Politik Luar Negeri Pasca-Reformasi

Rabu, 23 Mei 2018 - 07:50 WIB
Politik Luar Negeri Pasca-Reformasi
Politik Luar Negeri Pasca-Reformasi
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

DUA puluh tahun telah berlalu sejak era Reformasi terbuka, menyusul lengsernya era Orde Baru. Reformasi tersebut mengubah tidak hanya peta politik di Indonesia, tetapi juga struktur dan strategi politik luar negeri Indonesia.

Indonesia memperkuat diri dalam merespons kritik dan tantangan luar negeri melalui mekanisme diplomasi, melakukan restrukturisasi lembaga Kementerian Luar Negeri menjadi lebih transparan dan terbuka, serta menguatkan lembaga-lembaga berbasis demokrasi. Upaya-upaya Indonesia di bidang diplomasi tersebut terbukti menjadi kekuatan bangsa saat ini.

Menengok ke belakang dapat kita lihat kontrasnya era Reformasi dengan era-era sebelumnya. Pada masa Orde Lama, Indonesia dikenal sangat aktif dan percaya diri dalam memainkan peranan di tingkat global. Sebagai negara yang di dalam negeri sebenarnya masih ditantang oleh perpecahan antarkelompok dan dihadang oleh upaya-upaya asing menggagalkan kemerdekaan, Indonesia dikenal gigih dalam mencari tempat terhormat bagi negara yang baru merdeka dan belum maju.

Pada masa itu, politik luar negeri Indonesia banyak ditopang oleh ketokohan para politisi, diplomat, dan ahli hukum. Dengan segala keterbatasan finansial, Indonesia tak gentar menembus batas-batas dunia diplomatik yang kerap kaku dan memperkenalkan konsep non-alignment (nonblok) saat dunia terbelah antara ideologi Barat/kapitalisme dan ideologi Timur/sosialisme komunisme.

Cara hard diplomacy-pun dilakoni Presiden Sukarno: menghardik sejumlah negara termasuk Malaysia dan Singapura, yang dianggap sebagai kepanjangan tangan kekuatan imperialis Barat. Cara soft diplomacy diambil untuk mengambil hati negara-negara berkembang dan mengajak Rusia mendukung pengembangan postur politik luar negeri Indonesia, sehingga terkucurlah program dana bantuan asing yang digunakan untuk membangun monumen dan tanda-tanda kedaulatan dan kemajuan suatu negara, seperti jalan tol dan istana olahraga.

Cara-cara ini berubah dalam era Orde Baru. Soeharto mengembangkan model pemerintahan berbasis birokrasi yang ditopang oleh kekuatan militer yang solid.

Tantangan pada masa itu adalah menggalang kepercayaan dunia bahwa Indonesia tidak digerakkan oleh ketokohan semata, karena pada masa itu pula menguat paham bahwa negara maju adalah negara yang kuat birokrasinya.

Kebijakan luar negeri Indonesia juga sangat aktif pada masa ini, dengan fokus membangun kerja sama dan stabilitas serta perdamaian di tingkat regional. Politik Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto tidak lagi anti-Barat, bahkan mulai mendekat ke Barat untuk mendapatkan sejumlah bantuan keuangan untuk pembangunan.

Di tingkat regional, Indonesia juga mengurangi ketegangan politik dengan negara-negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura, dan mulai membangun ASEAN sebagai sebuah forum komunikasi antarnegara yang bertetangga di Asia Tenggara.

Pada era Orde Baru, Indonesia memperkenalkan konsep amity (persahabatan) tanpa perlu membangun aliansi (persekutuan). Konsep constructive engagement (pergaulan yang membuat negara-negara lain menjadi sepaham meskipun awalnya menolak dengan keras) mengemuka dalam forum-forum diplomasi Indonesia, khususnya di ASEAN.

Konsep menolak intervensi asing juga terus disuarakan oleh Indonesia sebagai alternatif cara pikir dari tiadanya kemungkinan pembangunan, kecuali dengan cara bersekutu dengan negara-negara besar.

Perubahan itu juga berimplikasi terhadap perubahan birokrasi di dalam Kementerian Luar Negeri. Pejabat-pejabat militer dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) direkrut dan dipekerjakan di dalam Kementerian dengan tugas awal adalah membersihkan Kementerian dari unsur rezim Orde Lama.

Tim Penertib dibentuk di dalam Deplu dan tim ini kemudian berubah menjadi Lembaga Khusus Luar Negeri dan biasanya dipimpin oleh militer berpangkat brigadir jenderal. Tim Laksus ini melapor secara khusus kepada Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.

Meskipun militer terlibat dalam kelembagaan Kemlu, peranan diplomat sipil masih terus dipertahankan dan memformulasikan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Adam Malik sebagai salah satu menteri luar negeri yang kemudian menjadi wakil presiden, adalah juga diplomat yang memiliki pengaruh mengubah orientasi kebijakan politik luar negeri Indonesia.

Kementerian Luar Negeri menyekolahkan staf-stafnya ke negara-negara Barat melalui program beasiswa. Mereka diarahkan untuk memperdalam isu-isu ekonomi politik internasional dan pembangunan.

