Perguruan Tinggi Melawan Terorisme

Selasa, 15 Mei 2018 - 08:30 WIB
Perguruan Tinggi Melawan...
Perguruan Tinggi Melawan Terorisme
A A A
Taufan Maulamin
Sekjen Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (Apperti)

BEBERAPA hari se­te­lah Komisi Fatwa Ma­jelis Ulama Indo­nesia (MUI) meng­ge­lar Ijtimaí Ulama di Banjarmasin, Ka­li­man­­tan Selatan, terjadi aksi bom bunuh diri di sejumlah tem­pat di Jawa Timur. Pem­bu­nuhan ini menewas­kan pelaku dan sejumlah korban tak ber­sa­lah.

Ini tentu ironi. Di tengah upa­ya MUI menegaskan ten­tang Islam yang rahmatan lil alamin, masih ada segelintir oknum yang melakukan aksi bertentangan dengan ajaran Islam. Ditambah, beberapa pe­kan sebelumnya, sejumlah cen­de­kiawan muslim dunia ber­kum­pul di Bogor mende­kla­ra­si­kan pesan damai yang dikenal dengan Bogor Message.

Dari aspek akademis, te­ro­risme menjadi sebuah frasa yang sulit didefinisikan. Hal ini yang menyebabkan pen­de­fi­ni­sian terorisme tidak tuntas da­lam RUU Antiterorisme hingga saat ini. Standar ganda definisi terorisme itu sendiri yang ke­mudian menjadikan pem­ba­has­an RUU tersebut tidak bisa di­rampungkan.

Apalagi, perang global me­la­wan terorisme menjadi sebuah pemaknaan sendiri bahwa se­cara faktual yang diperangi ada­lah kelompok Islam. Perihal Israel mencaplok wilayah Pa­les­tina dan membunuh ratusan ribu orang selama bertahun-tahun, tidak pernah ada pe­nye­matan terorisme kepada Negeri Yahudi tersebut.

Pembunuhan keji terhadap ribuan muslim Rohingya pun tidak membuat masyarakat internasional menyebut para pe­lakunya dengan sebutan kelom­pok teroris. Itu hanya sege­lin­tir contoh standar ganda yang digunakan komunitas in­ter­nasional tentang apa itu te­ro­risme. Standar ganda yang disu­guh­kan kepada umat Islam ini membuat aksi terorisme tidak mudah diatasi.

Andil Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi memiliki andil besar untuk mengatasi persoalan ini. Beberapa tahun be­lakangan, sejumlah kalangan menuding kampus sebagai sarang kaderisasi kelompok teror. Lagi-lagi, tudingan terse­but mengarah kepada kelom­pok-kelompok Islam.

Meski bantahan sudah di­buat, bahkan dalam aksi de­mons­trasi massal setahun lalu, di mana kelompok Islam me­nunjukkan toleransi yang ting­gi, salah satunya ketika ada pa­sangan pengantin Nasrani yang diantar ke halaman gereja, pa­da­hal kedua pengantin itu me­le­wati kerumunan massa yang tengah berunjuk rasa.

Bagi mereka yang aktif di kampus, tidak ada tempat un­tuk mengembangkan budaya kekerasan dengan alasan apa pun. Kondisi ini menjadi tan­tangan bagi para penyelenggara per­guruan tinggi di Indonesia. Bagi semua pihak, per­gu­ru­an tinggi di samping sebagai sumber ilmu, juga harus mam­pu menjadi pusat integritas dan peradaban.

Oleh karena itu, perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi garda terakhir dalam membangun karakter bangsa, termasuk juga meng­ha­lau berkembangnya paham ra­dikal dan terorisme. Sebagai organisasi besar di Indonesia, Aliansi Penye­leng­gara Perguruan Tinggi Indo­ne­sia (Apperti) senantiasa meng­ingat­kan anggotanya bahwa tidak akan menerima radika­lis­me yang membonceng agama apa pun di Tanah Air.

Pe­nyim­pang­an dan manipulasi ajaran agama untuk menjustifikasi tindakan kekerasan yang ber­sum­ber dari penafsiran lateral sepotong-sepotong hanya akan melahirkan ekstremisme. Sikap ekstrem ini sendiri bakal men­jadi embrio radikalisme dan terorisme yang merusak negara dan membuat citra buruk aga­ma tersebut.

Faktor Pemicu

Apperti menilai ada tiga pe­nyebab masih maraknya aksi te­ro­risme. Pertama, akibat ada­nya wawasan keagamaan yang keliru. Para pelaku teror salah dalam menggunakan simbol aga­ma. Jalan kekerasan yang ditempuh justru akan me­nyu­lit­kan posisi umat, khususnya da­lam membangun persepsi po­si­tif masyarakat pada gerakan ke­agamaan.

Seperti yang sudah ditulis di awal, ketika MUI dan sejumlah cendekiawan muslim berusaha menampilkan gerakan ke­aga­ma­an yang damai, menjadi rusak dan tidak berguna karena adanya kelompok sempalan yang menggunakan jalan ke­ke­ras­an. Menempuh cara-cara teror dalam mencapai tujuan agama yang suci, sama saja dengan mengkhianati dan me­ngo­tori kesucian agama itu sendiri.

