Kemenangan Oposisi Malaysia
A
A
A
PEMILU Malaysia kali ini menjadi pemilu yang paling heboh dan historis. Baru terjadi pertentangan tajam antara guru dan murid, antara senior dan junior, antara mantan perdana menteri dengan perdana menteri dalam sejarah politik Malaysia sejak kemerdekaannya. Ini juga pertama kali terjadi tokoh penting UMNO berkolaborasi dengan mantan musuh politiknya untuk tidak sekadar memenangi pemilu, tetapi juga meruntuhkan UMNO selaku partai penguasa sejak kemerdekaan. Panggung politik mutakhir di Malaysia memang benar-benar menggambarkan pertentangan antarelite yang melibatkan tokoh-tokoh penting, yakni Najib Razak, Mahathir Mohamad, dan juga Anwar Ibrahim–meskipun masih di penjara. Berikut beberapa catatan terkait keunikan panggung politik Malaysia ini.
Pertama, isu etnis menjadi bagian penting. Dipicu oleh konflik berdarah pada 1969 yang melibatkan tiga puak utama, yaitu Melayu, China, dan Keling (India), maka pemerintah membangun sebuah struktur politik yang didasarkan kepada etnik (ethnic-based politics). Karena itu, pemerintahan yang dibangun juga merupakan pemerintahan koalisi etnis antara Melayu (UMNO), China (MCA) dan Keling atau India (MIC) yang disebut dengan Barisan Nasion (BN) dan dipimpin oleh UMNO. Ini berimbas pada kebijakan-kebijakan bidang sosial, ekonomi dan juga hukum.
UMNO harus menjadi the leading party karena memang harus menjaga kemelayuan di sa-mping meyakinkan stabilitas politik bisa terjaga. Mekanisme demokrasi biasa sebagaimana yang misalnya diterapkan di Indonesia tidak mungkin dilakukan di Malaysia karena akan membuka peluang Melayu terpinggirkan. Ini langkah afirmatif yang tentu saja akan lebih memberikan political advantage lebih besar kepada UMNO. Mahathir telah menikmatinya selama 22 tahun melalui pemilu yang penuh rekayasa. Peristiwa atau clash berdarah antaretnis pada 1969 telah menyebabkan trauma berkepanjangan dan sekaligus menjadi amunisi bagi Mahathir waktu itu untuk berlama-lama berkuasa secara otoritarian dan “draconian” selama 22 tahun. Demokrasi tersumbat karena trauma clash etnik.
Kedua, otoritarianisme merupakan ciri Mahathir dengan UMNO-nya ketika itu. Mahathir adalah contoh yang gamblang figur pemimpin otoriter di Asia yang sangat fenomenal. Sebagaimana negara-negara yang baru berkembang seperti Indonesia era Soeharto, Malaysia mengutamakan stabilitas politik agar modernisasi bisa berjalan. Modernisasi menjadi semacam ideologi baru yang harus dianut oleh semua orang agar perubahan, perbaikan, dan kemajuan Malaysia benar-benar terwujud. Kebijakan ekonomi baru (NEP) diterapkan agar masyarakat, terutama Melayu, menikmati perbaikan ekonomi. Untuk itu, dibutuhkan perangkat undang-undang dan peraturan yang bisa memberikan jaminan kepada pemerintah untuk mengontrol masyarakat secara ketat dan keras. Itulah, produk hukum di era itu cenderung “draconian”. Berbeda, apalagi kritik dan melawan pemerintah, akan dilindas. Anwar Ibrahim adalah salah seorang korban otoritarianisme Mahathir dengan UMNO-nya.
Ketiga, gerakan reformasi telah ikut mewarnai panggung politik Malaysia. Sejak Anwar dicopot jabatannya sebagai wakil perdana menteri, dipecat dari UMNO dan kemudian dipenjarakan oleh Mahathir dengan tuduhan sodomi, gerakan reformasi yang pada masa awalnya didukung oleh kaum profesional, akademisi/ intelektual termasuk mahasiswa mulai menggeliat dipimpin oleh istri Anwar Ibrahim. Hemat penulis, reformasi di Malaysia terinspirasi oleh reformasi di Indonesia yang digerakkan oleh sahabat Anwar Ibrahim, yaitu Amien Rais. Memang tidak seperti yang terjadi di Indonesia, di Malaysia ide reformasi dan penguatan demokrasi tampak lebih perlahan, meskipun terasa dampaknya.
Dua pemilu terakhir merupakan gambaran nyata bagaimana Anwar berhasil membangkitkan sebuah kekuatan aliansi oposisi mendegradasi UMNO. Penulis berkeyakinan bahwa “reformasi perlahan” gaya Malaysia telah berhasil memperlemah UMNO hingga pada akhirnya runtuh sama sekali melalui pemilu terakhir ini. Mahathir melanjutkan Anwar memimpin untuk menyempurnakan tanda-tanda keruntuhan UMNO yang sudah terlihat sejak dua pemilu terakhir. Ini tentu a great and amazing victory bagi oposisi.
Dalam pemilu parlemen kali ini, koalisi Pakatan Harapan (PH) yang dipimpin Mahathir sukses meraih 113 kursi dari total 222 kursi parlemen. Kemenangan ini melenggangkan langkah politikus gaek berusia 92 tahun itu menduduki posisi perdana menteri.
Tadi malam dia secara resmi dilantik sebagai perdana menteri ketujuh di Istana Nasional Malaysia. Dengan demikian Mahathir tercatat sebagai kepala negara tertua di dunia.
Sebelumnya mantan pemimpin Partai UMNO itu pernah menjabat sebagai PM Malaysia selama 22 tahun (1981–2003). Ini merupakan sejarah karena kali pertama PH menang atas Barisan Nasional (BN). Janji politik yang ditawarkan saat kampanye merupakan antitesis dari kebijakan Najib Razak, diantaranya, kontroversi investasi China yang dianggap merugikan rakyat dan Malaysia. Dia berjanji akan menyusun dan menerapkan kebijakan prorakyat dan memperhatikan masa depan Malaysia.
Transitional Democracy
Aliansi unik antara Mahathir dengan Anwar Ibrahim dalam meruntuhkan UMNO memberikan petunjuk jelas bahwa permusuhan politik mereka berakhir karena ada kepentingan-kepentingan bersama yang dipercaya lebih besar dan urgen, yaitu selain meruntuhkan dominasi UMNO juga membangun Malaysia yang lebih kuat, maju, dan berperadaban. Mahathir merelakan dirinya untuk keluar dari UMNO, berjuang bersama dengan oposisi meruntuhkan UMNO. Di mata UMNO, tentu ini dianggap sebagai pengkhianatan terbesar karena justru dilakukan oleh Mahathir, tokoh yang telah memimpin dan membesarkan UMNO dan Malaysia selama 22 tahun. Tapi, warning pentingnya agar Malaysia tidak menjadi negara kleptokratik telah mendorong Mahathir memimpin Gerakan Bersih dan rela menjatuhkan UMNO.
Memang tidak ditemukan tokoh lain yang memiliki kekuatan cukup, kematangan dan karisma kuat untuk menjatuhkan UMNO kecuali Anwar dan Mahathir, dua tokoh yang memang secara riil ditakuti. Kemenangan ini, dalam bacaan penulis, menjadi momentum besar untuk mengantarkan sebuah perubahan mendasar yang memang telah menjadi pikiran Anwar dan Mahathir. Sudah dipastikan Mahathir akan menjadi perdana menteri dan istri Anwar, Wan Azizah Wan Ismail, menjadi wakilnya. Tapi ini merupakan pemerintahan transisional yang akan menghubungkan dan mengantarkan sebuah era perubahan riil ke depan.
Jika Mahathir tetap berkomitmen dengan perjanjian politiknya, maka posisinya sebagai perdana menteri akan diserahkan kepada Anwar. Pemerintahan transisional ini seharusnya akan melakukan paling tidak dua hal mendasar, yaitu melakukan reformasi hukum dan menyerahkan kursi perdana menteri ke Anwar. Langkah pertama, sebagaimana yang sebetulnya telah diperjuangkan lama oleh Anwar, sangatlah fundamental karena demokrasi substansial akan memperoleh perlindungan hukum dan politik secara nyata.
