Perguruan Tinggi Melawan Terorisme
A
A
A
Taufan Maulamin
Sekjen Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (Apperti)
BEBERAPA hari setelah Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Ijtimaí Ulama di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, terjadi aksi bom bunuh diri di sejumlah tempat di Jawa Timur. Pembunuhan ini menewaskan pelaku dan sejumlah korban tak bersalah.
Ini tentu ironi. Di tengah upaya MUI menegaskan tentang Islam yang rahmatan lil alamin, masih ada segelintir oknum yang melakukan aksi bertentangan dengan ajaran Islam. Ditambah, beberapa pekan sebelumnya, sejumlah cendekiawan muslim dunia berkumpul di Bogor mendeklarasikan pesan damai yang dikenal dengan Bogor Message.
Dari aspek akademis, terorisme menjadi sebuah frasa yang sulit didefinisikan. Hal ini yang menyebabkan pendefinisian terorisme tidak tuntas dalam RUU Antiterorisme hingga saat ini. Standar ganda definisi terorisme itu sendiri yang kemudian menjadikan pembahasan RUU tersebut tidak bisa dirampungkan.
Apalagi, perang global melawan terorisme menjadi sebuah pemaknaan sendiri bahwa secara faktual yang diperangi adalah kelompok Islam. Perihal Israel mencaplok wilayah Palestina dan membunuh ratusan ribu orang selama bertahun-tahun, tidak pernah ada penyematan terorisme kepada Negeri Yahudi tersebut.
Pembunuhan keji terhadap ribuan muslim Rohingya pun tidak membuat masyarakat internasional menyebut para pelakunya dengan sebutan kelompok teroris. Itu hanya segelintir contoh standar ganda yang digunakan komunitas internasional tentang apa itu terorisme. Standar ganda yang disuguhkan kepada umat Islam ini membuat aksi terorisme tidak mudah diatasi.
Andil Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi memiliki andil besar untuk mengatasi persoalan ini. Beberapa tahun belakangan, sejumlah kalangan menuding kampus sebagai sarang kaderisasi kelompok teror. Lagi-lagi, tudingan tersebut mengarah kepada kelompok-kelompok Islam.
Meski bantahan sudah dibuat, bahkan dalam aksi demonstrasi massal setahun lalu, di mana kelompok Islam menunjukkan toleransi yang tinggi, salah satunya ketika ada pasangan pengantin Nasrani yang diantar ke halaman gereja, padahal kedua pengantin itu melewati kerumunan massa yang tengah berunjuk rasa.
Bagi mereka yang aktif di kampus, tidak ada tempat untuk mengembangkan budaya kekerasan dengan alasan apa pun. Kondisi ini menjadi tantangan bagi para penyelenggara perguruan tinggi di Indonesia. Bagi semua pihak, perguruan tinggi di samping sebagai sumber ilmu, juga harus mampu menjadi pusat integritas dan peradaban.
Oleh karena itu, perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi garda terakhir dalam membangun karakter bangsa, termasuk juga menghalau berkembangnya paham radikal dan terorisme. Sebagai organisasi besar di Indonesia, Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (Apperti) senantiasa mengingatkan anggotanya bahwa tidak akan menerima radikalisme yang membonceng agama apa pun di Tanah Air.
Penyimpangan dan manipulasi ajaran agama untuk menjustifikasi tindakan kekerasan yang bersumber dari penafsiran lateral sepotong-sepotong hanya akan melahirkan ekstremisme. Sikap ekstrem ini sendiri bakal menjadi embrio radikalisme dan terorisme yang merusak negara dan membuat citra buruk agama tersebut.
Faktor Pemicu
Apperti menilai ada tiga penyebab masih maraknya aksi terorisme. Pertama, akibat adanya wawasan keagamaan yang keliru. Para pelaku teror salah dalam menggunakan simbol agama. Jalan kekerasan yang ditempuh justru akan menyulitkan posisi umat, khususnya dalam membangun persepsi positif masyarakat pada gerakan keagamaan.
Seperti yang sudah ditulis di awal, ketika MUI dan sejumlah cendekiawan muslim berusaha menampilkan gerakan keagamaan yang damai, menjadi rusak dan tidak berguna karena adanya kelompok sempalan yang menggunakan jalan kekerasan. Menempuh cara-cara teror dalam mencapai tujuan agama yang suci, sama saja dengan mengkhianati dan mengotori kesucian agama itu sendiri.
Kedua, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan, dan ketiadaan stabilitas politik yang melahirkan aksi terorisme. Terorisme adalah ancaman terhadap negara yang sama halnya dengan separatisme dan gerakan disintegrasi (Bambang Pranowo, 2010: 203). Rongrongan disintegrasi nasional kalau mau dilihat secara mendalam, akarnya sebetulnya sederhana: mendalamnya kemiskinan dan ketidakadilan.
Oleh sebab itu, memahami masalah terorisme harus didekati dengan multidimensi dan multidisiplin ilmu. Memperkuat rasa nasionalisme di perguruan tinggi bisa menjadi cara efektif untuk melawan gerakan-gerakan teror, khususnya yang ada di lingkungan kampus.
Pemerintah harus serius melakukan pemerataan ekonomi dan keadilan sambil terus-menerus membuka diri mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kekuatan ekonomi yang ditopang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi agar bersifat mandiri, tidak bergantung pada negara lain.
Sementara itu, keadilan menekankan pada terbentuknya tatanan masyarakat yang berbudaya dan sadar hukum. Dalam konteks ini, pembangunan kebudayaan dan kesadaran hukum menjadi amat penting untuk membangun solidaritas dan nasionalisme yang bertumpu pada keadilan sosial.
Ketiga, aksi terorisme harus dibaca sebagai kemungkinan akrobat politik para elite, baik dalam maupun luar negeri, yang memiliki tujuan menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara. Motif terorisme sangat sulit untuk diungkap dan membutuhkan keterlibatan berbagai pihak.
Misalnya ketika Amerika Serikat pada era Bush Jr melakukan teror atas nama negara terhadap Irak, dengan argumentasi pembenaran aksi teror berdalih adanya senjata pemusnah massal. Didahului pencitraan melalui publikasi internasional bahwa Irak adalah musuh bersama masyarakat internasional. Suatu isapan jempol yang pada akhirnya mengakibatkan Irak luluh lantak.
Akhir kata, kita perlu menyadari bahwa keadilan adalah peristiwa yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keadilan juga merupakan tonggak untuk membina persatuan, kesatuan, ketahanan, dan persatuan nasional. Demikian pentingnya keadilan sampai-sampai Tuhan sendiri menyatakan bahwa alam semesta ini pun diciptakan dengan keadilan (keseimbangan).
Tanpa keadilan, semuanya akan hancur. Manusia akan saling memangsa. Negara-negara di dunia akan berperang. Planet-planet akan saling bertumbukan. Tanpa keadilan, alam akan hancur. Tanpa keadilan, nasionalisme dan ketahanan nasional suatu bangsa akan hancur.
Sekjen Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (Apperti)
BEBERAPA hari setelah Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Ijtimaí Ulama di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, terjadi aksi bom bunuh diri di sejumlah tempat di Jawa Timur. Pembunuhan ini menewaskan pelaku dan sejumlah korban tak bersalah.
Ini tentu ironi. Di tengah upaya MUI menegaskan tentang Islam yang rahmatan lil alamin, masih ada segelintir oknum yang melakukan aksi bertentangan dengan ajaran Islam. Ditambah, beberapa pekan sebelumnya, sejumlah cendekiawan muslim dunia berkumpul di Bogor mendeklarasikan pesan damai yang dikenal dengan Bogor Message.
Dari aspek akademis, terorisme menjadi sebuah frasa yang sulit didefinisikan. Hal ini yang menyebabkan pendefinisian terorisme tidak tuntas dalam RUU Antiterorisme hingga saat ini. Standar ganda definisi terorisme itu sendiri yang kemudian menjadikan pembahasan RUU tersebut tidak bisa dirampungkan.
Apalagi, perang global melawan terorisme menjadi sebuah pemaknaan sendiri bahwa secara faktual yang diperangi adalah kelompok Islam. Perihal Israel mencaplok wilayah Palestina dan membunuh ratusan ribu orang selama bertahun-tahun, tidak pernah ada penyematan terorisme kepada Negeri Yahudi tersebut.
Pembunuhan keji terhadap ribuan muslim Rohingya pun tidak membuat masyarakat internasional menyebut para pelakunya dengan sebutan kelompok teroris. Itu hanya segelintir contoh standar ganda yang digunakan komunitas internasional tentang apa itu terorisme. Standar ganda yang disuguhkan kepada umat Islam ini membuat aksi terorisme tidak mudah diatasi.
Andil Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi memiliki andil besar untuk mengatasi persoalan ini. Beberapa tahun belakangan, sejumlah kalangan menuding kampus sebagai sarang kaderisasi kelompok teror. Lagi-lagi, tudingan tersebut mengarah kepada kelompok-kelompok Islam.
Meski bantahan sudah dibuat, bahkan dalam aksi demonstrasi massal setahun lalu, di mana kelompok Islam menunjukkan toleransi yang tinggi, salah satunya ketika ada pasangan pengantin Nasrani yang diantar ke halaman gereja, padahal kedua pengantin itu melewati kerumunan massa yang tengah berunjuk rasa.
Bagi mereka yang aktif di kampus, tidak ada tempat untuk mengembangkan budaya kekerasan dengan alasan apa pun. Kondisi ini menjadi tantangan bagi para penyelenggara perguruan tinggi di Indonesia. Bagi semua pihak, perguruan tinggi di samping sebagai sumber ilmu, juga harus mampu menjadi pusat integritas dan peradaban.
Oleh karena itu, perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi garda terakhir dalam membangun karakter bangsa, termasuk juga menghalau berkembangnya paham radikal dan terorisme. Sebagai organisasi besar di Indonesia, Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (Apperti) senantiasa mengingatkan anggotanya bahwa tidak akan menerima radikalisme yang membonceng agama apa pun di Tanah Air.
Penyimpangan dan manipulasi ajaran agama untuk menjustifikasi tindakan kekerasan yang bersumber dari penafsiran lateral sepotong-sepotong hanya akan melahirkan ekstremisme. Sikap ekstrem ini sendiri bakal menjadi embrio radikalisme dan terorisme yang merusak negara dan membuat citra buruk agama tersebut.
Faktor Pemicu
Apperti menilai ada tiga penyebab masih maraknya aksi terorisme. Pertama, akibat adanya wawasan keagamaan yang keliru. Para pelaku teror salah dalam menggunakan simbol agama. Jalan kekerasan yang ditempuh justru akan menyulitkan posisi umat, khususnya dalam membangun persepsi positif masyarakat pada gerakan keagamaan.
Seperti yang sudah ditulis di awal, ketika MUI dan sejumlah cendekiawan muslim berusaha menampilkan gerakan keagamaan yang damai, menjadi rusak dan tidak berguna karena adanya kelompok sempalan yang menggunakan jalan kekerasan. Menempuh cara-cara teror dalam mencapai tujuan agama yang suci, sama saja dengan mengkhianati dan mengotori kesucian agama itu sendiri.
Kedua, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan, dan ketiadaan stabilitas politik yang melahirkan aksi terorisme. Terorisme adalah ancaman terhadap negara yang sama halnya dengan separatisme dan gerakan disintegrasi (Bambang Pranowo, 2010: 203). Rongrongan disintegrasi nasional kalau mau dilihat secara mendalam, akarnya sebetulnya sederhana: mendalamnya kemiskinan dan ketidakadilan.
Oleh sebab itu, memahami masalah terorisme harus didekati dengan multidimensi dan multidisiplin ilmu. Memperkuat rasa nasionalisme di perguruan tinggi bisa menjadi cara efektif untuk melawan gerakan-gerakan teror, khususnya yang ada di lingkungan kampus.
Pemerintah harus serius melakukan pemerataan ekonomi dan keadilan sambil terus-menerus membuka diri mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kekuatan ekonomi yang ditopang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi agar bersifat mandiri, tidak bergantung pada negara lain.
Sementara itu, keadilan menekankan pada terbentuknya tatanan masyarakat yang berbudaya dan sadar hukum. Dalam konteks ini, pembangunan kebudayaan dan kesadaran hukum menjadi amat penting untuk membangun solidaritas dan nasionalisme yang bertumpu pada keadilan sosial.
Ketiga, aksi terorisme harus dibaca sebagai kemungkinan akrobat politik para elite, baik dalam maupun luar negeri, yang memiliki tujuan menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara. Motif terorisme sangat sulit untuk diungkap dan membutuhkan keterlibatan berbagai pihak.
Misalnya ketika Amerika Serikat pada era Bush Jr melakukan teror atas nama negara terhadap Irak, dengan argumentasi pembenaran aksi teror berdalih adanya senjata pemusnah massal. Didahului pencitraan melalui publikasi internasional bahwa Irak adalah musuh bersama masyarakat internasional. Suatu isapan jempol yang pada akhirnya mengakibatkan Irak luluh lantak.
Akhir kata, kita perlu menyadari bahwa keadilan adalah peristiwa yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keadilan juga merupakan tonggak untuk membina persatuan, kesatuan, ketahanan, dan persatuan nasional. Demikian pentingnya keadilan sampai-sampai Tuhan sendiri menyatakan bahwa alam semesta ini pun diciptakan dengan keadilan (keseimbangan).
Tanpa keadilan, semuanya akan hancur. Manusia akan saling memangsa. Negara-negara di dunia akan berperang. Planet-planet akan saling bertumbukan. Tanpa keadilan, alam akan hancur. Tanpa keadilan, nasionalisme dan ketahanan nasional suatu bangsa akan hancur.
(whb)