Kedua, ketimpangan eko­no­mi, ketidakadilan, dan ke­tia­da­an stabilitas politik yang me­la­hir­kan aksi terorisme. Te­ro­risme adalah ancaman terhadap negara yang sama halnya dengan separatisme dan gerak­an disintegrasi (Bambang Pra­no­wo, 2010: 203). Rongrongan di­sin­tegrasi nasional kalau mau dilihat secara mendalam, akar­nya sebetulnya sederhana: men­dalamnya kemiskinan dan ketidakadilan.

Oleh sebab itu, memahami masalah terorisme harus di­de­kati dengan multidimensi dan multidisiplin ilmu. Mem­per­kuat rasa nasionalisme di pergu­ruan tinggi bisa menjadi cara efektif untuk melawan ge­rak­an-gerakan teror, khususnya yang ada di lingkungan kampus.

Pemerintah harus serius melakukan pemerataan eko­no­mi dan keadilan sambil terus-me­nerus membuka diri me­ngem­bangkan ilmu penge­ta­hu­an dan kebudayaan. Kekuatan ekonomi yang ditopang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi agar bersifat man­diri, tidak bergantung pada negara lain.

Sementara itu, keadilan mene­kankan pada ter­ben­tuknya tatanan masyarakat yang ber­bu­daya dan sadar hu­kum. Dalam konteks ini, pembangunan kebu­dayaan dan ke­sa­daran hukum menjadi amat penting untuk membangun solidaritas dan na­sionalisme yang bertumpu pada keadilan sosial.

Ketiga, aksi terorisme harus di­baca sebagai kemungkinan akro­bat politik para elite, baik dalam maupun luar negeri, yang memiliki tujuan menghancur­kan kedaulatan bangsa dan ne­ga­ra. Motif terorisme sangat sulit untuk diungkap dan mem­bu­tuhkan keterlibatan ber­ba­gai pihak.

Misalnya ketika Amerika Serikat pada era Bush Jr me­la­kukan teror atas nama negara ter­hadap Irak, dengan argumentasi pembenaran aksi teror berdalih adanya senjata pemusnah massal. Didahului pencitraan melalui publikasi internasional bahwa Irak ada­lah musuh ber­sama masya­ra­kat internasional. Suatu isapan jempol yang pada akhirnya meng­akibatkan Irak luluh lantak.

Akhir kata, kita perlu me­nyadari bahwa keadilan adalah peristiwa yang sangat men­dasar dalam kehidupan manu­sia. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keadilan juga meru­pa­kan tonggak untuk membina persatuan, kesatuan, ketahanan, dan persatuan na­sional. Demikian pentingnya ke­adilan sam­pai-sampai Tuhan sendiri me­nyatakan bahwa alam semesta ini pun diciptakan dengan ke­adilan (kesei­m­bangan).

Tanpa keadilan, semuanya akan hancur. Manusia akan saling memangsa. Negara-negara di dunia akan berperang. Planet-planet akan saling bertumbukan. Tanpa keadilan, alam akan hancur. Tanpa ke­adilan, nasionalisme dan ke­ta­hanan nasional suatu bangsa akan hancur.
(whb)
Berita Terkait
Pancasila Sakti
Pancasila Sakti
Opini Guru Besar Anti-TWK
Opini Guru Besar Anti-TWK
Menghapus Asimetris...
Menghapus Asimetris Relasi di Hari Buruh
Pertempuran Sungai Nil,...
Pertempuran Sungai Nil, Perebutan Energi Sumber Daya Alam
Akhir Ramadan, Sportifitas...
Akhir Ramadan, Sportifitas dan Optimisme
Ubah Paradigma “Gali-Jual”...
Ubah Paradigma Gali-Jual Dalam Pemanfaatan Komoditi Timah
Berita Terkini
Selain 15 Pos Kementerian/Lembaga,...
Selain 15 Pos Kementerian/Lembaga, Komisi I DPR Pertimbangkan TNI Aktif Bisa Jabat di Badan Perbatasan Nasional
1 jam yang lalu
Rapat Panja RUU TNI...
Rapat Panja RUU TNI Digelar di Hotel Mewah, KontraS Curiga agar Sulit Diakses Publik
1 jam yang lalu
Penerapan KUHP Baru...
Penerapan KUHP Baru 2026, LBH Ansor: Semangat Lepas dari Warisan Kolonial
2 jam yang lalu
Polri Janji Tindak Tegas...
Polri Janji Tindak Tegas Ormas Palak Pelaku Usaha, Lapor ke Nomor 110
2 jam yang lalu
Pastikan Subsidi Tepat...
Pastikan Subsidi Tepat Sasaran, Menteri Bahlil: Karena itu Hak Rakyat yang Tidak Mampu
2 jam yang lalu
RUU TNI Dikebut Rampung...
RUU TNI Dikebut Rampung sebelum Lebaran, Ketua Komisi I DPR: Di Politik, Paling Repot Cari Titik Temunya
2 jam yang lalu
Infografis
PBB Singkirkan Bendera...
PBB Singkirkan Bendera Israel di Dataran Tinggi Golan Suriah
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved