Menuju Mudik Ramah Difabel
A
A
A
FX Rudy Gunawan
Penulis adalah Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden dan
Pendiri media khusus disabilitas Majalah Diffa
Saat mudik Lebaran telah tiba. Ritual massal tahunan bangsa Indonesia yang luar biasa besar dan menyatukan seluruh elemen bangsa dalam suatu pergerakan bersama itu diperkirakan akan mulai berlangsung pada akhir pekan pertama Juni 2018.
Nilai-nilai yang terdapat dalam ritual mudik Lebaran adalah spiritualitas yang bersifat lintas agama, lintas budaya, lintas suku, lintas golongan, lintas kelas, dan status sosial, ekonomi, politik. Dalam ritual mudik Lebaran semua sekat tersebut melebur menjadi sebuah energi bangsa yang bergerak dalam kesatupaduan.
Mudik Lebaran adalah fakta kesatupaduan seluruh elemen bangsa, termasuk kelompok difabel atau penyandang disabilitas yang juga larut dalam menjadi bagian momen tersebut.
Dalam sebuah rapat koordinasi antarkementerian dan lembaga untuk mempersiapkan serta memastikan mudik Lebaran 2018 bisa berjalan lebih lancar, aman, dan nyaman yang digelar Kantor Staf Presiden (KSP), turut hadir seorang tunadaksa. Ini bukan sebuah kebetulan.
Tunadaksa yang hadir itu memang salah seorang tenaga ahli di KSP. Dalam hiruk-pikuk ritual mudik, mungkin kelompok difabel atau disabilitas selama ini kurang mendapat perhatian. Penyebabnya, persepsi masyarakat dan pemahaman umum tentang disabilitas masih belum berbasis hak asasi manusia, melainkan lebih berdasarkan pada belas kasihan.
Artinya, sebagian besar masyarakat mungkin masih beranggapan para penyandang disabilitas tidak menjadi bagian dari ritual mudik karena kondisi keterbatasan fisik mereka. Padahal sebagian besar penyandang disabilitas selama ini juga turut menjadi bagian ritual mudik lebaran.
Kehadiran seorang tunadaksa dalam rapat koordinasi antarkementerian dan lembaga tim persiapan dan pemantauan mudik 2018 adalah sebuah bukti nyata sekaligus langkah maju menuju mudik yang ramah difabel.
Di sisi lain, keberadaan seorang tenaga ahli dari kelompok difabel di lingkaran utama kekuasaan juga patut mendapat apresiasi dan menjadi contoh pemenuhan undang-undang ketenagakerjaan yang mengharuskan kuota 1% tenaga kerja disabilitas di semua sektor.
Infrastruktur untuk Aksesibilitas
Para tunadaksa, tunanetra, tunarungu, tunagrahita atau down syndrome, dan juga autis serta celebral palsy setiap tahun pasti ada yang turut melebur dalam arus mudik. Menjadi satu padu dengan seluruh rakyat Indonesia sebagai sesama warga negara yang memiliki hak sama.
Meski tidak pasti berapa besar jumlah kelompok difabel yang turut menjadi bagian dari arus mudik, tapi kita bisa merujuk pada data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis tahun 2016 tentang jumlah kelompok difabel. Menurut data BPS, estimasi penyandang disabilitas
di Indonesia pada 2016 sebesar 12,15%. Dari jumlah itu, 10,29% adalah penyandang disabilitas kategori sedang dan 1,87% kategori berat.
Ini adalah jumlah yang signifikan, 12,15% dari 250-an juta penduduk Indonesia. Untuk difabel kategori sedang, artinya mereka masih mungkin memiliki kemampuan mobilitas atau melakukan perjalanan jarak sedang sampai jauh.
Namun, untuk itu tentu dibutuhkan berbagai sarana dan prasarana aksesibilitas sesuai kebutuhan khusus penyandang disabilitas. Menurut BPS, bahkan dalam mendata disabilitas pun petugas harus mengetahui bagaimana mengenali ciri, kebutuhan, maupun hambatan dalam kehidupan para penyandang disabilitas.
Pendataan disabilitas dengan demikian menjadi lebih spesifik dan unik. Pemerintah juga sudah lama menyadari pentingnya data penyandang disabilitas yang lebih akurat dan detil, terutama dalam kaitan merancang berbagai program pembangunan agar bisa mengakomodasi
kebutuhan khusus sebagai pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas secara terintegrasi dengan program pembangunan yang dilakukan.
Satu contoh nyata adalah program pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang digenjot selama tiga tahun terakhir oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo pada dasarnya memiliki visi menciptakan aksesibilitas bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk di dalamnya para penyandang disabilitas.