Dan, melalui langkah kedua, maka Anwar akan menjadi perdana menteri pertama yang komitmen reformatifnya mendapatkan kesempatan yang sangat pas. Seharusnya Anwar memang menjadi perdana menteri menggantikan Mahathir dulu, akan tetapi tertunda. Dan, baru akan memperoleh kesempatan nyata menggantikan Mahathir melalui hasil pemilu kali ini. Itu pun jika Mahathir tidak berubah pikiran mengkhianati perjanjian politik. Tapi, hemat penulis Mahathir tidak akan bunuh diri di usia senjanya. Dia akan memilih langkah yang elegan dan terhormat memuluskan jalan terjal Anwar ke posisi perdana menteri.
Wallahu a’lam.
Pertama, isu etnis menjadi bagian penting. Dipicu oleh konflik berdarah pada 1969 yang melibatkan tiga puak utama, yaitu Melayu, China, dan Keling (India), maka pemerintah membangun sebuah struktur politik yang didasarkan kepada etnik (ethnic-based politics). Karena itu, pemerintahan yang dibangun juga merupakan pemerintahan koalisi etnis antara Melayu (UMNO), China (MCA) dan Keling atau India (MIC) yang disebut dengan Barisan Nasion (BN) dan dipimpin oleh UMNO. Ini berimbas pada kebijakan-kebijakan bidang sosial, ekonomi dan juga hukum.
UMNO harus menjadi the leading party karena memang harus menjaga kemelayuan di sa-mping meyakinkan stabilitas politik bisa terjaga. Mekanisme demokrasi biasa sebagaimana yang misalnya diterapkan di Indonesia tidak mungkin dilakukan di Malaysia karena akan membuka peluang Melayu terpinggirkan. Ini langkah afirmatif yang tentu saja akan lebih memberikan political advantage lebih besar kepada UMNO. Mahathir telah menikmatinya selama 22 tahun melalui pemilu yang penuh rekayasa. Peristiwa atau clash berdarah antaretnis pada 1969 telah menyebabkan trauma berkepanjangan dan sekaligus menjadi amunisi bagi Mahathir waktu itu untuk berlama-lama berkuasa secara otoritarian dan “draconian” selama 22 tahun. Demokrasi tersumbat karena trauma clash etnik.
Kedua, otoritarianisme merupakan ciri Mahathir dengan UMNO-nya ketika itu. Mahathir adalah contoh yang gamblang figur pemimpin otoriter di Asia yang sangat fenomenal. Sebagaimana negara-negara yang baru berkembang seperti Indonesia era Soeharto, Malaysia mengutamakan stabilitas politik agar modernisasi bisa berjalan. Modernisasi menjadi semacam ideologi baru yang harus dianut oleh semua orang agar perubahan, perbaikan, dan kemajuan Malaysia benar-benar terwujud. Kebijakan ekonomi baru (NEP) diterapkan agar masyarakat, terutama Melayu, menikmati perbaikan ekonomi. Untuk itu, dibutuhkan perangkat undang-undang dan peraturan yang bisa memberikan jaminan kepada pemerintah untuk mengontrol masyarakat secara ketat dan keras. Itulah, produk hukum di era itu cenderung “draconian”. Berbeda, apalagi kritik dan melawan pemerintah, akan dilindas. Anwar Ibrahim adalah salah seorang korban otoritarianisme Mahathir dengan UMNO-nya.
Ketiga, gerakan reformasi telah ikut mewarnai panggung politik Malaysia. Sejak Anwar dicopot jabatannya sebagai wakil perdana menteri, dipecat dari UMNO dan kemudian dipenjarakan oleh Mahathir dengan tuduhan sodomi, gerakan reformasi yang pada masa awalnya didukung oleh kaum profesional, akademisi/ intelektual termasuk mahasiswa mulai menggeliat dipimpin oleh istri Anwar Ibrahim. Hemat penulis, reformasi di Malaysia terinspirasi oleh reformasi di Indonesia yang digerakkan oleh sahabat Anwar Ibrahim, yaitu Amien Rais. Memang tidak seperti yang terjadi di Indonesia, di Malaysia ide reformasi dan penguatan demokrasi tampak lebih perlahan, meskipun terasa dampaknya.
Dua pemilu terakhir merupakan gambaran nyata bagaimana Anwar berhasil membangkitkan sebuah kekuatan aliansi oposisi mendegradasi UMNO. Penulis berkeyakinan bahwa “reformasi perlahan” gaya Malaysia telah berhasil memperlemah UMNO hingga pada akhirnya runtuh sama sekali melalui pemilu terakhir ini. Mahathir melanjutkan Anwar memimpin untuk menyempurnakan tanda-tanda keruntuhan UMNO yang sudah terlihat sejak dua pemilu terakhir. Ini tentu a great and amazing victory bagi oposisi.
Dalam pemilu parlemen kali ini, koalisi Pakatan Harapan (PH) yang dipimpin Mahathir sukses meraih 113 kursi dari total 222 kursi parlemen. Kemenangan ini melenggangkan langkah politikus gaek berusia 92 tahun itu menduduki posisi perdana menteri.
Tadi malam dia secara resmi dilantik sebagai perdana menteri ketujuh di Istana Nasional Malaysia. Dengan demikian Mahathir tercatat sebagai kepala negara tertua di dunia.
Sebelumnya mantan pemimpin Partai UMNO itu pernah menjabat sebagai PM Malaysia selama 22 tahun (1981–2003). Ini merupakan sejarah karena kali pertama PH menang atas Barisan Nasional (BN). Janji politik yang ditawarkan saat kampanye merupakan antitesis dari kebijakan Najib Razak, diantaranya, kontroversi investasi China yang dianggap merugikan rakyat dan Malaysia. Dia berjanji akan menyusun dan menerapkan kebijakan prorakyat dan memperhatikan masa depan Malaysia.
Transitional Democracy
Aliansi unik antara Mahathir dengan Anwar Ibrahim dalam meruntuhkan UMNO memberikan petunjuk jelas bahwa permusuhan politik mereka berakhir karena ada kepentingan-kepentingan bersama yang dipercaya lebih besar dan urgen, yaitu selain meruntuhkan dominasi UMNO juga membangun Malaysia yang lebih kuat, maju, dan berperadaban. Mahathir merelakan dirinya untuk keluar dari UMNO, berjuang bersama dengan oposisi meruntuhkan UMNO. Di mata UMNO, tentu ini dianggap sebagai pengkhianatan terbesar karena justru dilakukan oleh Mahathir, tokoh yang telah memimpin dan membesarkan UMNO dan Malaysia selama 22 tahun. Tapi, warning pentingnya agar Malaysia tidak menjadi negara kleptokratik telah mendorong Mahathir memimpin Gerakan Bersih dan rela menjatuhkan UMNO.
Memang tidak ditemukan tokoh lain yang memiliki kekuatan cukup, kematangan dan karisma kuat untuk menjatuhkan UMNO kecuali Anwar dan Mahathir, dua tokoh yang memang secara riil ditakuti. Kemenangan ini, dalam bacaan penulis, menjadi momentum besar untuk mengantarkan sebuah perubahan mendasar yang memang telah menjadi pikiran Anwar dan Mahathir. Sudah dipastikan Mahathir akan menjadi perdana menteri dan istri Anwar, Wan Azizah Wan Ismail, menjadi wakilnya. Tapi ini merupakan pemerintahan transisional yang akan menghubungkan dan mengantarkan sebuah era perubahan riil ke depan.
Jika Mahathir tetap berkomitmen dengan perjanjian politiknya, maka posisinya sebagai perdana menteri akan diserahkan kepada Anwar. Pemerintahan transisional ini seharusnya akan melakukan paling tidak dua hal mendasar, yaitu melakukan reformasi hukum dan menyerahkan kursi perdana menteri ke Anwar. Langkah pertama, sebagaimana yang sebetulnya telah diperjuangkan lama oleh Anwar, sangatlah fundamental karena demokrasi substansial akan memperoleh perlindungan hukum dan politik secara nyata.
Dan, melalui langkah kedua, maka Anwar akan menjadi perdana menteri pertama yang komitmen reformatifnya mendapatkan kesempatan yang sangat pas. Seharusnya Anwar memang menjadi perdana menteri menggantikan Mahathir dulu, akan tetapi tertunda. Dan, baru akan memperoleh kesempatan nyata menggantikan Mahathir melalui hasil pemilu kali ini. Itu pun jika Mahathir tidak berubah pikiran mengkhianati perjanjian politik. Tapi, hemat penulis Mahathir tidak akan bunuh diri di usia senjanya. Dia akan memilih langkah yang elegan dan terhormat memuluskan jalan terjal Anwar ke posisi perdana menteri.
Wallahu a’lam.
(pur)