BBM Satu Harga, Mengawal Energi Berkeadilan

Selasa, 22 Mei 2018 - 08:00 WIB
BBM Satu Harga, Mengawal Energi Berkeadilan
BBM Satu Harga, Mengawal Energi Berkeadilan
A A A
Sampe L Purba Praktisi Profesional, Aktif di Komunitas Energi

ESENSI energi ber­ke­a­dilan adalah me­­nyediakan ener­gi secara merata de­ngan harga terjangkau, me­ning­katkan pe­ne­ri­ma­an ne­ga­ra, sekaligus me­ma­cu per­tum­buhan dan ekonomi. BBM satu harga adalah salah satu di an­ta­ra­nya. Ini meru­pa­kan pe­wu­jud­an secara konkret satu di antara program Nawa­cita Jo­ko­wi-JK. Tantangan objek­tif secara ope­rasional ko­mersial dalam pe­nyediaan BBM di Indonesia sa­ngat kompleks, apalagi untuk me­wujudkan satu harga.

Setidaknya ada tiga tan­tangan besar yang harus di­ha­dapi pemerintah dan Per­ta­mina (yang merupakan ins­tru­men utama korporasi penye­dia­an BBM di Indonesia). Per­tama, dari sisi supply (pe­nye­dia­an). Kebutuhan rata-rata BBM In­do­nesia meningkat dari ta­hun ke tahun. Statistik BPH Mi­gas mencatat, pada 2006 kon­sumsi BBM sebesar 61,478 juta ki­lo­liter, sedangkan pada 2017 me­ningkat menjadi 77,485 juta kilo­liter atau ekui­valen sekitar 1,6 juta barel mi­nyak mentah per hari. Pe­ning­katan 25% da­lam 10 tahun.

Di sisi lain, kemampuan mem­produksi minyak dan me­ngolahnya terbatas. Produksi minyak mentah Indonesia saat ini berkisar 800.000 barel per hari. Lapangan minyak Indo­ne­sia mayoritas adalah lapangan tua. Untuk mencapai angka itu, dengan upaya keras dan cerdas, kita berhasil menekan penu­run­an laju alamiah 20% men­jadi di bawah 5%, melalui pen­dalaman dan kerja ulang, pera­wat­an, serta pengembangan su­mur (work over, deepening and development well) serta akselerasi produksi pada beberapa la­pangan.

Kedua, terbatasnya ruang fiskal yang tersedia. Asumsi da­sar ekonomi makro pada APBN 2018 antara lain mematok liftings minyak 800.000 barel per hari, nilai tukar Rp13.400 per dolar, subsidi BBM dan LPG Rp46, 9 triliun, dengan alokasi BBM bersubsidi jenis solar 15,62 juta kiloliter. Harga mi­nyak mentah menunjukkan tren kenaikan, dan saat ini su­dah di kisaran 70 dolar/barel. De­mikian juga kurs dolar yang menguat global ter­ma­suk terha­dap rupiah, mem­be­ri­kan double impact yang berat.

Ketiga, tantangan trans­por­tasi, penyimpanan, dan dis­tri­busi. Penduduk Indo­ne­sia men­­diami lebih dari 6.000 pulau dengan tingkat perse­bar­an yang tidak sama, medan trans­­portasi yang sulit men­jangkau beberapa daerah p­e­dalaman, ­serta fasilitas pe­nyim­panan dan depo yang tidak merata. Kalau meng­gu­na­kan perhi­tung­an ke­eko­no­mian, jelas tidak akan mampu untuk me­nu­tup biaya meng­antar mi­nyak ke daerah ter­pencil de­ngan vo­lume penye­rap­an yang kecil.

Total kapasitas penyim­pan­an BBM di Indonesia saat ini se­banyak 7.500.000 kiloliter. Se­ki­tar 80% kapasitas tersebut me­rupakan milik Pertamina, sisa­nya pihak swasta. Sekitar 65% dari kapasitas tersebut ter­pusat di Jawa dan Bali, dengan porsi penguasaan Pertamina se­kitar 60%. Fakta ini menun­juk­kan bah­­wa pihak swasta hanya ter­tarik di daerah pemasaran yang ge­muk, sementara storage Per­ta­mi­n­a sendiri pun terpusat di Jawa.

Dihadapkan pada aku­mu­lasi situasi demikian, peme­rin­tah melalui Kementerian Ener­gi dan Sumber Daya Mineral beserta dengan Kementerian BUMN dituntut untuk lebih cekatan dan jernih dalam meng­ambil kebijakan, yang membe­ri­kan dampak tidak saja bersifat ad hoc jangka pen­dek, tetapi hen­daknya sub­stan­sial dan fun­damental. Kita melihat Pe­me­rintah telah on the right track.