Dalam wacana pembangunan infrastruktur itu, meski tidak secara langsung ditegaskan, pemerintah sebenarnya telah melakukan upaya memenuhi kebutuhan aksesibilitas para penyandang disabilitas yang selama ini mengalami banyak kendala dan keterbatasan fasilitas.
Keterbatasan dan kendala aksesibilitas ruang gerak penyandang disabilitas akan sangat terasa dalam momen mobilitas besar mudik lebaran. Di tengah hiruk-pikuk pergerakan yang begitu masif, para penyandang disabilitas harus berjuang berpuluh kali lebih berat dibandingkan
nondisabilitas.
Seorang tunagrahita atau penyandang cerebral palsy misalnya, memiliki ketidakmampuan menahan buang air kecil sehingga mereka
membutuhkan akses ke toilet lebih banyak. Bayangkan, jika mereka harus antre toilet bersama ratusan pemudik lain di rest area.
Ilustrasi di atas adalah contoh kecil bahwa pembangunan infrastruktur yang sudah digenjot habis-habisan oleh pemerintah saat ini akan lebih utuh jika dalam proses perancangan programnya telah memasukkan dan mempertimbangkan kebutuhan berbagai kelompok penyandang disabilitas. Saat ini fasilitas untuk disabilitas yang sudah lengkap adalah untuk para pemudik yang menggunakan moda angkutan udara.
Di setiap bandara, sudah ada toilet khusus penyandang disabilitas, eskalator yang tidak bertangga (landai), ram di samping anak tangga, dan juga lift khusus di sejumlah bandara. Untuk moda angkutan darat, seperti di terminal bus, para penyandang disabilitas masih belum sepenuhnya bisa mendapatkan fasilitas seperti itu. Pembangunan jalan tol untuk mudik 2018 sudah berhasil menghubungkan Jakarta sampai Surabaya, tentu juga akan lebih sempurna jika di setiap rest area atau SPBU memiliki fasilitas seperti di bandara.
Disabilitas Bukan Beban
Dalam semangat kebersamaan mudik, semua sekat perbedaan seharusnya melebur dan mewujud menjadi rasa persatuan seluruh anak bangsa. Selanjutnya tentu saja rasa persatuan itu harus ditumbuhkembangkan dan diperkuat setiap waktu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Semua gap atau jarak entah itu berdasarkan pada stereotip suku, etnis, gender, status sosial-ekonomi, maupun pilihan politik bukan berarti harus menjadi potensi konflik. Pada dasarnya, stereotip adalah soal persepsi. Jika berangkat dari persepsi yang tidak benar, maka akan memunculkan gap yang dalam seperti dialami para penyandang disabilitas atau kelompok difabel.
Persepsi umum terhadap penyandang disabilitas misalnya adalah dianggap sebagai beban. Tidak berdaya dan hanya merepotkan. Persepsi ini jelas tidak benar dan dari waktu ke waktu masyarakat pun telah semakin sering melihat fakta sebaliknya dari persepsi tersebut. Dari waktu ke waktu semakin banyak disabilitas yang berprestasi di berbagai bidang.
Bahkan dalam SEA Games terakhir, para atlet Indonesia prestasinya jauh di bawah prestasi para atlet disabilitas Indonesia dalam ajang Paralympic yang berhasil merebut juara umum. Jelas persepsi yang salah terhadap disabilitas harus segera didekontruksikan. Dalam konteks kehidupan sehari-hari yang paling penting untuk diubah adalah anggapan bahwa disabilitas hanya beban bagi orang lain.
Mudik Lebaran dalam hal ini bisa menjadi awal baik untuk mengubah persepsi yang salah tersebut. Caranya mudah saja, jadikan para penyandang disabilitas sebagai bagian arus mudik, terima mereka sebagai sesama umat manusia yang rindu pada kampung halamannya karena kerinduan itu memang universal dan tak membeda-bedakan suku, etnis, status sosial-ekonomi, apalagi kondisi tubuh.
Selalu tanamkan bahwa disabilitas bukan beban. Jika mereka diberi aksesibilitas dan kesempatan sama, mereka akan bisa mandiri dan bahkan bisa berprestasi di berbagai bidang.
Dalam rapat koordinasi antarkementerian dan lembaga yang digelar Kantor Staf Presiden, semua peserta rapat pun kemudian menyadari bahwa mudik adalah juga hak penyandang disabilitas sebagaimana warga negara lain.
Ternyata para penyandang disabilitas sebenarnya hanya membutuhkan aksesibilitas yang bisa diintegrasikan dengan semua hasil pembangunan telah dicapai saat ini. Para penyandang disabilitas bukan beban dan sama-sama memiliki kemauan untuk maju. Mereka juga ingin bersama-sama mudik dan menikmati infrastruktur yang telah dibangun. Rapat koordinasi itu telah menjadi momen penting, menjadi langkah awal untuk mewujudkan mudik yang ramah disabilitas.