Selain aktif menggerakkan ASEAN, Indonesia juga berpartisipasi dalam perdamaian dunia melalui pengiriman personel militer di beberapa wilayah konflik, aktif di OKI (Organisasi Kerja Sama Negara-Negara Islam, yang dulu disebut Organisasi Konferensi Negara-negara Islam) dan ikut mendirikan APEC (Asia–Pacific Economic Cooperation). Meski demikian, politik luar negeri Indonesia juga diwarnai oleh kecaman terkait dengan pelanggaran HAM, masalah Timor Timur, Papua, dan Aceh.

Krisis ekonomi dan gerakan Reformasi tahun 1998 mengubah wajah politik luar negeri Indonesia. Indonesia saat itu adalah sebuah negara dengan tingkat daya tawar yang rendah menghadapi para kreditor, terutama dari Barat, dan juga tekanan politik internasional untuk masalah-masalah di dalam negeri seperti pelanggaran HAM (hak asasi manusia) dan khususnya Timor Leste.

Dalam situasi normal, negara memperkuat daya gentarnya terhadap tekanan internasional dengan membangun kekuatan militer dan ekonomi di dalam negeri atau bekerja sama dengan negara-negara lain yang memiliki pandangan atau nasib yang sama.

Daya tawar Indonesia terhadap kreditor dan HAM tidak dimiliki Indonesia. Secara militer, Indonesia mendapat embargo dari pemasok senjata yang umumnya berasal dari negara Barat dan secara ekonomi juga sangat lemah akibat inflasi dan nilai tukar rupiah yang sangat murah.

Indonesia juga sulit untuk mendapatkan kerja sama karena secara regional dan internasional krisis ekonomi menghampiri semua negara dan sebagian besar negara juga membutuhkan bantuan dari Barat.

Dalam konteks tersebut maka salah satu cara lain yang dapat dilakukan adalah melakukan kompromi dan mengikuti tekanan internasional. Indonesia dalam bidang ekonomi mengikuti anjuran IMF untuk meliberalisasi sektor keuangan, membuka investasi asing ke hampir semua sektor termasuk sektor-sektor mineral (minyak bumi, batubara, gas, dst), mengurangi anggaran publik.

Di tingkat politik, Indonesia juga mengikuti anjuran Barat dan PBB untuk melakukan referendum di Timor Timur yang berakibat lepasnya provinsi tersebut dari NKRI. Demokrasi terus dikonsolidasikan pada masa Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri.

Dalam periode tersebut, masing-masing presiden menghadapi situasi dan dinamika yang tidak sama sehingga politik luar negeri Indonesia secara praktis juga sedang mencari bentuknya. Contoh dalam kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, masalah terbesar yang dihadapi adalah disintegrasi negara.

Gagasan-gagasan pemisahan diri atau pembentukan negara federal menjadi wacana di banyak benak elite politik. Presiden Gus Dur menjaga jarak dengan Barat yang dianggap menjadi sumber krisis di Indonesia sehingga perlu bagi beliau untuk membangun kerja sama dengan negara lain. Presiden Gus Dur banyak melakukan safari politik ke berbagai negara untuk memastikan komitmen negara-negara terkait kedaulatan RI.

Persoalan disintegrasi sedikit mereda pada masa Presiden Megawati dan memberikan kesempatan bagi Kementerian Luar Negeri RI untuk berbenah. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mulai melakukan proses reformasi birokrasi di dalam birokrasi dan juga membangun politik luar negeri yang lebih komprehensif.

Peningkatan sumber daya manusia, manajemen yang lebih terbuka, seleksi penempatan diplomat, penggunaan teknologi informasi, pengintegrasian, dan pengurangan duplikasi beban kerja menjadi tantangan utama yang wajib diselesaikan. Salah satu konsekuensi dari reformasi ini adalah pengurangan personel militer dan mengembalikan kembali peran diplomat sipil dalam lingkungan kementerian luar negeri.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia pun mulai mengonsolidasikan nilai-nilai dan norma internasional, seperti penghormatan terhadap HAM yang gerakannya sudah dimulai di tahun-tahun akhir Orde Baru. Strategi ini adalah bagian dari diplomasi publik dan pendekatan politik soft power Indonesia di panggung internasional untuk meningkatkan citra positif Indonesia di mata dunia Internasional.

Pada era ini diplomasi total juga mengemuka, yakni pelibatan segenap komponen negara dan masyarakat untuk mempromosikan kebijakan luar negeri Indonesia. Unsur ahli dan masyarakat sipil dibuatkan jalur diplomasi second track untuk melengkapi first track yang dilakukan para diplomat karier.

Upaya ini dilanjutkan dan diperdalam terus hingga masa Menlu Marty Natalegawa dan kini Menlu Retno Marsudi. Tidak hanya kemudian berkembang diplomasi 1,5 trek, yakni mekanisme dialog yang melibatkan diplomat karier, ahli, dan masyarakat sipil untuk menjajaki kerja sama antarnegara, unsur ahli dan masyarakat sipil juga ditunjuk untuk mewakili negara dalam negosiasi diplomatik (misalnya untuk isu HAM melalui AICHR di ASEAN).

Perjuangan Indonesia masih berlanjut. Pengalaman Reformasi membuka mata banyak pihak akan perlunya pembenahan di segala lini demi respons yang lebih cepat dan jitu dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7053 seconds (0.1#10.140)