Di sisi hulu, pemerintah te­lah memberikan beberapa wila­yah kerja terminasi ke Per­ta­mi­na. Diproyeksikan porsi kon­tri­busi Pertamina terha­dap pro­duksi migas nasional akan me­ningkat dari 23% pada 2017 ke sekitar 39% pada 2020. Hal ini me­rupakan cara pe­me­rintah un­tuk mengompensasi beban dan penugasan yang diberikan ke Pertamina untuk mendu­kung kebijakan BBM satu har­ga. Bagaimana dengan wila­yah kerja migas lainnya? Sejumlah 22 wilayah kerja migas yang berkontribusi sekitar 35% pro­duksi nasional akan berakhir dalam lima tahun ke depan, ter­masuk grup perusahaan majors seperti Chevron Pacific Indo­ne­sia dan ConocoPhillips.

Perusahaan-perusahaan itu akan tetap diberi kesem­pat­an untuk bekerja melanjutkan operasinya. Berbagai skema dan pilihan ada pada peme­rin­tah, misalnya melanjutkan ker­ja sama dengan terms yang le­bih baik ke pemerintah, kerja sa­ma operasi dengan perusa­ha­an negara atau nasional baik secara langsung/joint operation mau­pun dengan kepe­mi­lik­an shares (interest). Pe­ru­sa­ha­an-perusa­ha­an eksisting tetap diperlukan sebagai simbol kepercayaan keha­diran inves­tor global di In­do­­ne­sia, dan juga untuk transfer teknologi, pro­fe­sionalitas, dan manajemen risiko portofolio. Sebagai har­ga (value) dari pros­pek ca­dangan migas, infra­struk­­tur yang telah ter­bangun dan knowhow, wajar apabila kepada perusahaan asing yang masih akan di­beri­kan kesem­pat­an untuk melan­jut­kan kon­trak, dibe­bankan kompensasi pem­ba­yaran yang signifikan (biasa dikenal de­ngan nama sig­na­ture bonus). Pe­me­rin­tah da­pat memanfaat­kan dana ter­se­but untuk mem­bangun infra­struk­tur guna penguatan keta­han­an energi, termasuk di sisi hilir. Pilihan lain yang tersedia adalah de­ngan mewajibkan pe­rusahaan-perusahaan itu un­tuk bertukar (swap) lapangan pro­duksi mi­gas­nya di luar ne­geri kepada pemerintah melalui Pertamina atau BUMN lainnya. Ini akan menghemat devisa se­ka­ligus memperkuat portofolio ke­pe­milikan cadangan migas Per­ta­mina yang pada akhirnya mem­perkuat ketahanan energi. Penguatan badan usaha milik negara adalah juga bagian dari Nawacita Presiden.

Membangun kilang minyak domestik itu mahal. Tingkat pe­ngembalian modal dan mar­gin­nya kecil, serta juga memer­lu­kan feedstock minyak mentah yang stabil dari sisi pasokan maupun harga.

Berdasarkan roadmap infra­struk­tur kilang minyak bumi, pe­merintah menargetkan pe­ning­katan kapasitas pengo­lah­an kilang dengan membangun beberapa kilang baru dengan ka­pasitas 456 mbcd, dan pe­ngem­bangan kilang eksisting dengan kapasitas 438 mbcd. Itu menelan biaya yang mahal. Se­bagai gambaran, proyek pe­ning­katan kapasitas dan kom­plek­sitas (Refinery Deve­lop­ment Master Plan /RDMP Ki­lang Mi­nyak Cilacap misalnya. Proyek tersebut menurut pem­beritaan diperkirakan me­ne­lan biaya sekitar USD5-6 mi­liar, hanya untuk me­ning­kat­kan kapasitas dari 348.000 ba­rel per hari menjadi 400.000 barel.

Di sisi hilir, pangsa pasar Indonesia yang besar dapat men­jadi posisi tawar yang kuat. Saat ini Pertamina mengimpor sekitar 250.000 barel minyak mentah per hari, di samping impor bensin 9 juta barel per bulan dan 1 juta barel per bulan untuk avtur. Sekiranya ada ke­bijakan yang holistis, integral, dan terpadu, pemerintah da­pat mengundang mitra asing untuk membangun kilang, storage, dan jaringan distribusi di Indo­nesia, berkongsi dengan BUMN atau Pertamina. Imba­lan­nya ada­lah pasar yang ter­buka. Mu­dah-mudahan akse­le­rasi pro­gram BBM satu harga akan ter­wujud secara sus­taina­bel. Sela­ma periode pem­ba­ngun­an, in­sen­tif perpajakan dan bea ma­suk dapat diberi­kan. Per­lin­dungan hukum da­lam bingkai hukum korporasi, juga mutlak diberikan ke Per­tamina dan BUMN sebagai konsekuensi dan lanjutan dari penugasan tersebut.

Posisi tawar pemerintah se­sungguhnya sangat kuat. Baik di sisi hulu terhadap kebijakan wilayah kerja yang akan ber­akhir, maupun pe­nguatan struk­tur pasar dan infra­struk­tur di sisi hilir. Ini bukan soal nasionalisasi, me­lainkan ada­lah nasionalisme. Itulah esensi dan substansi energi ber­kea­dil­an.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7583 seconds (0.1#10.140)
pixels