BBM Satu Harga, Mengawal Energi Berkeadilan
![BBM Satu Harga, Mengawal Energi Berkeadilan](https://a-cdn.sindonews.net/dyn/732/content/2018/05/22/18/1307807/bbm-satu-harga-mengawal-energi-berkeadilan-2Qa-thumb.jpg)
BBM Satu Harga, Mengawal Energi Berkeadilan
A
A
A
Sampe L Purba Praktisi Profesional, Aktif di Komunitas Energi
ESENSI energi berkeadilan adalah menyediakan energi secara merata dengan harga terjangkau, meningkatkan penerimaan negara, sekaligus memacu pertumbuhan dan ekonomi. BBM satu harga adalah salah satu di antaranya. Ini merupakan pewujudan secara konkret satu di antara program Nawacita Jokowi-JK. Tantangan objektif secara operasional komersial dalam penyediaan BBM di Indonesia sangat kompleks, apalagi untuk mewujudkan satu harga.
Setidaknya ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi pemerintah dan Pertamina (yang merupakan instrumen utama korporasi penyediaan BBM di Indonesia). Pertama, dari sisi supply (penyediaan). Kebutuhan rata-rata BBM Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Statistik BPH Migas mencatat, pada 2006 konsumsi BBM sebesar 61,478 juta kiloliter, sedangkan pada 2017 meningkat menjadi 77,485 juta kiloliter atau ekuivalen sekitar 1,6 juta barel minyak mentah per hari. Peningkatan 25% dalam 10 tahun.
Di sisi lain, kemampuan memproduksi minyak dan mengolahnya terbatas. Produksi minyak mentah Indonesia saat ini berkisar 800.000 barel per hari. Lapangan minyak Indonesia mayoritas adalah lapangan tua. Untuk mencapai angka itu, dengan upaya keras dan cerdas, kita berhasil menekan penurunan laju alamiah 20% menjadi di bawah 5%, melalui pendalaman dan kerja ulang, perawatan, serta pengembangan sumur (work over, deepening and development well) serta akselerasi produksi pada beberapa lapangan.
Kedua, terbatasnya ruang fiskal yang tersedia. Asumsi dasar ekonomi makro pada APBN 2018 antara lain mematok liftings minyak 800.000 barel per hari, nilai tukar Rp13.400 per dolar, subsidi BBM dan LPG Rp46, 9 triliun, dengan alokasi BBM bersubsidi jenis solar 15,62 juta kiloliter. Harga minyak mentah menunjukkan tren kenaikan, dan saat ini sudah di kisaran 70 dolar/barel. Demikian juga kurs dolar yang menguat global termasuk terhadap rupiah, memberikan double impact yang berat.
Ketiga, tantangan transportasi, penyimpanan, dan distribusi. Penduduk Indonesia mendiami lebih dari 6.000 pulau dengan tingkat persebaran yang tidak sama, medan transportasi yang sulit menjangkau beberapa daerah pedalaman, serta fasilitas penyimpanan dan depo yang tidak merata. Kalau menggunakan perhitungan keekonomian, jelas tidak akan mampu untuk menutup biaya mengantar minyak ke daerah terpencil dengan volume penyerapan yang kecil.
Total kapasitas penyimpanan BBM di Indonesia saat ini sebanyak 7.500.000 kiloliter. Sekitar 80% kapasitas tersebut merupakan milik Pertamina, sisanya pihak swasta. Sekitar 65% dari kapasitas tersebut terpusat di Jawa dan Bali, dengan porsi penguasaan Pertamina sekitar 60%. Fakta ini menunjukkan bahwa pihak swasta hanya tertarik di daerah pemasaran yang gemuk, sementara storage Pertamina sendiri pun terpusat di Jawa.
Dihadapkan pada akumulasi situasi demikian, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral beserta dengan Kementerian BUMN dituntut untuk lebih cekatan dan jernih dalam mengambil kebijakan, yang memberikan dampak tidak saja bersifat ad hoc jangka pendek, tetapi hendaknya substansial dan fundamental. Kita melihat Pemerintah telah on the right track.
