Pengarusutamaan Isu Keamanan
A
A
A
Sayfa Auliya Achidsti
Dosen Universitas Sebelas Maret
PEMERINTAH Indonesia dianggap oleh dunia lemah dalam intoleransi dan ekstremisme agama. Tahun lalu, posisi Indonesia hanya satu peringkat di atas Bosnia-Herzegovina (Fragile States Index, 2017). Human Rights Watch mencatat kasus sepanjang 2017 disebabkan lemahnya pemerintah memerangi intoleransi (HRW World Report, 2018).
Dengan provokasi media sosial dan kerentanan sosial yang semakin kentara mulai dari “kasus” penistaan agama Ahok pada 2016 lalu, Indonesia dibayangi isu keamanan horizontal. Kriminalitas di kota, persekusi berbungkus agama, ancaman keamanan para tokoh agama, hingga aksi-aksi berbau suku, agama ras, dan antargolongan (SARA) yang viral menjadi isu terkesan uncontrollable.
Revisi UU Terorisme menjadi pintu masuk kehadiran militer dalam jaringan sosial. Menuju periode pemerintahan baru, muncul pertanyaan penting. Apakah rakyat terbawa isu keamanan atau mampu mengarusutamakan isu lain yang lebih advance (perekonomian dan kesejahteraan) sebagai wajah kegairahan politik sebuah bangsa berkemajuan?
Terseret Isu Terorisme
Berbeda dengan yang lain, isu SARA destruktif karena menyangkut perbedaan paling dasar individu dan kelompok. Perdebatan tidak ilmiah dan argumentatif, lebih pada saling menjatuhkan dan menegasikan. Di sisi lain, isu SARA berdampak pembodohan karena sering memunculkan logical fallacy berskala massal. Dengan sifatnya itu, isu SARA bisa menggelinding dari satu hal ke hal lain.
Potongan kejadian yang berserak namun berpola sama, segalanya dikemas dengan gaya populer setengah konspiratif oleh para buzzer dalam tulisan ringan, gambar meme, dan grup media sosial. Komunisme “gaya baru”, aksi 411 dan 212 tentang penistaan agama, “gerakan celup” menyoal moralitas, arak telanjang, tenaga kerja asing, hingga rangkaian insiden bom misalnya. Selalu tanpa kejelasan informasi, akhirnya isu SARA lekat dengan efek konflik horizontal dan keamanan.
Pengarusutamaan (mainstreaming) isu keamanan oleh publik bisa dilihat dalam dua ukuran, di tingkat atas dan bawah. Pertama, urgensi revisi UU Terorisme yang mengemuka di tataran elite. Insiden 156 narapidana teroris mengamuk di Rutan Mako Brimob memantik suara bahwa negara kebobolan mengelola “rumahnya” sendiri. Ini langsung disusul bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya, bom rusunawa di Sidoarjo, serta serangan di Mapolda Riau.
Rancangan revisi UU Terorisme memasukkan fungsi pencegahan pada Polri dan kewenangan bertindak. Namun, di tengah menurunnya vitalitas Badan Intelijen Negara (BIN), aparat punya momentum jatah program intelijen. Bentuk pencegahan adalah penangkapan orang (terduga terorisme), sedangkan prasyaratnya adalah informasi dan jaringan. Dalam ketegangan semacam ini, militer digadang-gadang masuk isu terorisme.
Pertanyaan kemudian, mengapa institusi politik (parpol dan politisinya) terkesan tidak dapat menjangkau? Padahal bangunan mesin politik seharusnya lebih kuat daripada intelijen sebab memiliki pemetaan dan kedekatan per RT, dusun, hingga akumulasi pada tingkat daerah pemilihan (dapil). Masalahnya ada pada segregasi politik. Rivalitas membuat parpol pragmatis mengumpulkan konstituen tanpa kepedulian terhadap benih-benih radikalisme dan konflik SARA.
Kedua, ketidakmampuan elemen sosial memproduksi isu, alih-alih menjadi konsumen isu. Aksi berkabung dan reaksi publik “tidak takut terorisme “ di media sosial yang diyakini bisa jadi tandingan, pada praktiknya, memperlihatkan terorisme telah menyeret masyarakat minimal pada main-streaming isu keamanan dan islamisme.
Isu keamanan bersifat konstruktif. Perasaan tidak aman bisa saja muncul dengan insiden-insiden yang tidak begitu dipahami publik. Ketakutan adalah kondisi di mana kita tidak bisa menjelaskan atau tidak punya informasi lengkap tentang apa yang sedang terjadi. Dalam politik, mainstreaming isu keamanan dalam skala nasional bisa blunder.
Salah satu contoh, ketika Pemilihan Presiden Bolivia 2002, rakyat memilih kepemimpinan hanya berdasar ketakutan (isu keamanan) menjelang pemilihan. Hasilnya, perekonomian Bolivia mengalami declining (penurunan) karena pemerintahan tidak dirancang untuk melakukan kebijakan sektoral yang terukur.
Jika kondisi ini yang terus-menerus dipelihara, harapan negeri ini punya momentum menata kemajuan sektoral dalam pembangunan akan “jauh arang dari api”. Selain itu, homogenisasi fokus dalam isu keamanan memperlihatkan lemahnya visi rakyat tentang kemajuan yang diingini.
Konsumen Isu
Setiap akhir periode pemerintahan, isu yang muncul selalu soal instabilitas. Walaupun semua sensitif soal kehadiran militer dalam politik, nyatanya tokoh militer tetap diterima. Figur militer selalu menjadi antitesis atas kondisi instabilitas pemerintahan sipil. Dalam pemerintahan Indonesia pun, rentang waktu kepemimpinan figur militer melebihi figur sipil.
Tentu masalahnya bukan pada soal militer-sipil. Menjadi masalah adalah cara pandang “anti-tesis gaya kepemimpinan” yang tidak sadar selalu diterapkan setiap pemilu. Hal ini memperlihatkan pengetahuan politik masyarakat kita belum menerapkan ukuran objektif menilai perubahan sektoral. Antitesis dalam gaya kepemimpinan adalah ekspektasi publik yang abstrak. Dalam mainstreaming isu keamanan hari ini, “politik antitesis” sangat berpotensi terulang.
Hal menarik sering luput diperhatikan hari ini adalah mainstreaming isu pada praktiknya diproduksi oleh aktivitas digital di dunia maya. Penyebaran isu SARA, keamanan, politik, dan sebagainya adalah output keaktifan kelompok usia muda dan rentang usia menengah dalam bentuk tulisan serta perbincangan media sosial.
Katakanlah karakter isu keamanan bersifat konstruktif, maka kondisi bahwa sepertiga rakyat Indonesia berusia usia muda dan tengah adalah sebuah fakta. Isu kepemudaan bersifat faktual. Mereka punya kebutuhan akan kesejahteraan, perekonomian, dan sistem demokrasi yang segar, seharusnya diperjuangkan para elite politik. Isu lain justru di depan mata adalah soal pembangunan. Kebijakannya terukur gagal-tidaknya dan berkualitas-tidaknya. Pemerintah pun berkepentingan untuk ditinjau rakyatnya, minimal pada pertanggungjawabannya.
Lalu, apakah isu keamanan bukan hal yang penting? Sebaliknya, isu ini justru menjadi prasyarat dari kemajuan nasional. Namun, penempatannya lebih tepat sebagai bagian dari pembangunan dalam kerangka kesejahteraan: bukan dalam mainstreaming isu utama. Tidak ada negara yang bisa mempercepat laju perekonomian dengan selalu terjebak pada isu keamanan. Mainstreaming berlebihan atas isu keamanan bisa membuat publik terburu-buru mengambil fokus lima tahun ke depan.
Rakyat sudah saatnya beralih dari politik emosional dan serbatraumatik menuju politik yang rasional. Kemajuan terukur ada pada perekonomian dan kesejahteraan rakyat, yang perlu dijadikan visi publik. Artinya, perubahan politik dalam setiap periode harus disetir isu yang ditentukan sendiri oleh rakyatnya. Pada tahun ini, rakyat harus merenung tentang apa yang dicita-citakan buat kemajuan negeri. Apa yang harus dikejar, dan apa yang harus dibenarkan. *
Dosen Universitas Sebelas Maret
PEMERINTAH Indonesia dianggap oleh dunia lemah dalam intoleransi dan ekstremisme agama. Tahun lalu, posisi Indonesia hanya satu peringkat di atas Bosnia-Herzegovina (Fragile States Index, 2017). Human Rights Watch mencatat kasus sepanjang 2017 disebabkan lemahnya pemerintah memerangi intoleransi (HRW World Report, 2018).
Dengan provokasi media sosial dan kerentanan sosial yang semakin kentara mulai dari “kasus” penistaan agama Ahok pada 2016 lalu, Indonesia dibayangi isu keamanan horizontal. Kriminalitas di kota, persekusi berbungkus agama, ancaman keamanan para tokoh agama, hingga aksi-aksi berbau suku, agama ras, dan antargolongan (SARA) yang viral menjadi isu terkesan uncontrollable.
Revisi UU Terorisme menjadi pintu masuk kehadiran militer dalam jaringan sosial. Menuju periode pemerintahan baru, muncul pertanyaan penting. Apakah rakyat terbawa isu keamanan atau mampu mengarusutamakan isu lain yang lebih advance (perekonomian dan kesejahteraan) sebagai wajah kegairahan politik sebuah bangsa berkemajuan?
Terseret Isu Terorisme
Berbeda dengan yang lain, isu SARA destruktif karena menyangkut perbedaan paling dasar individu dan kelompok. Perdebatan tidak ilmiah dan argumentatif, lebih pada saling menjatuhkan dan menegasikan. Di sisi lain, isu SARA berdampak pembodohan karena sering memunculkan logical fallacy berskala massal. Dengan sifatnya itu, isu SARA bisa menggelinding dari satu hal ke hal lain.
Potongan kejadian yang berserak namun berpola sama, segalanya dikemas dengan gaya populer setengah konspiratif oleh para buzzer dalam tulisan ringan, gambar meme, dan grup media sosial. Komunisme “gaya baru”, aksi 411 dan 212 tentang penistaan agama, “gerakan celup” menyoal moralitas, arak telanjang, tenaga kerja asing, hingga rangkaian insiden bom misalnya. Selalu tanpa kejelasan informasi, akhirnya isu SARA lekat dengan efek konflik horizontal dan keamanan.
Pengarusutamaan (mainstreaming) isu keamanan oleh publik bisa dilihat dalam dua ukuran, di tingkat atas dan bawah. Pertama, urgensi revisi UU Terorisme yang mengemuka di tataran elite. Insiden 156 narapidana teroris mengamuk di Rutan Mako Brimob memantik suara bahwa negara kebobolan mengelola “rumahnya” sendiri. Ini langsung disusul bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya, bom rusunawa di Sidoarjo, serta serangan di Mapolda Riau.
Rancangan revisi UU Terorisme memasukkan fungsi pencegahan pada Polri dan kewenangan bertindak. Namun, di tengah menurunnya vitalitas Badan Intelijen Negara (BIN), aparat punya momentum jatah program intelijen. Bentuk pencegahan adalah penangkapan orang (terduga terorisme), sedangkan prasyaratnya adalah informasi dan jaringan. Dalam ketegangan semacam ini, militer digadang-gadang masuk isu terorisme.
Pertanyaan kemudian, mengapa institusi politik (parpol dan politisinya) terkesan tidak dapat menjangkau? Padahal bangunan mesin politik seharusnya lebih kuat daripada intelijen sebab memiliki pemetaan dan kedekatan per RT, dusun, hingga akumulasi pada tingkat daerah pemilihan (dapil). Masalahnya ada pada segregasi politik. Rivalitas membuat parpol pragmatis mengumpulkan konstituen tanpa kepedulian terhadap benih-benih radikalisme dan konflik SARA.
Kedua, ketidakmampuan elemen sosial memproduksi isu, alih-alih menjadi konsumen isu. Aksi berkabung dan reaksi publik “tidak takut terorisme “ di media sosial yang diyakini bisa jadi tandingan, pada praktiknya, memperlihatkan terorisme telah menyeret masyarakat minimal pada main-streaming isu keamanan dan islamisme.
