­da­sarkan pada stereotip suku, etnis, gender, status so­sial-eko­nomi, maupun pilihan politik bukan berarti harus menjadi po­tensi konflik. Pada dasarnya, ste­reotip adalah soal persepsi. Jika berangkat dari per­sepsi yang tidak benar, ma­ka akan me­mun­culkan gap yang dalam seperti dialami pa­ra penyandang disa­bi­li­tas atau kelompok difabel.

Persepsi umum terhadap penyandang disabilitas mi­sal­nya adalah dianggap sebagai beban. Tidak berdaya dan ha­nya merepotkan. Persepsi ini je­las tidak benar dan dari wak­tu ke waktu masyarakat pun telah semakin sering melihat fakta sebaliknya dari persepsi tersebut. Dari waktu ke waktu se­makin banyak disabilitas yang berprestasi di berbagai bi­dang.

Bahkan dalam SEA Games terakhir, para atlet Indonesia prestasinya jauh di bawah pres­tasi para atlet disabilitas Indo­ne­sia dalam ajang Paralympic yang berhasil merebut juara umum. Jelas persepsi yang salah ter­ha­dap disabilitas harus segera di­dekontruksikan. Dalam konteks kehidupan sehari-hari yang pa­ling penting untuk diubah ada­lah anggapan bahwa disabilitas ha­nya beban bagi orang lain.

Mudik Lebaran dalam hal ini bisa menjadi awal baik untuk mengubah persepsi yang salah ter­sebut. Caranya mudah saja, ja­di­kan para penyandang disa­bi­li­tas sebagai bagian arus mudik, te­rima mereka sebagai sesama umat manusia yang rindu pada kam­pung halamannya karena ke­rinduan itu memang universal dan tak membeda-bedakan su­ku, etnis, status sosial-ekonomi, apalagi kondisi tubuh.

Selalu ta­namkan bahwa disabilitas bu­kan beban. Jika mereka diberi akse­sibilitas dan kesempatan sa­ma, mereka akan bisa mandiri dan bahkan bisa berprestasi di ber­bagai bidang.

Dalam rapat koordinasi an­tarkementerian dan lembaga yang digelar Kantor Staf Pre­si­den, semua peserta rapat pun ke­mudian menyadari bahwa mu­dik adalah juga hak penyandang di­sabilitas sebagaimana warga negara lain.

Ternyata para pe­nyan­dang disabilitas sebenar­nya hanya membutuhkan akse­si­bi­litas yang bisa diintegrasikan dengan semua hasil pem­ba­ngun­an telah dicapai saat ini. Pa­ra penyandang disabilitas bukan beban dan sama-sama memiliki kemauan untuk maju. Mereka juga ingin bersama-sama mudik dan menikmati infrastruktur yang telah dibangun. Rapat koor­dinasi itu telah menjadi mo­men penting, menjadi langkah awal untuk mewujudkan mudik yang ramah disabilitas.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6092 seconds (0.1#10.140)