Di sisi hulu, pemerintah telah memberikan beberapa wilayah kerja terminasi ke Pertamina. Diproyeksikan porsi kontribusi Pertamina terhadap produksi migas nasional akan meningkat dari 23% pada 2017 ke sekitar 39% pada 2020. Hal ini merupakan cara pemerintah untuk mengompensasi beban dan penugasan yang diberikan ke Pertamina untuk mendukung kebijakan BBM satu harga. Bagaimana dengan wilayah kerja migas lainnya? Sejumlah 22 wilayah kerja migas yang berkontribusi sekitar 35% produksi nasional akan berakhir dalam lima tahun ke depan, termasuk grup perusahaan majors seperti Chevron Pacific Indonesia dan ConocoPhillips.
Perusahaan-perusahaan itu akan tetap diberi kesempatan untuk bekerja melanjutkan operasinya. Berbagai skema dan pilihan ada pada pemerintah, misalnya melanjutkan kerja sama dengan terms yang lebih baik ke pemerintah, kerja sama operasi dengan perusahaan negara atau nasional baik secara langsung/joint operation maupun dengan kepemilikan shares (interest). Perusahaan-perusahaan eksisting tetap diperlukan sebagai simbol kepercayaan kehadiran investor global di Indonesia, dan juga untuk transfer teknologi, profesionalitas, dan manajemen risiko portofolio. Sebagai harga (value) dari prospek cadangan migas, infrastruktur yang telah terbangun dan knowhow, wajar apabila kepada perusahaan asing yang masih akan diberikan kesempatan untuk melanjutkan kontrak, dibebankan kompensasi pembayaran yang signifikan (biasa dikenal dengan nama signature bonus). Pemerintah dapat memanfaatkan dana tersebut untuk membangun infrastruktur guna penguatan ketahanan energi, termasuk di sisi hilir. Pilihan lain yang tersedia adalah dengan mewajibkan perusahaan-perusahaan itu untuk bertukar (swap) lapangan produksi migasnya di luar negeri kepada pemerintah melalui Pertamina atau BUMN lainnya. Ini akan menghemat devisa sekaligus memperkuat portofolio kepemilikan cadangan migas Pertamina yang pada akhirnya memperkuat ketahanan energi. Penguatan badan usaha milik negara adalah juga bagian dari Nawacita Presiden.
Membangun kilang minyak domestik itu mahal. Tingkat pengembalian modal dan marginnya kecil, serta juga memerlukan feedstock minyak mentah yang stabil dari sisi pasokan maupun harga.
Berdasarkan roadmap infrastruktur kilang minyak bumi, pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas pengolahan kilang dengan membangun beberapa kilang baru dengan kapasitas 456 mbcd, dan pengembangan kilang eksisting dengan kapasitas 438 mbcd. Itu menelan biaya yang mahal. Sebagai gambaran, proyek peningkatan kapasitas dan kompleksitas (Refinery Development Master Plan /RDMP Kilang Minyak Cilacap misalnya. Proyek tersebut menurut pemberitaan diperkirakan menelan biaya sekitar USD5-6 miliar, hanya untuk meningkatkan kapasitas dari 348.000 barel per hari menjadi 400.000 barel.
Di sisi hilir, pangsa pasar Indonesia yang besar dapat menjadi posisi tawar yang kuat. Saat ini Pertamina mengimpor sekitar 250.000 barel minyak mentah per hari, di samping impor bensin 9 juta barel per bulan dan 1 juta barel per bulan untuk avtur. Sekiranya ada kebijakan yang holistis, integral, dan terpadu, pemerintah dapat mengundang mitra asing untuk membangun kilang, storage, dan jaringan distribusi di Indonesia, berkongsi dengan BUMN atau Pertamina. Imbalannya adalah pasar yang terbuka. Mudah-mudahan akselerasi program BBM satu harga akan terwujud secara sustainabel. Selama periode pembangunan, insentif perpajakan dan bea masuk dapat diberikan. Perlindungan hukum dalam bingkai hukum korporasi, juga mutlak diberikan ke Pertamina dan BUMN sebagai konsekuensi dan lanjutan dari penugasan tersebut.
Posisi tawar pemerintah sesungguhnya sangat kuat. Baik di sisi hulu terhadap kebijakan wilayah kerja yang akan berakhir, maupun penguatan struktur pasar dan infrastruktur di sisi hilir. Ini bukan soal nasionalisasi, melainkan adalah nasionalisme. Itulah esensi dan substansi energi berkeadilan.
ESENSI energi berkeadilan adalah menyediakan energi secara merata dengan harga terjangkau, meningkatkan penerimaan negara, sekaligus memacu pertumbuhan dan ekonomi. BBM satu harga adalah salah satu di antaranya. Ini merupakan pewujudan secara konkret satu di antara program Nawacita Jokowi-JK. Tantangan objektif secara operasional komersial dalam penyediaan BBM di Indonesia sangat kompleks, apalagi untuk mewujudkan satu harga.
Setidaknya ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi pemerintah dan Pertamina (yang merupakan instrumen utama korporasi penyediaan BBM di Indonesia). Pertama, dari sisi supply (penyediaan). Kebutuhan rata-rata BBM Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Statistik BPH Migas mencatat, pada 2006 konsumsi BBM sebesar 61,478 juta kiloliter, sedangkan pada 2017 meningkat menjadi 77,485 juta kiloliter atau ekuivalen sekitar 1,6 juta barel minyak mentah per hari. Peningkatan 25% dalam 10 tahun.
Di sisi lain, kemampuan memproduksi minyak dan mengolahnya terbatas. Produksi minyak mentah Indonesia saat ini berkisar 800.000 barel per hari. Lapangan minyak Indonesia mayoritas adalah lapangan tua. Untuk mencapai angka itu, dengan upaya keras dan cerdas, kita berhasil menekan penurunan laju alamiah 20% menjadi di bawah 5%, melalui pendalaman dan kerja ulang, perawatan, serta pengembangan sumur (work over, deepening and development well) serta akselerasi produksi pada beberapa lapangan.
Kedua, terbatasnya ruang fiskal yang tersedia. Asumsi dasar ekonomi makro pada APBN 2018 antara lain mematok liftings minyak 800.000 barel per hari, nilai tukar Rp13.400 per dolar, subsidi BBM dan LPG Rp46, 9 triliun, dengan alokasi BBM bersubsidi jenis solar 15,62 juta kiloliter. Harga minyak mentah menunjukkan tren kenaikan, dan saat ini sudah di kisaran 70 dolar/barel. Demikian juga kurs dolar yang menguat global termasuk terhadap rupiah, memberikan double impact yang berat.
Ketiga, tantangan transportasi, penyimpanan, dan distribusi. Penduduk Indonesia mendiami lebih dari 6.000 pulau dengan tingkat persebaran yang tidak sama, medan transportasi yang sulit menjangkau beberapa daerah pedalaman, serta fasilitas penyimpanan dan depo yang tidak merata. Kalau menggunakan perhitungan keekonomian, jelas tidak akan mampu untuk menutup biaya mengantar minyak ke daerah terpencil dengan volume penyerapan yang kecil.
Total kapasitas penyimpanan BBM di Indonesia saat ini sebanyak 7.500.000 kiloliter. Sekitar 80% kapasitas tersebut merupakan milik Pertamina, sisanya pihak swasta. Sekitar 65% dari kapasitas tersebut terpusat di Jawa dan Bali, dengan porsi penguasaan Pertamina sekitar 60%. Fakta ini menunjukkan bahwa pihak swasta hanya tertarik di daerah pemasaran yang gemuk, sementara storage Pertamina sendiri pun terpusat di Jawa.
Dihadapkan pada akumulasi situasi demikian, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral beserta dengan Kementerian BUMN dituntut untuk lebih cekatan dan jernih dalam mengambil kebijakan, yang memberikan dampak tidak saja bersifat ad hoc jangka pendek, tetapi hendaknya substansial dan fundamental. Kita melihat Pemerintah telah on the right track.
Di sisi hulu, pemerintah telah memberikan beberapa wilayah kerja terminasi ke Pertamina. Diproyeksikan porsi kontribusi Pertamina terhadap produksi migas nasional akan meningkat dari 23% pada 2017 ke sekitar 39% pada 2020. Hal ini merupakan cara pemerintah untuk mengompensasi beban dan penugasan yang diberikan ke Pertamina untuk mendukung kebijakan BBM satu harga. Bagaimana dengan wilayah kerja migas lainnya? Sejumlah 22 wilayah kerja migas yang berkontribusi sekitar 35% produksi nasional akan berakhir dalam lima tahun ke depan, termasuk grup perusahaan majors seperti Chevron Pacific Indonesia dan ConocoPhillips.
Perusahaan-perusahaan itu akan tetap diberi kesempatan untuk bekerja melanjutkan operasinya. Berbagai skema dan pilihan ada pada pemerintah, misalnya melanjutkan kerja sama dengan terms yang lebih baik ke pemerintah, kerja sama operasi dengan perusahaan negara atau nasional baik secara langsung/joint operation maupun dengan kepemilikan shares (interest). Perusahaan-perusahaan eksisting tetap diperlukan sebagai simbol kepercayaan kehadiran investor global di Indonesia, dan juga untuk transfer teknologi, profesionalitas, dan manajemen risiko portofolio. Sebagai harga (value) dari prospek cadangan migas, infrastruktur yang telah terbangun dan knowhow, wajar apabila kepada perusahaan asing yang masih akan diberikan kesempatan untuk melanjutkan kontrak, dibebankan kompensasi pembayaran yang signifikan (biasa dikenal dengan nama signature bonus). Pemerintah dapat memanfaatkan dana tersebut untuk membangun infrastruktur guna penguatan ketahanan energi, termasuk di sisi hilir. Pilihan lain yang tersedia adalah dengan mewajibkan perusahaan-perusahaan itu untuk bertukar (swap) lapangan produksi migasnya di luar negeri kepada pemerintah melalui Pertamina atau BUMN lainnya. Ini akan menghemat devisa sekaligus memperkuat portofolio kepemilikan cadangan migas Pertamina yang pada akhirnya memperkuat ketahanan energi. Penguatan badan usaha milik negara adalah juga bagian dari Nawacita Presiden.
Membangun kilang minyak domestik itu mahal. Tingkat pengembalian modal dan marginnya kecil, serta juga memerlukan feedstock minyak mentah yang stabil dari sisi pasokan maupun harga.
Berdasarkan roadmap infrastruktur kilang minyak bumi, pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas pengolahan kilang dengan membangun beberapa kilang baru dengan kapasitas 456 mbcd, dan pengembangan kilang eksisting dengan kapasitas 438 mbcd. Itu menelan biaya yang mahal. Sebagai gambaran, proyek peningkatan kapasitas dan kompleksitas (Refinery Development Master Plan /RDMP Kilang Minyak Cilacap misalnya. Proyek tersebut menurut pemberitaan diperkirakan menelan biaya sekitar USD5-6 miliar, hanya untuk meningkatkan kapasitas dari 348.000 barel per hari menjadi 400.000 barel.
Di sisi hilir, pangsa pasar Indonesia yang besar dapat menjadi posisi tawar yang kuat. Saat ini Pertamina mengimpor sekitar 250.000 barel minyak mentah per hari, di samping impor bensin 9 juta barel per bulan dan 1 juta barel per bulan untuk avtur. Sekiranya ada kebijakan yang holistis, integral, dan terpadu, pemerintah dapat mengundang mitra asing untuk membangun kilang, storage, dan jaringan distribusi di Indonesia, berkongsi dengan BUMN atau Pertamina. Imbalannya adalah pasar yang terbuka. Mudah-mudahan akselerasi program BBM satu harga akan terwujud secara sustainabel. Selama periode pembangunan, insentif perpajakan dan bea masuk dapat diberikan. Perlindungan hukum dalam bingkai hukum korporasi, juga mutlak diberikan ke Pertamina dan BUMN sebagai konsekuensi dan lanjutan dari penugasan tersebut.
Posisi tawar pemerintah sesungguhnya sangat kuat. Baik di sisi hulu terhadap kebijakan wilayah kerja yang akan berakhir, maupun penguatan struktur pasar dan infrastruktur di sisi hilir. Ini bukan soal nasionalisasi, melainkan adalah nasionalisme. Itulah esensi dan substansi energi berkeadilan.
(mhd)