Anak Adalah Korban!
A
A
A
Rita Pranawati
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dosen FISIP UHAMKA
Aksi bom bunuh diri di Surabaya meninggalkan duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Selain karena jumlah korban meninggal dan luka-luka yang tidak sedikit, juga disebabkan pelibatan anak da lam aksi nekat itu.
Anak dalam aksi terorisme adalah korban. Anak tidak layak disebut sebagai pelaku. Anak adalah korban sistem sosial. Sistem sosial yang sering menempatkan anak sebagai hak milik orang tua. Sistem sosial di mana anak dianggap sebagai makhluk kecil yang tak berdaya. Sistem sosial di mana mereka kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar. Sistem sosial di mana masyarakat masih suka mengekspose gambar anak yang dilibatkan dalam tindak pidana terorisme.
Ketimpangan Pengasuhan
Anak yang dilibat kan oleh orang dewasa dalam aksi terorisme menjadi potret nyata bahwa dalam sistem sosial masya rakat masih terjadi ketimpangan dalam pengasuhan. Pengasuhan oleh orang tua masih menempatkan dirinya sebagai orang dewasa yang serba mengerti dan berkehendak atas anak. Orang tua belum mau mendengar dan memperhatikan anak sebagai makhluk utuh, mandiri, dan merdeka. Ironisnya, pengasuhan yang tidak tepat itu dibenarkan oleh masyarakat. Artinya, masyarakat turut serta dalam sikap acuh terhadap pengasuhan. Masyarakat seakan telah terbebas dari tugas/amanat mendidik masa depan bangsa.
Mereka sering merasa nyaman dengan kondisi rumah tangganya, tanpa memedulikan keluarga lain. Padahal, dalam sistem sosial keberadaan individu dalam sebuah kelompok adalah bagian integral dalam keluarga. Lingkungan yang kurang baik itu menjadikan anak kerap tidak mendapatkan tempat nyaman dalam tumbuh kembang. Seharusnya lingkungkan menjadi fungsi kontrol terhadap pendidikan anak dalam keluarga. Saat kondisi itu semakin dibiarkan, maka tidak mengherankan jika pelibatan anak dalam aksi bom bunuh diri menjadi hal baru di Indonesia. Pelibatan anak dalam aksi teror menjadi penanda bahwa ego orang dewasa sangat besar.
Ego itulah yang kemudian menutupi mata batin kebenaran. Saat mata batin kebenaran telah tertutup, maka anak yang tak berdosa pun dilibatkan dalam serangkaian aksi keji. Ego yang kemudian merambah pada kepentingan politik orang dewasa itulah yang menjadikan anak sebagai korban. Anak yang dilibatkan dalam aksi teror adalah korban konflik kepentingan dan ego orang tua.
Identitas Anak
Lebih lanjut, anak sebagai korban pun berlanjut dalam praktik komunikasi masyarakat. Masyarakat suka mengekspose (retweet dan repost ) gambar/foto anak dan identitas anak. Identitas anak dalam hal ini, antara lain nama lengkap, sekolah, alamat, aktivitas organisasi, dan gambar anak. Anak “pelaku” korban dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Foto anak dan identitas lainnya tidak boleh dipublikasikan, meskipun anak-anak itu adalah “pelaku”.
Pasal 19 (1) menyebutkan Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. (2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkap kan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi. Bahkan dalam UU SPPA terkait putusan pengadilan pada sidang terbuka untuk umum, media pun dilarang untuk memublikasikan identitas anak. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 61 ayat 2. Pasal itu menyebutkan, “Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar.
Saat hal tersebut dilanggar, maka ancaman hukuman telah termaktub. Sebagaimana Pasal 97 UU SPPA menyatakan “Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimak sud dalam Pasal 19 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dampak dari ekspose identitas anak di media, di antaranya masa depan anak tersebut yang terstigma. Belajar dari beberapa kasus anak yang terekspose media, anak yang sudah menjalani proses hukuman sekalipun mengalami trauma untuk kembali ke rumahnya. Mereka merasa citra buruk mereka sudah lekat di ingatan masyarakat akibat pemberitaan yang ada.
Padahal, prinsip restorative justice dalam UU SPPA adalah memulihkan anak kepada situasi semula sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Dalam kasus terorisme, meskipun anak sudah meninggal, masih ada teman sekolah, teman main, teman organisasi, yang jika identitas anak ini dilekatkan dapat memberikan dampak psikologis bagi anak-anak yang lain. Stigma terhadap sebuah sekolah dan organisasi pelaku akibat ada siswanya yang menjadi “pelaku” tidak semestinya memberikan dampak negatif pada anak-anak lain dalam sekolah dan organisasi tersebut.
Bagi anak pelaku yang orang tuanya meninggal akibat tindak pidana terorisme, tidak sepantasnya kesalahan orang dilekatkan pada anak. Anak masih panjang masa tumbuh kembang dan masa depannya. Jangan sampai stigma negatif kepada anak tersebut menjadi benih-benih radikalisme yang tumbuh pada dirinya. Dengan demikian, mari menyudahi mengirim atau mengunggah gambar anak yang dilibatkan dalam aksi teroris. Kesadaran masyarakat dibutuhkan untuk menjamin harkat hidup anak pada masa yang akan datang. Pada akhirnya, peristiwa bom bunuh diri di Surabaya semoga menjadi pelajaran penting bagi bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia perlu kembali menoleh dan peduli terhadap tumbuh kembang anak. Memperbaiki sistem pengasuhan dan tekad melindungi anak Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Semoga peristiwa di Kota Surabaya menjadi yang pertama dan terakhir aksi teror yang melibatkan anak.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dosen FISIP UHAMKA
Aksi bom bunuh diri di Surabaya meninggalkan duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Selain karena jumlah korban meninggal dan luka-luka yang tidak sedikit, juga disebabkan pelibatan anak da lam aksi nekat itu.
Anak dalam aksi terorisme adalah korban. Anak tidak layak disebut sebagai pelaku. Anak adalah korban sistem sosial. Sistem sosial yang sering menempatkan anak sebagai hak milik orang tua. Sistem sosial di mana anak dianggap sebagai makhluk kecil yang tak berdaya. Sistem sosial di mana mereka kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar. Sistem sosial di mana masyarakat masih suka mengekspose gambar anak yang dilibatkan dalam tindak pidana terorisme.
Ketimpangan Pengasuhan
Anak yang dilibat kan oleh orang dewasa dalam aksi terorisme menjadi potret nyata bahwa dalam sistem sosial masya rakat masih terjadi ketimpangan dalam pengasuhan. Pengasuhan oleh orang tua masih menempatkan dirinya sebagai orang dewasa yang serba mengerti dan berkehendak atas anak. Orang tua belum mau mendengar dan memperhatikan anak sebagai makhluk utuh, mandiri, dan merdeka. Ironisnya, pengasuhan yang tidak tepat itu dibenarkan oleh masyarakat. Artinya, masyarakat turut serta dalam sikap acuh terhadap pengasuhan. Masyarakat seakan telah terbebas dari tugas/amanat mendidik masa depan bangsa.
Mereka sering merasa nyaman dengan kondisi rumah tangganya, tanpa memedulikan keluarga lain. Padahal, dalam sistem sosial keberadaan individu dalam sebuah kelompok adalah bagian integral dalam keluarga. Lingkungan yang kurang baik itu menjadikan anak kerap tidak mendapatkan tempat nyaman dalam tumbuh kembang. Seharusnya lingkungkan menjadi fungsi kontrol terhadap pendidikan anak dalam keluarga. Saat kondisi itu semakin dibiarkan, maka tidak mengherankan jika pelibatan anak dalam aksi bom bunuh diri menjadi hal baru di Indonesia. Pelibatan anak dalam aksi teror menjadi penanda bahwa ego orang dewasa sangat besar.
Ego itulah yang kemudian menutupi mata batin kebenaran. Saat mata batin kebenaran telah tertutup, maka anak yang tak berdosa pun dilibatkan dalam serangkaian aksi keji. Ego yang kemudian merambah pada kepentingan politik orang dewasa itulah yang menjadikan anak sebagai korban. Anak yang dilibatkan dalam aksi teror adalah korban konflik kepentingan dan ego orang tua.
Identitas Anak
Lebih lanjut, anak sebagai korban pun berlanjut dalam praktik komunikasi masyarakat. Masyarakat suka mengekspose (retweet dan repost ) gambar/foto anak dan identitas anak. Identitas anak dalam hal ini, antara lain nama lengkap, sekolah, alamat, aktivitas organisasi, dan gambar anak. Anak “pelaku” korban dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Foto anak dan identitas lainnya tidak boleh dipublikasikan, meskipun anak-anak itu adalah “pelaku”.
Pasal 19 (1) menyebutkan Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. (2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkap kan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi. Bahkan dalam UU SPPA terkait putusan pengadilan pada sidang terbuka untuk umum, media pun dilarang untuk memublikasikan identitas anak. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 61 ayat 2. Pasal itu menyebutkan, “Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar.
Saat hal tersebut dilanggar, maka ancaman hukuman telah termaktub. Sebagaimana Pasal 97 UU SPPA menyatakan “Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimak sud dalam Pasal 19 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dampak dari ekspose identitas anak di media, di antaranya masa depan anak tersebut yang terstigma. Belajar dari beberapa kasus anak yang terekspose media, anak yang sudah menjalani proses hukuman sekalipun mengalami trauma untuk kembali ke rumahnya. Mereka merasa citra buruk mereka sudah lekat di ingatan masyarakat akibat pemberitaan yang ada.
Padahal, prinsip restorative justice dalam UU SPPA adalah memulihkan anak kepada situasi semula sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Dalam kasus terorisme, meskipun anak sudah meninggal, masih ada teman sekolah, teman main, teman organisasi, yang jika identitas anak ini dilekatkan dapat memberikan dampak psikologis bagi anak-anak yang lain. Stigma terhadap sebuah sekolah dan organisasi pelaku akibat ada siswanya yang menjadi “pelaku” tidak semestinya memberikan dampak negatif pada anak-anak lain dalam sekolah dan organisasi tersebut.
Bagi anak pelaku yang orang tuanya meninggal akibat tindak pidana terorisme, tidak sepantasnya kesalahan orang dilekatkan pada anak. Anak masih panjang masa tumbuh kembang dan masa depannya. Jangan sampai stigma negatif kepada anak tersebut menjadi benih-benih radikalisme yang tumbuh pada dirinya. Dengan demikian, mari menyudahi mengirim atau mengunggah gambar anak yang dilibatkan dalam aksi teroris. Kesadaran masyarakat dibutuhkan untuk menjamin harkat hidup anak pada masa yang akan datang. Pada akhirnya, peristiwa bom bunuh diri di Surabaya semoga menjadi pelajaran penting bagi bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia perlu kembali menoleh dan peduli terhadap tumbuh kembang anak. Memperbaiki sistem pengasuhan dan tekad melindungi anak Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Semoga peristiwa di Kota Surabaya menjadi yang pertama dan terakhir aksi teror yang melibatkan anak.
(zik)