Definisi Terorisme

Rabu, 16 Mei 2018 - 07:47 WIB
Definisi Terorisme
Definisi Terorisme
A A A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

PRESIDEN dan Kapolri meminta agar revisi RUU Antiterorisme segera diselesaikan secepat mungkin agar penanggulangan masalah terorisme ini dapat dilakukan dengan lebih luas, dalam dan terarah. Presiden sendiri mengancam akan menerbitkan perppu apabila hingga Juni nanti belum ada indikasi revisi itu terjadi.

Di sisi lain, DPR menyatakan bahwa persoalannya bukan di pihak mereka, melainkan di internal pemerintah yang masih belum menyepakati definisi terorisme. Banyak pihak, khususnya DPR, menilai bahwa hal itu membuktikan bahwa pembahasan RUU itu sudah mencapai 90% dan tinggal sedikit menyelesaikan masalah definisi tersebut.

Bagi saya, hal itu justru terbalik. Definisi terorisme adalah inti dari RUU tersebut dan pasal-pasal lain akan mengikuti definisi tersebut. Sempit dan luasnya definisi terorisme akan berdampak terhadap keberadaan pasal-pasal lain. Contoh jika terorisme didefinisikan sebagai ancaman yang timbul dari luar maka keterlibatan aparat militer lain seperti TNI atau BIN menjadi perlu, sementara apabila definisi itu hanya menyangkut ancaman yang timbul dari dalam maka keterlibatan aparat militer lain menjadi tidak perlu.

Pro dan kontra definisi terorisme bukan hanya masalah di Indonesia, melainkan juga di dunia. Perbedaan ini muncul karena sulitnya menemukan nilai-nilai universal yang berlaku tidak hanya di satu wilayah atau negara, tetapi juga di semua tempat, karena terorisme sifatnya lintas batas negara.

Contoh, tentang siapa yang dimaksud pelaku teroris? Apakah mereka yang melakukan sabotase melakukan pembakaran pabrik yang mencemari lingkungan dan menimbulkan korban sama dosanya dengan mereka yang membakar instalasi militer karena perbedaan ideologi?

George Bruce (2015) menceritakan bagaimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perlu waktu yang panjang untuk mendefinisikan terorisme. PBB mencoba menawarkan definisi umum tentang terorisme setelah PBB menangani peristiwa pembunuhan di Olimpiade Munich pada 1972.

Peristiwa yang dikenal dengan nama Black September adalah kejadian di mana pada 5 September 1972, kelompok September Hitam (Black September) yang terdiri atas orang-orang Palestina menyandera dan membunuh 11 atlet Israel dan seorang polisi. Mayoritas militan terbunuh dan hanya menyisakan tiga orang.

Beberapa negara, khususnya di Afrika, Asia, dan Tengah Timur tidak mau melabeli kelompok tersebut sebagai teroris karena mengetahui dan bersimpati dengan tujuan mereka, yaitu untuk pembebasan bangsa Palestina.

Hal yang sama juga dilakukan Barat, terutama Amerika Serikat yang menolak gerakan kontra-Nikaragua sebagai organisasi teroris, karena gerakan itu adalah perlawanan terhadap kekuasaan sosialis yang cenderung beraliansi dengan kelompok-kelompok komunis. Namun, mereka tidak masalah terhadap gerakan anti-Apartheid di Afrika Selatan, yaitu African National Congress, disebut sebagai teroris karena perlawanan mereka terhadap pemerintahan kulit putih.

PBB mengadopsi Konvensi Internasional untuk Suppression of Terrorist Bombings tahun 2001, meskipun proses untuk mencari definisi yang tepat dan diterima semua bangsa masih terus dilakukan. PBB juga sempat frustrasi karena tidak tercapainya kata sepakat tentang terorisme meski tindakan teror semakin meningkat.

Kepala UN Counter-Terrorism Committee Executive Directorate pada 2010 mengatakan bahwa hambatan dalam mendefinisikan terorisme telah menghambat pula tindakan untuk mencegah aksi terorisme terjadi.

Kesulitan dalam mendefinisikan terorisme juga terjadi ruang akademik, padahal tekanan politik relatif lemah. Sebagian besar para intelektual dan akademisi menggarisbawahi terorisme sebagai kombinasi konsep-konsep kekerasan, politik, sosiologi, dan psikologi.

Walter Laqueur (1977) menggunakan definisi yang sederhana dan luas “terorisme adalah penggunaan kekuatan yang tidak sah untuk mencapai tujuan politik dengan menargetkan orang-orang yang tidak bersalah”. Tore Bjorgo (2005) menyatakan “terorisme adalah seperangkat metode pertempuran ideologi atau gerakan yang dapat diidentifikasi, dan melibatkan penggunaan kekerasan terencana terhadap (terutama) non-kombatan untuk mencapai efek psikologis ketakutan pada orang lain daripada target langsung.”

Fernando Reinares (2015) tidak memberikan definisi yang pasti tentang terorisme, tetapi membedakan tiga cara untuk mendefinisikannya. Pertama, terorisme adalah tindakan kekerasan yang menghasilkan reaksi emosional yang tidak proporsional, seperti ketakutan dan kecemasan yang cenderung memengaruhi sikap dan perilaku.

Kedua, terorisme adalah kekerasan bersifat sistemik dan agak tidak dapat diprediksi dan biasanya diarahkan terhadap target simbolis. Ketiga, kekerasan dalam terorisme mengandung pesan dan ancaman untuk berkomunikasi dan mendapatkan kontrol sosial.

Definisi-definisi itu terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Schmid and Jongman (2011) misalnya, melakukan penelitian terhadap kurang lebih 109 definisi terorisme yang tersebar baik di dalam literatur akademik maupun kebijakan. Mereka mencatat beberapa kata yang sering digunakan dalam definisi tersebut seperti kekerasan (83,5%), politik (65%), ketakutan (51%), ancaman (47%), efek psikologis (41,5%), target korban (37,%) dan terencana, berprogram, sistematik, dan terorganisasi (32%).

Bukti-bukti di atas memperlihatkan bahwa definisi terorisme sangat sulit untuk dapat menyenangkan semua pihak. Tidak akan ada yang pernah puas, namun keputusan harus diambil.

Negara dan DPR harus mengambil sikap yang tegas, mengingat suasana yang berkembang, namun juga harus siap mempertanggungjawabkan apabila definisi terorisme yang mereka putuskan nanti tidak tepat sasaran atau memiliki dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0788 seconds (0.1#10.140)