Isu keamanan bersifat konstruktif. Perasaan tidak aman bisa saja muncul dengan insiden-insiden yang tidak begitu dipahami publik. Ketakutan adalah kondisi di mana kita tidak bisa menjelaskan atau tidak punya informasi lengkap tentang apa yang sedang terjadi. Dalam politik, mainstreaming isu keamanan dalam skala nasional bisa blunder.
Salah satu contoh, ketika Pemilihan Presiden Bolivia 2002, rakyat memilih kepemimpinan hanya berdasar ketakutan (isu keamanan) menjelang pemilihan. Hasilnya, perekonomian Bolivia mengalami declining (penurunan) karena pemerintahan tidak dirancang untuk melakukan kebijakan sektoral yang terukur.
Jika kondisi ini yang terus-menerus dipelihara, harapan negeri ini punya momentum menata kemajuan sektoral dalam pembangunan akan “jauh arang dari api”. Selain itu, homogenisasi fokus dalam isu keamanan memperlihatkan lemahnya visi rakyat tentang kemajuan yang diingini.
Konsumen Isu
Setiap akhir periode pemerintahan, isu yang muncul selalu soal instabilitas. Walaupun semua sensitif soal kehadiran militer dalam politik, nyatanya tokoh militer tetap diterima. Figur militer selalu menjadi antitesis atas kondisi instabilitas pemerintahan sipil. Dalam pemerintahan Indonesia pun, rentang waktu kepemimpinan figur militer melebihi figur sipil.
Tentu masalahnya bukan pada soal militer-sipil. Menjadi masalah adalah cara pandang “anti-tesis gaya kepemimpinan” yang tidak sadar selalu diterapkan setiap pemilu. Hal ini memperlihatkan pengetahuan politik masyarakat kita belum menerapkan ukuran objektif menilai perubahan sektoral. Antitesis dalam gaya kepemimpinan adalah ekspektasi publik yang abstrak. Dalam mainstreaming isu keamanan hari ini, “politik antitesis” sangat berpotensi terulang.
Hal menarik sering luput diperhatikan hari ini adalah mainstreaming isu pada praktiknya diproduksi oleh aktivitas digital di dunia maya. Penyebaran isu SARA, keamanan, politik, dan sebagainya adalah output keaktifan kelompok usia muda dan rentang usia menengah dalam bentuk tulisan serta perbincangan media sosial.
Katakanlah karakter isu keamanan bersifat konstruktif, maka kondisi bahwa sepertiga rakyat Indonesia berusia usia muda dan tengah adalah sebuah fakta. Isu kepemudaan bersifat faktual. Mereka punya kebutuhan akan kesejahteraan, perekonomian, dan sistem demokrasi yang segar, seharusnya diperjuangkan para elite politik. Isu lain justru di depan mata adalah soal pembangunan. Kebijakannya terukur gagal-tidaknya dan berkualitas-tidaknya. Pemerintah pun berkepentingan untuk ditinjau rakyatnya, minimal pada pertanggungjawabannya.
Lalu, apakah isu keamanan bukan hal yang penting? Sebaliknya, isu ini justru menjadi prasyarat dari kemajuan nasional. Namun, penempatannya lebih tepat sebagai bagian dari pembangunan dalam kerangka kesejahteraan: bukan dalam mainstreaming isu utama. Tidak ada negara yang bisa mempercepat laju perekonomian dengan selalu terjebak pada isu keamanan. Mainstreaming berlebihan atas isu keamanan bisa membuat publik terburu-buru mengambil fokus lima tahun ke depan.
Rakyat sudah saatnya beralih dari politik emosional dan serbatraumatik menuju politik yang rasional. Kemajuan terukur ada pada perekonomian dan kesejahteraan rakyat, yang perlu dijadikan visi publik. Artinya, perubahan politik dalam setiap periode harus disetir isu yang ditentukan sendiri oleh rakyatnya. Pada tahun ini, rakyat harus merenung tentang apa yang dicita-citakan buat kemajuan negeri. Apa yang harus dikejar, dan apa yang harus dibenarkan. *
(wib)