Penulis adalah Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden dan
Pendiri media khusus disabilitas Majalah Diffa
Saat mudik Lebaran telah tiba. Ritual massal tahunan bangsa Indonesia yang luar biasa besar dan menyatukan seluruh elemen bangsa dalam suatu pergerakan bersama itu diperkirakan akan mulai berlangsung pada akhir pekan pertama Juni 2018.
Nilai-nilai yang terdapat dalam ritual mudik Lebaran adalah spiritualitas yang bersifat lintas agama, lintas budaya, lintas suku, lintas golongan, lintas kelas, dan status sosial, ekonomi, politik. Dalam ritual mudik Lebaran semua sekat tersebut melebur menjadi sebuah energi bangsa yang bergerak dalam kesatupaduan.
Mudik Lebaran adalah fakta kesatupaduan seluruh elemen bangsa, termasuk kelompok difabel atau penyandang disabilitas yang juga larut dalam menjadi bagian momen tersebut.
Dalam sebuah rapat koordinasi antarkementerian dan lembaga untuk mempersiapkan serta memastikan mudik Lebaran 2018 bisa berjalan lebih lancar, aman, dan nyaman yang digelar Kantor Staf Presiden (KSP), turut hadir seorang tunadaksa. Ini bukan sebuah kebetulan.
Tunadaksa yang hadir itu memang salah seorang tenaga ahli di KSP. Dalam hiruk-pikuk ritual mudik, mungkin kelompok difabel atau disabilitas selama ini kurang mendapat perhatian. Penyebabnya, persepsi masyarakat dan pemahaman umum tentang disabilitas masih belum berbasis hak asasi manusia, melainkan lebih berdasarkan pada belas kasihan.
Artinya, sebagian besar masyarakat mungkin masih beranggapan para penyandang disabilitas tidak menjadi bagian dari ritual mudik karena kondisi keterbatasan fisik mereka. Padahal sebagian besar penyandang disabilitas selama ini juga turut menjadi bagian ritual mudik lebaran.
Kehadiran seorang tunadaksa dalam rapat koordinasi antarkementerian dan lembaga tim persiapan dan pemantauan mudik 2018 adalah sebuah bukti nyata sekaligus langkah maju menuju mudik yang ramah difabel.
Di sisi lain, keberadaan seorang tenaga ahli dari kelompok difabel di lingkaran utama kekuasaan juga patut mendapat apresiasi dan menjadi contoh pemenuhan undang-undang ketenagakerjaan yang mengharuskan kuota 1% tenaga kerja disabilitas di semua sektor.
Infrastruktur untuk Aksesibilitas
Para tunadaksa, tunanetra, tunarungu, tunagrahita atau down syndrome, dan juga autis serta celebral palsy setiap tahun pasti ada yang turut melebur dalam arus mudik. Menjadi satu padu dengan seluruh rakyat Indonesia sebagai sesama warga negara yang memiliki hak sama.
Meski tidak pasti berapa besar jumlah kelompok difabel yang turut menjadi bagian dari arus mudik, tapi kita bisa merujuk pada data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis tahun 2016 tentang jumlah kelompok difabel. Menurut data BPS, estimasi penyandang disabilitas
di Indonesia pada 2016 sebesar 12,15%. Dari jumlah itu, 10,29% adalah penyandang disabilitas kategori sedang dan 1,87% kategori berat.
Ini adalah jumlah yang signifikan, 12,15% dari 250-an juta penduduk Indonesia. Untuk difabel kategori sedang, artinya mereka masih mungkin memiliki kemampuan mobilitas atau melakukan perjalanan jarak sedang sampai jauh.
Namun, untuk itu tentu dibutuhkan berbagai sarana dan prasarana aksesibilitas sesuai kebutuhan khusus penyandang disabilitas. Menurut BPS, bahkan dalam mendata disabilitas pun petugas harus mengetahui bagaimana mengenali ciri, kebutuhan, maupun hambatan dalam kehidupan para penyandang disabilitas.
Pendataan disabilitas dengan demikian menjadi lebih spesifik dan unik. Pemerintah juga sudah lama menyadari pentingnya data penyandang disabilitas yang lebih akurat dan detil, terutama dalam kaitan merancang berbagai program pembangunan agar bisa mengakomodasi
kebutuhan khusus sebagai pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas secara terintegrasi dengan program pembangunan yang dilakukan.
Satu contoh nyata adalah program pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang digenjot selama tiga tahun terakhir oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo pada dasarnya memiliki visi menciptakan aksesibilitas bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk di dalamnya para penyandang disabilitas.
Dalam wacana pembangunan infrastruktur itu, meski tidak secara langsung ditegaskan, pemerintah sebenarnya telah melakukan upaya memenuhi kebutuhan aksesibilitas para penyandang disabilitas yang selama ini mengalami banyak kendala dan keterbatasan fasilitas.
Keterbatasan dan kendala aksesibilitas ruang gerak penyandang disabilitas akan sangat terasa dalam momen mobilitas besar mudik lebaran. Di tengah hiruk-pikuk pergerakan yang begitu masif, para penyandang disabilitas harus berjuang berpuluh kali lebih berat dibandingkan
nondisabilitas.
Seorang tunagrahita atau penyandang cerebral palsy misalnya, memiliki ketidakmampuan menahan buang air kecil sehingga mereka
membutuhkan akses ke toilet lebih banyak. Bayangkan, jika mereka harus antre toilet bersama ratusan pemudik lain di rest area.
Ilustrasi di atas adalah contoh kecil bahwa pembangunan infrastruktur yang sudah digenjot habis-habisan oleh pemerintah saat ini akan lebih utuh jika dalam proses perancangan programnya telah memasukkan dan mempertimbangkan kebutuhan berbagai kelompok penyandang disabilitas. Saat ini fasilitas untuk disabilitas yang sudah lengkap adalah untuk para pemudik yang menggunakan moda angkutan udara.
Di setiap bandara, sudah ada toilet khusus penyandang disabilitas, eskalator yang tidak bertangga (landai), ram di samping anak tangga, dan juga lift khusus di sejumlah bandara. Untuk moda angkutan darat, seperti di terminal bus, para penyandang disabilitas masih belum sepenuhnya bisa mendapatkan fasilitas seperti itu. Pembangunan jalan tol untuk mudik 2018 sudah berhasil menghubungkan Jakarta sampai Surabaya, tentu juga akan lebih sempurna jika di setiap rest area atau SPBU memiliki fasilitas seperti di bandara.
Disabilitas Bukan Beban
Dalam semangat kebersamaan mudik, semua sekat perbedaan seharusnya melebur dan mewujud menjadi rasa persatuan seluruh anak bangsa. Selanjutnya tentu saja rasa persatuan itu harus ditumbuhkembangkan dan diperkuat setiap waktu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Semua gap atau jarak entah itu berdasarkan pada stereotip suku, etnis, gender, status sosial-ekonomi, maupun pilihan politik bukan berarti harus menjadi potensi konflik. Pada dasarnya, stereotip adalah soal persepsi. Jika berangkat dari persepsi yang tidak benar, maka akan memunculkan gap yang dalam seperti dialami para penyandang disabilitas atau kelompok difabel.
Persepsi umum terhadap penyandang disabilitas misalnya adalah dianggap sebagai beban. Tidak berdaya dan hanya merepotkan. Persepsi ini jelas tidak benar dan dari waktu ke waktu masyarakat pun telah semakin sering melihat fakta sebaliknya dari persepsi tersebut. Dari waktu ke waktu semakin banyak disabilitas yang berprestasi di berbagai bidang.
Bahkan dalam SEA Games terakhir, para atlet Indonesia prestasinya jauh di bawah prestasi para atlet disabilitas Indonesia dalam ajang Paralympic yang berhasil merebut juara umum. Jelas persepsi yang salah terhadap disabilitas harus segera didekontruksikan. Dalam konteks kehidupan sehari-hari yang paling penting untuk diubah adalah anggapan bahwa disabilitas hanya beban bagi orang lain.
Mudik Lebaran dalam hal ini bisa menjadi awal baik untuk mengubah persepsi yang salah tersebut. Caranya mudah saja, jadikan para penyandang disabilitas sebagai bagian arus mudik, terima mereka sebagai sesama umat manusia yang rindu pada kampung halamannya karena kerinduan itu memang universal dan tak membeda-bedakan suku, etnis, status sosial-ekonomi, apalagi kondisi tubuh.
Selalu tanamkan bahwa disabilitas bukan beban. Jika mereka diberi aksesibilitas dan kesempatan sama, mereka akan bisa mandiri dan bahkan bisa berprestasi di berbagai bidang.
Dalam rapat koordinasi antarkementerian dan lembaga yang digelar Kantor Staf Presiden, semua peserta rapat pun kemudian menyadari bahwa mudik adalah juga hak penyandang disabilitas sebagaimana warga negara lain.
Ternyata para penyandang disabilitas sebenarnya hanya membutuhkan aksesibilitas yang bisa diintegrasikan dengan semua hasil pembangunan telah dicapai saat ini. Para penyandang disabilitas bukan beban dan sama-sama memiliki kemauan untuk maju. Mereka juga ingin bersama-sama mudik dan menikmati infrastruktur yang telah dibangun. Rapat koordinasi itu telah menjadi momen penting, menjadi langkah awal untuk mewujudkan mudik yang ramah disabilitas.
(nag)